Jumat, 31 Mei 2013

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA: STUDI AWAL



A.    PENDAHULUAN
Perjalanan Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia seiring dengan masuknya Islam ke bumi Nusantara yang ditransmisikan melalui jaringan ulama’ Timur Tengah dan Nusantara pada abad ke-17 yang tercipta secara ekstensif melalui tradisi keilmuan.[1] Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan pendidikan seperti madrasah, ribath bahkan rumah guru. Dilandasi hal ini, maka  lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada masa awal mensinergikan antara corak indigenous keindonesiaan (dengan tradisi Hindu dan Budha) dengan nuansa Timur Tengah, seperti berdirinya surau, langgar, musholla, masjid dan pesantren[2] yang kemudian mengalami modernisasi seperti madrasah dan perguruan Tinggi. Meskipun sebagaian ahli dan sejarawan Islam berasumsi bahwa  masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi[3]  dan dapat tersebar serta berkembang pada abad ke-15 yang kemudian secara resmi dianut oleh mayoritas rakyat dan penguasa pada abad ke-16, bukan berarti lembaga pendidikan Islam sudah tersistem pada masa-masa itu. Masih menguatnya sistem ajaran Hindu dan Budha yang menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan pendidikan agama Islam, menjadikan lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa awal masih banyak mengadopsi sistem Hindu. Surau dan Pondok Pesantren awalnya meupakan tempat belajar dengan sistem Hindu, namun dalam perkembangan selanjutnya diislamisasi sesuia dengan lembaga pendidikan Islam.  Hingga akhirnya pada awal abad 19 oleh para sejarawan barulah  disiyalir sebagai awal perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Abad ini dianggap demikian sebab saat itu merupakan babak baru kondisi pendidikan Islam di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangannya begitu pesat, serta pengelolaan juga terorganisir secara rapi. Kondisi ini disebabkan masuknya pemikiran pembaruan dari Timur Tengah  serta sudah adanya kompetisi dengan pendidikan modern oleh pemerintah Belanda.[4]
Kedatangan Islam di Nusantara memang hampir bersamaan dengan, atau segera disusul oleh kedatangan kaum kolonialis Eropa.[5] Penjajahan Belanda yang berlangsung kurang lebih tiga setengah abad tersebut, kemudian menghalangi gerak dakwah para ulama’ dan kyai yang datang dari Timur Tengah. Sebagai contoh dari bentuk penghalangan Belanda terhadap gerak dakwah para ulama’ dan kyai Timur Tengah tersebut adalah adanya perlakuan diskriminatif  yang diwujudkan dalam bentuk Kebijakan dengan  mewajibkan para kyai dan ulama  yang akan melakukan  pengajaran atau pengajian agar izin dahulu terhadap Belanda, padahal tidak semua ulama atau kiyai juga diberi izin untuk mengajar. Tindakan diskriminatif lainnya juga bahwa kolonial Belanda mempersulit perjalanan ke luar negeri untuk melakukan ibadah haji. Perizinan untuk melakukan perjalanan dari satu provinsi ke provinsi lain untuk pelaksanaan penyebaran agama Islam juga sangat dibatasi. Atas keadaan inilah, maka keadaan pendidikan Islam di Indonesia sangat terhambat dengan kualitas sangat memprihatinkan. Transmisi keilmuan dan interaksi intelektualitas dengan negeri-negeri Muslim juga terhenti, sampai ketika Belanda berusaha membuat lembaga pendidikan yang bercorak Barat, umat Islam tidak mau ketinggalan dengan memperkuat lagi peran pesantren yang lebih berupa padepokan dengan penekanan aktifitas pada kegiatan tarekat. [6]  
Dalam sistem stratifikasi sosial kolonial yang paling tidak diuntungkan dalam sistem pendidikan colonial adalah mereka yang diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebagai golongan santri. Di bawah pimpinan para ulama’, golongan santri  yang juga disebut sebagai kelompok sosial yang paling banyak melahirkan wirausahawan pribumi itu merupakan golongan yang dalam hal pendidikan modern termasuk paling rendah.[7] Ketika pemerintah Belanda ingin menyertakan rakyat Hindia Belanda dalam peradaban modern dengan mengenalkan pendidikan modern (Belanda, Barat, Sekuler), para ulama’ mengimbanginya dengan mengembangkan dan mendirikan lebih banyak pesantren-pesantren. [8]  
B.     Lembaga Pendidikan Islam Tradisional: Dari Nggon Ngaji sampai Pesantren
Pada awal abad ke-19, sistem pendidikan di Indonesia masih bersifat tradisional dan hanya dikenal satu jenis pendidikan yang disebut dengan “lembaga pengajaran asli” atau sekolah agama Islam yang berbentuk masjid, langgar, surau dan pesantren. Pendidikan dasar disebut nggon ngaji, sementara pendidikan lanjutannya adalah pondok pesantren yang keduanya tidak terdapat keterkaitan secara formal.[9] Sistem pendidikan ini menitikberatkan pada pembelajaran baca al-Qur’an, pelaksanaan sholat dan pengetahuan-pengetahuan yang terkait degan pokok-pokok ajaran agama. Nggon Ngaji ini tidak terlembaga secara baik. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Indonesia merdeka dan disusul dengan berdirinya Depaetemen Agama, lembaga-lembaga non formal tersebut mulai disempurnakan kurikulumnya, sistem pendidikan sehingga memunculkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah diniyah.[10]    
Selain nggon ngaji yang mayoritas terdapat di Jawa, di Sumatra juga dikenal lembaga pendidikan Islam yang disebut Surau. Sebelum datangnya Islam, di Minangkabau telah ada surau yang fungsinya bukan seperti sekarang yang telah mengalami Islamisasi, melainkan  sebagai tempat menyembah arwah nenek moyang. Menurut para ahli sejarah, Surau yang ada di Sumatra Barat ini pertama kali berdiri pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan bukit Gombak.Kerajaan Adityawarman adalah kerajaan yang memiliki latar belakang Hindu-Budha.[11] Hal ini menjadi jelas bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam pada awalnya adalah sebuah lembaga dengan tradisi non Islam yang dalam perkembangannya mengalami Islamisasi karena dirasa ada kemiripan dalam proses pembelajaran.
Bukan hanya Surau, Istilah Pesantren yang dalam perkembangan merupakan lembaga pendidikan Islam, adalah diambil dari kata santri, dengan imbuhan pe+an yang berarti tempat tinggal santri. Oleh C.C Berg, kata santri ini  dianggap kata turunan dari istilah shastri bahasa India yang berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu. Bahkan menurut de Graff dan Pigeaud, pesantrem merupakan kelanjutan dari lembaga sejenis zaman pra-Islam di Indonesia yang disebut dengan mandala dan ashrama. Kedua lembaga ini adalah sebagai tempat pertapaan-pertapaan yang meskipun secara kelembagaan telah mengalami transformasi ke dalam bentuk pesantren, namun raktek-praktek pertapaan pra-Islam ini masih tetap dipertahankan.[12]
Proses belajar mengajar yang diajarkan di surau adalah pengajan al-Qur’an, ibadah, keimanan dan akhlaq. Pengajaran al-Qur’an diajarkan secara tradisional melaui metode bagdadiah  yaitu dengan mengurutkan huruf-hijaiyah. Ibadah diajarkan secara praktis. Materi tentang Iman diajarkan melalui nyanyian, sementara akhlaq diajarkan melalui cerita. 
Pada abad ke-20, Sistem pendidikan Surau mengalami degradasi dan kemudian berkembang menjadi pesantren. Pendidikan Pesantren adalah salah satu tradisi luhur dalam pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang oleh para sejarawan terdapat perbedaan pendapat mengenai asal-usul pesantren. Sebagian beranggapan bahwa pesantren adalah tradisi pendidikan pra-Islam, sedang yang lain berpandangan bahwa pesantren adalah murni tradisi Islam.
Pola pendidikan di pesantren adalah pola yang sangat unik. Terdapat relasi yang harmonis antara santri dan kyai dengan masjid sebagai pusat aktifitas. Keunikan yang lain adalah sistem pembelajaran dengan menggnakan metode sorogan dan weton. Yang pertama adalah santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakan kalimat demi kalimat, menerjemahkan dan menjelaskan maksudnya kemudian santri menyimak. Adapun metode yang kedua adalah metode kuliah, yang mana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di skeliling kyai.   
Sekalipun sebagai tradisi yang berakar lama dalam budaya Islam Indonesia, pesantren telah ada sejak beberapa abad sebelumnya dan dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi mapan serupa di negeri-negeri Islam dari kalangan kaum Sufi seperti tradisi zawiyah dan ribath di India dan Timur Tengah, namun suatu kenyataan yag sangat menarik ialah bahwa sistem pendidikan tradisional Islam itu berkembang pesat pada peralihan abad yang lalu. Pesantren-pesantren besar di kompleks Jombang-Kediri seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Denayar, Jampes, Lirboyo dll yang kelak pengaruhnya begitu besar pada kehidupan nasional, antara lain melalui organisasi Nahdatul Ulama tumbuh dan berkembang kurang lebih sebagai saingan sekolah-sekolah formal colonial. [13] 

C.     Lembaga Pendidikan Islam Formal: Madrasah dan Perguruan Tinggi
Madrasah yang berkembang di Indonesia  berbeda dengan perkembangan madrasah yang ada di Timur Tengah. Madrasah di Indonesia merupakan perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari pesantren dan surau[14], sementara madrasah yang ada di timur tengah pada abad pertengahan serupa dengan lembaga pesantren yang ada di Indonesia. Di samping terdapat unsur-unsur seperti pesantren yaitu masjid, asrama dan ruang belajar, madrasah di Timur Tengah memiliki syaikh atau professor  sebagai  pemegang otoritas[15]. Dalam konteks Indonesia, ini seperti keberadaan seorang kyai di pesantren.  Meskipun sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia dipandang memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dari madrasah yang ada di Timur Tengah, namun keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembaruan pendidikan Islam di Timur Tengah.
Perkembangan Madrasah pada abad Modern ini terjadi pada kurun awal abad ke-20 di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran non keagamaan. Latar belakang pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan pembaruan di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa Ulama yang telah berjasa menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia, antara lain adalah Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah di Padang pada tahun 1909, disusul pada tahun Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Batusangkar, yang sempat tutup dan dibuka kembali pada tahun 1918 oleh Mahmud Yunus. Tahun 1923 madrasah ini berganti nama Diniyah School. Pada tahun yang sama, Madrasah Diniyah Putri didirikan oleh Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah  yang sebelumnya, pada tahun 1915 Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah.[16] Madrasah Diniyah ini kemudian berkembang di Indonesia, baik merupakan bagian pesantren, surau atau yang lain, seperti beberapa organisasi Islam kemasyarakatan yang banyak mengelola madrasah. Di antara organisasi-organisasi tersebut adalah Muhammadiyah, al-Irsyad, Perhimpunan Umat Islam (PUI), persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), al-Jami’atul Washliyah, al-ittihadiyah, Nahdatul Ulama’ dan Persatuan Islam. [17]
Sejak lahirnya, madrasah memiliki sistem tersendiri yang menjadi ciri khas dan membedakannya dengan pesantren dan sekolah umum, yaitu adanya pemaduan pelajaran umum dan agama, meskipun pemaduan kurilkulum tidaklah sama antara satu madrasah dengan madrasah lain. secara historis, dapat dilihat bahwa madrasah telah mengelami perubahan-perubahan. Pada tahap awal madrasah semata mengajarkan maata pelajaran agama, namun pada akhirnya, sesuai dengan tuntutan zaman,  madrasah memasukkan mata pelajaran umum yang semula hanya sebagai pelengkap, Namun setelah keluarnya SKB tiga menteri pada tahun 1975 yaitu SK berdasarkan kesepakatan yaitu Departemen dalam Negeri, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang menjembatani adanya dikotomi ilmu-ilmu umum dan agama. Dengan SKB ini tidak ada lagi perbedaan mendasar antara lulusan madrasah dan sekolahn umum. Baik dalam kesempatan melanjutkan studi maupun kesempatan memperoleh peluang kerja. Dengan adanya SKB tiga mentri ini madrasah memasuki era baru, yang mana mata pelajaran umum dominan 70% namun, bukan berarti menafikan kedudukan mata pelajaran agama.Mengkaji sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam dapat dilacak keberadaannya sejak didirikannya Sekolah Tinggi Islam oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang pada tanggal 9 Desember 1940 dengan pimpinan Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi Islam ini semula membuka fakultas Tarbiyah dan Syari’ah. Pada tahun 1941, STI ini sempat tutup dengan terjdainya peristiwa Perang Dunia II.
Pada tahun 1945, gagasan mendiirikan STI kembali digulirkan sebagai kebijakan politik masyumi. Disamping berdirinya barisan Mujahidin yag bernama Hizbullah. Dalam rangka mendirikan lembaga ini dibentuklah kepanitian yang diketua oleh Drs. Mohammad Hatta. Kepanitiaan ini berhasil mendirikan STI pada 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 dengan pimpinan Prof. Abdul Kahar Mudzakkir.  Tidak jauh dengan konsentrasi yang diterapkan pada awal berdirinya STI tahun 1940, pada pendirian selanjutnya ini STI juga mngknsentrasikan materi pembelajaran pada ilmu agama dan kemasyarakatan.
Dalam perkembangannya, STI dilakukan perbaikan dan pengembangan dengan membuka fakultas non agama yaitu Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dengan dibukanya fakultas baru pada STI ini, menjadikan STI juga berubah nama drai STI menjadi UII yang menjadikan tujuan lembaga juga bergeser dari lembaga pendidikan bagi calon ulama menjadi lebih umum dan bersifat sekuler.
D.    Peranan Ormas dalam pembentukan Lembaga Pendidikan: Kasus Muhammadiyah
Muhammadiyah oleh Ricklefs dikategorikan  sebagai Organisasi Islam modernis yang paling penting di Indonesia. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan (1868-1923),yakni salah satu kaum elit agama ksultanan Yogyakarta  di Yogyakarta pada tahun 1912. Semula Kyai Dahlan masuk organisasi Budi Utomo dengan harapan dapat berbicara mengenai pembharuan dikalanagn para anggotanya, maun para pendukungnya justru mendesak agar Kyai Dahlan mendirikan organisasi sendiri. Maka pada tahun 1912 resmilah Muhammdiyah berdiri di Yogyakarta. Organisasi ini mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan serta program dakwah guna melawan Kristen dan tahayyul local. Konsentrasi pada dunia pendidikan ini tercermin pada tahun 1925, dua tahun sesduah wafatnya Dahlan, bahwa ketika itu Muhammadiyah hanya beraggotakan 4000 orang, naun telah berhasil mendirikan 55 sekolah dengan 4000 murid, dua balai pengobatan yakni di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan serta sebuah rumah miskin. [18]
Dengan pandangan yang sama, para pemerhati gerakan Islam juga mengkategorikan sebagai gerakan keagamaan bercorak modern yang mapan dan lebih banyak bergerak pada wilayah aksi dari pada pemikiran. Mapannya organisasi ini adalah disebabkan oleh pengorganisasian yang sistematis dan efektif. Adapun aktifitas Muhammadiyah yang lebih banyak bergerak di bidang aksi tercermin dari banyaknya amal usaha  yang  dimiliki yang secara garis besar dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu agama, sosial serta pendidikan yang dikelola secara modern, setidaknya dalam ukuran masanya. [19]
Demikian ungkapan yang ditulis oleh Lapidus mengenai gambaran Muhammadiyah:
Muhammadiya, primarly concerd with educational and missionary activities, was willing to cooperate with government, and its members were forced by a party decision in 1929 to choose between the two movements. In the 1930s, the Muslim movement remained divided among activist, reformist and conservative religious wings, but the apolitical reformist Muslim position remained the most important. [20]

Another factor in Islamic strength was the continuing vitality of the reformist and modernist movements. Muhammadiya rmained important in providing a personal ideal of rational, efficient, and puritanical behavior, a concept of community and a model of ongoing Islamic society. Muhammadiya claimed an active membership numbering millions.[21]


Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah berbeda dengan mainstream pendidikan yang berkembang saat itu; yakni sistem pendidikan pesantren dan sekolah colonial yang antara satu dan lainnya secara dikotomis. Mengkompromikan dua sistem pendidikan inilah yang menjadi pilihan Ahmad Dahlan . Yaitu dengan membuang jauh nilai sistem pendidikan colonial  yang dianggap sekuler, tidak sejalan dengan ajaran Islam dan memadukan yang terbaik dengan sistem pendidikan santri . Dengan pandangan progresif Ahmad Dahlan inilah lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi lembaga alternative di zamannya, karena menawarkan pmbaharuan dalam pendidikan. Di antaranya adalah; pertama, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah didirikan dengan mekanisme bottom up dan tidak birokratis. Kedua, sistem pendidikan Muhammadiyah dilandasi motivasi teologis bahwa manusia akan mencapai derajat keimanan dan ketakwaan yang sempurna jika memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Sehingga tida ada dikotomisasi ilmu colonial Belanda yang sekuler dengan pesantren yang sangat normative dan anti Barat.  Pandangan ini yang membedakan output pendidikan Muhammadiyah dengan output pendidikan konvensional Barat dan Pendidikan tradisional pribumi saat itu. Ketiga, Pendidikan Muhammadiyah diorientasikan untuk mempersiapkan lulusannya untuk memasuki Indonesia baru yang modern dan keempat, para pendidik di lingkugan lembaga Muhammadiyah sadar akan perjuangan yang memerlukan pengorbanan pikiran, tenaga maupun harta.  
E.KESIMPULAN
Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia sebenarnya sudah dapat dilacak sejak masuknya Islam ke bumi Nusantara, meskipun belum terlembaga secara sistematis. Lembaga Pendidikan Islam bermula dari nggon ngaji, surau, langgar, musholla dan masjid sebagai lembaga tradisional. Dalam perkembangannya sistem pendidikan Islam terlembagakan dengan baik melalui madrasah yang dilembagakan secara formal dengan urikulum terstruktur.








DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan, 1998.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Huda, Nor Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi Malang: UMM Press, 2006

Lapidus,  Ira M. A History of Islamic Societies United Kingdom:Cambridge University ress, 2002.

Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan Jakarta:paramadina, 2000.


Rahardjo,  M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah Jakarta: P3M, 1985..

Ricklelfs,  M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj. Satrio Wahono, dkk Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Sumardi, Mulyanto Bunga Rampai Pemikiran tentang Madrasah dan Pesantren Jakarta: Pustaka biru,


[1] Selama ini terdapat anggapan bahwa hubungan antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan. Azyumardi menampik anggapan ini dan membuktikan bahwa sejak abad ke-17  hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski tidak dapat dinafikan adanya hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya dengan Dinasti Utsmani. Setidaknya dengan melihat banyaknya pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu di Haromain yang kemudian mentransmisika keilmuannya ke bumi Nusantara.  Untuk lebih lengkap mengenai hal ini, baca lebih lanjut, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998).
[2] Nurcholish Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985, h. 3. Lihat juga, Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 378
[3]Terdapat pandangan yang berbeda di kalanganpara ahli mengenai kedatanganIslam di Nusantara. Perbedaan pandangan itu setidaknya dipengaruhi oleh sudut pandang terhadap tempat asal kedatangan yakni negara yang menjadi perantara, Para pembawa atau pelaku penyebar dan waktu kedatangan. Perbedaan ini pula yang kemudian menghasilkan tiga teori  masuknya Islam ke Nusantara, yakni Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Lebih lanjut mengenai ketiga teor ini, lihat, Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (Malang: UMM Press, 2006), h. 34-44. Bandingkan pula, Azra, Jaringan Ulama, h. 23-55.
[4] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 152.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:paramadina, 2000), h. xii.
[6] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam, h. 73.
[7] Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , h. xii.
[8] Ibid
[9] Nor Huda, Islam Nusantara, h.370.
[10] Ibid, h. 375.
[11] Khozin, Jejak-jejak, h. 77.
[12] Nor Huda,  Islam Nusantara, h. 378.
[13] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:paramadina, 2000), h. xii.
[14] Ibid, hlm. 80
[15] Nor Huda, Islam Nusantara, hlm. 391.
[16] Mulyanto Sumardi, Bunga Rampai Pemikiran tentang Madrasah dan Pesantren (Jakarta: Pustaka biru, 1980), hlm. 49.
[17] Penjelasan lebih rinci mengenai lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh masing-masing organisasi Islam tersebut, baca lebih lanjut, Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan, hlm. 96-99
[18] M.C. Ricklelfs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj. Satrio Wahono, dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007),h. 356.
[19] Khozin, Menggugat Pendidikan Muhammadiyah (Malang, UM M Press, 2005), h. 1-29.
[20] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (United Kingdom:Cambridge University ress, 2002), h. 666.
[21] Ibid. 672

Kamis, 30 Mei 2013

HAKIKAT BELAJAR



A.  PENDAHULUAN
Salah satu kemampuan yang mesti dimiliki oleh para guru atau pendidik agar mampu melaksanakan tugas profesionalnya adalah memahami bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran. Dengan demikian para guru atau pendidik akan mampu mengembangkan dan membentuk watak peserta didik, serta memahami bagaimana para peserta didik tersebut melakukan aktivitas belajar. Untuk dapat memahami proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik, guru perlu manguasai hakikat dan konsep belajar. Dengan menguasai hakikat dan konsep belajar diharapkan guru mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran, karena fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya belajar pada diri peserta didik.
Belajar pada hakikatnya merupakan proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Disadari atau tidak, belajar merupakan proses yang dijalani oleh setiap manusia, sejak lahir hingga akhir hayat. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai keuntungan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi individu, kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Materi atau bahan ajar yang secara khusus membahas Hakikat Belajar ini merupakan bagian dari mata kuliah Teori Belajar. Secara konseptual, materi atau bahan ajar ini dirancang untuk memfasilitasi mahasiswa fakultas keguruan agar mampu menganalisis karakteristik konseptual belajar  yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman mereka tentang bagaimana proses belajar itu terjadi hingga nantinya berimplikasi terhadap kebijakan pendidikan yang terkait dengan proses pembelajaran. Secara umum, setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat dan mampu menganalisis karakteristik konseptual belajar secara komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan diungkap dalam pembahasan tentang hakikat belajar ini adalah: 
1.      Apakah belajar itu?
2.      Bagaimana ciri-ciri belajar? 
3.      Apa saja jenis-jenis belajar itu?  



B.  PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN JENIS-JENIS BELAJAR.
1.   Pengertian Belajar
Kalau kita bertanya kepada orang tentang apa yang dimaksud dengan belajar, maka akan kita peroleh jawaban yang bermacam-macam. Perbedaan pendapat mengenai arti belajar tersebut disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat pengertian belajar itu sendiri. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan dan menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian akan segera puas dan bangga jika ketika melihat anak-anaknya mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang didapatkannya dari teks atau yang diajarkan oleh guru.
Ada pula yang beranggapan bahwa belajar itu sama dengan latihan. Anggapan semacam ini akan menyebabkan orang merasa puas bila melihat anak-anaknya telah mampu memperlihatkan keterampilan tertentu seperti, membaca, menulis, atau menunjukkan gerakan-gerakan tertentu walaupun tanpa mengetahui arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Untuk menyempurnakan pemahaman mengenai arti belajar, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi belajar dari para ahli dengan sedikit komentar dan interpretasi.
Muhibin Syah (2009: 64-65) dalam bukunya Psikologi Belajar mengemukakan definisi belajar menurut pendapat beberapa ahli antara lain sebagai berikut :
1)   Pendapat Skinner yang dikutif oleh Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psyccology menyatakan: The teaching leaching process, yang artinya belajar adalah suatu proses adaptasi. Selanjutnya Skinner berpendapat bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).
2)   Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berarti; “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sabagai akibat latihan dan pengalaman.” Rumusan keduanya; “Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.                           
3)   Hintzman (1978) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa; “Belajar adalah suatu perubahan dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.” Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
4)   Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendifinisikan: “Belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. 
Terminologi lain menyebutkan: “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.” (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 128).
Belajar sering juga diartikan sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Secara konseptual fontana (1981) mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku ndividu sebagai hasil dari pengalaman. Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh Bell-Gredler (1986: 1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skills, and attitudes. Kemampuan (Competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi hingga masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun pendidikan informal. Kemampuan belajar inilah salah satu sifat yang dimiliki manusia yang membedakannya dari makhluk yang lain (Winataputra, dkk, 2007: 1.5).
Di kalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Pada akhirnya, secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan maknanya,yakni definisi manapun tentang konsep belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. (Makmun. 2007: 157). Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar, bersifat fungsional, bersifat positif dan aktif, tidak bersifat sementara, bertujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 129-130).
Secara kuantitatif belajar dapat berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta yang sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini keberhasilan belajar dilihat dari seberapa banyak materi yang dapat dikuasai peserta didik. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan peserta didik atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional bahwa peserta didik telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses pembelajaran. Semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan peserta didik yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai. Adapun belajar secara kualitatif ialah suatu proses untuk memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling peserta didik. Dalam pengertian ini belajar difokuskan pada peningkatan daya pikir dan tindakan berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. (Syah. 2009: 67-68).
Terkait dengan perkembangan teori belajar, pada awal abad 20, sejalan dengan berkembangnya disiplin psikologi, berkembang pula berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian empiris. Pada masa itu mulai berkembang dua kutub teori belajar, yakni teori behaviorisme dan teori gestalt. Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari penelitian Ivan Paplov pemenang hadiah Nobel tahun 1904. V.M. Bechtereve, dan J.B. Watson adalah proses relasi antara Stimulus dan Respons (S-R). Sedangkan kunci dari teori Gestalt adalah relasi antara bagian dengan totalitas pengalaman. Sejak itu berkembanglah berbagai teori belajar yang bertolak dari ontologi penelitian yang berbeda-beda tetapi semua bertujuan untuk menjelaskan bagaimana belajar sesunguhnya terjadi.
Beberapa teori belajar secara signifikan banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan jarak jauh. Teori Operant Conditioning atau Pengkondisian Operant dari B.F. Skinner yang menekankan pada konsep reinforcement atau penguatan (Bell Gladler, 1986: 77-91), dan teori Conditions of Learning dari Robert Gagne yang menekankan pada behavior development atau perkembangan perilaku sebagai produk dari commulative effects of learning atau efek komulatif dari belajar (Bell Gredler, 1986: 117-130) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana menata lingkungan belajar. Sementara itu, teori Information Processing yang menekankan pada proses pengolahan informasi dalam berfikir (Bell Gredler, 1986: 153-169), dan teori Cognitive Development atau Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget yang menekankan pada konsep ways of knowing atau jalan untuk tahu (Bell Gredler 1986: 193-209) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana mengembangkan proses intelektual peserta didik. Di lain pihak teori Social Learning atau teori Belajar Sosial dari Albert Bandura yang menekankan pada perolehan compelx skills and abilities atau kemampuan dan keterampilan kompleks melalui pengamatan modeled behavior atau perilaku yang diteladani beserta konsekuensinya terhadap perilaku individu (Bell Gredler, 1986: 235-253) dan teori Atribution atau teori Atribusi dari Bernard Werner yang menekankan pada relasi antara ability, effort, task difficulty, and luck dalam keberhasilan atau kegagalan belajar (Bell Gredler, 1986: 276-291) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana melibatkan individu dalam konteks sosial. Sedangkan teori Experiental Learning  atau Belajar melalui Pengalaman dari David A. Kolb (1984), yang menekankan pada konsep transformation of experiences  atau transformasi pengalaman dalam membangun knowledge atau pengetahuan, teori Social Development atau teori Perkembangan Sosial dari L. Vygosky yang menekankan pada konsep zon of proximal development atau arena perkembangan terdekat melalui proses dialogis dan kebersamaan (Cheyne dan Taruli, 2005), dan Web Based Learning Theory atau Teori Belajar Berbasis Jaringan yang menekankan pada interaksi individu dengan sumber informasi berbasis jaringan elektronik mempengaruhi pandangan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan belajar yang bersifat multipleks guna menghasilkan belajar yang lebih bermakna (Winataputra, 2007: 1.6-1.7). Semua konsep yang dibangun dalam masing-masing teori tersebut melukiskan bagaimana proses psikologis-internal-individual atau psikososial dan psiko kontekstual yang relatif bebas dari konteks pedagogik yang sengaja dibangun untuk menumbuhkembangkan potensi belajar individu.
Belajar merupakan suatu proses dasar dari perkembangan manusia, yang dengannya manusia dapat melakukan perubahan-perubahan sehingga tingkah laku dan hidupnya terus berkembang. Segala prestasi hidup yang telah dicapai manusia, tidak lain adalah hasil dari belajar. Manusia hidup dan bekerja (berbuat) menurut apa yang dipelajarinya. Belajar bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, belajar bukan suatu hasil. Oleh karenanya, belajar itu berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan nasional konsep belajar harus diletakkan secara substantif-psikologis terkait pada seluruh esensi tujuan pendidikan nasional mulai dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal demikian senada dengan rumusan pengertian pendidikan yang tersebut dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”  
Belajar yang secara konseptual bersifat content free atau bebas isi, secara operasional-kontekstual menjadi konsep yang bersifat content based atau bermuatan. Oleh karena itu, konsep belajar dalam konteks tujuan pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar untuk menjadi orang yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena pendidikan memiliki misi psiko pedagogik dan sosio pedagogik, maka pengembangan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan mengenai keberagamaan dalam konteks beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keberagamaan dalam konteks berakhlak mulia, ketahanan jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran dan kejujuran akademis dalam konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam konteks kreatif; ketekunan dan percaya diri dalam konteks mandiri; kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam konteks warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seyogianya dilakukan dalam rangka pengembangan kemampuan belajar peserta didik.



2.   Ciri-ciri Belajar
Belajar tidak hanya berkenaan dengan jumlah pengetahuan tetapi juga meliputi seluruh kemampuan individu. Dari uraian tentang pengertian belajar sebagaimana tersebut di atas, setidaknya dapat dikemukakan tiga hal yang merupakan ciri-ciri belajar.
Pertama, belajar haraus memungkinkan terjadinya suatu perubahan perilaku pada individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek nilai dan sikap (afektif) serta keterampilan (psikomotorrik).
Kedua, perubahan itu harus merupakan buah daari pengalaman. Perubahan perilaku pada diri individu karena adanya interaksi antara dirinya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa interaksi fisik seperti, seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas setelah ia menyentuh api pada lilin yang menyala. Di samping interaksi fisik, perubahan perilaku ataupun kemampuan dapat pula diperoleh melalui interaksi psikis, misalnya: seorang anak akan berhati-hati menyeberang jalan setelah ia melihat ada orang yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Mengerdipkan mata pada saat memandang cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur karena mencium bau masakan yang enak bukanlah merupakan hasil belajar. Selain itu, perubahan perilaku karena karena faktor kematangan juga tidak termasuk belajar. Seorang anak tidak dapat berbicara sebelum cukup umurnya, tetapi perkembangan kemampuan berbicaranya sangat dipengaruhi dan tergantung pada rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Begitu pula dengan kemampuan berjalannya (Winataputra, 2007: 1.8-1.9). . 

3.   Jenis-jenis Belajar
Berkenaan dengan proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik, Gagne (1985) mengemukakan delapan macam jenis belajar. Kedelapan jenis belajar tersebut adalah:
a.   Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya isyarat. Misalnya berhenti bicara ketika mendapat isyarat telunjuk yang menyilang di mulut sebagai tanda tidak boleh berisik atau ribut; berhenti menjalankan atau mengendarai sepeda motor ketika di perempatan jalan melihat isyarat lampu merah menyala.

b.   Belajar Stimulus-Respon (Stimulus Response Learning)
Belajar stimulus-respon terjadi pada individu karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya, menendang bola ketika ada bola yang menggelinding di depan kaki, berbaris rapi karena adanya komando, berlari karena adanya suara anjing yang menggonggong dan mengejarnya dari belakang, dan sebagainya.

c.   Belajar Rangkaian (Chaining Learning)  
Belajar rangkaian terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus-respon (S-R) yang telah dipelajari sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep merah-putih, panas –dingin, ibu-bapak, kaya-miskin, dan sebagainya.

d.   Belajar Asisiasi Verbal (Verbal Association Learning)
Belajar Asosiasi Verbal terjadi apabila individu telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta api itu seperti keluaang (kaki seribu) tu wajahnya seperti bulan kesiangan. 

e.   Belajar Membedakan (Discrimination Learning)  
Belajar diskriminasi terjadi apabila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya, membedakan jenis tumbuhan atas dasar urat daunnya, membedakan suku bangsa atas dasar tempat tinggalnya, membedakan negara menurut tingkat kemajuannya.

f.    Belajar Konsep (Concept Learning)  
Belajar Konsep terjadi apabila individu menghadapi berbagaai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke dalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya, binatang, tumbuhan, dan manusia termasuk makhluk hidup, negara-negara yang maju termasuk developed-countries, aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara termasuk hukum internasional.


g.   Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)
Belajar Aturan/Hukum terjadi apabila individu mengunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan. Misalnya, ditemukan bahwa benda memuai bila dipanaskan, iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh kedudukan geografis dan astronomis di muka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan, dan sebagainya.

h.   Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning)
Belajar Pemecahan Masalah terjadi apabila individu menggunakan berbagai konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan. Misalnya, mengapa bahan bakar minyak naik, mengapa minat masuk perguruan tinggi menurun. Pemecahan masalah selalu bersegi banyak dan satu sama lain saling berkaitan.
Urutan jenis-jenis belajar tersebut merupakan tahapan belajar yang bersifat hierarkis. Jenis belajar yang pertama merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang kedua, jenis belajar yang kedua merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang berikutnya, dan seterusnya. Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah jika individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan, dan seterusnya. 




C.  KESIMPULAN   
1.   Belajar mengacu pada perubahan perilaku individu sebagai akibat dari proses pengalaman baik yang dialami maupun yang sengaja dirancang.
2.   Ciri-ciri belajar adalah adanya perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat relatif menetap.
3.   Delapan jenis belajar menurut Gagne adalah: belajar isyarat, belajar stimulus respon, Belajar rangkaian, belajar asosiasi verbal, belajar membedakan, belajar konsep, belajar hukum/aturan, dan belejar pemecahan masalah.














DAFTAR PUSTAKA
1.   Syah, Muhibin, 2009, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2.   Ahmadi, Abu dan Supriyono Widodo, 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
3.   Bell Gredler,M.E., 1986, Learning and instruction, New York: Macmillan Publishing.
4.   Winataputra, Udin S. dkk, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka. 
5.   Makmun, Syamsudin Ibn., 2007, Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
6.   Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.