Rabu, 13 Juli 2011

WAHHABISME (Sebuah Tinjauan Kritis)


A. Pendahuluan
Sebenarnya yang dimaksud dengan wahhabisme adalah sebuah interpretasi doktrin dan praktik Islam yang muncul pertama kali pada abad kedelapan belas di jazirah Arab. Wahhabisme seringkali di identikkan sebagai sebuah gerakan Islam radikal dari sekte Sunni. Tuduhan semacam ini perlu dicermati kembali, karena pada kenyataannya para penganut gerakan wahhabisme ini justru menolak banyak sekali kepercayaan dan praktik keagamaan Islam Sunni yang bercorak tradisional, dan yang lebih parah lagi gerakan wahhabisme mengizinkan untuk memerangi semua golongan kaum muslimin yang tidak sependapat dan tidak mendukung pendapat dan ajarannya. Wahhabisme muncul sebagai gerakan purifikasi atau pembaharuan Islam, namun pandangannya terlihat terlalu sempit dalam melihat kebenaran. Mereka mengklaim bahwa semua sekte Islam dan semua madzhab Islam diluar madzhab mereka adalah kafir dan sesat.
Penulis buku ini adalah professor Hamid Algar, seorang sarjana muslim yang dilahirkan di Inggris pada 1940, Algar adalah lulusan Cambridge University, Inggris. Ia memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang bahasa-bahasa Timur Tengah. Kini ia mnjadi dosen pada Universitas California di Berkeley, di sana ia mengajar sejarah dan filsafat Persia dan Islam. Ia adalah seorang pengikut Tarekat Naqsabandiyah dan mengajar sufisme di universitasnya.
Buku ini adalah salah satu contoh karya Algar yang terbaru. Penulis biku ini mendiskusikan kelahiran wahabisme yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang warga asli Najd, sebuah wilayah yang terdapat di bagian timur jazirah Arab. Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kebrutalan gerakan ini, karena ia adalah perumus doktrin-doktrin yang menjadi landasan doktrin aliran wahhabi. Aliran keagamaan ini kemudian membangun aliansi dengan keluarga Saudi, penguasa di wilayah  Dir’iyah. Pada masa berikutnya aliansi ini kemudian tumbuh dengan cepat dan menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab. Hijaz atau Mekkah berhasil dikuasainya pada tahun 1803. Kemudian pada tahun 1925 aliansi tersebut berhasil mendirikan kerajaan Saudi Arabia. Sejak saat itu, wahhabisme menyebar ke seluruh dunia, menjadi induk dari seluruh gerakan radikalisme Islam di seluruh penjuru dunia, yang akhir-akhir ini diklaim sebagai gerakan terorisme.
Selain mendeskripsikan gerakan wahhabisme, buku ini juga berisi tinjauan kritis. Professor Algar adalah seorang sarjana yang memiliki apresiasi tinggi terhadap keragaman kebudayaan Islam yang luar biasa kaya dan ekspresi yang amat berwarna dari Islam sebagai sebuah agama. Mungkin karena alasan inilah mengapa ia, seperti juga Abu El-Fadl, begitu gusar dengan wahhabisme, yang begitu gencar hendak menyeragamkan Islam dan menguburkan keragaman ekspresi budayanya. Demikianlah, misalnya ia dengan tegas menunjukkan bahwa naiknya wahhabisme ke panggung kekuasaan di ikuti oleh tumpahnya darah dan jatuhnya korban manusia dan peradabannya. Tentu saja kisah ini ditujukan sebagai pelajaran bagi umat Islam akan betapa bahayanya memahami ajaran Islam tanpa ilmu yang memadai.
B. Pembahasan
Buku ini tidak hanya berisi mengenai deskripsi dari gerakan wahhabisme, tetapi juga penilaian kritis professor Hamid Algar tentang gerakan tersebut. Kritik beliau terhadap  Wahhabisme dapat ditemukan pada hampir semua isi buku ini. Pada pendahuluan buku ini, yaitu pada bab I, penulis mengemukakan argumen mengapa wahhabisme adalah satu-satunya nama yang tepat untuk penyebutannya. Di antaranya karena wahhabi sendiri lebih memilih istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tauhid untuk menamakan kelompok mereka. Namun nama yang mereka gunakan itu sendiri justru mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Hal ini menyiratkan pengabaian terhadap seluruh kaum muslimin lainnya yang mereka cap telah melakukan syirik. Tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad bin Abdul Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim bagi penulis buku ini untuk menyebut mereka dengan “wahabisme” dan “kaum wahhabi.”
Kemudian, penulis menyoroti dua hal; Pertama, dalam sejarah pemikiran Islam, wahabisme tidak memiliki tempat yang penting dan berarti bagi peradaban Islam, wahhabisme adalah kelompok marginal yang secara politis beruntung karena menjadi patron keluarga Saudi, yang juga bernasib baik karena pada abad ke-20 mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarkan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lainnya. Jika kedua faktor itu tidak ada, mungkin wahhabisme hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Kedua, wahhabisme adalah fenomena yang sama sekali bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai madzhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Terkadang wahhabisme di cirikan sebagai kelompok ekstrim Sunni yang konservatif, namun sejak awal para ulama Sunni pun sudah menolak, atau beranggapan bahwa wahhabisme tidak termasuk bagian dari ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Hal ini dikarenakan hampir semua praktik, tradisi dan kepercayaan yang dikecam oleh kaum wahhabi secara historis telah menjadi bagian integral Islam Sunni. Namun pada bagian berikutnya, penulis juga menjelaskan bahwa wahhabisme juga bukan termasuk Syi’iy, karena ia juga mengecam ajaran Syi’ah yang menurutnya penuh dengan hal yang berbau syirik.
 Pada bab II, Penulis mendiskusikan secara umum tempat wahhabisme di dunia Islam dan Algar menyajikan riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal berwatak keras, puritan dan intoleran, lengkap dengan kesaksian bapak dan saudaranya mengenai dirinya. Bagian ini juga secara kritis mendiskusikan karya-karya pendiri wahhabisme itu, yang oleh Algar dinilai kurang memiliki bobot intelektual. Bahkan penulis menyebut gerakan wahhabisme pada dasarnya hanyalah sebuah gerakan tanpa preseden. Gerakan ini lahir dari dunia antah-berantah, dalam arti bukan hanya muncul dari wilayah gersang Najad, tetapi juga tidak memiliki preseden penting dalam sejarah Islam. Penulis buku ini juga menggambarkan inteletual Muhammad bin Abdul Wahhab yang nyaris bukan merupakan ulama yang perlu diberi perhatian khusus (diperhitungkan) tentang akreditasi keilmuannya. Karena tulisan-tulisannya dalam jilid-jilid kecil yang telah diterbitkan oleh pemerintah Arab Saudi, sangat tidak layak untuk disamakan dengan para ulama Islam lainnya yang sangat produktif dalam hal karya ilmiahnya.
Bagian berikutnya penulis menjelaskan perjalanan panjang Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga ia berhasil membangun aliansi antara tokoh itu dengan keluarga bin Sa’ud, yang karenanya upaya pemurnian ala wahhabisme dimungkinkan terjadi. Pada bagian ini penulis memaparkan secara panjang lebar tentang ulah kaum wahhabi yang melakukan ekspansi ke Karbala, Hijaz, Madinah dan seluruh daerah Arabia dengan membunuh, merampas dan menghancurkan makam-makam para sahabat Nabi saw yang sangat dihormati oleh seluruh umat Islam. Misalnya makam Khadijah, Imam Ali, Abu Bakar, dan lain-lain, bahkan mereka juga hendak menghancurkan kubah yang menaungi makam Nabi SAW, namun hal itu tidak jadi dilaksanakan tatkala secara misterius orang-orang yang ditugasi untuk melakukan penghancuran itu terjatuh hingga mereka mati. Mereka juga memaksakan doktrin-doktrin mereka kepada seluruh penduduk dan ulama Mekkah dan Madinah. Mereka melarang cara shalat yang ditetapkan oleh madzhab Hanafi dan Maliki, penggunaan tasbih, peringatan maulid Nabi saw, pembacaan hadis sebelum khutbah, memiliki atau merokok tembakau dan minum kopi.  
Bab III membahas doktrin wahhabisme, yang berpusat pada apa yang disebut sebagai tauhid al-ibadah, yang antara lain menyebabkan penolakan kaum wahhabi atas sufisme dan filsafat. Seperti yang dicontohkan oleh penulis bahwa istighatsah, tawassul, syafa’ah, tabarruk dan ziyarah sangat dilarang oleh wahhabi. Karena dalam pandangan mereka semua hal itu mengakibatkan pelanggaran atas tauhid ibadah dan menjadikan pelakunya sebagai musyrik.
Di sini Algar mengkritik sejumlah doktrin yang dipakai oleh aliran ekstrim ini, yang pada kadar tertentu dianggapnya sebagai suatu yang berlebihan dan membabi-buta. Menurutnya, seandainya kepercayaan bahwa ziyarah atau tawassul adalah keliru, maka tidak ada alasan logis untuk mengutuk kepercayaan itu sebagai sesuatu yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Karena kekeliruan yang melandasi tindakan kaum wahhabi yang mencap seluruh praktik itu sebagai syirik adalah pencampuradukkan antara sarana dan tujuan.
Ciri khas lain ajaran wahhabi adalah konsep bid’ah yang bersifat luas dan tanpa pandang bulu. Konsep ini di definisikan sebagai “Perkara baru yang tidak diikuti oleh para sahabat atau tabi’in dan bukan bagian dari apa yang diharuskan oleh dalil syar’i.Bid’ah biasanya dipasangkan sebagai lawan negatif dari Sunnah. Dengan demikian menegakkan Sunnah melibatkan tindakan meninggalkan bid’ah.
Sekali lagi penulis buku ini mengkritik paham tersebut dengan berpendapat bahwa pemahaman yang lebih luas dan lebih positif harus dipertimbangkan. Dengan mengutip pendapat ulama Syafi’iyah, ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam yang mengatakan bahwa boleh saja berbicara tentang bid’ah hasanah, dan bahwa seluruh bentuk bid’ah tergolong dalam lima kategori: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Kemudian pada bab IV, Algar mendeskripsikan bagaimana ekspansi paham wahhabisme dilakukan ke seluruh dunia, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi memperoleh banyak uang dari hasil penjualan minyak. Pada bagian ini, Algar juga mendiskusikan aliansi tak suci (unholy alliance) yang berlangsung antara sebuah kerajaan Islam yang di dukung wahabisme dengan pemerintah-pemerintah Barat, khususnya Inggris, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Ada hal menarik yang diceritakan Algar pada permulaan bab ini yaitu, sejak kontak pertama dengan kerajaan Inggris tahun 1865, subsidi Inggris mulai mengalir ke kantong keluarga Saudi dengan jumlah yang terus meningkat. Tahun 1915, penguasa Saudi pada masa itu, yakni Abd Al-‘Aziz bin Sa’ud (Ibn Sa’ud) menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama dengan pihak Inggris. Tentu saja uang menjadi pelumas utama perjanjian itu, sehingga pada tahun 1917 penguasa Saudi itu menerima lima ribu pound setiap bulannya, seiring dengan pandangan Inggris yang merasa layak memberikan penghargaan sebagai ksatria Inggris kepada pembela Wahhabisme. Tahun 1935 Ibn Sa’ud dinaikkan statusnya sebagai Ksatria Ordo Bath. Hal serupa terjadi pada Raja Fahd (Penjaga Dua Masjid Suci) mengunjungi Ratu Elizabeth, Raja Fahd difoto dengan tanda ordo Ksatria Inggris berbentuk salib yang tergantung di lehernya.
Penulis buku ini berpendapat bahwa aliansi yang dilakukan oleh kerajaan Arab Saudi dengan Inggris dan Amerika memiliki dua tujuan pokok, yaitu untuk menyebarkan paham wahhabisme ke seluruh penjuru dunia baik dengan cara yang baik maupun dengan kekerasan, dan tujuan yang kedua adalah untuk memisahkan jazirah Arabia dari kekuasaan Turki Utsmani. Yang disebut terakhir ini adalah kepentingan politik Inggris.
Penyebaran ajaran wahhabisme juga dijelaskan secara detail dengan didirikannya organisasi-organisasi pelajar Islam di berbagai tempat studi di luar negeri seperti Perhimpunan Mahasiswa Muslim Amerika Utara dan Kanada (Muslim Student Association of North America and Canada/MSA), Perhimpunan Muslim Amerika Utara (Islamic Society of North America/ISNA), Federasi Mahasiswa Muslim Internasional (International Islamic Federation of Student Organization/IIFSO), dan Perhimpunan Pemuda Muslim Dunia (World Assembly of Muslim Youth/WAMY). Pada akhir pembahasan pada bab ini penulis juga menyinggung proses berpisahnya wahhabi dengan pemerintah Saudi sejak kedatangan Amerika Serikat yang mana kedatangannya dianggap telah merubah dan mengotori ajaran-ajaran wahhabisme tersebut.
Pada akhir pembahasannya, penulis membuat kesimpulan yang secara utuh menggambarkan bahwa kelompok wahhabi secara sewenang-wenang menggunakan tuduhan syirik dan bid’ah kepada umat Islam diluar madzhab mereka selama bertahun-tahun. Karena itu penulis merasa prihatin bahwa kaum wahhabi telah secara serius menyelewengkan ajaran-ajaran Islam. Wahhabisme telah berperan selama beberapa dasawarsa sebagai landasan ideologis sebuah rezim yang telah menzalimi kaum muslimin, baik kelompok Sunni maupun Syi’iy, dan memperlakukan mereka seperti bukan muslim karena mereka telah banyak menumpahkan darah saudara muslim mereka sendiri.
Setelah kesimpulan, buku ini dilengkapi dengan sejumlah lampiran yang memperkuat penilaian Algar.
C. Metode dan Teori yang Digunakan
Buku ini disusun  berdasarkan sebuah survey  library atau kajian kepustakaan. Satu-satunya pendekatan yang tampak digunakan adalah pendekatan deskriptif-analitis atas sumber-sumber informasi yang dipakai oleh penulis.
D. Sumbangan Kajian Terhadap Perkembangan Kajian Islam di Indonesia
Penulis menangkap ada dua hal penting yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai bahan kajian Islam terutama di Indonesia, yaitu:
1. Informasi pada buku ini memberikan i’tibar kepada umat Islam terutama di Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan akibat dari memahami ajaran Islam secara ekstrim.
2. Tulisan ini juga membuktikan bahwa Islam yang sebenarnya bukanlah sekedar simbol sebagaimana yang dicontohkan oleh pemerintah Arab Saudi. Tetapi Islam yang sebenarnya adalah nilai-nilai ajaran kemuliaan yang tidak patut dinodai dengan kekerasan, apalagi penumpahan darah kaum muslimin dan perampasan terhadap hak-hak peribadatan dan harta benda mereka.
E. Apresiasi dan Kritik
Buku ini merupakan sebuah karya yang sangat berharga terutama bagi kaum muslimin, karena dapat memberi informasi mengenai akar-akar fundamentalisme Islam secara jelas, dan bagi siapa saja yang ingin menelusuri gerakan-gerakan radikalisme Islam mungkin bisa merujuk ke buku ini.
Selain itu yang lebih penting lagi adalah, penulis dapat membongkar kebusukan pemerintahan keluarga Sa’ud yang telah menzhalimi umat Islam dengan langkah politiknya membela dan memfasilitasi perilaku wahhabisme dan musuh-musuh Islam (Barat) yang dapat membahayakan dan mengancam eksistensi umat Islam sediri.
Adapun kritik yang penulis ajukan berkenaan dengan isi buku ini yang pertama adalah pada bagian pengantar, dalam ulasannya penerbit mengatakan bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah untuk menahan ekspansi wahhabisme di Nusantara. Pertanyaannya adalah siapa atau gerakan organisasi mana yang disebut dengan ekspansi wahhabisme? Ambivalensi semacam ini sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dalam masyarakat muslim di Indonesia, mengingat berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah pada tahun 1926, yaitu 14 tahun setelah berdirinya Muhammadiyah.
Kedua, penulis hanya mengungkap sisi negatifnya saja dari sosok Muhammad bin Abdul Wahhab dan gerakannya, bahkan seolah-olah menempatkan Wahhabisme sebagai musuh Islam, padahal bukan mustahil kalau ada sisi-sisi positif yang mungkin dapat digali dari mereka.

F. Rekomendasi untuk Penelitian ke Depan
Untuk melanjutkan penelusuran sejarah gerakan Islam fundamental (kalau tidak boleh disebut ekstrim) pereview merekomendasikan agar  dilakukan penelitian tentang gerakan Islam fundamental lainnya yang berkaitan dengan politik internasional seperti Al-Qaida atau Jama’ah Islamiyah.