Minggu, 17 Februari 2013

GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM



GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM  
Oleh: Ribut Purwo Juono, S.Ag.,M.Pd.I.


A.  PENDAHULUAN
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian kerja tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya yang mengedepankan dominasi kaum laki-laki.
Al-Qur’an merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Byzantium dan Sassanid. Kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan, dan lain-lain. Masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan. Mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki (Nuryanto, 2001: 61). Jika kemudian terjadi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dengan mengatasnamakan Islam, atau tuduhan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam, maka pemahaman, perlakuan, dan tuduhan semacam itu perlu dipertanyakan kebenarannya.
Terkait dengan pendidikan Islam yang secara sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits, seharusnya terbebas dari prinsip-prinsip ketidakadilan dalam segala hal termasuk ketidakadilan gender. Dengan kata lain konsep pendidikan Islami yang sebenarnya mengandung makna konsep nilai yang bersifat universal seperti adil, manusiawi, terbuka, dinamis, dan seterusnya sesuai dengan sifat dan tujuan ajaran Islam yang otentik sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.  Ciri otentisitas ajaran Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik), adil, dan seimbang. Jika pada masa Rasulullah SAW merupakan masa yang paling ideal bagi kehidupan perempuan, di mana mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki, maka dalam konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits seharusnya tidak akan dijumpai adanya ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam pandangan Islam, semua orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama serta seimbang termasuk hak dan kesempatan dalam memperoleh dan dalam urusan pendidikan. Hal ini sangat kontradiktif dengan anggapan atau tuduhan sebagian orang yang menyatakan bahwa ajaran Islam dan pendidikan Islam banyak diwarnai oleh ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Tulisan ini akan membahas gender dan pendidikan Islam. Oleh karena luasnya permasalahan yang menyangkut gender dan pendidikan Islam tersebut, maka dalam hal ini penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya pada persoalan: Apa itu gender? Bagaimana pandangan Islam tentang gender? Bagaimana pula gender dalam pendidikan Islam? 

B.  PENGERTIAN GENDER
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”  (Echols, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. (Neufald, 1984: 561). Kata gender menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab, sehingga jika seseorang menyebut gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Stoller mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nugroho, 2008: 2-3). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (Tiemey, tt: 153). Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin. (Mosse, 1996: 3).
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya. (Dzuhayatin, 1996: 23).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial. (Umar, 1998: 99).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan. (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 1992: 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Adapun konsep kesetaraan gender adalah konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang lebih egaliter. Jadi, konsep kesetaraan gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran (measure) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam kehidupan  masyarakat. Konsep kesetaraan gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasannya untuk mengejar kesetaraan gender dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, berperan, dan berperilaku dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Ketika fakta telah ditemukan, bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam masyarakat berakar pada pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan, maka perlu adanya usaha untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal ini tidak dilakukan, proses perendahan martabat kemanusiaan dalam masyarakat akan berlangsng terus menerus. Salah satu usaha yang perlu ditekankan adalah bagaimana membuka wawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk tatanan masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi (Arifin, et.al. 2007: 228).

C. KONSEP GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangaun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap Allah SWT. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah SWT telah berfirman:   

يا أيّها النّاس اتّقوا ربّكم الّذى خلقكم مّن نفس وّاحدة وّ خلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا وّ نسآء وّ اتّقوا الله الّذى تسآءلون به و الأرحام انّ الله كان عليكم رّقيبا               (النّساء 1)
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).

يا ايّها النّاس إنّا خلقناكم مّن ذكر وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله عليم خبير (الحجات 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينّه حيوة طيّبة وّ لنجينّهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل 97)
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki ataupun perempuan, sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (QS. An-Nahl 97)

Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan  jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda. Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar prinsip keadilan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal demikian tidak dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang pembagian warisan yang dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan. Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.

D.  GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM

1.   Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam      
Orang-orang yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha untuk membantu manusia menjadi manusia (Tafsir, 2008: 33) atau usaha untuk memanusiakan manusia. Seseorang dapat dikatakan telah manjadi manusia apabila memiliki sifat-sifat (nilai) kemanusiaan seperti, memiliki kemampuan mengendalikan diri, memiliki rasa cinta dan kasih sayang, memiliki pengetahuan, dan sebagainya. Dalam hal ini pendidikan bersifat membantu atau menolong dan bukan mencetak atau menjadikan. Hal demikian karena pada diri manusia itu sesungguhnya telah ada potensi-potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan, di samping ada juga potensi-potensi yang tidak manusiawi yang tentu saja tidak perlu dikembangkan.
Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya menumbuhkembangkan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. (Syah. 2008: 36).
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat1 pendidikan ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” 
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama atau insan kamil  (Marimba, 1989: 19).
Ramayulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam dengan mengemukakan pendapat al-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat (Ramayulis, 2009: 88).
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.

2.   Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam bersifat integral, utuh, dan serba meliputi. Nilai-nilai dasar Islam terpadukan dan terintegrasikan ke dalam ruang dan gerak aktivitas pendidikan pada semua pola, level dan tingkatan (Ismail, 2003: 10-11). Sifat integralistik dan karakteristik keserbaliputan sistem pendidikan Islam secara sistematis dan strategis dapat dirangkum sebagai berikut:
a.   Sistem pendidikan Islam tidak memisahkan nilai-nilai moral dan Ketuhanan dari nilai-nilai hidup keduniawian ( QS. al-Ikhlas 1-5).
b.   Totalitas sistem pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat (. Al-Qashash 77).
c.   Sistem pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan akal (intelektual) dan pendidikan moral spiritual. Nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai moral spiritual mendapat tempat yang serasi dan wajar dalam rancang-bangun sistem pendidikan Islam. Islam menekankan pola keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
d.   Keseluruhan bangunan visi, orientasi, dan misi pendidikan Islam bertujuan untuk menyeimbangkan antara prinsip-prinsip kepentingan individu, perorangan, dan masyarakat agar pola-pola hubungan dan azas tatanan sosial Islami yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat terbina dan terjaga dengan baik.
e.   Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar komitmen ajaran hablun min Allah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun min al-nas (hubungan manusia dengan sesama manusia) dalam konstruk keseimbangan atas dasar paradigma idealitas Ilahiyah dan realitas insaniyah.
f.    Sistem pendidikan Islam sesuai dengan arah, visi dan misinya yang komprehensif, sinergis dan terpadu sangat menghargai pencapaian pola keseimbangan pendidikan jasmani dan rohani. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani yang keduanya memerlukan latihan dan pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta fondasai susunan rohani yang sehat dan bangunan rohani yang kuat dalam pembinaan integritas kepribadian dan pertumbuhan karakter yang baik dalam diri peserta didik.

3.   Konsep Pendidikan Islam
Secara garis besar, prinsip-prinsip konseptual pendidikan Islam dapat diterangkan sebagai berikut:
a.   Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah dan kewajiban agama di mana proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses pencarian ilmu menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW menyatakan bahwa menuntut ilmu (tentu saja di dalamnya terkait dengan proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses pendidikan) adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.
b.   Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam merupakan ibadah kepada Allah SWT (QS. al-Dzariyaat 56). Iman harus dibuktikan dengan amal dan agar dapat beramal dengan benar setiap orang harus berilmu. Pendidikan merupakan kewajiban individual (baik laki-laki maupun perempuan) dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal, non formal dan informal sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Karena bernilai ibadah, pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku dan kepribadian para peserta didik.
c.   Islam memberikan posisi dan derajat yang tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana, dan ilmuwan (QS. al-Mujadalah 11) dan menyerukan agar bertanya kepada orang-orang yang berilmu (ilmuwan dan pakar) tentang sesuatu yang tidak diketahui (QS. al-Nahl 43). Pendidikan memainkan peranan penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang terdidik, terpelajar, intelektual, ilmuwan, pakar, dan sarjana.
d.   Seluruh proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat, tidak mengenal batas umur (long life education). Rasulullah SAW bersabda:
أطلبوا العلم من المحد الى اللّحد
      “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahad.”
e.   Seluruh proses pembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam bersifat dialogis, inovatf, dan terbuka. Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja, baik dari timur maupun dari barat sepanjang hal itu bermanfaat bagi intensitas peningkatan bobot kreativitas dan pencerahan intelektualitas umat manusia.           

Berdasarkan konsep Islam tentang manusia, yang kemudian diaplikasikan ke dalam konsep pendidikan Islam, tampaklah bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang berkeseimbangan. Prinsip keseimbangan tersebut merupakan ciri khas pendidikan Islam. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, individu dan masyarakat, dunia dan akhirat, intelektual dan emosional, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

2.   Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
 Pada tataran konsep yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebenarnya tidak ditemukan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam maupun pendidikan Islam. KH. Husein Muhammad, seorang kyai dari Cirebon yang gigih mengkaji masalah kesetaraan gender dalam kitab fiqih, mengatakan bahwa interpretasi keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat saat itu. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang ada. Pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia tanpa mengkotak-kotakkannya. Hal tersebut telah banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, antara lain:
يا ايّها النّاس إنّا خلقناكم مّن ذكر وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله عليم خبير (الحجات 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Allah menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Karenanya tidak ada alasan untuk menempatkan peranan perempuan di bawah posisi dan peranan laki-laki (Santi, 2002: 52).
Jika pada masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan, maka sepeninggal beliau SAW banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat Islam.  Perubahan itu berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem monarki yang absolut. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum lelaki yang sebelumnya telah dilindas oleh reformasi Islam yang berlangsung ketika Nabi masih hidup (Santi, 2002: 53). Hal demikian ini pada gilirannya berimbas bahkan telah mewarnai dunia pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang strategis dalam mentransformasikan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Budaya yang bias gender dapat berkembang dan tetap ada tidak lepas dari proses pendidikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender (Arifin, et. al.  2007: 241). Demikian pula halnya yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis, yang muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum laki-laki sesudah wafatnya Rasulullah SAW terus berlangsung dalam proses transformasi budaya melalui dunia pendidikan Islam.
Penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif (Umar, 1999: 4).
Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada unequal gender bias (bias ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, ketika hal itu melahirkan suatu struktur masyarakat yang menimbulkan adanya pihak yang dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi sosial, maka timbullah permasalahan tersebut. Konstruksi sosial akibat miss understanding gender menyebabkan masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap perempuan.
Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang yang lain. Di Indonesia, kesenjangan gender terlihat hampir di semua sektor kehidupan, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan dan lain-lain. Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, maka secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan peran perempuan.
Ketimpangan gender dalam konteks Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka statistik kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD yakni 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13%, sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15%. Penduduk perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%. (Suryadi, 2004: 19). Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa masih terlihat adanya ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia. Kondisi ini tampak jelas dalam kenyataan bahwa tingkat pendidikan perempuan pada umumnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah penduduk perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni (APM) untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebih rendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan (Suryadi, 2004: 20).
Kompetensi diri, kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu merupakan salah satu unsur yang harus di miliki oleh perempuan, apabila tidak memiliki kekuasaan terutama dalam diri sendiri, maka akan berimplikasi kepada ketidak berdayaan untuk melakukan kekuasaan. Kompentensi diri sangat di tentukan oleh tingkat pendidikan, apabila pendidikan perempuan itu relatif rendah maka kemampuan untuk berkompetisi rendah, dan aksesnya juga menjadi rendah. Kurangnya kompetensi dan kemampuan berkompetisi pada perempuan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka yang relatif masih rendah.
Pada masa kecil perempuan dituntut untuk menahan amarah atau ketidaksepakatan demi menyenangkan orang tua. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk tidak mengemukakan pendapat sendiri, sementara itu yang di beri kebebasan adalah saudara laki-laki, maka pada umumnya perempuan tidak tahu bagaimana mengelola amarah yang sifatnya negatif, menjadi agresif positif, ketidakmampuan menahan diri ketika dilanda kesengsaraan, dan menyampaikan apa yang sesungguhnya mereka inginkan dalam pesan yang jelas terutama kepada orang tuanya, apa lagi terhadap masyarakat.
Akibat dari tidak adanya agresifitas yang di miliki perempuan berimplikasi kepada diri perempuan itu sendiri seperti:
a.   Perempuan kurang percaya diri (self confidence) karena kemampuan mereka memang masih terbatas.
b.   Perempuan kurang berusaha merebut peluang.
c.   Perempuan kurang mendapat dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat apabila bekerja di sektor publik.
d.   Perempuan masih terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik.
e.   Perempuan masih kurang memiliki kemampuan manawar (bargaining).
f.    Perempuan masih terkungkung dalam tradisi misogonis; dan
g.   Perempuan masih di hadang oleh pemahaman dan penafsiran agama yang didominasi niali-nilai partiarki dan bias gender.

Proses pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan nilai-nilai, budaya, ataupun pandangan seringkali tidak disadari telah mengembangkan budaya ketidakadilan gender. Dalam pendidikan formal di sekolah misalnya, para pendidik baik guru maupun orang tua menganggap bahwa mereka telah telah memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan secara sama dan adil. Padahal guru dan orang tua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memperhatikan, apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, kurikulum yang diterapkan, termasuk kegiatan kurikulernya benar-benar terbebas dari bias gender? Ketidaktahuan guru ataupun orang tua dapat dipahami mengingat konsep gender masuk ke Indonesia relatif masih baru. Ketidakpekaan guru, termasuk guru perempuan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender juga dapat dimengerti, karena selama ini tidak ada keberanian untuk mendobrak kemapanan yang ada (Arifin, et.al. 2007: 241).

Pendidikan selain berfungsi untuk mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, juga berfungsi untuk mengubah perilaku menuju ke arah yang lebih baik. Pendidikan Islam yang seringkali ditempatkan pada posisi tertuduh sebagai lembaga yang melestarikan ketidakadilan gender, berkepentingan untuk menampilkan kembali rumusan keadilan gender dalam ajaran Islam. Tafsir, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami (Tafsir, 2008: 148-150) mengemukakan rumusan tentang gender dalam ajaran Islam sebagai berikut: 

a.   Konsep berpasangan
Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan itu berpasangan sebagai mitra sejajar dan bukan berhadapan. Rumusan ini merupakan kunci dalam memahami konsep gender dalam Islam yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang penting. Rumusan inilah yang kemudian melahirkan rumusan lain terkait dengan masalah hak dan kewajiban, keadilan, dan lain-lain antara laki-laki dan permpuan dalam rangka saling melengkapi dan saling menguatkan.


b.      Konsep gender dapat berubah
Gender dalam Islam termasuk perkara muamalah. Dalam urusan muamalah apa saja dapat dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Perubahan situasi menyebabkan perubahan konsep. Situasi sekarang sangat mendukung bagi perempuan untuk melakukan apa saja sebagaimana halnya laki-laki. Gender Islam merumuskan bahwa perempuan muslim boleh melakukan pekerjaan apa saja, bahkan boleh melakukan apa saja selama tidak menghilangkan atribut kemuslimahannya serta mampu melakukannya. 

c.   Konsep keadilan
Keadilan merupakan salah satu prinsip dalam ajaran Islam. Diskriminasi terhadap perempuan bertentangan dengan prinsip tersebut. Karena perbedaan sifat biologis dan psikologisnya, maka pembagian kerja secara proporsional antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kemampuannya merupakan bagian dari implementasi prinsip keadilan. Kesetaraan gender bukan berarti penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal, karena memang secara kodrati ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan perempuan tetapi tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan sebaliknya. Membebani seseorang di luar batas kemampuannya adalah perbuatan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Allah SWT telah berfirman :
لا  يكلّف  الله  نفسا  الاّ  وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan yang sesuai dengan kekuatannya”  (QS. al-Baqarah 286).
Perlu disadari bahwa pembagian kerja secara proporsional tersebut sama sekali tidak terkait dengan tinggi rendahnya derajat laki-laki atau perempuan. Pada dasarnya Islam membenarkan laki-laki ataupun perempuan untuk melakukan pekerjaan apa saja selama yang bersangkutan sanggup melaksanakannya serta tidak melanggar aturan Allah SWT.

Konsep gender seperti tersebut di atas ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Konsep gender dari sumber lain dapat juga diajarkan di sekolah-sekolah. Biarlah peserta didik menentukan sendiri, konsep gender mana yang lebih layak untuk dianutnya. Mungkin saja konsep ini dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran agama, biologi, kesehatan, atau mata pelajaran yang lain.

E.  KESIMPULAN

1    Gender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Makna ini kemudian mengalami pergeseran menjadi sebuah istilah semenjak diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sesudah itu istilah gender terus berkembang, dan banyak ahli telah mendifinisikan istilah tersebut. Dari berbagai definisi gender yang telah dikemukakan para ahli dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
2.   Dalam pandangan Islam semua manusia memiliki derajat, kedudukan, dan kesempatan yang sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada kesenjangan gender, tidak ada pula pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Manusia mana saja, tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, yang paling bertakwa di antara mereka, itulah manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT. Perlu disadari bahwa kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Pembagian tugas secara proporsional dimaksudkan agar tidak ada pihak yang terzhalimi, atau agar tidak ada pihak yang harus memikul beban diluar kesanggupannya, karena yang demikian itu tidak adil serta tidak manusiawi dan bertentangan dengan ajaran Allah SWT.
3.   Pada tataran konsep tidak ditemukan ketidakadilan gender dalam pendidikan Islam. Bias gender yang terjadi  di dunia pendidikan Islam lebih disebabkan karena adanya pengaruh budaya patriarki feodalistik yang lebih mengedepankan peran laki-laki daripada perempuan.  Keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat pada masanya. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia pada posisi yang sejajar, tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Transformasi budaya yang bias gender itu terus berkembang melalui proses pendidikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender. Selayaknya dunia pendidikan Islam mulai memikirkan dan berusaha menampilkan sistem pendidikan yang berbasis kesetaraan gender berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.

                              و الله أعلم  بالصّواب












DAFTAR REFERENSI

Tobroni, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme. Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM).
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Putra.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1996. Gender dalam Persfektif Islam:Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ismail, Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bakti Aksara Persada.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 1992. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuryanto, Agus. 2001. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender. Jogjakarta: UII Press.
Neufelt,Victoria. 1984. Websters New World Dictionary. New York: Websters New World Clevenlan.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Santi, Budie. 2002. Perempuan dalam Kitab Fikih, dalam Jurnal Perempuan 23. Jakata Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.  cet. I. Bandung: Genesindo.  
Syah, Muhibin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tiemey, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encyclopedia, vol. I . New York: Green Wood Press.
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember
Umar, Nasaruddin. 1999.  Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, cet. I Jakarta: Paramadina.

Rabu, 13 Februari 2013

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH



PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
MUHAMMAD ABDUH
Oleh: Ribut Purwo Juono S.Ag., M.Pd.I


A.  PENDAHULUAN

            Sejarah telah mencatat puncak kejayaan peradaban Islam dicapai pada masa Daulah Abbasiyyah, namun sesudah itu, yakni setelah keruntuhan Daulah Abbasiyyah akibat serangan tentara Mongol ke Baghdad, secara perlahan peradaban Islam terus mengalami kemunduran. Puncaknya, menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar mengalami kemunduran dan kemerosotan secara universal. Bersamaan dengan itu, umat Islam di dunia mengalami nasib yang sangat buruk, sebagai bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat (Eropa). Negara-negara yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Islam, pada saat itu telah menjadi daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa.
            Kenyataan bahwa ummat Islam sebagai bangsa-bangsa yang tertindas semakin diperburuk oleh eksploitasi kekayaan Islam oleh bangsa-bangsa Eropa itu, sehingga umat Islam benar-benar terpuruk pada posisi yang sangat lemah dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan semacam inilah yang barangkali telah mendorong para politisi, pemimpin dan ilmuwan Islam pada masa itu, untuk mulai memperhatikan dan menyelidiki rahasia keunggulan bangsa-bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman para pelajar ke Eropa, penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan barat, dan usaha-usaha penerapan konsep-konsep pemikiran barat ke dalam dunia Islam.
            Usaha untuk membangun kembali peradaban Islam dengan mengadopsi pemikiran barat tanpa seleksi dan tanpa koreksi, ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan membuat ummat Islam semakin terpuruk dan terperosok di bawah kekuasaan bangsa-bangsa Barat itu. Selain itu tentu saja ada faktor-faktor internal yang mempengaruhi kemunduran ummat Islam. Para tokoh kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslimin. Pertama, erosi nilai-nilai Islam dan tidak pedulinya pemerintah untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerja sama lembaga ulama dengan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga, korupsi dan sikap zhalim kelas penguasa dan keluarganya. Keempat, kerja sama kelas penguasa dengan, dan ketergantungan pada, kekuatan-kekuatan imperialis yang tidak Islami (Rahnema, 1998: 11). Kesadaran terhadap kenyataan tersebut medorong para tokoh pembaharuan untuk mengobarkan semangat kaum muslimin, berjuang meraih kembali kejayaannya.
            Makalah ini akan mengemukakan salah satu figur dan tokoh pembaharu dari Mesir, yakni Al-Syaikh Muhammad Abduh. Selain riwayat hidup dan perjuangannya, akan dibahas tentang ide-ide pembaharuan dan pemikirannya dalam berbagai aspek kehidupan, dalam upayanya membangkitkan ghirah dan semangat kaum muslimin, untuk merintis kembali kejayaan dan membebaskan diri dari penindasan bangsa-bangsa Eropa.

B.  RIWAYAT HIDUP DAN PERJUANGAN MUHAMMAD ABDUH

            Dilahirkan di Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 36).
            Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
            Tak lama kemudian Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar (Fakhry, 1987: 462).
            Pada tahun 1866, Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang yang besar pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Fakhry, 1987: 462). Metode pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh (Nasution, 1996: 60-61).
            Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar dianggap dan disamakan dengan bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu  menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
            Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857 (Nasution, 1996: 61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras. Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar Al-Ulum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat brpengaruh dalam membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998: 38).
            Muhammad abduh turut serta memainkan peran dalam revolusi Urabi Pasya, yaitu gerakan yang bermula dari usaha perwira-perwira militer Mesir yang berhasil mendobrak kontrol perwira-perwira Turki dan Sarkas yang menguasai Mesir. Selanjutnya gerakan di bawah pimpinan Urabi Pasya ini dapat menguasai pemerintahan, namun kekuasaan golongan nasionalis ini dianggap berbahaya dan mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Akibatnya, untuk menjatuhkan Urabi Pasya, pada tahun 1882 Inggris membom Alexandaria dari laut. Dalam pertempuran ini kaum nasionalis dapat dikalahkan dan Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Inggris. Sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya, Muhammad Abduh ditangkap dan dipenjarakan. Pada akhir tahun 1882 ia dibuang ke Beirut kemudian ke Paris pada tahun 1884 (Nasution, 1996: 61-62).
            Di Paris Muhammad Abduh bertemu kembali dengan Al-Afghani, kemudian mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh walaupun usianya sangat pendek yaitu Al-‘Urwat Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat). Tujuan Organisasi ini adalah menyatukan ummat Islam dan sekaligus melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini juga menerbitkan koran yang diberi nama sama dengan organisasinya (Al-‘Urwat Al-Wutsqa) dan berhasil terbit sebanyak delapan edisi, didedikasikan untuk tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non Barat tentang bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan Mesir dari pendudukan Inggris. Yang menjadi fokusnya adalah kaum muslimin, karena faktanya  mayoritas bangsa yang dikhianati dan dihinakan, serta sumber dayanya dijarah oleh pihak asing, adalah ummat Islam (Rahnema, 1998: 38-39). Organisasi ini akhirnya bubar dan pada tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut melalui Tunisia. Di Beirut ia kembali mengajar (menjadi guru). Pada tahun 1888, atas usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang Inggris, ia dibolehkan kembali pulang ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya terhadap Mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun 1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, ia membawa perubhan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Pada tahun 1889 ia diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini didudukinya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1905 (Nasution, 1996: 62).


C.  IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

1.   Analisis Sebab-sebab Kemunduran Ummat Islam
            Muhammad Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.
            Menurut Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang  keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema, 1998: 41-42).

            Sementara itu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada qadha’ dan qadar. Dengan demikian  akal akan membeku dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah. Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah  itulah yang membuat ummat Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
            Permusuhan di antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan antara ilmu dan agama yang telah dielesaikan Al-Qur’an muncul kembali untuk kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus kemajuan serta kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkitan ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).

2.   Aqidah dan Ibadah
            Dalam kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti ada (wajib) padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga membahas tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat yang pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan kepada mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil) pada mereka. Asal arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Ilmu ini dinamakan Tauhid karena ia merupakan bagian terpenting daripadanya, yaitu pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya tempat kembali semua yang ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah tujuan paling agung dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
            Kadang-kadang ilmu tauhid dinamakan  ilmu kalam karena persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah yang dibacakan (Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim). Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul) kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’), sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian manthiq diganti dengan kalam untuk membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh, 1996: 3-4;  Madjid, 1994: 365-366).
            Kuliah-kuliahnya Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar bagi karyanya yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhid yang menggambarkan suatu mata rantai panjang risalah-risalah skolastik yang telah diprakarsai oleh doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah ini dimulai dengan uraian tentang definisi teologi atau ilmu tauhid, seperti studi tentang eksistensi Tuhan, keesaanNya, sifat-sifatNya, dan sifat wahyu kenabian. Menurut pengamatannya, sebelum Islam teologi belum dikenal, tetapi metode demonstrasi yang digunakan oleh para teolog pra-Islam cenderung menjadi suatu jenis adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat (keajaiban-keajaiban), pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an menentang semua itu. Ia menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat ditiru, pengetahuan apa yang telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi tidak menentukan penerimaannya semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan mengajarkan pembuktian dan demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang yang tidak beriman, dan membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia menyatakan bahwa akal sebagai penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan perintah-perintah moralnya atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal dan agama dibariskan sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam menyadari bahwa akal sangat diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan yang demikian, seperti eksistensi Tuhan, kerasulan nabi-nabiNya, dan juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok wahyu dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun beberapa artikel ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak bertentangan dengannya.
            Intisari ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang tegas, yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan. Dia juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara tidak kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam dua karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa Al-Nashraniyyah ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba menyelaraskan akal dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika terjadi perselisihan antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan rasio atau akal, atau mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan manusia untuk mengetahui maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
            Ada tiga hal yang mendasari pemikiran teologi Muhammad Abduh yaitu; kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat kepada sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam mempergunakan kebebasan. Dengan ketiga dasar pemikiran tersebut, beberapa penulis menilai Muhammad Abduh cenderung kepada pemikiran Muktazilah. Akan tetapi sesuai dengan pernyataannya, dia mengaku sebagai pengikut metode salaf yang tidak menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya, dan Alam gaib. Namun dalam kenyataannya Muhammad Abduh mentakwilkan ayat-ayat yang demikian, di antara ayat-ayat yang ditakwilkannya misalnya, surat Al-Lail ayat 20; 4n?ôãF{$#  mÎn/u ž u Ïmô`ur ä!$tóÏGö/$# wÎ)  kata  mô`ur  ( wajh) pada ayat tersebut ditafsirkan kepada arti ridha, sesuai dengan arti yang biasanya dipakai oleh orang-orang Arab dalam ungkapan-ungkapan yang memakai kata tersebut, surat Al-Baqarah ayat 255;   uÚöF{$#ur   ÏNºuq»yJ¡¡9$#  çmÅöä. 4yìÅur  kata  mÅöä.  (kursiyyuhu)  ditakwilkan dengan pengetahuanNya (al-‘ilmi Allahi)  dan surat Al-Takwir ayat 20;   ûüÅ3tB ¸öyèø9$# ÏŒ ZÏã  >o§qè% ÏŒ   kata   ¸öyèø9$#  (al-‘arsy) ditakwilkan dengan arti kerajaan, kekuasaan atau kemuliaan. Sulaiman Dunya lebih melihat sosok Muhammad Abduh sebagai seorang yang berada di antara dua jalur pemikiran, yaitu pemikiran mutakallim dan filosof , bahkan dalam menerapkan fungsi akal ia menilai Muhammad Abduh lebih Muktazilah dari Muktazilah sendiri (Lubis, 1993: 135-137).
            Lapangan pengabdian manusia sesuai dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadat dan mu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci, karena itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:

“Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).


            Untuk menyesuaikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum sesuai dengan perkembangan zaman diperlukan interpretasi baru.  Pintu ijtihad harus dibuka, ijtihad dalam hal ini bukan hanya boleh dilakukan, bahkan penting dan perlu dilakukan. Namun demikian tidak berarti semua orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Yang tidak memenuhi syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat mujtahid yang disetujui fahamnya. Lapangan ijtihad sesungguhnya hanyalah soal-soal muamalat. Adapun soal ibadat, karena ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, maka tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadat bukanlah lapangan ijtihad untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Taklid kepada ulama tidak perlu dipertahankan karena hal ini menjadikan ummat islam tidak dapat maju, bahkan mengalami kemunduran (Nasution, 1996: 64). Dalam hal ini Muhammad Abduh mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sosial. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka untuk meninggalkan ajaran agamanya. Muhammad Abduh berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni menurut pandangannya dan menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini (Shihab, 2006: 23-24).


3.   Tafsir Al-Qur’an.
            Kitab suci Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang ada. Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi (tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang paling besar dan dalil atau bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan manusia. Ia adalah cahaya (nur) yang memancar dari matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi (Abduh, 1996: 123).
              Muhammad Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia  maupun  di  akhirat. Dia mengkritisi upaya-upaya penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an, kata-katanya yang asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan yang semacam itu dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh kepentingan ummat (Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang berbeda, yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh menggarisbawahi bahwa dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan generasi, karena itu menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun yang bodoh untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurutnya, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, namun kita harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena itu, manusia membutuhkan bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
            Muhammad Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a.   Memandang setiap surat sabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b.   Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c.   Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
d.   Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
      Karya-karya Muhammad Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54, Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’ ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu Muhammad Rasyid Ridha. Atas  desakan muridnya itu ia memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai tahun 1899 dan selalu dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang guru dicatat oleh muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang teratur. Apa yang telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa. Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian disiarkan dalam majalah Al-Manar. Dengan demikian maka timbullah Tafsir Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal tahun 1905. Setelah sang guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan sang guru (Nasution, 1996: 71).


4.   Politik
            Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan semangat  ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).  

 

 
            Muhammad Abduh memandang kemunduran bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah otoriter yang yang ditimbulkan oleh kebodohan faqih (ahli hukum Islam) dan kebodohan penguasa. Faqih dianggap bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara itu, penguasa bukan saja bodoh dalam hal memerintah dan menegakkan keadilan, bahkan mereka merusak faqih dan memanfaatkan faqih untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara memaksa faqih mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kebijakan pemerintah. Dalam keadaan demikian, hal yang terpenting bagi ummat adalah persatuan politik dan keadilan. Persatuan politik dan keadilan ini belum ada karena ketidakpedulian pemimpin. Segenap keburukan yang menimpa kaum muslimin adalah akibat dari kebodohan dan perpecahan pemimpin muslim yang menyandang gelar tinggi seperti pangeran dan sultan, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintah asing yang bukan muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi, tidak menegakkan keadilan, tidak merujuk kepada kitab yang tepat atau tidak mengikuti sunnah, dan pemimpin seperti ini menjadi penyebab kerusakan akhlak ummat (Rahnema,1998:60-61).
             Menurut Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini b

 

 
erbeda dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan.
            Penguasa berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing. Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum, janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62). 

 
 
5.   Pendidikan
            Ide-ide pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain (Lubis, 1993: 152-153). Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah  misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain (Lubis, 1993: 153-154).
            Dualisme pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
            Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan (Lubis, 1993: 156).
            Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya hanya akan merusak daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).

6.   Peranan Wanita  
            Untuk kepentingan pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at direvisi agar lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang berkenaan dengan peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam terdapat ajaran tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama. Antara pria dan wanita terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya, memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya kewajiban dan tanggung jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk menuntut ilmu (Rahnema, 1998: 63-64). Terkait dengan masalah pendidikan, sebagaimana kesejajaran wanita dan pria dalam hal keampunan dan pahala dari Allah atas perbuatan yang sama, maka wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, seperti hak yang didapatkan lelaki. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, dan yang demikian ini hanya mungkin dengan memberikan mereka pendidikan (Lubis, 1993: 160).
            Mengenai pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita, seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya. Muhammad Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad Abduh juga termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami yang ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil, namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at  membolehkan beristeri empat, jika memang mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis akhirnya, mustahil manusia bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristeri lebih dari satu. Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan cerai harus dilepaskan dari otoritas suami, dan menempatkannya di bawah yurisdiksi dan kepakaran qadhi. Dia bahkan merumuskan hukum yang memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai karena kondisi tertentu, seperti suami tak bertanggung jawab terhadap isteri, perlakuan kasar atau kata-kata yang tak pantas, atau jika terus menerus bertikai yang tidak mungkin ada penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).

7.   Telaah Kritis Tentang Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad Abduh
            Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;
a.   Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
b.   Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
c.   Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami terkesan  berlebihan. Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak  mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan manusia.
d.   Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap ijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
e.   Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435).  Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.  

D.  KESIMPULAN.  
            Muhammad Abduh kecil tumbuh sebagai anak yang cerdas tetapi terkesan agak malas belajar. Hal ini karena rasa tidak puasnya terhadap metode pembelajaran pada masa itu, yang pada umumnya hanya mengutamakan hapalan tanpa memperhatikan aspek pemahaman. Pertemuannya dengan Syaikh Darwisy dan Jamal Al-Din Al-Afghani  dapat membangkitkannya kembali semangatnya untuk belajar. Setelah menamatkan pendidikannya di Al-Azhar pada tahun 1877, ia segera mengawali karirnya sebagai guru di almamaternya dan di Dar Al-‘Ulum, lembaga pendidikan yang baru didirikan pada waktu itu. Karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras oleh pemerintah Mesir, pada tahun 1879 ia diberhentikan dari jabatan guru. Namun pada tahun 1880 segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat sebagai editor kepala pada surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah.
            Keterlibatannya dalam politik praktis (pemberontakan ‘urabi Pasya) menyebabkan ia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Dalam pengasingan semangat jihadnya semakin membara, kegiatan politik dan dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada rakyat Mesir, bahkan kepada penganut Islam di seluruh dunia. Di Paris, bersama Al-Afghani ia menerbitkan majalah Al-‘Urwat Al-Wustsqa. Ide dan semangat gerakannya adalah, membangkitkan semangat ummat Islam di seluruh dunia untuk melawan kekuasaan Barat. Ketika Majalah ini berikut organisasinya bubar, ia segera kembali ke Bairut. Di sana ia menghentikan segala kegiatan politiknya dan memusatkan perhatian dalam kegiatan mengajar. Setelah selesai masa pembuangannya pada tahun 1888 ia segera kembali ke Kairo (Mesir), dan di sini semangat jihadnya diwujudkan dengan memanfaatkan jabatan-jabatan yang diterimanya untuk melakukan upaya-upaya pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jabatan terakhir yang diterimaya adalah sebagai Mufti Agung di Mesir,dan dia menduduki jabatan ini higga akhir hayatnya pada tahun 1905.
            Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh pada dasarnya dilatarbelakangi oleh semangat memerangi paham jumud yang mewabah dalam lingkngan kehidupan ummat Islam pada waktu itu, dan semangat untuk melawan hegemoni Barat yang dianggapnya mengancam eksistensi Islam di seluruh dunia. Menurutnya kedua hal itulah yang menjadi penyebab kemunduran ummat Islam, dan jalan bagi kebangkitan Islam adalah melawan kejumudan, meninggalkan taklid yang membabi buta, dan melawan kekuasaan Barat dengan mendasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya. Rasionalitas (penonjolan akal), menjadi ciri utama dalam karya-karyanya, baik dalam penafsiran Al-Qur’an maupun ijtihad-nya dalam berbagai lapangan kehidupan. Dia berpendapat bahwa ajaran agama (Islam) hanya dapat dipahami melalui pembuktian akal (logika), dan kalaupun ada yang sulit dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal.   


DAFTAR REFERENSI

Abduh, Muhammad. 1996. Risalat Al-Tauhid. Diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Black, Anthony. 2006. The History of Islamic Political Though from The Prophet to The Present. Diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati dengan judul Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Fakhry, Majid. 1987. History of Islamic Philosophy. Diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara dengan judul Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1994.  Kazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Rahnema, Ali. 1998. Pioneer of Islamic Revival. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2006. Rasionalitas Al-Quran, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar. Tangerang: Lentera Hati.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).