Minggu, 09 November 2014

KELEMBAGAAN PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH



A.      PENDAHULUAN
Pendidikan Islam ditinjau dari aspek historis sebenarnya telah dimulai bersamaan dengan kehadiran Islam itu sendiri. Tentu saja pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan itu belum terselenggara secara sistematis seperti halnya sekarang ini. Sekalipun demikian, pada masa awal atau permulaan Islam ini telah dimulai suatu babak baru yang merupakan cikal bakal kemunculan sistem pendidikan Islam yang memiliki corak dan ciri-ciri tersendiri. Pendidikan yang berlangsung pada masa itu bersifat informal terkait dengan upaya-upaya dakwah Islam, penyebaran dan penanaman aqidah, serta pengajaran ibadah.
Pengangkatan beliau SAW sebagai Rasul Allah SWT antara lain ditandai dengan turunnya wahyu pertama, yakni Allah SWT berfirman:

إقرأ باسم ربّك الّذي خلق , خلق الإنسان من علق , إقرأ و ربّك الأكرم , الّذي علّم بالقلم , علّم الإنسان ما لم يعلم (العلق ١ – ٥)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq (96): 1-5).

Wahyu pertama tersebut seolah merupakan petunjuk dan instruksi bagi beliau SAW untuk segera melaksanakan dakwah Islam, mulai membimbing dan mendidik umatnya. Pada mulanya aktivitas pendidikan (dakwah Islam) itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, dimulai dari keluarga, kerabat, dan sahabat dekat. Khadijah Isteri Nabi SAW adalah orang pertama yang menjadi sasaran pendidikan dan masuk Islam, kemudian diikuti oleh Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar, Zubeir ibn ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lain. Pendidikan dan dakwah Islam yang dilakukan secara diam-diam ini telah berhasil mempengaruhi belasan orang sehingga mereka masuk Islam (al-Ismail, 1996: 2). Rumah Arqam bin Abi al-Arqam selanjutnya menjadi pusat kegiatan dakwah Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para pengikutnya. Rumah Arqam ini dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama.
Pada periode Madinah (sesudah hijrah) terdapat dua hal penting yang dilakukan Nabi SAW. Pertama, setibanya di Madinah, beliau SAW beserta kaum muslimin baik muhajirin maupun anshar segera membangun masjid yang di dalamnya terdapat suatu ruangan yang disediakan khusus untuk beliau. Bagi kaum muhajirin yang miskin, yang tidak mampu membangun tempat tinggal sendiri dibangunkan tempat tinggal di samping masjid. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai ahl al-shuffah (Zuhairini dkk, 2004: 30). Kedua, pembentukan negara Madinah yang ditandai dengan adanya suatu perjanjian tertulis yang disepakati oleh semua pihak, baik dari kelompok muslim maupun yang bukan muslim. Dengan disahkannya perjanjian yang kemudian disebut sebagai konstitusi madinah tersebut maka Madinah dan sekitarnya telah menjelma menjadi suatu negara dengan kepala negaranya Nabi Muhammad SAW. Menurut sebagian besar sejarawan, Konstitusi Madinah tersebut merupakan konstituasi yang pertama di dunia (Ramayulis, 2012: 35). Substansi materi pendidikan pada masa itu telah meliputi seluruh aspek kehidupan seperti akidah, syaria’ah, ibadah, akhlak, sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya (QS. al-Maaidah (5): 3).
Sepeninggal Rasulullah SAW, segala urusan menjadi tanggung jawab kaum muslimin pada umumnya, tak terkecuali permasalahan pendidikan. Secara berturut-turut Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib tampil sebagai khalifah melanjutkan kepemimpinan beliau SAW yang kemudian dikenal sebagai Khulafaa’ al-Raasyidiin. Masing-masing dari mereka terpilih sebagai khalifah melalui proses pemilihan yang berlangsung secara demokratis dan dipilih langsung oleh kaum muslimin. Kelembagaan pendidikan pada masa ini merupakan kelanjutan dari tradisi pendidikan pada masa Rasulullah SAW, hanya saja secara kuantitatif terus mengalami pengembangan dan kemajuan seiring dengan bertambah luasnya wilayah serta bertambah banyaknya kaum muslimin.
Masa kekuasaan Khulafaa’ al-Raasyidiin diakhiri dengan berdirinya Daulah Umawiyyah. Sebagaimana dimaklumi, pada awal berdirinya Daulah Umawiyyah kekuasaan diperoleh melalui proses politik yang diwarnai tipu daya dan kekerasan.[1] Sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dan menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah (Yatim, 1998: 42).
Terlepas dari masalah awal perolehan kekuasaannya, Bani Umayyah telah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun yakni, 661-743M (Yatim, 1998: 43). Dalam kurun waktu itu, Bani Umayyah telah membuat banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan, antara lain perluasan daerah kekuasaan, pertumbuhan partai politik, penyusunan organisasi negara dan pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan, pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, perkembangan seni budaya, dan tak terkecuali kemajuan dalam bidang pendidikan. Dinasti ini memberikan dukungan yang kuat terhadap pengembangan pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang lengkap. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama melakukan pengembangan ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu (Ramayulis, 2012:69).
Makalah ini akan mengungkap dan mendiskusikan tentang kelembagaan pendidikan Islam pada masa Daulah Umawiyyah. Adapun permasalahan yang diajukan meliputi model-model atau jenis-jenis lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada masa Bani Umayyah, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa Bani Umayyah dalam pengembangan kelembagaan pendidikan Islam, dan relevansi model kelembagaan pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia masa kini.

B.  JENIS DAN FUNGSI INSTITUSI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH ISLAM KLASIK
Sebagaimana kemunculan pendidikan Islam, institusi pendidikan secara substansial terlahir mengiringi dakwah Rasulullah SAW. Dalam sejarahnya, institusi pendidikan Islam tersebut mengalami berbagai dinamika pertumbuhan dan perkembangan. Berbagai pola dan tipe institusi pendidikan Islam muncul dan berubah seiring perkembangan pemikiran. Institusi pendidikan di dunia Islam menurut Makdisi (1981: 9) dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni institusi pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah (pra-madrasah) dan institusi pendidikan madrasah.  
1.    Institusi Pendidikan Islam Sebelum Madrasah (Pra-Madrasah)
Tipe-tipe Institusi pendidikan Islam yang telah ada sebelum kemunculan madrasah tersebut antara lain sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a.  Dar al-Arqam
Dar al-Arqam (rumah Arqam) sebenarnya adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam yang digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyampaikan pembelajaran dan dakwah Islam di awal periode Mekah. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, pembelajaran dan dakwah Islam pada masa ini masih dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Dapat dikatakan bahwa Dar al-Arqam ini merupakan lembaga atau pusat pendidikan pertama yang sekaligus menjadi cikal-bakal lembaga pendidikan Islam. Pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah di Dar al-Arqam ini merupakan masa yang paling penting bagi sejarah pendidikan dan dakwah Islam. Banyak di antara kaum mislimin mencatat masuk Islamnya orang-orang yang hari-harinya bersama Rasulullah SAW menebarkan dakwahnya di rumah Arqam ini (Ramayulis, 2012: 18). Dengan demikian, fungsi rumah al-Arqam pada saat itu adalah sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan Islam dengan pembelajaran individual (perorangan) yang dilakukan secara diam-diam.
b.  Masjid
Selepas hijrah ke Madinah, pendidikan Islam pada mulanya berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba merupakan masjid pertama yang dijadikan Rasulullah sebagai institusi pendidikan. Masjid yang terus berkembang digunakan sebagai tempat pembelajaran ilmu-ilmu Islam (Makdisi, 1981: 9). Fungsi masjid selain sebagai tempat ibadat dan tempat penyebaran dakwah serta ilmu-ilmu Islam, juga digunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah individu dan masyarakat, tempat menerima duta-duta asing, tempat pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, dan tempat bersidang.
c.  Shuffah
Shuffah  untuk yang pertama kalinya dibangun setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah bersamaan dengan pembangunan masjid yang pertama. Selain sebagai tempat untuk melaksanakan aktivitas pendidikan, shuffah juga digunakan sebagai pemondokan bagi para pendatang baru (golongan muhajirin) yang tergolong miskin (Zuhairini dkk, 2004: 30). Tempat ini berfungsi sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an. Setidaknya telah ada sembilan shuffah pada perode Madinah dan salah satunya berada di samping masjid Nabawi. Ubaid bin Shamit adalah salah seorang sahabat yang diangkat oleh beliau SAW untuk menjadi guru pada shuffah di Madinah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dakwah Islam, pada perkembangan berikutnya shuffah juga menawarkan pembelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik (Ramayulis, 2012: 46).
d. Kuttab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Dalam hal ini kuttab atau maktab diartikan sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Sebelum kehadiran Islam sebenarnya kuttab ini sudah dikenal meskipun terbatas pada golongan tertentu saja. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar baca tulis adalah Sufyan bin Umayyah bin Abdu Syam dan Abu Qais bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilat. Keduanya belajar di negeri Hirah (Zuhairini dkk, 2004: 89). Di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan. Materi yang diajarkan adalah menulis dan membaca syair  yang terkenal pada masanya. Sementara penulisan al-Qur'an tidak diajarkan di sini, sebab kebanyakan pengajar adalah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa Al Qur'an tidak boleh dipermainkan oleh anak-anak dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu Al Qur'an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja (Syalabi, 1973: 45).
Pokok-pokok ajaran Islam dan al-Qur’an mulai diajarkan di dalam kuttab pada akhir abad pertama hijriyyah. Pada mulanya kuttab merupakan pemindahan dari pengajaran Al Qur'an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun karena ada kekhawatiran bahwa anak-anak tidak dapat menjaga kesucian masjid maka  bagi mereka dibuatkan tempat-tempat khusus disamping masjid yang juga berfungsi untuk belajar baca tulis Al Qur'an serta pokok-pokok ajaran Islam (Syalabi 1973: 50).
e.  Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Halaqah merupakan paktik pendidikan Islam yang berlangsung di dalam masjid. Meskipun tidak ada batasan resmi namun rata-rata dalam sebuah halaqah terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui sebuah seleksi (Makdisi, 1981: 184). Pada sebuah masjid bisa ada lebih dari satu halaqah. Masing-masing halaqah biasanya diberi nama sesuai ilmu yang dikaji atau nama syaikh yang mengajar dalam halaqah tersebut. Jika beberapa halaqah menempati satu masjid dalam waktu yang bersamaan maka mereka akan memilih lokasi yang terpisah, namun ada juga yang memilih waktu berbeda di tempat yang sama. Selain digunakan untuk pembelajaran halaqah juga difungsikan untuk mengeluarkan fatwa dan dapat pula difungsikan sebagai tempat untuk berdebat (Makdisi, 1981: 13).
f. Majlis
Pada zaman Rasulullah dan Khulafaa’ al-Rasyidiin, majlis dilaksanan di dalam masjid. Pertemuan majlis ini berfungsi untuk memberikan fatwa, musyawarah, dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Pada masa khilafah Bani Umayyah majlis tersebut dipindahkan ke istana. Majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H), seorang khalifah dari Bani Abbas yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya. Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar ahli syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga (Zuhairini dkk,,2004: 76-77).
g.  Qushur (Pendidikan Rendah di Istana)
Timbulnya kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak sejak kecil agar mereka dapat melaksanakan tugasnya setelah dewasa nanti telah mendorong para khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana untuk mendatangkan guru-guru khusus yang ditugasi untuk mengajar anak-anak mereka. Materi pembelajaran yang disampaikan pada murid serta tujuan pembelajaran pada pendidikan rendah di istana ditentukan oleh orang tuanya sendiri. Guru yang mengajar di istana dinamakan mu'addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab yang artinya budi pekerti atau yang meriwayatkan. Dengan sebutan tersebut dimaksudkan bahwa mereka akan mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta pengetahuan orang-orang terdahulu kepada anak-anak (Zuhairini dkk, 2004: 92).
h.  Badi’ah
Badi’ah merupakan dusun Badui di Padang Sahara di mana penduduknya masih menggunakan bahasa Arab yang asli, sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu sendiri. Seiring dengan semakin luasnya perkembangan dan penggunaan bahasa Arab, maka Badi’ah menjadi tujuan bagi mereka yang ingin mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang bahasa Arab (Ramayulis, 2012: 72).
i.   Khan
Istilah Khan dapat diartikan sebagai pemondokan (penginapan musafir) tetapi dalam hubungan ini istilah tersebut berarti asrama mahasiswa yang berasal dari desa-desa yang jauh yang pada umumnya belajar hukum Islam (Asrohah, 1999: 64). Khan di abad pertengahan Islam difungsikan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai hotel atau penginapan, sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko. Ada pula khan yang secara finansial didukung oleh wakaf dan penghasilannya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu masjid dan sebagai tempat pembelajaran privat atau bimbingan belajar tentang hukum bagi orang asing di kota (Makdisi, 1981: 23-24). Penambahan khan pada bangunan masjid merupakan solusi terhadap kesulitan mahasiswa yang datang dari luar kota, dimana mereka sebelumnya dihadapi oleh masalah penginapan. Namun masih kurang jelas apakah khan menyediakan akomodasi gratis bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut (Masnur, 2009: 76).
j.   al-Hawanit al-Waraqin (Toko-toko Buku)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam pada permulaan Daulah Bani Abassiyah yang begitu pesat diikuti oleh penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu. Hal inilah yang mendorong berdirinya toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut pada umumnya bukan sekedar para pedagang, akan tetapi orang-orang yang cerdas yang memilih profesi tersebut agar dapat membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan. Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai tempat berjual beli buku melainkan juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para ilmuwan untuk berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah (Zuhairini, 2004: 79).     
j.   Maktabah (Perpustakaan)  
Perhatian Islam terhadap pendidikan dan pentingnya buku sebagai media ilmu pengetahuan melatarbelakangi tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban Islam (Asari, 1994: 112). Perpustakaan memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Pada periode klasik perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk membaca buku melainkan juga berfungsi sebagai tempat pembelajaran. Perpustakaan pada masa ini memiliki ruang khusus yang dipergunakan untuk melangsungkan proses pembelajaran yang dibimbing oleh para ulama sesuai dengan bidang keahliannya (Ramayulis, 2012: 72).

k.  Bimaristan (Rumah Sakit).
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi tenaga-tenaga perawatan dan pengobatan. Penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat. Rumah sakit juga menjadi tempat praktikum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa rumah sakit, maristan juga merupakan sekolah kedokteran (Makdisi, 1981: 27). Dengan demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.
Sesuai dengan teori yang diajukan oleh Makdisi (1981: 9-10) sebagian dari institusi-institusi pendidikan tersebut ada yang bersifat inklusif, yakni institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu asing (mengajarkan pengetahuan umum) di samping mengajarkan ilmu pengetahuan agama. Sedangkan sebagiannya lagi bersifat bersifat eksklusif, yaitu institusi-institusi pendidikan yang  tidak mengajarkan pengetahuan umum, melainkan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama saja.

2.  Madrasah
Kemunculan madrasah sebagai instituai pendidikan Islam merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam. Format penyelenggaraan pendidikan Islam mengalami perubahan menjadi lebih sistematis dan terstruktur setelah kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Penjelmaan istilah madrasah merupakan merupakan proses evolusi yang terjadi melalui tiga tahapan, yakni lembaga pendidikan masjid pada tahap pertama, kemudian khan pada tahap kedua, dan madrasah pada tahap yang ketiga (Makdisi, 1981: 27). Hendaklah dipahami bahwa madrasah pada konteks ini bukanlah lembaga pendidikan pada tingkat dasar dan menengah sebagaimana yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Madrasah dalam konteks pembicaraan ini merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang secara luas berkembang di dunia Islam pra-modern, sebelum era universitas atau al-Jami’ah (Asari, 1994: 44).
Pendapat  Makdasi sebagimana tersebut di atas didasarkan pada pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Banyaknya murid yang datang dari luar kota untuk belajar hukum Islam di masjid- masjid membutuhkan  pembangunan pemondokan atau asrama  di sekitar  masjid sebagai tempat tinggal bagi mereka selama menuntut ilmu. Hal ini menyebabkan terjadinya proses transformasi dari institusi pendidikan masjid menjadi institusi pendidikan masjid yang didukung oleh khan disekitarnya sebagai asrama mahasiswa yang berfungsi pula sebagai tempat pembelajaran privat atau bimbingan belajar tentang hukum bagi orang asing di kota. Tahap berikutnya,  masjid-khan berubah menjadi madrasah yang selain dilengkapi dengan pemondokan juga dilengkapi aula besar yang berfungsi sebagi tempat diselenggarakannya proses pembelajaran. Kebanyakan madrasah juga mempunyai masjid di dalamnya. Faktor lain yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti masjid-khan adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru yang oleh karenanya memajukan dan mengembangkan institusi pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka (Asari, 1994: 46-47).
Makdisi (1981:32) menyatakan bahwa pada abad kedua hijriyah/kedelapan masehi atau lebih awal dari itu, masjid telah menjadi institusi pendidikan tinggi yang menyediakan gaji untuk stafnya serta biaya pendidikan bagi mahasiswanya. Masjid-khan mengambil satu langkah lebih maju dengan menyediakan penginapan bagi mahasiswa dan kemungkinan juga makanan. Adapun madrasah lebih menyempurnakannya dengan menyediakan seluruh kebutuhan mahasiswa utamanya kebutuhan dalam belajar. Ditinjau dari fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi bahwa transformasi substansi keilmuan dari institusi pendidikan sebelumnya ke madrasah tidak menglami perubahan yang berarti. Ilmu- ilmu yang diajarkan di madrasah merupakan kelanjutan dari keilmuan yang diajarkan di masjid atau masjid-khan. Dibandingkan dengan institusi pendidikan yang telah ada sebelumnya madrasah terorganisir secara lebih formal. Sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah institusi pendidikan Islam unggulan (par excellence) hingga pada periode modern dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga pendidikan modern seperti universitas (Asari, 1994: 51).

C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Berbicara tentang Bani Umayyah terkait dengan masa kekuasannya, mesti dibedakan menjadi dua bagian. Masa kekuasaan Bani Umayyah yang pertama (661-750 M) berpusat di Damaskus (Mufrodi, 1997: 72) dan Kekuasaan Bani Umayyah yang kedua (755-1013 M) di Andalusia atau Spanyol (Yatim, 1998: 93-97). Untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman, perlu dijelaskan bahwa penguasaan Bani Umayyah atas Andalusia telah dimulai sejak tahun 711 M melalui penaklukan yang dipimpin oleh tiga pahlawan Islam, Yakni Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nusair (Yatim, 1998: 88). Sesudah penaklukan tersebut gelombang perluasan wilayah masih terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 717 M untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Sesudah itu masih terdapat perluasan wilayah seperti ke Avirignon pada tahun 734 M, ke Lyon pada tahun 743 M dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah. Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia juga jatuh ke tangan Islam di Zaman Bani Umayyah (Nasution, 1985: 62).
Sejak dari tahun 711 M hingga runtuhnya Bani Umayyah pada tahun 750 M, Andalusia belum menjadi sebuah negara tersendiri dan masih berada dalam wilayah kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Semenjak tahun 755 M, pemerintahan di Andalusia di bawah kepemimpinan amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol pada tahun 755 M dan diberi gelar al-Dakhlil (Yang Masuk ke Spanyol). Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika menakhlukkan Bani Umayyah di Damaskus (Yatim, 1998: 94-95). Tulisan ini hanya akan membahas kelembagaan pendidikan pada masa Daulah Umawiyyah atau Bani Umayyah yang berkuasa dan berpusat di Damaskus pada tahun 661-750 M. Dengan kata lain Daulah Umawiyyah yang berkuasa di Spanyol atau Andalusia pada tahun 755-1013 M tidak termasuk dalam pembahasan makalah ini.
Secara esensial, sistem penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa Daulah Umawiyyah tidak berbeda jauh dari pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Pendidikan pada masa ini bersifat desentralisasi, tidak memiliki tingkatan dan standar umur, serta tidak diatur oleh pemerintah. Keberlangsungan pendidikan dalam hal ini berjalan di bawah kendali para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan secara alamiah (Suwendi, 2004: 14). Walaupun demikian Daulah Umawiyyah telah memberikan dukungan yang cukup kuat terhadap dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana (Ramayulis, 2012: 69). Hal demikian ini tentu saja sangat membantu para ulama, para ilmuwan, dan para seniman untuk mengembangkan ilmu dan melakukan kaderisasi pada masa itu.
Periode Bani Umayyah merupakan masa inkubasi. Masa ini merupakan masa peletakan dasar-dasar kemajuan pendidikan Islam. Intelektual muslim bermunculan dan berkembang pada masa ini (Nizar, 2007: 60). Kajian keilmuan pada masa ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova, Basrah, Damsyik, dan Palestina/Syam (Yunus, 1992: 33). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah tidak hanya berpusat di Madinah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin, melainkan telah mengalami perluasan dan penyebaran seiring dengan ekspansi teritorial atau perluasan wilayah.

1.  Institusi Pendidikan
Institusi-institusi pendidikan yang berkembang pada masa Bani Umayyah termasuk dalam kategori institusi pendidikan sebelum madrasah. Dapat dipastikan bahwa madrasah sebagai institusi pendidikan belum dikenal pada masa Bani Umayyah. Madrasah yang didirikan pertama kali dalam catatan sejarah adalah madrasah Baihaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan al Baihaqi (414 H.) di kota Nisabur sebelum abad ke-10 selisih lebih satu abad sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah di kota yang sama (Nizar, 2007: 121).
Institusi-institusi pendidikan Islam sebelum madrasah menurut Makdisi (1981: 9-10) dapat diklasifikasikan menjadi institusi pendidikan eksklusif dan institusi pendidikan inklusif. Stanton (1990:122) menyebutnya sebagai pendidikan formal dan non formal. Institusi pendidikan eksklusif (formal) hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama, sedangkan institusi pendidikan inklusif (non formal) selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama juga terbuka untuk mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Terkait dengan hal ini, tercatat dalam sejarah bahwa pada masa Bani Umayyah tampak adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah (Suwendi, 2004: 16).
Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Bani Umayyah dan fungsinya antara lain:

a.  Kuttab
Lembaga pendidikan (Kuttab) ini telah ada pada periode sebelumnya, yakni pada masa Nabi SAW dan Khulafaa al-Rasyidiin. Dengan demikian Kuttab pada masa Bani Umayyah ini merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan yang telah ada pada masa sebelumnya. Berbeda dengan fungsi Kuttab pada pada masa Rasulullah yang padanya hanya diajarkan membaca al-Qur’an, pada masa ini fungsi Kuttab tidak hanya sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an melainkan juga sebagai tempat untuk pembelajaran menulisnya. Selain itu Kuttab juga difungsikan sebagai tempat untuk pembelajaran tentang dasar-dasar mengenai pokok-pokok ajaran Islam (Yunus, 1992:39).



b.  Masjid
Pada masa Bani Umayyah, masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah kuttab. Pembelajaran di masjid meliputi al Qur’an, tafsir, hadist, dan fiqh. Selain itu juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung, dan ilmu perbintangan (al-Abrasi, 1993: 56). Pada tingkat menengah yang menjadi pengajar bukanlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi pengajarnya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sama halnya dengan pembelajaran pada kuttab, pembelajaran tingkat menengah yang berlangsung di masjid pada umumnya disampaikan secara perorangan. Adapun pendidikan tingkat tinggi di masjid, pembelajarannya disampaikan dalam suatu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama. Pada masa ini, di samping sebagai tempat ibadah masjid difungsiakan sebagai pusat kegiatan ilmiah. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah menjadi tumpuan penuntut ilmu di seluruh dunia Islam. Pada masa pemerintahan Walid ibn Abdul Malik (707-714 M) didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan tinggi. Lembaga ini kemudian dianggap sebagai universitas tertua hingga sekarang (Langgulung, 1980: 19).

c.  Shuffah
Sejauh penelusuran penulis, tidak dijumpai keterangan yang pasti mengenai keberadaan shuffah pada masa Bani Umayyah. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa shuffah pertama kali muncul setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah untuk menyediakan pemondokan bagi para pendatang baru (golongan muhajirin) yang tergolong miskin dan sekaligus berfungsi sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an bersamaan dengan dibangunnya masjid untuk yang pertama kali pula. Shuffah ini kemudian terus dikembangkan pada periode Madinah dan dilanjutkan pada masa Khulafaa’ al-Raasyidiin. Oleh karena itu, mengingat bahwa masa berkuasanya Bani Umayyah ini bersambungan atau merupakan kelanjutan dari masa Nabi SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin, maka dapat diduga bahwa pada masa Bani Umayyah keberadaan shuffah masih tetap terjaga (dilestarikan) sebagai lembaga pendidikan yang merupakan warisan dari generasi atau periode yang mendahuluinya.

d.  Majlis Sastra
Pada masa Nabi SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin majlis berfungsi untuk menyampaikan fatwa, musyawarah, dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu dan bertempat di masjid. Pada masa Bani Umayyah, majlis dilaksanakan di balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Majlis ini kemudian disebut dengan majlis sastra. Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia  tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan (al-Abrasi, 1993: 6).

e.  Qushur (Pendidikan Istana)
Qushur merupakan salah satu lembaga pendidikan yang muncul pada masa Bani Umayyah dan belum pernah ada pada masa sebelumnya. Keberadaan pendidikan istana ini terlihat dari wasiyat Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik kepada guru yang mendidik anak-anaknya (Ramayulis, 2012: 70). Pendidikan Istana adalah pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid (Departemen Agama, 1986: 91). Materi pembelajaran lembaga pendidikan ini meliputi menulis dan membaca al-Quran dan Hadist, bahasa Arab dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangannya, adab kesopaan dalam perilaku pergaulan, pelajara-pelajaran keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang. Tempat pendidikan berada dalam lingkungan istana. Guru-gurunya ditunjuk oleh Khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih baik (Zuhairini, 2004: 92).

f.  Badi’ah
Kemunculan badi’ah dilatarbelakangi program arabisasi yang digagas oleh Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Badi’ah berasal dari nama sebuah dusun Badui di Padang Sahara yang penduduknya masih menggunakan bahasa Arab yang murni dan fasih sesuai dengan kaidah bahasa arab itu sendiri. Beberapa khalifah mengirim anaknya ke Badi’ah untuk mempelajai bahasa Arab, bahkan ada pula ulama yang pergi ke badi’ah untuk belajar bahasa Arab, di antaranya adalah al-Khalil ibn Ahmad (Departemen Agama, 1986: 96).

g.  Bimaristan
Bimaristan adalah rumah sakit yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pembelajaran ilmu kedokteran. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M) telah mendirikan rumah sakit sekaligus sekolah kedokteran (Bimaristan). Sebelumnya, Khalid bin Yazid cucu Muawiyah telah melakukan penterjemahan buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab dengan bantuan para sarjana Yunani yang ada di Mesir. Hal ini tercatat sebagai penerjemahan pertama dalam catatan sejarah Islam. Boleh jadi penerjemahan inilah yang melatar belakangi ketertarikan khalifah al-Walid bin Abdul Malik sehingga ia memberi perhatian serta mendirikan bimaristan (Sunanto, 2004: 39).
Tidak ditemukan keterangan mengenai keberadaan  toko-toko buku, perpustakaan maupun khan sebagai institusi atau lembaga pendidikan pada periode kekuasaan Bani Umayyah. Perpustakaan yang didirikan oleh keturunan Muawiyah, yakni al-Hakam ibn Nasir di Cordova (Qurtubah) pada tahun 350 H/961 M tentu saja tidak termasuk dalam periode Daulah Umawiyyah, karena periode dimaksud telah berakhir pada tahun 132 H/750 M.

2.  Pemikiran Pendidikan dan Gerakan Ilmiah
Sebagaimana telah dikemukakan, sistem penyelenggaraan pendidikan pada masa Bani Umayyah tidak berbeda jauh dari sistem yang berlaku pada masa Rasulullah SAW dan Khulaffa’ al-Raasyidiin. Hal yang berbeda pada periode ini adalah penyebarannya yang semakin meluas seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan. Lain dari itu pemikiran pendidikan juga mengalami perkembangan sebagai akibat dari persentuhan budaya antara umat Islam dengan masyarakat lain yang berada pada wilayah kekuasaan yang semakin meluas. Ilmu-ilmu asingpun kemudian mulai masuk dan diterima di kalangan pemikir dan tokoh pendidikan Islam walaupun masih sangat terbatas. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam pada masa itu.
Orang-orang Islam pada waktu itu mulai mengarahkan perhatiannya kepada kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan peradaban-peradaban yang mereka jumpai di negeri-negeri yang ditaklukan. Transmisi ilmu-ilmu asing ke dalam peradaban Islam telah dimulai pada masa ini. Pada waktu yang sama mereka juga memberi perhatian besar pada Ilmu bahasa, sastra, dan agama untuk memeliharan pemikiran dan budaya Arab Islam dari pemikiran asing. Dalam hal memilih, orang-orang Islam  lebih mengutamakan budaya dan peradaban Arab Islam dari pada budaya dan peradaban asing. Bani Umayyah terkenal fanatik kepada budaya Arab Islam, sekalipun di antara mereka ada orang-orang politik dan pemerintahan yang bukan ahli Ilmu dan Agama. Fanatisme terhadap budaya Arab Islam di sini selain perilaku politik juga perilaku keagamaan.
Pemikiran pendidikan pada zaman Bani Umayyah ini nampak pula dalam nasihat  para Khalifah kepada para pendidik anak-anaknya, yang termuat dan hampir memenuhi buku- buku sastra, yang menunjukkan bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab Islam (Abdurrahman, 2004: 81-83). Pemikiran pendidikan Islam pada zaman Bani Umayyah ini juga tersebar pada tulisan- tulisan para para ulama ahli nahwu, sastra, hadits, dan tafsir. Ulama-ulama pada zaman in mulai mencatat ilmu-ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaganya agar tidak diselundupi pemikiran asing dan perubahan-perubahan yang merusak ajaran Islam.
Gerakan ilmiah masa Bani Umayyah antara lain ditandai dengan adanya transmisi ilmu pengetahuan asing ke dalam peradaban islam. Penerjemahan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia oleh Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (Suwendi, 2004: 16) merupakan bukti bahwa embrio gerakan penerjemahan telah muncul pada periode ini. Khalid bin Yazid disebut-sebut sebagai penerjemah pertama buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan secara besar-besaran memang terjadi setelah berlalunya Daulah Umawiyyah, namun hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa penerjemahan itu telah dimulai pada masa ini. Selain astronomi, kedokteran, dan kimia  ilmu-ilmu asing yang mulai tumbuh dan berkembang pada masa ini antara lain ilmu mantik, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu. Adapun ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh merupakan pengembangan dari ilmu yang telah ada sebelumnya. Ilmu sejarah, geografi serta ilmu bahasa juga tumbuh berkembang (Sunanto, 2004: 41-42) menyemarakkan gerakan ilmiyah pada masa ini.
Gerakan ilmiah bidang keagamaan antara lain ditandai dengan munculnya pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits,  fikih, dan kalam. Ulama-ulama tabi’in ahli tafsiryang mengemuka antara lain Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin al-Ajda’, Qatadah. Pada masa ini jangkauan ilmu tafsir al-Qur’an bertambah luas karena persentuhan dengan peradaban asing seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan.
Penyempurnaan penulisan al-Qur’an juga terjadi pada masa ini. Mushaf Usmani pada mulanya tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal. Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena bercampur dengan bahasa lainnya, maka para penguasa Bani Umayyah mulai melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang benar. Perlunya pembubuhan tanda baca dalam penulisan al Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661-680 M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslim dalam membaca Al Qur’an. Melihat kenyataan seperti itu, Ziyad bin Samiyah meminta Abu al Aswad al Duali (w.69H/638 M) untuk memberi syakal. Ia memberi tanda fathah atau tandabunyi (a) dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun atau tanda bunyi konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf bersangkutan (Faizah, 2008:194). Kemudian, tanda baca Abu al-Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama sesudahnya pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu oleh al Khalil bin Ahmad dengan fathah, dlammah dan kasrah seperti sekarang ini.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia menginsturksikan kepada al Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al Qur’an. Untuk mewujudkan usaha tersebut, al Hajjaj menugaskan hal ini kepada Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, keduanya adalah murid Abu al-Aswad al-Duali. Akhirnya, mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf al Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan huruf yang satu dengan lainnya. Misalnya, huruf dal dengan huruf dzal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf tsa. Demikian pula dengan huruf-huruf lainnya sebagaimana kita kenal saat ini.
Awal periode Bani Umayyah bertepatan dengan masa sahabat kecil dan tabi’in yang dalam istilah ilmu hadits disebut masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits (Ash-Shidieqy, 1987: 47-54). Seiring dengan perluasan wilayah pada waktu itu, Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai. Pada saat yang sama, muncul pula usaha pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi masalah politik, yakni perpecahan antara pengikut Ali bin Abu Thalib dan pengikut Muawiyah bin Abu Sofyan yang memunculkan kelompok Syi’ah, Khawarij, dan jumhur (kelompok pemerintah pada waktu itu).
Berdasar pada kekhawatiran akan hilangnya hadits karena wafatnya para ulama hadits, pada masa kepemimpinannya Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk melakukan pembukuan hadits (Yuslem, 2001: 125). Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm (120 H) yang menjadi guru Ma'mar al-Laits, al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabi’in dan salah salah satu dari tujuh orang ahli fiqh di madinah (Ash-Shidieqy, 1987: 79). Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab al-Zuhri, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah berhasil dilakukan oleh al-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya. Tercatat dalam sejarah bahwa pembukuan hadits yang pertama kali dilakukan oleh Imam al-Zuhri atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam al-Zuhri tersebut tidak diketahui dan tidak sampai kepada kaum muslimin di era sekarang ini.
Gerakan ilmiah ini juga memunculkan ulama-ulama fiqih seperti Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq al-Ajda’, al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim al-Nakh’i (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil al Sya’by (wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahubn 120 H), guru dari Abu Hanafiah. Terkait dengan gerakan ilmiah dalam bidang fiqh pada saat itu berkembang dua pola ijtihad, pertama, tokoh-tokoh hadits dalam memberikan ketetapan hukum  sangat tergantung pada ketetapan Rasulullah, sehingga bagaimana pun juga, mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka inilah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk kepentingan-kepentingan politik. Kedua adalah pola ijtihad yang dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut sebagai ilmu ushul fiqih (Zuhairini, 2004: 85). Dari dua pola umum ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam fiqih, yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqih yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang madrasah Madinah.
Persentuhan antara bangsa Arab Muslim dengan negeri-negeri taklukan pada masa Bani Umayyah telah melahirkan kreativitas baru yang mengagumkan di bidang ilmu pengetahuan dan seni (Mufrodi, 1997: 83). Sebagaimana dimaklumi, perselisihan antara Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah telah menyisakan problem teologis di kalangan kaum muslimin. Pemeluk Islam dari kalangan non Arab pada masa awal Daulah Umawiyyah memperkenalkan tradisi argumentasi filsafat Yunani dan teologi Kristen yang dengannya para pemikir muslim dapat menggunakan untuk menyaring konsep-konsep mereka. Perdebatan Islam-Kristen di istana khalifah di Damaskus dan penerjemahan literatur Siria dan Yunani ke dalam bahasa Arab mendorong para pemikir muslim untuk mengadopsi peristilahan dan bentuk-bentuk argumentasi rasional mereka (Lapidus, 1999: 160-161). Di antara pejabat Istana masa khalifah Abdul Malik ada pula beberapa penganut kristen yang tetap mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya ia mempertahankan Nabi Isa sebagai oknum Tuhan yang kedua. Sikap demikian mendorong para pemikir muslim untuk menyelidiki keyakinan dan mempelajari logika mereka untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka. Perdebatan mereka sampai menyoal tentang qadar dan sifat-sifat Tuhan. Kelompok yang mempersoalkan masalah-masalah ini kemudian dikenal sebagai kelompok Mu’tazilah (Sunanto, 2004: 40-41. Harun Nasution (1971: 38) dalam bukunya Teologi Islam Aliran-aliran Perbandingan menyatakan bahwa kelompok Mu’tazilah ini sebagai golongan rasionalis Islam yang benyak menggunakan akal dalam pembahasannya. Hal-hal sebagaimana tersebut tentu saja semakin memperluas, memperkaya, dan membuka lapangan kajian baru di kalangan kaum muslimin, terutama dalam masalah teologi.
Kemajuan juga dicapai dalam pengembangan ilmu bahasa, sastra, dan seni. Pada masa pemerintahan Abd. Malik bin Marwan, bahasa arab digunakan sebagai administrasi negara. Dengan penggunaan bahasa Arab yang semakin luas dibutuhkan suatu panduan bahasa yang dapat digunakan semua orang. Penguasaan bahasa Arab juga merupakan syarat mutlak dalam berbagai studi al-Qur’an. Seiring dengan perluasan wilayah bahasa Arab berkembang menyimpang dari al-Qur’an. Sebuah lingua franca bahasa Arab tumbuh untuk beberapa suku yang berbeda. Lantaran lingua franca bahasa Arab telah berubah, para ulama khawatir akan kehilangan pertalian dengan bahasa Arab al-Qur’an sehingga mereka akan kehilangan makna yang terkandung dalam wahyu Tuhan. Untuk menghindari hal ini diperlukan adanya usaha mempertahankan kemurnian bahasa Arab Makkah dan bahasa Arab suku-suku padang pasir serta perlu dilakukan upaya  pembakuan bahasa Arab Klasik (Lapidus, 1999:136). Hal inilah yang mendorong lahirnya lembaga pendidikan badi’ah dan memotivasi para ulama ahli bahasa untuk menciptakan produk intelektual yang berupa kitab-kitab bahasa Arab. Seorang ahli bahasa terkemuka yang bernama Imam Syibawaihi dan beberapa kamus bahasa Arab generasi pertama merupakan produk dari periode ini.
Seiring dengan perkembangan ilmu bahasa, seni sastra turut melaju dengan pesat. Segmen-segmen milliu Arab yang terinspirasi oleh orientasi yang lebih sekuler turut memperkaya bahasa Arab. Terlepas dari syair-syair klasik bahasa Arab padang pasair, pada masa ini muncul suatu bentuk syair baru yang mencerminkan interes, kesenangan, serta tamsil lingkungan istana dan perkotaan (Lapidus, 1999: 137). Sastrawan-sastrawan terkemuka yang muncul pada saat ini antara lain Qays Bin Mullawah wafat tahun 699 M, Jamil al-Uzri wafat tahun 701 M, al-Akhtal wafat tahun 710 M,  Umar Bin Abi Rubi’ah wafat tahun 719 M, al-Farazdaq wafat tahun 732 M, Ibnu Al-Muqoffa wafat tahun 756 M, Ibnu Jarir wafat tahun 792 M (Jamil, 2008: 38).
Ilmu lain yang juga berkembang dan turut meramaikan gerakan ilmiah pada masa ini antara lain adalah ilmu sejarah, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat (Sunanto, 2004: 41). Kekhilafahan etnis, kebanggaan akan berbagai penaklukan, hasrat mengagungkan masa silam yang dapat menghadirkan gengsi dan hasrat untuk mempertahankan status mereka terhadap beberapa klaim dari warga non Arab yang secara kultural merupakan kelompok superior, telah memotivasi bangkitnya keilmuan sejarah (Lapidus, 1999: 137). Selain itu berkembang pula ilmu filsafat, segala ilmu yang umumnya berasal dari bangsa Asing, seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, ilmu hitung dan lain-lain ilmu yang ada hubungannya dengan itu.
Sunanto (2004: 41-45) mengemukakan bahwa pada masa ini pendukung ilmu tidak lagi hanya bangsa Arab asli, melainkan didukung pula oleh golongan non Arab, bahkan golongan non Arab inilah yang merubah sistem ilmu pengetahuan pada saat itu. Pembidangan ilmu pada saat itu meliputi empat bidang ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu pengetahuan bidang agama, ilmu pengetahuan bidang sejarah, ilmu pengetahuan bidang bahasa, dan ilmu pengetahuan bidang filsafat. Keempat bidang ilmu tersebut bahu membahu, saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Ilmu pengetahuan sudah merupakan suatu keahlian, masuk ke dalam bidang pemahaman dan pemikiran yang membutuhkan sistematika dan penyusunan. Sementara itu, golongan yang sudah biasa dengan keahlian ini adalah golongan non Arab yang disebut dengan Mawali, yaitu golongan yang berasal dari bangsa asing atau turunannya. Tokoh-tokoh ilmu nahwu seperti Sibawaihi, al-Farisi, al-Zujaj; tokoh-tokoh hadits seperti al-Zuhri, Bukhari, Muslim; Tokoh-tokoh ilmu tafsir seperti ikrimah dan Mujahid bin Jabbar, semua nama yang disebutkan itu adalah Mawali. Masih banyak lagi ulama yang berasal dari darah campuran yang juga disebut Mawali. Cucu-cucu Khulafaa’ al-Raasyidiin; Salim.bin Abdullah bin Umar bin Khaththab, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib masing-masing adalah anak dari putri-putri Yazdajird, raja Persi terakhir.

D. TELAAH KRITIS TENTANG KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Kerancuan dalam memetakan peristiwa yang terjadi pada periode atau masa Bani Umayyah didapati dalam penulisan beberapa buku atau artikel tentang sejarah pendidikan Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Periode atau masa Bani Umayyah yang dimaksud seharusnya mengacu pada masa berkuasanya Daulah Umawiyyah yang berpusat di Damaskus pada taun 661-750 M. Sedangkan apa yang terjadi pada masa berkuasanya Daulah Umawiyyah di Andalusia sesudah 750 M tidak termasuk dalam masa ini. Sebagimana periodisasi yang telah dikemukakan para ahli sejarah, zaman Umayyah sesungguhnya telah berakhir pada tahun 750 M dan dilanjutkan dengan masa atau zaman Abbasiyyah. Adapun kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia sesudah itu, jika ditinjau dari zamannya maka termasuk ke dalam zaman Abbasiyyah walaupun di sana masih ada Daulah Umawiyyah yang berkuasa dan tidak tunduk kepada kekuasaan pusat atau kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang berpusat di Bagdad. Oleh kare itu, pembahasan tentang kelembagaan pendidikan pada masa Bani Umayyah ini tidak memasukkan segala peristiwa yang terjadi di Andalusia sesudah tahun 750 M.
Ditinjau dari sistem penyelenggaraan pendidikan serta model dan metode pembelajarannya, pendidikan pada masa Bani Umayyah belum banyak mengalami kemajuan dibandingkan dari periode sebelumnya. Penyelenggaraan pendidikan tidak mengenal standar umur dan belum diatur dengan kurikulum dalam tingkatan-tingkatan kelas yang jelas. Kurikulum pendidikan sepenuhnya berada ditangan pengajar atau guru yang memiliki otoritas penuh atas penyelenggaraan pembelajaran di lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Dapat diperkirakan bahwa metode pembelajaran pada masa ini masih didominasi oleh metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan demonstrasi.
Penyelenggaraan pendidikan bersifat desentralisasi, dalam arti tidak dikelola dan belum diatur oleh negara. Lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang adalah lembaga-lembaga pendidikan informal dan lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang diselenggarakan atas inisiatif dan oleh masyarakat. Sekalipun demikian bukan berarti Daulah Umawiyyah tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan. Sejak zaman Muawiyah berkuasa, pemerintah atau negara telah memberikan dorongan yang kuat terhadap pendidikan, hanya saja penyelenggaraannya tidak ditangani dan tidak diatur secara resmi oleh pemerintah atau negara. Dukungan konkret yang diberikan oleh pemerintah terhadap pengembangan pendidikan pada saat itu antara lain terwujud dalam bentuk motivasi dan penyediaan atau bantuan yang berupa sarana dan prasarana.
Sistem penyelenggaraan pendidikan Islam dan model-model pembelajarannya pada masa ini memang tidak berbeda jauh-jauh dari periode sebelumnya. Sekalipun demikian jika dilihat dari kwantitas, penyebaran, dan substansi materi pembelajarannya terlihat adanya kemajuan yang sangat pesat. Seiring dengan perluasan teritorial, keberadaan pendidikan Islam juga meluas ke berbagai wilayah taklukkan Daulah Umawiyyah, sementara itu sekalipun masih dalam kontrol budaya Arab Islam, materi pembelajaran juga terus berkembang. Perluasan wilayah kajian ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits,  fikih, ilmu kalam, perkembangan ilmu bahasa, penulisan al-Qur’an, juga transmisi ilmu-ilmu asing ke dalam peradaban Islam melalui persentuhan budaya serta penerjemahan buku-buku yang memunculkan ilmu-ilmu seperti astronomi, kedokteran, kimia, ilmu mantik, ilmu hitung, dan sebagainya menunjukkan betapa maju pesat dan semakin luasnya materi pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa yang sama, telah muncul pula lembaga-lembaga pendidikan yang menurut istilah Makdisi (1981) dikatakan sebagai lembaga-lembaga pendidikan pra madrasah yang bersifat inklusif, yakni lembaga-lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu asing dalam proses pembelajarannya di samping ilmu-ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, berdasarkan pada hal-hal yang telah dikemukakan, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa pada masa Bani Umayyah tidak banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang pendidikan.
Beberapa model pendidikan Islam nonformal yamg masih berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, seperti Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ/TPA) dan pengajian-pengajian, baik yang berpusat di masjid, di rumah-rumah, dan yang berkeliling serta bergilir dari rumah ke rumah, merupakan model-model kelembagaan pendidikan yang serupa dan memiliki kesamaan ciri-ciri dengan beberapa model kelembagaan pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah seperti lembaga pendidikan masjid, kuttab, dan halaqah. Kelembagaan pendidikan nonformal sebagaimana tersebut masih sangat relevan untuk dikembangkan dan cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan para peserta didik yang tidak sempat menikmati pendidikan di pondok pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran mata pelajaran agama di lembaga pendidikan formal non pesantren belum sepenuhnya atau bahkan masih jauh dari memadai untuk dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam bidang agama Islam, baik pada aspek kognitif, afektif, maupun aspek psikomotorik. Hal ini antara lain disebabkan oleh alokasi waktu yang disediakan untuk pendidikan agama terlalu sedikit sehingga masih jauh dari memadai untuk menyajikan materi-materi pendidikan Agama Islam. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal ini juga cukup efektif untuk memberikan pendidikan agama Islam kepada anggota masyarakat yang sudah tidak lagi duduk di bangku sekolah. Oleh karena itu, menghadirkan dan memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan Islam pada jalur nonformal dan mengelolanya dengan baik merupakan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional Indonesia saat ini, bahkan dapat pula menjadi solusi alternatif dalam mengatasi barbagai permasalahan bangsa yang berakar pada kemerosotan nilai-nilai dan moral serta berujung pada krisis multidimensional yang melanda kehidupan bangsa dewasa ini.  

E. KESIMPULAN 
Mengacu pada teori yang diajukan oleh Makdisi (1981), yang mnegklasifikasi institusi-institusi pendidikan atau kelembagaan pendidikan Islam pada zaman Islam klasik menjadi dua kategori, yakni lembaga-lembaga pendidikan pra madrasah dan madrasah, maka institusi-institusi pendidikan yang tumbuh dan berkembang pada masa Bani Umayyah termasuk dalam kategori kelembagaan pendidikan pra madrasah. Adapun institusi-institusi pendidikan yang berkembang pada masa itu antara lain adalah lembaga pendidikan masjid, kuttab, shuffah, majlis sastra, pendidikan istana (qushur), badi’ah, halaqah, dan bimaristan. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada masa ini secara esensial tidak berbeda jauh dari penyelenggaraan pendidikan pada periode Nabi SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin, yakni bersifat desentralisasi (tidak diatur oleh negara) dan belum memiliki struktur kurikulum yang jelas. Kurikulum pendidikan Islam pada masa ini sepenuhnya berada di tangan guru atau orang tua dan guru untuk pendidikan istana.
Kemajuan-kemajuan bidang pendidikan yang cicapai pada masa Bani Umayyah antara lain terlihat pada munculnya lembaga-lembaga pendidikan baru yang belum pernah ada pada periode sebelumnya, seperti pendidikan istana, badi’ah, dan bimaristan. Selain itu, secara kwantitatif lembaga-lembaga pendidikan bertambah banyak dan tersebar ke berbagai wilayah seiring dengan perluasan wilayah pada waktu itu. Substansi materi pembelajaran juga mengalami banyak kemajuan dengan masuknya ilmu-ilmu asing sebagai akibat dari persentuhan antara budaya Arab Islam dan budaya-budaya asing di daerah taklukkan. Selain lembaga-lembaga pendidikan eksklusif yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama, pada masa ini telah muncul pula lembaga-lembaga pendidikan inklusif yang memasukkan ilmu-ilmu asing sebagai materi pembelajarannya.
Beberapa model kelembagaan pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah dipandang masih cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia sekarang ini, terutama untuk penyelenggaraan pendidikan pada jalur pendidikan Islam non formal. Pengembangan lembaga pendidikan Islam nonformal merupakan solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan agama Islam bagi para peserta didik yang tidak berkesempatan untuk menikmati pendidikan di pondok pesantren. Kehadiran pendidikan Islam nonformal juga dapat menjadi sarana yang cukup efektif bagi pembinaan masyarakat, utamanya dalam memberikan pendidikan keagamaan kepada anggota masyarakat yang sudah melewati usia sekolah atau sudah tidak berkesempatan lagi untuk mengikuti pendidikan pada jalur formal sejalan dengan kosep atau prinsip pendidikan seumur hidup sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Dengan demikian, pengembangan lembaga pendidikan Islam nonformal dapat menjadi solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan pendidikan nasional sekaligus mengatasi permasalahan bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis yang berakar pada kemerosotan nilai-nilai dan moral.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jogjakarta : LESFI.
al-Abrasi, Athiyya, 1993, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemah Bustami A. Ghani, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, K, 2000, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asari, Hasan, 1994, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan.
Ash-Shidieqy, M. Hasbi, 1987, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah  Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
al-Ismail, Taha, 1996, Tarikh Muhammad; Teladan Perilaku Umat, Terjemah A. Nashir Budiman, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Faizah,Nur, 2008, Sejarah Al Qur’an. Jakarta:CV.Artha Rivera.
Heri, Musnur, 2009, Sejarah Pendidikan Islam, IAIN Raden Fatah Press.
Jamil, Ahmad, dkk,  2008, sejarah kebudayaan islam, Gresik: CV.Putra kembar jaya.
Langgulung, Hasan, 1980, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, Jakarta, Pustaka Al Husna.
Lapidus, M. Ira, 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam, edisi terjemahan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Makdisi, George, 1981, The Rise of Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh: Edinburgh University Press.
Mufrodi, Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press.
--------------, 1971, Teologi Islam Aliran-aliran Perbandingan, Jakarta: UI Press.    
Nizar, Syamsul, 2007, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pulungan, Suyuthi, 1994, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ramayulis, 2012, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Stanton, Charles Michael, 1990, Higher Learning in Islam, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
Sunanto, Musyrifah, 2004, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Bogor: Kencana.
Suwendi, 2004, Sejarah dan Pemikiran Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syalabi, Ahmad, 1973, Sejarah Pendidikaan Islam, terj. Muhtar Yahya, Jakarta : Bulan Bintang.
Syukur, Fatah, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Yatim, Badri, 1998, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud, 1992, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung.
Yuslem, Nasir, 2001, Ulumul Hadist, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Zuhairini dkk, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Penyelesaian perang Siffin diselesaikan dengan kompromi antara Ali dengan Muawiyah. Namun hal ini tidak menguntungkan bagi Ali, karena hal tersebut menimbulkan pecahnya kaum muslimin (syi’ah dan Khawarij), sehingga kepemimpinan Ali semakin lemah dan Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. Kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan (Syukur, 2002: 69); Peralihan kekuasaan ke bani Umayyah sebenarnya terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah pengganti Ali mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam Islam dikenal dengan tahun persatuan (‘am al-Jama’ah), yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Mu’awiyah setelah Mu’awiyah bersedia memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Hasan (Pulungan, 1994: 162-163). Setelah naik tahta ternyata Mu’awiyah tidak mentaati perjanjiannya dengan Hasan bin Ali (Yatim, 1998: 45).