Minggu, 17 November 2013

RUKUN IMAN


A.  PENGERTIAN IMAN
Menurut bahasa (etimologis), kata Iman berasal dari bahasa Arab, yaitu; اٰمن yang berarti mempercayai atau الإيمان  yang berarti percaya (Bisri, 1999: 16). Jika kata Iman disandingkan dengan kata Islam maka yang dimaksud adalah keyakinan dan perbuatan. Dapat pula dikatakan bahwa Iman adalah perbuatan hati yang tidak tampak atau tidak dapat ditangkap oleh panca indera, sedangkan Islam adalah perbuatan yang tampak atau dapat ditangkap dengan panca indera. Hal ini senada dengan yang telah dinyatakan dalam sebuah hadits sebagai berikut:
الإسلام علانيّة و الإيمان في القلب (رواه أبو يعلى)
Islam itu terang-terangan dan iman itu ada di dalam hati.”  (HR. Abu Ya’la). (Baliq I, 1985: 142).

Adapun Iman menurut istilah yang populer di kalangan ulama adalah kesatuan antara keyakinan dan perbuatan, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Sabiq (1999: 15) menyatakan bahwa keimanan itu merupakan ‘aqidah dan pokok yang diatasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya.
Rasulullah SAW bersabda:
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستّون شعبة فأفضلها قول لا اله الّا الله و أدناها إماطة الأذى عن الطّريق و الحياء شعبة من الإيمان (متفق عليه) 
Iman itu ada tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabangnya, sebaik-baiknya adalah perkataan لا اله الّا الله (tiada Tuhan selain Allah) dan serendah-rendahnya adalah menyingkirkan ahal-hal yang menyakitkan (duri) dari jalan, dan malu termasuk bagian dari iman.” (Muttafaq ‘alaih) (Baliq, 1985: 142).
Dari definisi bahasa dan istilah diatas. maka dipahami bahwa para ulama sepakat bahwa iman adalah pembenaran dengan hati. Ada pun mengenai ucapan dan pengamalan anggota badan, maka sebagian ulama memasukkan ke dalam bagian dari pada iman sedang lainnya menempatkan sebagai kelengkapan saja. Sungguhpun demikian, jika yang dimaksud adalah iman yang diakui (diterima) oleh Allah SWT maka iman yang benar itu adalah iman yang dibuktikan dengan perbuatan (lisan maupun anggota badan). Orang-orang yang membenarkan Islam hanya dengan hatinya namun menentangnya dengan perbuatan tidaklah dapat dikatakan sebagai orang yang beriman melainkan disebut sebagai orang kafir. Baliq (1985:169) menyebutnya sebagai kafir mu’anadah, yakni mengakui kebenaran Allah SWT, mengakui kebenaran ajarannya, akan tetapi tidak beragama dengannya karena kedengkian, kesombongan, dan sebagainya seperti kufurnya Abu Jahal dan orang-orang semacamnya.
Keimanan bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja, keimanan juga bukan keyakinan dalam hati belaka. Iman yang benar merupakan suatu ‘aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani dan dari keimanan itu akan muncul bekas-bekas atau kesan-kesannya sebagaimana munculnya cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Iman yang benar akan memunculkan ucapan dan tindakan yang benar dan terkontrol oleh kebenaran Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah RasulNya.

B.  PENJELASAN SINGKAT TENTANG RUKUN IMAN
Pemisahan antara pengertian Iman dan Islam antara lain dikemukakan oleh Nabi SAW dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar bin Khaththab  ra. yang mengisahkan tentang kedatangan malaikat Jibril AS dan menanyakan kepada beliau SAW tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Sungguhpun demikian sebagaimana telah dikemukakan, bahwa antara iman dan Islam keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Iman dan Islam merupakan keyakinan dan perbuataan yang dengan kata lain disebut sebagai ‘aqidah dan syari’ah, keduanya itu yang satu dengan yang lain sambung-menyambung, hubung-menghubungi dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan buah dengan pohonnya, sebab dan musababnya, atau natijah (hasil) dengan pendahuluannya (Sabiq, 1999: 15).
Ketika Nabi SAW didatangi oleh malaikat Jibril yang menyerupakan dirinya sebagai manusia dan menanyakan kepada beliau SAW tentang Iman, maka beliau menjawab:
. . . أن تؤمن بالله و ملٓئكته و كتبه و رسله و اليوم الآخر و تؤمن بالقدر خيره و شرّه . . .  (رواه مسلم)
“ . . . Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk . . . ” (HR. Muslim).

Kaum muslimin di seluruh dunia meyakini bahwa azas-azas keimanan merupakan kunci utama untuk memahami islam secara benar (Dodge, 2004: 77). Aqidah Islamiah dibangun di atas rukun iman yang enam sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW tersebut di atas, yaitu: Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhirat, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Keenam rukun ini juga telah disebutkan secara jelas dalam Al-Qur`an al-Karim. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ليس البرّ أن تولّوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكنّ البرّ من اٰمن بالله واليوم الآخر والملٓئكة والكتاب والنّبييّن . . . (البقرة ١٧٧)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi . . .” (QS. Al-Baqarah (2): 177).

Adapun, iman kepada takdir antara lain disebutkan dalam firman-Nya:  
إنّا كلّ شيء خلقنٰه بقدر (القمر ٤٩)
Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya.” (QS. al-Qomar (54): 49).
Cara memahami detail dari rukun-rukun iman itu haruslah bersumber dari pemberitahuan Allah SWT sendiri. Perihal detail dari ‘aqidah, iman, atau keyakinan merupakan perkara-perkara yang gaib dan yang mengetahui secara pasti tentang perkara-perkara gaib hanyalah Allah SWT. ‘Aqidah atau keyakinan tidak dapat ditujukan kepada hal-hal yang diada-adakan oleh manusia, melainkan berdasarkan wahyu Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, satu-satunya sumber azasi dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘aqidah atau keimanan adalah al-Qur’an. Hadits Rasulullah SAW, dalam hal ini berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tersebut harus mencapai derajat mutawatir. Derajat pengkhabaran al-Qur’an adalah mutawatir, oleh karena itu dalil yang dapat diterima untuk menjelaskan masalah ‘aqidah Islam haruslah dalil yang mutawatir yang dalam istilah lain disebut dalil qath’i atau dalil positif (Razaq, 1982: 123).

1.      Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu Wujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Maha Benar, Dia tempat bergantung para makhluk, Maha Tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya (al-Nawawi, 2006:41).
Azas Islam murni adalah keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Orang yang beriman meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yaitu Allah SWT yang menciptakan dan menguasai segala yang ada di alam semesta ini. Dia adalah Penguasa dan Hakim yang sesungguhnya, kekuasaan dan kebijaksanaanNya maha luas lagi tidak terbatas. Orang yang beriman kepadaNya dengan benar akan menjadi pencintaNya, percaya kepadaNya, berharap dariNya, dan takut untuk tidak mentaatiNya. Keyakinan terhadap keesaan Allah merupakan ajaran tauhid yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan inilah azas utama dari keimanan.
Kaum muslimin menolak personifikasi Tuhan, atau menempatkan perantara antara manusia dengan Tuhan. Semua bentuk berhala dan upaya-upaya untuk mencapai Tuhan melalui yang lain adalah dusta dan amat terlarang. Keyakianan Islam menolak pengertian bahwa Allah datang ke bumi dalam bentuk manusia atau dalam bentuk makhluk apapun (Dodge, 2004: 78). Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan tak terampunkan. Allah SWT berfirman:
إنّ الله لا يغفر أن يّشرك به و يغفر ما دون ذٰلك لمن يّشاء و من يّشرك بالله فقد افترٰى إثما عظيما (النّساء ٤٨)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukanNya (Syirik) dan Dia akan mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. al-Nisaa’ (4): 48).

Inilah pokok agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhananNya maupun dalam kekuasaanNya. Segala yang ada ini, siapapun dan apapun adalah makhlukNya. Oleh karena itu, jika ada orang yang beranggapan bahwa ada yang lain yang berkuasa di samping Allah dan turut menjadi Tuhan, maka orang itu mengikuti paham yang sesat. Dan tidaklah orang yang demikian ini akan mendapat pengampunan dari Allah SWT (Hamka juzu’ 5, 1983: 97). Hanya Allah satu-satunya Tuhan, tiada Tuhan yang berhak untuk disembah atau diibadahi selain Dia. Tidaklah seseorang dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 perkara:
a.         Mengimani adanya Allah SWT.
b.        Mengimani rububiah Allah (Tauhid Rububiyyah), yaitu meyakini bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, mengatur, dan memelihara alam semesta kecuali Allah SWT.
c.         Mengimani uluhiah Allah (Tauhid Uluhiyyah), yakni meyakini bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah SWT.
d.        Mengimani semua nama dan sifat Allah yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam tetapkan untuk Allah, serta menjauhi ta’thil, tahrif, takyif, dan tamtsil.
Tahrif atau takwil yaitu mengubah lafadz Nama dan Sifat, atau mengubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna sebenarnya.
Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya.
Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu untuknya. Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’, (bersemayam), beliau menjawab: “Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.” Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti.
Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya. Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua. Kedua, Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.

Allah SWT memiliki nama-nama yang baik (al-Asmaa-u al-Husna). Nama-nama tersebut menunjukkan sifat-sifat yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah SWT agar hamba-hambaNya dapat berma’rifat kepadaNya atau mengenalNya (Sabiq, 1999: 38). Nama-nama itu juga memberikan penjelasan kepada umat manusia mengenai sifat-sifat Allah bahwa Dia Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Bijaksana, dan lain sebagainya.  Allah SWT telah berfirman:
و لله الأسمآء الحسنى فادعوه بها وذر الّذين يلحدون فيٓ أسمآئه سيجزون ما كانوا يعملون (الأعراف ١٨٠) 
Dan Allah memiliki Asmaa’ al-Husna (nama-nama yang baik), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asmaa’ al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-namaNya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A;raaf (7): 180).

Rasulullah SAW juga bersabda:
إنّ لله تسعة و تسعين إسما من حفظها دخل الجنّة و إنّ الله وتر و يحبّ الوتر (رواه إبن ماجة)
Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghafalnya (dengan meyakini kebenarannya), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil (tidak genap) dan menyukai sesuatu yang ganjil.” (HR. Ibnu Majah).

2.      Iman kepada Para Malaikat Allah 
Kata malaikat merupakan jamak dari kata Arab ملك (malak) yang berarti kekuatan. Jadi malaikat adalah kekuatan-kekuatan yang patuh pada ketentuan dan perintah Allah. Malaikat merupakan hamba dan ciptaan Allah yang mulia dan terpelihara daripada maksiat. Mereka tidak memiliki nafsu, tidak tidur, tidak makan serta tidak minum. Mereka mampu menjelma menjadi apa saja  yang dikehendakinya dengan seizin Allah. Iman kepada malaikat artinya meyakini bahwa Allah SWT., memiliki malaikat-malaikat yang diciptakanNya.
Malaikat terrmasuk kelompok atau golongan makhluk gahib yang tidak dapat dicapai atau ditangkap oleh panca indera. Orang-orang yang beriman meyakini keberadaan para malaikat melalui pemberitaan yang disampaikan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an maupun penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh utusanNya, yakni Muhammad SAW. Orang-orang yang beriman meyakini keberadaan para Malaikat karena mereka yakin akan kebenaran Allah dan RasulNya. Berbeda dengan manusia (Nabi Adam) yang diciptakan dari tanah liat dan jin diciptakan dari api, maka Malaikat diciptakan oleh Allah dari nur (cahaya). Rasulullah SAW bersabda:
خلقت الملائكة من نور و خلق الجنّ من مارج من نار و خلق اٰدم ممّا وصف لكم (رواه مسلم)
Malaikat itu diciptakan dari cahaya, dan jin diciptakan dari nyala api, sedangkan manusia diciptakan dari apa yang telah diterangkan padamu semua.” (HR. Muslim).

Malaikat merupakan makhluk yang senantiasa taat kepada Allah dan tidak pernah sedikitpun ingkar kepadaNya. Mereka tunduk dan patuh kepada kekuasaan Allah serta keagunganNya. Para malaikat itu melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka tanpa terkecuali. Allah SWT telah berfirman:
يخافون ربّهم من فوقهم و يفعلون ما يؤمرون (النّحل ٥٠)
Mereka (para malaikat itu) takut kepada Tuhan yang (berkuasa) di atas mereka dan selalu melaksanakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka.” (al-Nahl (16): 50).

يا أيها الّذين اٰمنوا قوا أنفسكم و أهليكم نارا وقودها النّاس و الحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله مٓا أمرهم و يفعلون ما يئمرون (التّحريم ٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (al-Tahrim (66): 6).

Jumlah malaikat sangat banyak (QS al-Muddatstsir (74): 31), mereka juga memiliki pekerjaan bermacam-macam sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT. Mereka memiliki pekerjaan tersendiri di alam ruh antara lain sepeti bertasbih (QS. al Zumar (39): 75, QS. Al-Anbiya (21)`: 19-20); memikul ‘arsy (QS.Mukmin (40): 7), memberi salam kepada ahli surga (QS. al-Ra’d (49): 23-24), menyiksa para ahli neraka (QS. al-Muddatstsir (74): 27-31). Selain itu mereka juga memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan dunia dan alam semesta ini. Mereka juga memiliki hubungan yang khusus dengan bangsa manusia (Sabiq, 1999: 183-187).
Al Qur’an dan sunnah Rasulullah telah menunjukkan berbagai tugas malaikat  yang bekerja menurut perintah dan seizin Allah untuk mengatur apa yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada dan terjadi diantara keduanya, misalnya, ada yang ditugaskan untuk mengatur peredaran matahari, bulan dan bintang, mengatur peredaran awan dan turunnya hujan, mengatur terjadinya proses pembentukan janin didalam rahim. Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi setiap manusia, menghitung dan menulis amal usaha manusia. Selain itu, ada pula yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, bertugas di neraka, bertugas di surga, dan tugas-tugas lainnya. Jadi, para malaikat adalah tentara Allah yang paling banyak dari segi kuantitas dan paling banyak dari segi tugas-tugasnya. Inilah tentara yang paling agung. sebab merekalah yang mengatur alam semesta dengan izin Allah.
Sesuai dengan pemberitaan al-Qur’an dan al-Sunnah, dari sekian banyak malaikat-malaikat Alah hanya ada 10 (sepuluh) malaikat yang dapat diketahui nama-nama dan tugas-tugasnya. Kesepuluh malaikat dan tugas-tugasnya itu adalah sebagai berikut:

a.    Malaikat Jibril
Malaikat Jibril adalah malaikat yang bertugas sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi atau Rasul. Allah SWT berfirman:
إنّه لقول رسول كريم , ذي قوّة عند ذى العرش مكين , مطاع ثمّ أمين , و ما صاحبكم بمجنونين , و لقد راٰه بالأفق المبين (التّكوير ١٩٢٢)
Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibwa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan (memiliki kedudukan yang tinggi) di sisi (Allah) yang memiliki ‘arsy, yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya, dan temanmu (Muhammad) itu bukan orang gila, dan sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya di ufuk yang terang.” (QS. al-Takwir (81): 19-23).

b.    Malaikat Mikail
Malaikat mikail bertugas mengatur pembagian rizki semua makhluk di seluruh alam. Tugas malaikat Mikail ini diterangkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi’ dengan sanad yang hasan  yang artinya:
“Ketika Rasulullah bertanya kepada jibril, apa tugas malaikat Mikail? Jibril menjawab : (Ia ditugaskan untuk mengatur) tumbuh-tumbuhan dan hujan” Malaikat Mikail dikatakan bertugas mengatur pembagian rizki karena semua rizki di duia ini berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan hujan.
. Terdapat penyebutan Jibril dan Mikail  dalam al-Qur’an secara bersamaan dalam satu ayat. Allah Ta’ala berfirman:
من كان عدوّا لّله و ملائكته و رسله و جبريل و ميكال فإنّ الله عدوّ لّلكافرين (البقرة ٩٨)
Barang siapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, raul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang yang kafir.” (QS. al-Baqarah (2): 98).

c.    Malaikat Izrail
Nama lain malaikat Izrail adalah Malaikat Maut. Dia adalah malaikat yang bertugas mencabut nyawa semua makhluk atas perintah Allah SWT. Allah SWT berfirman:
و النّازعات غرقا . و النّاشطات نشطا  (النّازعت ١- ٢)
Demi (Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras , dan demi (Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.” (al-Naazi’aat (79): 1-2).

قل يتوفّٰكم مّلك الموت الّذي وكّل بكم ثمّ إلى ربّكم ترجعون (السّجدة ١١)
Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut) nyawamu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu kamu semua akan dikembalikan.” (QS. al-Sajdah (32): 11).

d.   Malaikat Israfil
Malaikat Israfil adalah malaikat yang bertugas meniup sangkakala (terompet) pada saat hari kiamat tiba dan menjelang dibangkitkannya seluruh manusia dari kematiannya (alam qubur). Allah SWT berfirman:
و نفخ فى الصّور فصعق من فى السّمٰوٰت و من فى الأرض إلّا من شاء الله ثمّ نفخ فيه أخرى فإذا هم قيام ينظرون (الزّمر ٦٨)
Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit maupun di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu), maka seketika itu mereka bangun (dari quburnya) menunggu (keputusan Allah).” (QS. al-Zumar (39): 68).

e.    Malaikat ‘Atid
Malaikat ‘Atid bertugas mencatat ucapan dan perbuatan (amal) manusia yang buruk (jahat). Allah SWT berfirman:
و إنّ عليكم لحافظون , كراما كاتبين , يعلمون ما تفعلون (الإنفطار ١٠١٢)
Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaan/amalmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Infithar (82): 10-12).

f.     Malaikat Raqib
Malaikat Raqib bertugas mencatat ucapan dan perbuatan (amal) baik manusia. Berkenaan dengan tugas malaikat atid dan Raqib ini Allah SWT berfirman:
إذ يتلقّى المتلقّيان عن اليمين و عن الشّمال قعيد , ما يلفظ من قول إلّا لديه رقيب عتيد (قٓ ١٧١٨)
Ingatlak ketika dua malaikat mencatat (perbuatan) yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri , Tidak ada suatu kata yang diucapkan melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaaf (50): 17-18).

g.    Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir
Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir bertugas menginterograsi manusia di alam kubur. Abu Hurairah ra. menceriterakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang mayat atau seorang kamu telah dikuburkan, maka datanglah kepadanya dua malaikat yang berwarna hitam dan biru, yang satu namanya Munkar dan yang satunya lagi bernama Nakir. Lalu keduanya bertanya “Bagaimana pendapatmu tentang pria ini?” (yang dimaksud adalah Rasulullah SAW). Jika ia (mayat) menjawab: “Dia adalah hamba Allah dan RasulNya, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya.” Maka kedua malaikat berkata: “Kami sudah mengetahui bahwa kamu mengatakan kalimat ini.” Lalu kuburnya diluaskan hingga tujuh puluh hasta kali tujuh puluh hasta dan diterangi dengan cahaya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Tidurlah kamu!” ia menjawab: “Bolehkah aku kembali kepada keluargaku di dunia agar aku dapat menceritakan kepada mereka apa yang terjadi?” Kedua malaikat berkata: “Tidurlah kamu seperti tidurnya seorang pengantin yang tidak akan dibangunkan kecuali oleh isteri yang paling dicintai, hingga Allah membangkitkannya.”.  Jika mayit itu orang munafik, maka ia akan menjawab: “Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu maka akupun mangatakan seperti perkataan mereka, sedang aku tidak memahami.” Lalu kedua malaikat itu berkata: “Kami mengetahui bahwa kamu mengatakan demikian.” Maka diperintahkan kepada bumi: “Himpitlah dia!” Bumipun menghimpit mayat itu hingga tulang-tulang rusuknya berantakan, dan ia akan selalu diadzab hingga Allah membangkitkannya kelak.” (HR. Turmudzi dan Ibnu ‘Ashim).

h.    Malaikat Ridhwan
Malaikat Ridhwan adalah malaikat penjaga surga. Nama malaikat Ridhwan sebagai penjaga surga tidak disebutkan di dalam al-Qur’an al-Kariim. Demikian pula, tidak ditemukan hadits shahih yang dengan jelas menyebutkan bahwa malaikat penjaga surga adalah malaikat Ridhwan. Beberapa hadits yang menyebutkan malaikat Ridhwan sebagai penjaga surga dipandang sebagai hadits yang tidak shahih oleh sebagian ulama hadits.
Keberadaan para malaikat penjaga surga sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan karena hal ini telah dinyatakan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وسيق الّذين اتّقوا ربّهم إلى الجنّة زمرا حتّىٓ إذا جآءوها و فتحت أبوابها و قال لهم خزنتها سلام عليكم طبتم فادخلوها خالدون (الزّمر ٧٣)
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan, sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, Kesejahteraan dilimpahkan atas kamu, berbahagialah kamu, maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (QS. al-Zumar (39): 73).
و الّذين صبروا ابتغآء وجه ربّهم و أقاموا الصّلٰوة و أنفقوا ممّا رزقناهم سرّا و علانية و يدرءون بالحسنة السّيّئة أولٓئك لهم عقب الدّار , جنّات عدن يّدخلونها و من صلح من اٰبآئهم و أزواجهم و ذرّيّاتهم و الملائكة يدخلون عليهم مّن كلّ باب (الرّعد ٢٢٢٣)
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS. al-Ra’d (13): 22-23).
Jelaslah bahwa yang dipersoalkan bukan ada atau tidaknya malaikat penjaga surga, tetapi yang diperselisihkan adalah nama malaikat Ridhwan sebagai penjaga surga. Demikian pula halnya dengan malaikat Munkar dan Nakir, Atid dan Raqib, serta malaikat ‘Izrail.

g.  Malaikat Malik
Malaikat Malik adalah malaikat penjaga neraka, yakni tempat manusia mererima imbalan dari kedurhakaan dan kekafiran mereka. Allah SWT telah berfirman:
و نادوا يا مالك ليقض علينا ربّك قال إنّكم مّاكثون (الزّخرف ٧٧)
Dan mereka (para penghuni neraka) berseru: "Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja." Dia menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)." (QS. al-Zukhruf (43): 77).

Terlepas dari perdebatan tentang nama-nama dan tugasnya, beriman kepada kepada para malaikat Allah merupakan hal yang wajib. Keyakinan ini mutlak harus dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Mengingkari keberadaan dan kedudukan para malaikat sebagai makhluk mulia, yang senantiasa taat, dan tidak pernah ingkar terhadap Allah SWT adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang terlempar dari posisi beriman menjadi kafir.

3.      Iman kepada Rasul-rasul Allah
Para Rasul adalah orang-orang pilihan Allah untuk menerima wahyu dan sebagai duta-duta Allah SWT untuk umat manusia. Para Rsul berkewajiban menyampaikan risalah dan wahyu yang diterima itu kepada manusia. Iman kepada para Rasul Allah berarti meyakini bahwa Allah telah memilih orang-orang di antara para manusia untuk menjadi utusanNya, dengan wahyu yang diterima dariNya, untuk memimpin manusia ke jalan yang lurus, dan untuk keselamatan dunia maupun akhirat (Razak, 1982: 140).
Kaum muslimin wajib beriaman kepada para Rasul tanpa terkecuali, tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya. Apabila seseorang telah beriman kepada sebagian Rasul dan mengingkari sebagian lainnya, maka jelas orang yang demikian ini tidak termasuk ke dalam golongan orang yang beriman atau dengan kata lain sudah jelas kekafirannya. Allah SWT telah berfirman:
قولوا اٰمنّا بالله و مآ أنزل إلينا و مآ أنزل إلٓى إبراهيم و إسماعيل و إسحاق و يعقوب و الأسباط و مآ أوتي موسٰى و عيسٰى و مآ أوتي النّبيّون من رّبّهم لا نفرّق بين أحد مّنهم و نحن له مسلمون (البقرة ١٣٦ ) 
Katakanlah: “Kami beriman beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan kepada apa yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, serts spa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, dan kami berserah diri kepadaNya.” (QS. al-Baqarah(2): 136).
إنّ الّذين يكفرون بالله و رسله و يريدون أن يّفرّقوا بين الله و رسله و يقولون نؤمن ببعض وّنكفر ببعض وّيريدون أن يّتّخذوا بين ذٰلك سبيلا , أولٓئك هم الكافرون حقّا و أعتدنا للكافرين عذابا مّهينا (النساء ١٥٠١٥١)
Sesungguhnya orang-orang yang inkar kepada Allah dan Rasul-rasulNya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasulNya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari (yang lain)” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir itu adzab yang menghinakan.” (QS. al-Nisaa’(4): 150-151).

Kisah maupun cerita terkait dengan keberadaan para nabi dan rasul ada yang disebutkan dalam al-Qur’an berikut nama-namanya, namun ada pula yang tidak diceritakan. Allah SWT berfirman:
و رسلا قد قصصناهم عليك من قبل و رسلا لّم نقصصهم عليك و كلّم الله موسٰى تكليما (النّساء ١٦٤)
Dan ada beberapa rasul terdahulu yang Kami kisahkan mereka kepadamu, dan ada pula beberapa rasul yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu, dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. al-Nisaa’ (4): 164).

Para nabi dan rasul yang namanya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 25 (dua puluh lima) orang, sebagaimana telah dismpaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
و تلك حجّتنآ اٰتيناهآ إبراهيم غلى قومه نرفع درجات مّن نّشاء إنّ ربّك حكيم عليم , و وهبنا لهٓ إسحاق و يعقوب كلّا هدينا و نوحا هدينا من قبل و من ذرّيّته داوٗد و سليمان و أيّوب و يوسف و موسٰى و هارون و كذٰلك نجزى المحسنين , و زكريّا و يحيٰى و عيسٰى وو إلياس كلّ من الصالحين , و إسماعيل و اليسع و يو نس و لوطا و كلّا فضّلنا على العالمين (الأنعم ٨٣٨٦)
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. al-An’am (6): 83-86).

Firman Allah tersebut di atas telah menghimpun sebanyak 18 (delapan belas) nama-nama para nabi dan Rasul Allah. Adapun tujuh nama lagi disebutkan pada beberapa ayat secara terpisah antara lain sebagai berikut ini. Allah SWT berfirman:
إنّ الله اصطفىٓ اٰدم و نوحا و اٰل إبراهيم و اٰل عمران على العالمين (اٰل عمران ٣٣)
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).” (QS.Ali ‘Imran (3): 33).

وإلى عاد أخاهم هودا . . . (الأعراف ٦٥)
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud . . .” (QS. al-A’raaf (7): 65).

و إلى ثمود أخاهم صالح . . . (هود ٦١)
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh . . .” (QS. Huud (11): 61).

و إلى مدين أخاهم شعيبا . . . (هود ٨٤)
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib . . .” (QS. Huud (11): 84).

و إسماعيل و إدريس و ذا الكفل كلّ مّن الصّابرين , و أدخلناهم في رحمتنا إنّهم مّن الصّالحين (الأنبياء ٨٥٨٦)
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka kedalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. al-Anbiyaa’ 85 - 86).
Nabi Muhammad SAW adalah penutup segala nabi dan rasul, atau nabi dan rasul yang terakhir. Tidak ada lagi nabi atau rasul yang diutus oleh Allah SWT sesudah beliau SAW. Oleh karena itu jika ada siapapun yang mengaku sebagai nabi atau rasul sesudah itu, dapat dipastikan bahwa itu adalah bohong dan palsu. Allah SWT telah berfirman:
ما كان محمّد أبآ أحد مّن رجالكم ولٰكن رّسول الله و خاتم النّبيّين و كان الله بكلّ شيئ عليما (الأحزاب ٤٠)
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab (33): 40).

Beriman kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW berarti meyakini keberadaan mereka, mayakini kebenaran ajaran yang dibawanya, dan meyakini bahwa mereka itu adalah manusia-manusia mulia pilihan Allah yang dipilih untuk menjadi utusanNya. Adapun terhadap beliau SAW, selain meyakini juga wajib mempedomani dan mengamalkan ajaran yang dibawanya. Hal ini karena kedudukan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir dan tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sehingga ajaran yang dibawanya merupakan penyempurna dari apa yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Selain itu, jika ajaran yang dibawa oleh para rasul sebelumnya telah diselewengkan oleh manusia, maka ajaran Muhammad SAW tentu telah meluruskannya. Otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada beliau SAW telah teruji sepanjang zaman. Sejak pertama diturunkan hingga kini dan sampai akhir zaman nanti, al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran yang dibawa beliau SAW (Islam) akan terus begitu dan tidak ada perubahan. Islam telah sempurna, dan Allah telah ridha Islam sebagai agama. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam. Allah SWT berfirman:
. . . اليوم أكملت لكم دينكم و أتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا . . . (الماءدة ٣)
“ . . . Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 3).

4.      Iman kepada Kitab-kitab Allah
Kitab-kitab Allah merupakan kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada para rasul dan nabi sebagai pedoman dalam menjalani tugas hidup di dunia. Beriman kepada kitab-kitab Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitabNya kepada para nabi dan Rasul-Nya yang berfungsi sebagai pedoman hidup (way of life) bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Beriman kepada kitab-kitab yang Allah yang pernah diturunkan  kepada para rasulNya adalah keharusan yang mutlak bagi setiap orang yang beriman karena beriman kepada kitab-kitab Allah itu merupakan salah satu rukun iman. Pengingkaran terhadap kitab-kitab Allah sama artinya dengan pengingkaran terhadap para rasul Allah, pengingkaran kepada para malaikat Allah, bahkan pengingkaran  terhadap Allah SWT sendiri. Rukun adalah sesuatu yang wajib adanya. Jika salah satu rukun ditinggalkan dengan sengaja, maka suatu perbuatan (perkara) dianggap batal atau tidak sah. Konsekuensi pengingkaran terhadap kitab-kitab Allah adalah gugurnya iman. Barang siapa yang mengingkari kitab-kitab Allah maka ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman, dengan kata lain ia telah kafir.
Tidak dijumpai adanya keterangan yang menyebutkan jumlah kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul. Sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an, kitab-kitab Allah yang diketahui namanya ada empat macam, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al-Qur’an. Iman terhadap kitab-kitab terdahulu yang diturunkan sebelum al-Qur’an adalah meyakini bahwa kitab-kitab kitab itu telah dikirimkan (diturunkan) kepada para rasul, dan semuanya itu diturunkan oleh Allah SWT yang juga telah menurunkan al-Qur’an kepada nabi dan rasul terakhir  yaitu Muhammad SAW.

a.    Kitab Taurat
Kitab Taurat diwahyukan kepada nabi Musa AS, di dalamnya terdapat syari’at dan hukum agama yang sesuai dengan tempat dan kondisi pada waktu itu. Kitab ini diturunkan sebagai pedoman bagi bani Israil, aslinya Taurat berbahasa Ibrani atau Suriani . Taurat yang asli berisi ajaran tentang aqidah yang benar, janji-janji Allah dan ancamanNya, serta hak dan kewajiban hamba Allah, di dalamnya juga diterangkan tentang akan datangnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang terakhir (Razak, 1982:153). Allah SWT berfirman:
و اٰتينا موسى الكتاب و جعلناه هدى لّبنيٓ إسرآئيل ألّا تتّخذوا من دوني وكيلا (الإسراء ٢)
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.” (QS. al-Israa’ (17): 2).

b.    Kitab Zabur
Kitab Zabur diturunkan kepada nabi Dawud AS sebagai pedoman Bani Israil. Kitab Zabur yang asli berbahasa Qibthi dan berisi tentang puji-pujian kepada Allah, doa doa, dzikir, serta tausiah dan kata-kata hikmah. Hukum agama dan syari’at tidak didapati dalam kitab Zabur, karena dalam sejarah kenabian nabi Daud AS mengikut dan menurut kepada hukum Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa AS. Allah SWT berfirman:
و ربّك أعلم بمن فى السّماوات و الأرض و لقد فضّلنا بعض النّبيّين على بعض وّ اٰتينا داوٗد زبورا (الإسراء ٥٥)
Dan Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. al-Israa’ (17): 55).  

c.    Kitab Injil
Kitab Injil diturunkan kepada nabi Isa AS. Aslinya berbahasa Aramik atau Suriani. Kitab Injil berisi hukum-hukum Allah dan menyeru manusia agar kembali kepada aqidah tauhid (monotheisme), dan perbaikan terhadap agama bani Israil yang telah kacau dan menyeleweng (Razak, 1982: 153), serta membenarkan dan menyempurnakan kitab sebelumnya. Allah SWT berfirman:
و قفّينا علٓ اٰثارهم بعيسى ابن مريم مصدّقا لّما بين يديه من التّوراة و اٰتينا الإنجيل فيه هدى وّ نور وّ مصدّقا لّما بين يديه من التّوراة و هدى وّ موعظة لّلمتّقين (الماءدة ٤٦)
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maaidah (5): 46).

d.   Kitab al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir, yang tidak akan ada lagi nabi maupun rasul yang akan diutus sesudahnya. al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW berbahasa Arab, berisi tentang ajaran keimanan (ketauhidan), Islam, Ihsan, bermacam-macam hukum, dan berbagai petunjuk kehidupan lainnya. al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir disamping meluruskan (melakukan koreksi) terhadap kitab-kitab yang sebelumnya juga menyempurnakannya. al-Qur’an berisi petunjuk yang terang benderang dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, merupakan undang-undang yang jelas dalam mengatur hubungan antara hamba dengan Khaliqnya maupun hubungan manusia dengan seluruh isi alam ini.
Al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan penyempurna dari kitab-kitaab sebelumnya memiliki fungsi sebagai berikut ini (Razak, 1982: 156-157).
1)      Al-Qur’an membenarkan apa yang termasuk dalam kitab-kitab suci yang lain dan juga menguji kemurnia kitab-kitab suci itu. Oleh karena itu, al-Qur’an memuat kisah dari nabi-nabi terdahulu, selain mengambil pelajaran juga mendudukkan kejadian yang sebenarnya. Begitulah al-Qur’an memuat kisah para nabi, seperti nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Sualiman, ‘Isa, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
وأنزلنا إليك الكتاب بالحقّ مصدّقا لّما بين يديه من الكتاب و مهيمنا عليه . . . (المائدة ٤٨)
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 48).

2)      Al-Qur’an sebagai Korektor terhadap kitab kitab suci yang telah dicampur adukkan dengan buah pikiran manusia. Allah SWT berfirman:
فويل لّلّذين يكتبون الكتاب بأيديهم ثمّ يقولون هٰذا من عند الله ليشتروا به ثمنا قليلا فويل لّهم ممّا كتبت أيديهم و ويل لّهم ممّا يكسبون (البقرة ٧٩)
Maka kecelakaan yAng besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah (2): 79).

3)      Al-Qur’an sebagai penyempurna yang bersifat universal. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang dikhususkan bagi kaum rasul yang menerimanya, al-Qur'an diturunkan untuk seluruh umat manusia dan seluruh bangsa yang ada di dunia ini tanpa terkecuali.
. . . اليوم أكملت لكم دينكم و أتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا . . . (المائدة ٣)
“ . . . Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 3).  

Al-Qur’an sebagai sumber keyakinan menerangkan bahwa kitab-kitab Taurat, Zabur, dan Injil yang masih beredar hingga sekarang ini tidaklah sama dengan aslinya. Isi kitab-kitab tersebut telah banyak yang ditukar, diputarbalikkan, dan bercampur aduk dengan buah pikiraan manusia. Bangsa Yunani dan kaum masehi sendiri mengakui bahwa asal kitab-kitab tersebut tidak ada pada mereka. Mereka hanya memiliki salinan dari kitab-kitab itu, di mana dalam tempo berabad-abad telah banyak diadakan perubahan, dibuat, dan masih akan dilakukan lagi (Razak, 1982: 154). Oleh sebab itu, kitab-kitab tersebut tidak dapat lagi dijadikan pedoman, dan hanya al-Qur’an sebagai kitab terakhir sekaligus penyempurna, yang layak dijadikan pedoman sejak diturunkannya hingga akhir zaman nanti.  Jelaslah bahwa beriman kepada kitab-kitab Allah terdahulu, yang diturunkan sebelum al-Qur’an tidak berarti menjadikannya sebagai pedoman, melainkan hanya sekedar mayakini bahwa kitab-kitab tersebut pernah diturunkan oleh Allah kepada para rasul yang mulia. Atas dasar pemberitahuan Allah melalui al-Qur’an tentang ketidakaslian kitab-kitab yang beredar sekarang ini, maka dengan sendirinya kitab-kitab yang sudah tidak asli tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai pedoman. Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab suci yang layak dijadikan pedoman karena selain sebagai kitab terakhir dan penyempurna, otentisitas atau keasliannya juga tetap terjaga sepanjang masa.

5.      Iman kepada Hari Akhir (Hari Qiyamat)
Iman kepada hari akhir akan membawa manusia pada suatu keyakinan tentang adanya kehidupan kembali sesudah berakhirnya kehidupan di dunia ini. Kehidupan kembali sesudah mati itu merupakan kehidupan yang kekal dan abadi, di mana hanya ada kehidupan namun tiada lagi kematian. Kehidupan sesudah mati itulah yang menjadi tujuan akhir perputaran roda kehidupan dan penciptaan manusia. Orang yang beriman dengan benar pasti meyakini bahwa kehidupan dunia dan apa yang ada di dalamnya akan mengalami kehancuran total (berakhir) pada suatu hari yang telah ditentukan oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya:
إذا السّمآء انفطرت , و إذا الكواكب انتثرت , و إذا البحار فجّرت , و إذا القبور بعثرت , علمت نفس مّا قدّمت و أخّرت ( الإنفطار ١٥)
Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan meluap, dan apabila kuburan-kuburan dibongkar, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.” QS. al-Infithar (82): 1 – 5).

Hari itulah yang disebut dengan Yaum al-Qiyamah atau Yaum al-Hisab (Hari Perhitungan). Dinamakan Yaum al-Qiyamah karena pada hari itu, sesudah semua makhluk dimatikan tanpa terkecuali akan dibangkitkan (dihidupkan) kembali, dan dinamakan hari perhitungan karena pada hari itu setiap orang akan diadili dan diperhitungkan seluruh amalnya di hadapan Allah Yang Maha adil. Demikian essensialnya masalah ini, sehingga didalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadist Rasulullah SAW, ketika mempersoalkan iman dan perilaku manusia banyak dikaitkan dengan iman kepada Allah dan iman kepada Hari Akhir.
Kiamat pasti akan datang, dunia dengan segala isinya pasti akan berakhir. Persoalan waktu atau kapan terjadinya hari kiamat itu, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh malaikat Jibril yang menyerupakan diri sebagai manusia tentang kapan terjadinya kiamat, beliau menjawab:  . . . ما المسؤل عنها بأعلم من السّآئل . . .  artinya “ . . . Tidaklah yang ditanya tentangnya (hari kiamat) lebih mengetahui daripada yang bertanya . . .” (HR. Muslim). Iman kepada hari akhir bukanlah meyakini kapan datangnya, melainkan myakini dengan sepenuh hati bahwa hari akhir itu pasti akan datang atau pasti adanya. Keyakinan ini tentu saja berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Allah dan RasulNya. Iman kepada hari akhir juga bukan sekdar meyakini bahwa semua yang hidup akan mati, semua yang ada akan muasnah kecuali Allah SWT karena maknna hari akhir  bukan kehancuran alam semesta semata-mata, malainkan meliputi fase-fase berikut ini (Razak, 1982: 16-163).  

a.    Fase Pertama
Jagad raya dengan segala isinya akan hancur lebur, musnah, dan binasa. Segala jenis makhluk hidup, baik makhluk fisik seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun makhluk metafisik (makhluk ghaib) seperti jin dan malaikat, semuanya akan mati tanpa terkecuali, bahkan segala jenis makhluk yang bernyawa maupun tidak bernyawa akan musnah. Pada hari itu, hanya Allah SWT, Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana yang tetap hidup dan tetap ada. Itulah Yaum al-Qiyamah (Hari Kiamat) yang biasa juga disebut dengan Qiyamat al-Kubra atau kiamat besar. Alllah SWT berfirman:
كلّ من عليها فان , و يبقىٰ وجه ربّك ذو الجلال و الإكرام  (الرّحمن ٢٦٢٧)
Semua yang ada di bumi itu akan binasa , Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. al-Rahman (55): 26-27).

b.    Fase kedua
Setelah segala sesuatu selain Allah telah hancur, mati, binasa, dan musnah, selanjutnya akan diikuti dengan fase kebangkitan kembali. Semua manusia, sejak dari manusia pertama (Adam AS) sampai dengan manusia terakhir yang pernah hidup di dunia dibangkitkan kambali dari kematiannya. Oleh karena itu, hari ini disebut juga dengan Yaum al-Ba’ats (hari kebangkitan). Allah SWT berfirman:
و نفخ في الصّور فإذا هم مّن الأجداث إلى ربّهم ينسلون , قالوا يا ويلنا من بعثنا من مّرقدنا هٰذا ما وعد الرّحمٰن و صدق المرسلون (يٰسٓ ٥٠ – ٥١)
Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka , Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasulNya.” (QS. Yaasiin (36): 51 – 52).

c.    Fase ketiga
Fase berikutnya, setelah dibangkitkan kembali, semua manusia yang pernah hidup di dunia, sejak nabi Adam hingga manusia yang terakhir hidup di dunia tanpa terkecuali dikumpulkan di padang mahsyar. Oleh karena itulah hari kiamat dinamai dengan Yaum al-Hasyr (hari berkumpul). Allah SWT berfirman:
و يوم نسيّر الجبال و ترى الأرض بارزة وّ حشرنا هم فلم نغادر منهم أحدا (الكهف ٤٧)
Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS. al-Kahfi (18): 47).

d.   Fase keempat
Selanjutnya akan dipertontonkan amal setiap orang yang dilakukannya semasa hidupnya di dunia. Hari itu tidak ada lagi yang dapat disembunyikan, amal baik maupun amal yang jahat sekecil apapun akan ditampakkan atau diperlihatkan. Pada hari itu tidak ada seorangpun dapat berdusta ataupun mengingkari apa saja yang pernah diperbuatnya. Hari itu tidak ada lagi kebohongan. Hari itu disebut juga Yaum al-‘Ardh (hari pertontonan). Allah SWT berfirman:
يومئذ يّصدر النّاس أشتاتا لّيروا أعمالهم , فمن يّعمل مثقال ذرّة خيرا يّره , و من يّعمل مثقال ذرّة شرّا  يّراه (الزّلزلة  ٦ – ٨)  
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka , Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya , Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah (99): 6 – 8).

e.    Fase kelima
Setelah rahasia semua manusia dibongkar dan dipertontonkan, selanjutnya akan dilaksanakan perhitungan amal. Semua amal, yang baik maupun yang jahat akan ditimbang dengan timbangan yang sangat adil. Di hadapan mahkamah pengadilan Allah Yang Maha Adil, semua orang akan memperoleh keputusan yang seadil-adilnya dan tidak sedikitpun mereka dirugikan atau dianiaya. Inilah sebabnya, hari itu dinamakan Yaum al-Hisab (hari perhitungan) atau Yaum al-Wazn (hari pertimbangan). Allah SWT berfirman:
و نضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا و إن كان مثقال حبّة مّن خردل أتينا بها و كفٰى بنا حاسبين (الأنبياء ٤٧) 
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS. al-Anbiyaa’ (21): 47). 

f.     Fase keenam
Setelah melalui proses pengadilan di hadapan Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan amal perbuatannya semasa hidup di dunia. Segala amal atau perbuatan manusia ketika hidup di dunia yang fana atau kehidupan yang sementara, akan diberi balasan pada hari akhir yang kekal di mana hanya ada kehidupan dan tidak ada lagi kematian. Pada hari ini manusia terbagi menjadi dua kelompok besar, masing-masing kelompok menuju ke suatu tempat yang sesuai dengan amal atau perbuatannya dulu ketika masih di dunia. Salah satu kelompok menuju ke surga yang penuh dengan kenikmatan yang tiada taranya, kenikmatan kekal dan abadi. Sementara itu, kelompok yang lain, mereka berbondong-bondong menuju ke neraka, tempat di mana orang-orang akan menerima adzab yang pedih dari Allah SWT, sebagai balasan atas kejahatan yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Neraka inilah yang akan menjadi hunian tetap atau tempat tinggal permanen bagi orang-orang yang mati dalam keadaan kafir, musyrik, dan munafik bersama-sama dengan Iblis beserta pengikut-pengikutnya.   نعوذ بالله من ذٰلك   (Kita berlindung kepada Allah dari keadaan demikian). Inilah fase yang terakhir, dan karena itu hari ini dinamakan Yaum al-Fashl (hari keputusan) atau Yaum al-Jazaa’ (hari pembalasan). Allah SWT berfirman:
اليوم تجزٰى كلّ نفس بما كسبت لا ظلم اليوم إنّ الله سريع الحساب (المؤمن ١٧)
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. al-Mu’min (40): 17).

فأمّا من ثقلت موازينه , فهو في عيشة رّاضية , و أمّا من خفّت موازينه , فأمّه هاوية , و ما أدرٰك هاوية , نار حامية (القارعة ٦١١)
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS al-Qaari’ah (101): 6 – 11).

6.      Iman kepada Takdir
Takdir adalah kata lain dari qadha’ dan qadar yang biasa digunakan dalam pembicaraan sehari-hari. Beriman kepada takdir dapat diartikan sebagai menyakini dengan sepenuh hati adanya ketentuan Allah SWT yang berlaku bagi semua mahluk. Kesalahfahaman dalam memahami takdir (qadha’ dan qadar) karena tidak didasari iman dan ilmu yang benar dapat menyebabkan seseorang tergelincir kepada sikap hidup dan perilaku yang fatal. Kesalahan umum yang sering terjadi dalam memahami qadha’ dan qadar, adalah mengartikan bahwa segala nasib baik dan buruk seseorang bahkan muslim dan kafirnya manusia telah ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT (Razak, 1982: 165-166), sehingga manusia tidak ubahnya seperti robot yang tidak memiliki pilihan sama sekali kecuali sekedar menjalani apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Memahami pengertian qadha dan qadar secara benar dapat ditelusur melalui penggunaan kedua kata tersebut dalam firman Allah yang tersebar dalam beberapa ayat suci al-Qur’an. Penggunaan dan arti qadha dalam al-Qur’an antara lain terdapat dalam ayat-ayat berikut:

a.    Qadha berarti hukum
فلا و ربّك لا يؤمنون حتّى يحكّموك فيما شجر بينهم ثمّ لا يجدوا فيٓ أنفسهم حرجا ممّا قضيت و يسلّموا تسليما (النّساء ٦٥)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap hukum (putusan) yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS/ al-Nisaa’(4): 65).

b.    Qadha berarti perintah
و قضٰى ربّك ألّا تعبدوٓ إلّآ إيّاه . . . (الإسراء ٢٣)
 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia . . .” (QS al-Israa’(17): 23). 
c.    Qadha berarti memberitakan
و قضينآ إلىٰ بنيٓ إسرآئيل فى الكتاب لتفسدنّ فى الأرض مرّتين و لتعلنّ علوّا كبيرا (الإسراء ٤)
Dan Kami telah memberitakan kepada Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS. al-Israa’(17): 4).

d.   Qadha berarti menghendaki
... إذا قضٰىٓ أمرا فإنّما يقول له كن فيكون (اٰل عمران ٤٧)
Apabila Allah menghendaki sesuatu urusan, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.” (QS. Ali ‘Imran (3): 47).

e.    Qadha berarti menjadikan
فقضاهنّ سبع سمٰوات في يومين . . . (فصّلات ١٢)
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa . . .” (QS. Fushshilaat(41): 12).

Dengan demikian pengertian qadha menurut bahasa adalah hukum, perintah, pemberitaan, kehendak, atau menjadikan. Qadha menurut istilah berarti ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah (kehendak-Nya). Adapun pengertian qadar menurut bahasa berarti kepastian, peraturan, atau ukuran. Qadar menurut istilah berarti perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya. Qadar merupakan peraturan umum yang merupakan ketetapan Allah untuk menjadi dasar atau undang-undang umum terhadap segala peristiwa yang ada di alam ini, di mana terdapat hubungan sebab akibat (sunnatullah) dan manusia juga terikat dengan sunnatullah itu (Razak, 1982: 167). Allah SWT berfirman:

إنّا كلّ شيء خلقناه بمقدر (القمر ٤٩)
Sesungguhnya Kami menjadikan segala sesuatu menurut ukuran (aturan)nya.” (QS. al-Qomar(54): 49).

ما كان على النّبيّ من حرج فيما فرض الله له سنّة الله فى الّذين خلوا من قبل و كان أمر الله قدرا مقدورا (الأحزاب ٣٨)
Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. al-Ahzab (33): 38).

الّذي له ملك السّمٰوٰت و الأرض و لم يتّخذ ولدا وّ لم يكن لّه شريك فى الملك و خلق كلّ شيء فقدّره تقديرا (الفرقان ٢)
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. al-Furqan (25): 2).

Iman kepada takdir memberikan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam kehidupan, dan dalam diri manusia adalah menurut hukum atau undang-undang universal yang merupakan ketetapan Allah SWT atau takdir.
Segala peristiwa dan yang ada di alam ini pasti tunduk kepada sunnatullah. Segala peristiwa mengandung hukum kausalitas (sebab-akibat) dan hikmah serta bertujuan. Seseorang yang ingin menjadi sarjana mesti kuliah di perguruan tinggi, ingin memperoleh hasil mesti berusaha, ingin menggapai cita-cita mesti berjuang sekuat tenaga. Hampir dapat dikatakan suatu hal yang mustahil jika cita-cita dan harapan bisa dicapai dengan modal berkhayal dan bermalas-malasan tanpa adanya kerja dan usaha. Oleh karena itu wajib adanya usaha atau ikhtiyar dan tanggung jawab dari manusia. Usaha atau ikhtiyar dan do’a merupakan hak bahkan kewajiban manusia walaupun kepastian hasil tetap berada di tangan Allah SWT. Tidak sepatutnya manusia mengatakan takdir untuk sesuatu yang belum terjadi, karena hal itu tidak dapat diketahui oleh siapapun dan apapun kecuali hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Tahu. Jelas tiada benar apa yang diajarkan oleh paham fatalisme yang menafikan ikhtiyar, di mana manusia sama sekali tidak punya pilihan, semuanya terikat ibarat robot yang bergerak tanpa kehendak.
Diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab  beserta rombongan akan memasuki sebuah kampung. Sebelum sempat memasuki kampung, beliau mendapat khabar dari seorang kurir bahwa di kampung tersebut sedang dilanda wabah penyakit menular yang berbahaya. Setelah mendengar khabar tersebut beliau mengajak rombongannya untuk kembali. Salah seorang dari rombongan bertanya kepada beliau: “Takutkah tuan dari takdir Allah?” Khalifah menjawab: “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah.”
Kemenangan gilang-gemilang pahlawan-pahlawan Islam (para sahabat Rasul), adalah karena iman yang benar kepada takdir. Begitulah iman Khalid bin Walid si pedang Allah penakluk Parsi, iman ‘Amr bin ‘Ash sang penakhluk Mesir, iman Thariq bin Ziad  si perintis penakhlukkan Spanyol (Andalusia), dan begitu para sahabat Rasul yang lain. Mereka tidak tinggal diam berpangku tangan pasrah kepada takdir, melainkan berjuang keras, jihad di jalan Allah dengan mempertaruhkan harta dan jiwa untuk mengejar takdir Allah, meraih kemengangan. Manusia wajib berusaha karena sesungguhnya keberhasilan itu adalah buah dari perjuangan. Allah SWT berfirman:
أم حسبتم ان تدخلون الجنّة ولمّا يعلم الله الّذين جاهدوا منكم و يعلم الصّابرين (اٰل عمران ١٤٢)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad[232] diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran (3): 142).

. . . إنّ الله لا يغيّر ما بقوم حتّىٰ يغيّروا ما بأنفسهم و إذآ أراد الله بقوم سوٓءا فلا مردّ له و ما لهم من دونه من,ّال (الرّعد ١١)
. . . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. al-Ra’du (13): 11).  

Segala peristiwa yang terjadi di alam ini tentu ada hikmah dan tujuannya. Allah menciptakan segala sesuatu tidaklah sia-sia. Iman kepada takdir akan memberikan dampak keseimbangan jiwa, tidak berputus asa ketika menemui kegagalan dan tidak takabur serta tidak lupa diri ketika memperoleh kemujuran. Iman kepada takdir akan menghantarkan yang bersangkutan kepada suatu kesadaran bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk kegagalan dan keberhasilan tidak semata-mata ditentukan oleh usaha atau ikhtiyar belaka, namun segala peristiwa dan segala yang ada pasti tunduk kepada undang-undang universal yang telah ditentukan oleh Allah SWT, yaitu takdir. Apapun yang terjadi dalam kehidupan dan apapun yang ada di alam ini akan diterima oleh orang-orang yang beriman sebagai ujian dari Allah SWT. Bagaimana sikap hidup dan perilaku seseorang dalam menghadapi ujian itu akan sangat menentukan kualitas takwa yang akan menjadi modal yang paling berharga dalam menjalani proses kehidupan di muka bumi ini. Allah SWT berfirman: 
أحسب النّاس أن يّتركوٓا أن يّقولوٓ اٰمنّا و هم لا يفتنون (العنكبوت ٢)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. al-Ankabuut (29): 2).

Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk ikhtiyar atau berbuat. Hal ini karena dalil syari’at dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu. Allah SWT berfirman:
و مآ أرسلنا من رّسول إلّا بلسان قومه ليبيّن لهم فيضلّ الله من يّشآء و يهدي من يّشآء و هو عزيز الحكيم (إبراهيم ٤)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim (14): 4).

ما أصاب من مّصيبة فى الأرض و لا في أنفسكم إلّا في كتاب مّن قبل أن نّبرأها إنّ ذٰلك على الله يسير (الحديد ٢٢)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadiid (57): 22).

Jika diperhatikan sepintas saja, ayat-ayat diatas seolah-olah menunjukkan bahwa manusia tidak punya pilihan apapun melainkan hanya menjalani saja seperti robot apa yang telah ditentukan Allah sebelumnya. Memang, kehendak (masyi’ah) Allah untuk memberi petunjuk atau menyesatkan seseorang adalah muthlak, tidak dipertanyakan apa yang perbuatNya. Namun Allah juga Maha Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya. Allah SWT telah berfirman:

و أمّا ثمود فهديناهم فاستحبّو العمٰى على الهدى فأخذتهم صاعقة العذاب الهون بما كانوا يكسبون (فصلات ١٧)
Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushlaat (41): 17).
من عمل صالحا فلنفسه و من أشآء فعليها و ما ربّك بظلّام لّلعبيد (فصلات ٤٦)
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushlaat (41): 46).

و قل الحقّ من رّبّكم فمن شآء فليؤمن وّ من شآء فليكفر . . . (الكهف ٢٩)
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir . . .” (QS. al-Kahfi (18): 29).

Allah SWT telah  mengutus rasul-rasulNya untuk menyampaikan petunjuk, membawa kitab-kitabNya, namun karena kecongkakan dan kesombongannya maka sebahagian dari mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk. Setiap orang mempunyai kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar untuk memilih bertakwa atau tidak bertakwa. Allah SWT telah memberikan mereka akal untuk bisa membedakan mana yang baik maupun yang buruk bagi dirinya. Kemudian manusia pun diberikan kebebasan berikhtiar manakah jalan yang dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau kemaksiatan, dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan pertanggungjawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala atau siksa. Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Allah SWT mengetahui bahwa setiap hambaNya akan memilih dan melakukan sesuatu. Allah juga telah mengetahui apa saja dan jalan mana yang akan dipilih oleh setiap orang. Dia SWT telah menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukan hamba-hambanya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmuNya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini, dan yang akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendakNya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hambaNya, bahwa ia akan memilih jalan iman atau kekufuran dan akan mati dalam iman atau kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir. Jelaslah bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih dari dua jalan yang terbentang luas. Manusia bebas memilih jalan yang hak atau yang bathil, yang Islam atau yang kafir. Allah SWT berfirman:
و نفس وّ ما سوّاها .  فألهمها فجورها و تقوٰها (الشّمس ٧٨)
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. al-Syams (91): 7 – 8).

Iman kepada takdir dapat menghantarkan manusia kepada suatu kesadaran bahwa ikhtiyar, upaya, atau usaha itu merupakan suatu kewajiban sekaligus menghantarkan kepada keyakinan bahwa penentuan akhir berada pada kekuasaan Allah SWT. Upaya atau ikhtiyar harus maksimal di samping harus disertai do’a, selanjutnya apapun yang terjadi harus diterima dengan lapang dada sebagai keputusan atau takdir Allah SWT.

C.  KESIMPULAN
Iman tang benar bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja, keimanan juga bukan keyakinan dalam hati belaka. Iman yang benar merupakan suatu ‘aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani dan dari keimanan itu akan muncul bekas-bekas atau kesan-kesannya sebagaimana munculnya cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Iman yang benar akan memunculkan ucapan dan tindakan yang benar dan terkontrol oleh kebenaran Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah RasulNya. Iman dan Islam merupakan keyakinan dan perbuataan yang dengan kata lain disebut sebagai ‘aqidah dan syari’ah, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan buah dengan pohonnya, sebab dan musababnya, atau natijah (hasil) dengan pendahuluannya. Iman tanpa Islam sama artinya dengan kafir, sedangkan yang tampak seperti Islam tatapi tidak didasari oleh keyakinan yang benar (iman) adalah kebohongan atau munafik.
Aqidah Islamiah dibangun di atas dasar-dasar atau pokok-pokok keyakinan yang disebut sebagai rukun iman.  Pokok-pokok keyakinan atau rukun iman itu adalah; Iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul Allah, iman kepada hari akhirat, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Mempelajari dan memahami deatil dari rukun-rukun iman itu haruslah merujuk wahyu Allah (al-Qur’an) yang merupakan satu-satunya sumber azasi dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘aqidah atau keimanan. ‘Aqidah atau keyakinan tidak dapat ditujukan kepada hal-hal yang diada-adakan oleh manusia, melainkan harus berdasarkan wahyu Allah yang telah disampaikan kepada Rasul-Nya. Hadits Rasulullah SAW, dalam hal ini berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Baliq, ‘Izzuddin, 1985, Minhaaju al-Shaalihiin; alih bahasa oleh Muhammad Zuhri dengan judul Pedoman Muslim, Semarang: Daarul Ihya Indonesia.
Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, 1999, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka  Progressif.
Dodge, Christine Huda, 2004, Everything Understanding Islam Book; alih bahasa oleh Moh. Anwar dengan judul Memahami Segalanya tentang Islam, Batam: Karisma Publishing Group.
Hamka, 1983, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
al-Nawawi, al-Imam. 2006. Syarah Arbain Nawawi. Darul Haq: Jakarta.
Razaq, Nasruddin, 1982, Dienul Islam, Bandung: al-Ma’arif.
Sabiq, Sayid, 1999, al-‘Aqaaidu al-Islamiyyah; alih bahasa oleh Moh. Abdai Rathomy dengan judul Aqidah Islam, Bandung: CV Diponegoro.