Kamis, 16 Oktober 2014

KONSEP INTEGRASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PENDIDIKAN KARAKTER



A. PENDAHULUAN
Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah berhasil membuat dunia seolah-olah semakin kecil telah membawa pengaruh yang sangat besar pada norma-norma dan system nilai masyarakat, perilaku manusia, organisasi, struktur keluarga, mobilitas masyarakat, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Kelemahan generasi dalam memahami dan menghayati nilai-nilai moral dan ajaran agama menyebabkan mereka tidak memiliki filter yang baik ketika mengkonsumsi, mengadopsi, atau menyerap budaya asing. Sebagai akibatnya mereka lebih cenderung kepada pilihan yang buruk dari pada nilai-nilai kebaikannya. Mereka telah tercabut dari ajaran agama serta nilai-nilai moral dan nilai-nilai luhur yang sebenarnya telah lama dimiliki oleh bangsa sendiri.
Pendidikan, sesuai dengan fungsinya sebagai proses pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, maupun sebagai proses pewarisan budaya dari generasi ke generasi mengarah kepada kegiatan pembibingan terhadap umat manusia agar dapat mempertahankan kelangsungan dan kelayakan hidupnya sebagai manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa selain menyiapkan generasi agar dapat mengembangkan potensi sebagai bekal dasar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, pendidikan juga bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas pembimbingan dalam bidang moral dan agama agar mereka dapat hidup layak sebagai manusia sehingga terwujudlah suatu tatanan kehidupan yang manusiawi, bermoral, dan berakhlak mulia.
Kemerosotan nilai-nilai moral dan agama ditandai dengan terjadinya krisis multidimensional yang tengah membelit bangsa saat ini tidak terlepas dari kelalaian sistem pendidikan nasional yang selama ini kurang memperhatiakan pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu pengembangan sistem pendidikan berbasis karakter dipandang sebagai kebutuhan atau solusi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional Indonesia saat ini. Pengembangan pendidikan karakter ini telah menjadi salah satu program utama pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan kebudayaan , pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pengembangan kurikulum pendidikan karakter merupakan suatu kebutuhan dan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya suatu generasi berkarakter yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Integrasi nilai-nilai agama diperlukan dalam kurikulum pendidikan karakter karena agama merupakan acuan utama yang membawa manusia untuk membentuk kehidupan yang bermoral. Meskipun tiap-tiap agama memiliki perbedaan mendasar antara yang satu dengan yang lain namun ada satu kesamaan prinsip bahwa setiap perilaku manusia dalam kehidupan ini akan berdampak atau mendapatkan balasan yang setimpal di masa yang akan datang. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki kewajiban berbuat baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan (Lickona, 2013: 64).
Jauh sebelum munculnya istilah pendidikan karakter, sesungguhnya pendidikan agama Islam sudah merupakan suatu model pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter karena pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan upaya penanaman atau internalisasi nilai-nilai Islam yang berdasar pada ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) melalui pendidikan dan pembelajaran. Pencanangan program pemerintah untuk menerapkan kurikulum pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional merupakan peluang strategis untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikan nasional..
Berdasar pada konteks sebagaimana tersebut di atas penelitian ini berfokus pada permasalahan bagaimana integrasi nilai-nilai Islam dengan 18 nilai karakter sebagaimana telah dirumuskan oleh kementerian pendidikan nasional Republik Indonesia dan bagaimana integrasi nilai-nilai Islam dalam pembelajaran selain pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Tujuan penelitian adalah untuk memahami integrasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan memahami integrasi nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran pada mata pelajaran selain pendidikan agama Islam di sekolah. Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kritis, yaitu  metode penelitian yang mendeskripsikan gagasan manusia dengan suatu analisis yang bersifat kritis (Mastuhu dan Deden Ridwan, 1998: 44). Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi teori pengembangan kurikulum dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam khususnya dan pengembangan kurikulum pendidikan karakter pada umumnya.

B. KAJIAN TEORI TENTANG NILAI-NILAI ISLAM
1.  Kajian penelitian terdahulu
Penelitian tentang niali-nilai atau karakter dalam kaitannya dengan pendidikan antara lain telah dilakukan oleh Putra (2013) dengan penelitiannya yang berjudul Pengembangan Model Internalisasi nilai karakter dalam Ilmu Pengetahuan Sosiai melalui Value Clarification Technique (VCT) di Sekolah Menengah Pertama se Solo Raya. Penelitian ini mengkaji efektifitas model VCT (Value Clarification Technique) untuk menginternasilsasikan nilai-nilai karakter khususnya pada mata pelajaran IPS ke dalam aktivitas siswa. Model Internalisasi Nilai Karakter Melalui VCT ini dinilai sebagai model yang baik dan efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran IPS.
Komariyah (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Model Pendidikan Nilai Moral bagi Para Remaja menurut Perspektif Islam menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan nilai atau moral sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai moral tesebut tidak akan berhasil jika hanya dibebankan kepada sekolah saja. Demikian juga sebaliknya, jika pendidikan hanya diserahkan kepada keluarga atau masyarakat saja tanpa adanya kerja sama yang baik antara ketiganya (sekolah, keluarga, dan masyarakat) maka pendidikan moral itu tidak akan pernah mencapai keberhasilan. Substansi pendidikan moral adalah penanaman nilai-nilai yang hendaknya diawali dengan penanaman nilai-nilai agama. Model pendidikan nilai moral di sekolah hendaknya dilaksanakan dengan menciptakan kultur religius di sekolah dibarengi dengan penguatan pada bidang studi atau mata pelajaran akhlak. Adapun model pendidikan nilai moral di masyarakat hendaklah diawali dengan membangun budaya religius di tengah-tengah masyarakat itu sendiri dengan cara mengintensifkan pendidikan agama di lingkungan keluarga, di masjid, dan mengisi waktu luang para remaja dengan bimbingan agama.
Afandi (2011) dengan penelitiannya yang berjudul Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Menurutnya melalui pembelajaran ilmu pengetahuan sosial dapat di masukkan nilai-nilai pendidikan karakter dengan mengintegrasikan materi dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa IPS sebagai bidang studi dalam pembelajaran yang bertujuan agar peserta didik mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara merupakan mata pelajaran yang tepat untuk mengimplementasikan pendidikan karakter.
Penelitian terkait dengan nilai agama Islam dilakukan oleh Rochman (2010)  berjudul Pembelajaran Fisika Berbasis Nilai Agama Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan metode deskritif serta research and development ia mengkaji pengintegrasian nilai agama Islam dalam program pembelajaran fisika pada perguruan tingga agama Islam. Menurut hasil penelitiannya, karakteristik Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terintegrasi dengan nilai agama Islam dalam pembelejaran fisika dapat diwujudkan dalam beberapa komponen yaitu: tujuan pembelajaran, uraian materi, media, pendekatan/metode, langkah-langkah pembelajaran dan evaluasi. Adapun sintak proses pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari: introduksi, eksplorasi, eksplanasi, elaborasi, dan evaluasi. Menurutnya terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan mahasiswa dalam menitegrasikan nilai agama Islam pada materi fisika dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Sadiah (2010) penelitiannya berjudul Pengembangan Model Pendidikan Nilai-nilai Keberagamaan dalam Membina Kepribadian Sehat. Melalui metode deskritif analitik dengan pendekatan kualitatif ia dia mengkaji tentang pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat terhadap perubahan perilaku siswa di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat terhadap perubahan perilaku siswa tampak dari rutinitas dan aktivitas siswa dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah. Pengembangan model pendidikan dimaksud berdampak positif terhadap perubahan perilaku siswa yang menunjukkan kepribadian sehat dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah.
Selain beberapa penelitian sebagaimana tersebut di atas, tentu masih banyak penelitian tentang nilai-nilai dalam kaitannya dengan pendidikan karakter yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Sekalipun demikian sejauh penelusuran peneliti belum ada kajian tentang Konsep Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Pendidikan Karakter. Oleh karena itu peneliti mengangkat judul tersebut dalam sebuah penelitian dengan harapan dapat menjadi masukan pengembangan ilmu dan bahan kajian bagi penelitian-penelitian pada bidang terkait.

2.  Landasan Teori tentang Nilai-nilai Islam
Niali merupakan preferensi yang tercermin dalam perilaku seseorang. Nilai itulah yang mendasari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam hal ini, nilai dapat dikatakan sebagai konsep, sikap, dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandangnya berharga. Ketika nilai diletakkan pada bangunan sistem pendidikan agama Islam maka jadilah nilai-nilai dasar pendidikan Islam yang bermakna sebagai konsep-konsep yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral, dan operasional pendidikan Islam.
Pendidikan agama Islam yang di jalankan atas dasar nilai-nilai ajaran Islam memiliki dua orientasi, yaitu orientasi ketuhanan dan orientasi kemanusiaan. Orientasi ketuhanan menyangkut penanaman keyakinan, ketaatan, dan kepasrahan kepada Allah yang tercermin dalam kesalehan ritual atau nilai-nilai sebagai hamba Allah (‘abdu Allah). Adapun orientasi kemanusiaan menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan sesama makhluk ciptaan Allah terkait dengan tugas manusia sebagai wakil Allah di bumi (khalifat Allah fii al-ardh).
Secara epistemologis pendidikan Islam dibangun dia atas dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijtihad. al-Qur’an sebagai landasan epistemologis bukan hanya dipandang dari sudut keimanan atau keyakinan semata, malinkan karena kebenaran al-Qur’an teruji oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. al-Qur’an merupakan pedoman yang tidak mengandung unsur keraguan (QS. al-Baqarah (2): 2) dan tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (QS. Hijr(15): 9) baik dalam aspek pembinaan sosial budaya maupun pendidikan.
Landasan epistemologis yang kedua adalah al-Sunnah yang diartikan sebagai ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. Integritas kepribadian Rasulullah SAW telah dijamin sepenuhnya oleh Allah. Beliau dijadikan sebagai teladan utama bagi manusia atau uswatun hasanah (QS. al-Ahzab (33): 21) dan perilakunya senantiasa terpelihara dan dikontrol oleh Allah (QS. al-Najm (53): 3-4) merupakan jaminan bahwa mencontoh dan meneladani Nabi SAW dalam segala hal adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan untuk memperoleh kemaslahatan pada segala aspek kehidupan.
Landasan ketiga adalah ijtihad sahabat, pemikir muslim, juga pergumulannya dengan pemikir dan pemikiran Barat modern. Langgulung (1992: 120-122) , menggambarkan bahwa para sahabat merupakan murid-murid dari guru teragung (Muhammad SAW). Sekolah Nabi SAW benar-benar telah menghasilkan manusia luar biasa yang dapat mengatasi segala kesulitan dan tekanan serta mencatatkan namanya dalam lembaran sejarah sebagai orang-orang besar. Umar bin Khaththab adalah salah satu contoh dari muridnya yang mempunyai kemampuan tinggi dalam berijtihad. Umar tidak saja mengambil apa yang baik dari umat lain, tetapi juga tidak menghendaki sikap jumud (stagnan), ia mengikuti berbagai pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros penetapan hukum yang diridhai Allah SWT (Rahman, 1994: 346-348). Landasan ijtihad ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara penyelenggaraan pendidikan agama Islam dengan kondisi serta situasi sosial kemasyarakatan namun ia tidak tercabut dari akarnya sebagai pendidikan Islam.
Berdasar pada landasan epitemologis sebagaimana telah dikemukakan selanjutnya di jabarkan (break down) dalam kerangka atau nilai-nilai dasar ajaran Islam yaitu iman, islam, dan ihsan (HR. Muslim)[1] yang mana ketiganya merupakan satu keasatuan yang tak terpisahkan. Iman merupakan keyakinan atau sikap batiniah yang penuh kepercayaan kepada Allah SWT. Iman bukan sekedar meyakini adanya Alah melainkan juga meyakini kebenaran seluruh ajaran-Nya yang telah disampaikan melalui utusan-Nya yakni Nabi Muhammad SAW tanpa menyisakan keraguan sedikitpun (QS. al-Hujuraat (49): 15). Adapun Islam, dapat dimaknai sebagai penyerahan diri secara total terhadap Allah (QS. al-An’am(6): 162). Penyerahan diri secara total ini akan menumbuhkan sikap dan kehendak untuk mengimplementasikan ajaran-Nya dalam segala aspek kegiatan dan kehidupan. Islam dalam hal ini merupakan penjabaran atau pengejawantahan iman dalam sikap dan perilaku hidup baik lahir maupun batin. Sedangkan ihsan adalah suatu kesadaran bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan hambaNya yang menumbuhkan sikap untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu semata-mata karena Dia.
Para ulama telah mengembangkan konsep kajian tentang nilai-nilai dasar ajaran Islam tersebut. Iman melahirkan konsep kajian ‘aqidah, Islam melahirkan konsep kajian syari’ah, dan ihsan melahirkan konsep kajian akhlaq. Dari kajian-kajian tersebut, terlahir nilai-nilai Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sabiq (1999: 15) menyatakan bahwa keimanan itu merupakan ‘aqidah dan pokok yang diatasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya yang tak terhinga. Keyakinan, pengkajian, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam melahirkan nilai-nilai kebajikan yang tercermin perilaku kehidupan baik yang lahir maupun yang batin. Iman yang benar akan melahirkan amal shalih (Islam), selanjutnya iman dan amal shalih akan membuahkan kebajikan-kebajikan (ihsan).
Nilai-nilai Islam berisi tentang ketentuan-ketentuan atau tata cara yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (Tuhan), hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam secara keseluruhan (Suryana, dkk, 1996: 148-150). Nilai-nilai  Islam dijabarkan dari tiga nilai dasar ajaran Islam (iman, islam, dan ihsan) sebagaimana tersebut di atas. Nilai-nilai dasar ajaran Islam tersebut selanjutnya dapat dijabarkan menjadi nilai-nilai islam yang lebih spesifik sepeti iman dan takwa, tawakkal, tawadhu’, sabar, syukur, disiplin, toleransi, dan sebagainya. Sesuai dengan keluasan ajaran Islam, cakupan nilai-nilai Islam sangat luas dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam konteks pendidikan, baik pada dataran teori maupun praktek, seluruh komponen pendidikan Islam harus didasarkan pada nilai-nilai Islam. Penyelenggaraan pendidikan harus didedikasikan untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa(QS. Ali Imran (3): 102) atau iman dan amal shalih (QS al-Nahl (16): 97), selanjutnya proses pendidikan Islam harus dijalankan dengan semangat ibadah kepada Allah SWT (QS. al-Dzaariyaat (51) : 56).

C. Integrasi Nilai-nilai Islam dan Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan berupa tabiat atau watak yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir, dan berperilaku setiap individu yang khas untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Samani dan Hariyanto, 2013: 41). Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang uniersal dan meliputi seluruh seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Fathurrohman dkk, 2013: 18). Dalam terminologi Islam karakter lebih dikenal sebagai akhlaq, yaitu suatu sifat yang terpatri dalam jiwa yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan perenungan terlebih dahulu. 
Pendidikan karakter menurut Zuriah (2011: 11) dapat disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil (Samani dan Hariyanto, 2013: 46). Pendidikan karakter bertujuan menanamkan nilai-nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Selain itu pendidikan karakter juga bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan (Asmani, 2013: 42-43).
Pendidikan karakter hendaknya menjadi gerakan nasional dan menjadikan institisi pendidikan (sekolah) sebagai agen pembentukan karakter bangsa. Senada dengan itu, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003 pasal 3).
Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai karakter merupakan sebuah keniscayaan yang diperlukan bagi penanaman nilai-nilai karakter terhadap generasi muda harapan bangsa. Agar internalisai atau penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik dapat efektif maka diperlukan identifikasi nilai-nilai karakter secara komprehensif kemudian diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional dengan segenap komponen-komponennya yang mendasari segala aktivitas pendidikan.
Kementerian Pendidikan Nasional (2010) telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkan pada diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Nilai-nilai karakter rumusan Kementerian Pendidikan Nasional tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
1.    Religius, yakni ketaatan dan kepatuahan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.    Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3.    Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.    Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5.    Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.    Keratif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7.    Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain.
8.    Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.    Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam.
10.              Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11.              Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12.              Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13.              Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik.
14.              Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.              Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16.              Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17.              Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18.              Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pendidikan karakter sebenarnya sejak awal telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang disampaikan melalui pendidikan agama dan pendidikan kewarga negaraan (PKn). Dalam perkembangannya disadari bahwa penanaman nilai-nilai karakter tidaklah cukup dengan mengandalkan dua mata pelajaran tersebut. Berangkat dari kesadaran itu kemudian timbul inovasi bahwa pelaksanaan pendidikan karakter dapat diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik. Pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Pendidikan agama Islam yang sejatinya adalah pendidikan nilai (karakter) mendapatkan peluang lebih dengan adanya inovasi dan kebijakan dimaksud. Sebagaimana telah dimaklumi, penanaman nilai-nilai Islam sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui pendidikan agama Islam. Dengan adanya inovasi dan kebijakan tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam arti penanaman nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Untuk kepentingan itu langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai Islam tersebut dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Pengintegrasian dalam hal ini adalah usaha pemaduan nilai-nilai Islam dengan 18 nilai karakter yang telah dirumuskan oleh kementerian pendidikan nasional.
Setelah mencermati butir demi butir nilai-nilai karakter bangsa yang telah dirumuskan kementerian pendidikan nasional kemudian menyandingkannya dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, peneliti menemukan kenyataan bahwa 18 nilai karakter yang telah dirumuskan kementerian pendidikan nasional keseluruhannya telah mencerminkan dan merupakan bagian dari nilai-nilai Islam. Sekedar untuk memperjelas, posisi nilai-nilai karakter dalam perspektif Islam dapat dilihat pada tabel karakter dan nilai-nilai Islam berikut ini.
Tabel karakter dan nilai-nilai Islam
No
Nilai Karakter
Nilai Islam
1
Religius
Iman dan takwa
2
Jujur
Akhlaq al-kariimah
3
Toleransi
Akhlaq al-kariimah
4
Disiplin
Akhlaq al-kariimah
5
Kerja keras
Akhlaq al-kariimah
6
Kreatif
Akhlaq al-kariimah
7
Mandiri
Akhlaq al-kariimah
8
Demoktatis
Akhlaq al-kariimah
9
Rasa ingin tahu
Akhlaq al-kariimah
10
Semangat Kebangsaan atau Nasionalisme
Akhlaq al-kariimah
11
Cinta tanah air
Akhlaq al-kariimah
12
Menghargai prestasi
Akhlaq al-kariimah
13
Komunikatif
Akhlaq al-kariimah
14
Cinta damai
Akhlaq al-kariimah
15
Gemar membaca
Akhlaq al-kariimah
16
Peduli lingkungan
Akhlaq al-kariimah
17
Peduli sosial
Akhlaq al-kariimah
18
Tanggung jawab
Akhlaq al-kariimah

Tiap-tiap butir nilai karakter rumusan kementerian pendidikan nasional merupakan rumusan budi pekerti yang baik yang bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka akan terlihat dengan jelas bahwa sikap religius merupakan pusat dan inti dari keseluruhan karakter. Selanjutnya dari sikap religius itulah maka terlahir nilai-nilai karakter yang lain.  Budi pekerti yang baik dalam terminologi Islam disebut dengan akhlaq al-kariimah yang terlahir dari iman dan takwa dalam arti yang sebenar-benarnya, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Iman dan takwa serta keseluruhan akhlaq al-kariimah merupakan nilai-nilai Islam yang dijabarkan dari nilai-nilai dasar ajaran Islam, yakni iman, islam, dan ihsan. Analisis perbandingan antara nilai-nilai karakter dengan nilai-nilai Islam sebagaimana telah dikemukakan, kiranya cukup untuk membuktikan bahwa nilai-nilai karakter rumusan kementerian pendidikan nasional, disadari atau tidak, telah mengakomodasi sebagian dari nilai-nilai Islam yang tercermin pada semua butirnya.
Berdasar pada temuan sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam dengan sendirinya telah terintegrasi ke dalam nilai-nilai pendidikan karakter. Rumusan 18 nilai karakter bangsa versi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menjadi rujukan niali-nilai bagi pelaksanaan pendidikan karakter, secara substansi dapat dikatakan sebagai wahana integrasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Walaupun tentu saja tidak mungkin semua nilai-nilai Islam dapat terintegrasi pada pada 18 nilai karakter dimaksud, namun hal itu sudah cukup memadai untuk dijadikan sebagai landasan dan bahan acuan bagi kepentingan pengintegrasian nilai-nilai Islam pada tahap berikutnya, yakni pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam semua pembelajaran di sekolah.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, penanaman nilai-nilai Islam dalam pola pendidikan berbasis karakter dapat dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran pendidikan agama Islam, melainkan dapat di interelasikan dan diintegrasikan dengan semua mata pelajaran dan semua kegiatan pembelajaran di sekolah. Guru pendidikan agama Islam bersama-sama dengan guru pendidikan agama lain dan guru pendidikan kewarganegaraan (PKn) dalam hal ini dapat bertindak sebagai konsultan pembelajaran bagi semua guru mata pelajaran atau guru kelas untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang sekaligus juga nilai-nilai Islam yang dinilai relevan ke dalam semua kegiatan pembelajaran di sekolah. Nilai-nilai yang dapat diintegrasikan adalah nilai-nilai Islam dalam bentuk substansi seperti kewajiban mengamalkan ajaran agama yang dianut, jujur, bertanggung jawab dan lain-lain, mengingat tidak semua peserta didik bahkan tidak semua guru beragama Islam. Hal-hal yang bersifat khusus terkait dengan nilai-nilai Islam tentunya dapat disampaikan pada pembelajaran pendidikan agama Islam.
Hal lain yang mesti dipertimbangkan adalah keberadaan sekolah yang pada umumnya ditopang oleh lingkungan masyarakat yang majemuk. Kondisi demikian mengharuskan pengintegrasian nilai-nilai Islam pada mata pelajaran atau pembelajran selain pendidikan agama Islam adalah pengintegrasian pada dataran substabsi. Alasan lain perlunya disampaikan nilai-nilai Islam secara substansial karena substansi nilai-nilai Islam itu bersifat universal yang kebenarannya dapat diterima oleh semua agama. Adapun untuk sekolah-sekolah Islam atau yang seluruh murid maupun gurunya beragama Islam tidak ada halangan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam secara lebih terbuka seperti hal-hal yang berkaitan dengan aqidah Islamiyah, ibadah mahdhah (khusus), dan lain-lain dalam batasan-batasan yang mampu dijangkau.
Integrasi nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran selain pendidikan Islam dilaksanakan pada semua tahapan pembelajaran seiring dengan pengintegrasian nilai-nilai karakter. Integrasi dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan (penyusunan rencana pembelajaran), pelaksanaan pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran. Adapun konsep integrasi nilai-nilai Islam (karakter) pada tahapan-tahapan pembelajaran dapat diuraikan sebagaimana berikut ini.
1.  Tahap perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pembelajaran karena perencanaan akan menjadi pemandu proses pembelajaran pada tahap-tahap sesudahnya. Pada tahap ini semua guru akan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang meliputi komponen-komponen tujuan, materi, metode/strategi, dan evaluasi. Pada saat penyusunan perencanaan pembelajaran ini guru agama Islam hendaknya bertindak sebagai konsultan bagi guru mata pelajaran atau guru kelas untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam yang memiliki relevansi dengan pembelajaran yang hendak dilaksanakan.
Rumusan tujuan pembelajaran yang dibuat hendaknya tidak hanya berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik, tetapi juga memuat aspek afektif. Pada aspek afektif inilah diintegrasikan nilai-nilai karakter dan pada saat yang sama dapat diintegrasikan pula nilai-nilasi Islam yang dinilai relevan. Selain itu masih ada satu lagi rumusan tujuan yang khusus dibuat untuk karakter yang bearti pula nilai-nilai Islam yang relevan sekali lagi dapat diintegrasikan. Nilai-nilai Islam juga diintegrasikan pada materi atau bahan ajar yang disiapkan. Perlu diingat bahwa penambahan disini cukup dengan memasukkan substansi nilai-nilai Islam dan memperhatikan relevansinya dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Selanjutnya metode dan strategi pembelajaran yang dipilih hendaknya metode dan strategi yang dapat memfasilitasi peserta didik sehingga dapat mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan. Selain itu, metode dan strategi pembelajaran yang dipilih hendaknya yang dapat mengembangkan karakter atau nilai-nilai Islam yang diintegrasikan. Demikian pula teknik evaluasi yang digunakan harus dapat mengukur pencapaian kompetensi sekaligus karakter yang dalam hal ini adalah nilai-nilai karakter atau nilai-nilai Islam yang diintegrasikan. Penilaian karakter atau nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dinyatakan secara kualitatif dan bukan kantitatif. Oleh karena itu, kusus untuk karakter/nilai Islam terintegrasi dipilih teknik evaluasi yang sesuai dengan penilaian kualitatif seperti observasi, penilaian kinerja, atau sejenisnya.
2.  Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang tertuang pada perencanaan pembelajaran. Sudah barang tentu dalam pelaksanaannya guru harus tetap memperhatikan situasi dan kondisi kelas. Hal ini penting untuk diperhatikan karena tidak jarang terjadi perubahan atau perbedaan situasi kelas di luar dugaan sehingga kurang memungkinkan atau pembelajaran menjadi tidak efektif jika guru terpaku pada apa yang telah dipersiapkan. Situasi demikian menuntut guru untuk bertidak dan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Selanjutnya perilaku guru selama berlangsungnya proses pembelajaran hendaknya merupakan model pelaksanaan karakter atau nilai-nilai yang dikembangkan.
3.  Tahap evaluasi
Evaluasi dilaksanakan sesuai yang tertuang pada perencanaan. Hal yang perlu ditekankan kembali di sini adalah, penilaian karakter yang berarti pula nilai-nilai Islam terintegrasi lebih mengedepankan pencapaian pada aspek afektif dan psikomotorik dari pada aspek kognitif. Oleh karena itu, selain harus benar-benar memahami prinsip-prisip evaluasi yang benar, guru dituntut untuk mempersiapkan perangkat evaluasi sebaik-baiknya agar diperoleh hasil evaluasi yang benar dan objektif.
Berdasar pada uraian sebagaimana tersebut di atas, tampak jelas bahwa untuk pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran pada pendidikan berbasis karakter diperlukan kesiapan dan kesigapan guru pendidikan agama Islam. Guru pendidikan agama Islam dalam hal ini benar-benar berada pada posisi sentral, di mana selain dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada peserta didik pada mata pelajaran yang diampunya, ia dituntut pula untuk memberikan pelayanan sebagai konsultan bagi semua guru kelas atau guru mata pelajaran di sekolahnya dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter atau nilai-nilai Islam. Selanjutnya guru pendidikan agama Islam juga harus mampu membangun kerja sama yang baik dengan guru pendidikan agama yang lain dan guru prndidikan kewarganegaraan (PKn) terkait dengan tugasnya sebagai sesama konsultan karakter dalam pembelajaran.

D. Kesimpulan
Setelah mencermati 18 nilai karakter yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia kemudian menyandingkannya dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, peneliti menemukan suatu kenyataan bahwa semua butir dari 18 nilai karakter yang telah dirumuskan kementerian pendidikan nasional telah mencerminkan substansi nilai-nilai Islam. Tiap-tiap butir nilai karakter pada rumusan dimaksud merupakan rumusan budi pekerti yang baik yang dalam terminologi Islam disebut dengan akhlaq al-kariimah. Sementara itu, akhlaq al-kariimah adalah bagian dari nilai-nilai Islam yang dijabarkan dari nilai-nilai dasar ajaran Islam, yakni iman, islam, dan ihsan. Berdasar pada kenyataan tersebut, 18 nilai karakter bangsa yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia secara substansi dapat dinyatakan sebagai wahana integrasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Integrasi nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran selain pendidikan Islam dilaksanakan pada semua tahapan pembelajaran mulai dari tahap perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran. Guru pendidikan agama Islam dalam hal ini bekerja sama dengan guru pendidikan agama lain dan guru pendidikan kewarganegaraan bertindak sebagai konsultan pembelajaran bagi semua guru mata pelajaran atau guru kelas untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang sekaligus juga nilai-nilai Islam ke dalam semua kegiatan pembelajaran di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA  
Achmadi, 1992, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media.
Afandi, Rifki, 2011,  Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, Paedagogia, Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 1 No. 1, ISSN: 1026-4109.
Asmani, Jamal Makmur, 2013, Buku Panduan Internalisasi Karakter di Sekolah, Jogjakarta: Diva Press.
Fathurroman, Pupuh, dkk, 2013, Pengembangan Pendidikan Karakter, Bandung: Refika Aditama.
Hartoko, Dick, 1985, Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, Yogyakarta: Kanisius.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Kementerian Pendidikan Nasional, 2010, Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas.
Komariyah, Kokom St., 2011, Model Pendidikan Moral bagi Remajamenurut Perspektif Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim Vol. 9    No. 1.
Langgulung, Hasan, 1992, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna).
Lickona, Thomas, 2013, Educating for Character, Terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara.
Mastuhu dan Deden Ridwan (eds), 1998, Tradisi Baru Penelitian Agama Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung: NUANSA.
Putra, Ghanis, 2013, Pengembangan Model Internalisasi nilai karakter dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Value Clarification Technique (VCT) di Sekolah Menengah Pertama se Solo Raya, Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 3, ISSN: 2354-6441.
Qardhawi, Yusuf, 2000, al-Iman wa al-Hayat, terj. Jazirotul Islamiyah dengan judul: Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Rahman, Budi Munawar, 1994, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Rochman, Chaerul, 2010, Pembelajaran Fisika Berbasis Nilai Agama Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam, Jurnal Penelitian Pendidikan       Vol. 11 No. 2.
Sabiq, Sayid, 1999, al-‘Aqaaidu al-Islamiyyah; Terj. Moh. Abdai Rathomy dengan judul Aqidah Islam, Bandung: CV Diponegoro.
Sadiah, Dewi, 2010, Pengembangan Model Pendidikan Nilai-nilai Keberagamaan dalam Membina Kepribadian Sehat, Jurnal Penelitian Pendidikan  Vol.11 No. 2.
Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2013, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sarjono, 2005, Nilai-nilai Dasar Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II No. 2.
Suryana, Toto, dkk, 1996, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Tiga Mutiara.
Zuriah, Nurul, 2011, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,


[1] Dari Umar radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam!”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.” Kemudian dia berkata: “Anda benar.Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman!”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian dia berkata: “Anda benar.,  Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan!” Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang kapan terjadinya hari kiamat! Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Dia berkata:  “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya!” Beliau bersabda:  “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya.” Kemudian orang itu berlalu dan aku (Umar) berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya? Aku (Umar) berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.” (HR. Riwayat Muslim).