A. PENGERTIAN IMAN
Menurut bahasa (etimologis), kata Iman berasal dari bahasa Arab,
yaitu; اٰمن
yang berarti mempercayai atau الإيمان yang berarti percaya
(Bisri, 1999: 16). Jika kata Iman disandingkan dengan kata Islam maka yang
dimaksud adalah keyakinan dan perbuatan. Dapat pula dikatakan bahwa Iman adalah
perbuatan hati yang tidak tampak atau tidak dapat ditangkap oleh panca indera,
sedangkan Islam adalah perbuatan yang tampak atau dapat ditangkap dengan panca
indera. Hal ini senada dengan yang telah dinyatakan dalam sebuah hadits sebagai
berikut:
الإسلام علانيّة
و الإيمان في القلب (رواه أبو
يعلى)
“Islam itu terang-terangan dan iman itu ada di dalam hati.” (HR. Abu Ya’la). (Baliq I, 1985: 142).
Adapun Iman menurut istilah yang populer di kalangan ulama adalah
kesatuan antara keyakinan dan perbuatan, yaitu membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Sabiq (1999: 15)
menyatakan bahwa keimanan itu merupakan ‘aqidah dan pokok yang diatasnya
berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya.
Rasulullah
SAW bersabda:
الإيمان
بضع و سبعون أو بضع وستّون شعبة فأفضلها قول لا اله الّا الله و أدناها إماطة
الأذى عن الطّريق و الحياء شعبة من الإيمان (متفق عليه)
“Iman
itu ada tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabangnya, sebaik-baiknya
adalah perkataan لا
اله الّا الله (tiada
Tuhan selain Allah) dan serendah-rendahnya adalah menyingkirkan ahal-hal yang
menyakitkan (duri) dari jalan, dan malu termasuk bagian dari iman.” (Muttafaq ‘alaih) (Baliq, 1985: 142).
Dari
definisi bahasa dan istilah diatas. maka dipahami bahwa para ulama sepakat
bahwa iman adalah pembenaran dengan hati. Ada pun mengenai ucapan dan
pengamalan anggota badan, maka sebagian ulama memasukkan ke dalam bagian dari
pada iman sedang lainnya menempatkan sebagai kelengkapan saja. Sungguhpun
demikian, jika yang dimaksud adalah iman yang diakui (diterima) oleh Allah SWT
maka iman yang benar itu adalah iman yang dibuktikan dengan perbuatan (lisan
maupun anggota badan). Orang-orang yang membenarkan Islam hanya dengan hatinya
namun menentangnya dengan perbuatan tidaklah dapat dikatakan sebagai orang yang
beriman melainkan disebut sebagai orang kafir. Baliq (1985:169) menyebutnya sebagai
kafir mu’anadah, yakni mengakui kebenaran Allah SWT, mengakui kebenaran
ajarannya, akan tetapi tidak beragama dengannya karena kedengkian, kesombongan,
dan sebagainya seperti kufurnya Abu Jahal dan orang-orang semacamnya.
Keimanan
bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja, keimanan
juga bukan keyakinan dalam hati belaka. Iman yang benar merupakan suatu ‘aqidah
atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani dan dari keimanan itu akan
muncul bekas-bekas atau kesan-kesannya sebagaimana munculnya cahaya yang
dipancarkan oleh matahari. Iman yang benar akan memunculkan ucapan dan tindakan
yang benar dan terkontrol oleh kebenaran Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah
RasulNya.
B. PENJELASAN SINGKAT TENTANG RUKUN IMAN
Pemisahan antara
pengertian Iman dan Islam antara lain dikemukakan oleh Nabi SAW dalam suatu
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar bin
Khaththab ra. yang mengisahkan tentang
kedatangan malaikat Jibril AS dan menanyakan kepada beliau SAW tentang Iman,
Islam, dan Ihsan. Sungguhpun demikian sebagaimana telah dikemukakan, bahwa
antara iman dan Islam keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Iman
dan Islam merupakan keyakinan dan perbuataan yang dengan kata lain disebut
sebagai ‘aqidah dan syari’ah, keduanya itu yang satu dengan yang
lain sambung-menyambung, hubung-menghubungi dan tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan buah dengan pohonnya, sebab
dan musababnya, atau natijah (hasil) dengan pendahuluannya (Sabiq, 1999: 15).
Ketika Nabi
SAW didatangi oleh malaikat Jibril yang menyerupakan dirinya sebagai manusia
dan menanyakan kepada beliau SAW tentang Iman, maka beliau menjawab:
. . . أن تؤمن بالله و ملٓئكته و
كتبه و رسله و اليوم الآخر و تؤمن بالقدر خيره و شرّه . . . (رواه مسلم)
“ . . . Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk . . . ” (HR.
Muslim).
Kaum muslimin di seluruh dunia meyakini bahwa azas-azas keimanan
merupakan kunci utama untuk memahami islam secara benar (Dodge, 2004: 77). Aqidah
Islamiah dibangun di atas rukun iman yang enam sebagaimana telah disebutkan
dalam hadits Rasulullah SAW tersebut di atas, yaitu: Iman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhirat, dan iman kepada takdir
yang baik dan yang buruk. Keenam rukun ini juga telah disebutkan secara jelas
dalam Al-Qur`an al-Karim. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ليس البرّ أن تولّوا وجوهكم
قبل المشرق والمغرب ولكنّ البرّ من اٰمن بالله واليوم الآخر والملٓئكة والكتاب
والنّبييّن . . . (البقرة ١٧٧)
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi . . .” (QS. Al-Baqarah (2): 177).
Adapun,
iman kepada takdir antara lain disebutkan dalam firman-Nya:
إنّا كلّ شيء خلقنٰه بقدر (القمر ٤٩)
“Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya.” (QS. al-Qomar (54): 49).
Cara memahami detail dari rukun-rukun iman itu haruslah bersumber
dari pemberitahuan Allah SWT sendiri. Perihal detail dari ‘aqidah, iman, atau
keyakinan merupakan perkara-perkara yang gaib dan yang mengetahui secara pasti
tentang perkara-perkara gaib hanyalah Allah SWT. ‘Aqidah atau keyakinan tidak
dapat ditujukan kepada hal-hal yang diada-adakan oleh manusia, melainkan
berdasarkan wahyu Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, satu-satunya sumber
azasi dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘aqidah atau keimanan adalah
al-Qur’an. Hadits Rasulullah SAW, dalam hal ini berfungsi sebagai penjelas dari
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tersebut harus mencapai derajat mutawatir.
Derajat pengkhabaran al-Qur’an adalah mutawatir, oleh karena itu dalil yang
dapat diterima untuk menjelaskan masalah ‘aqidah Islam haruslah dalil yang
mutawatir yang dalam istilah lain disebut dalil qath’i atau dalil
positif (Razaq, 1982: 123).
1.
Iman kepada Allah
Iman kepada
Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu Wujud (ada) yang disifati dengan
sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan.
Dia Maha Esa, Maha Benar, Dia tempat bergantung para makhluk, Maha Tunggal
(tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan
segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang
dikehendakiNya (al-Nawawi, 2006:41).
Azas Islam
murni adalah keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Orang yang beriman
meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yaitu Allah SWT yang menciptakan dan
menguasai segala yang ada di alam semesta ini. Dia adalah Penguasa dan Hakim
yang sesungguhnya, kekuasaan dan kebijaksanaanNya maha luas lagi tidak
terbatas. Orang yang beriman kepadaNya dengan benar akan menjadi pencintaNya,
percaya kepadaNya, berharap dariNya, dan takut untuk tidak mentaatiNya.
Keyakinan terhadap keesaan Allah merupakan ajaran tauhid yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi, dan inilah azas utama dari keimanan.
Kaum
muslimin menolak personifikasi Tuhan, atau menempatkan perantara antara manusia
dengan Tuhan. Semua bentuk berhala dan upaya-upaya untuk mencapai Tuhan melalui
yang lain adalah dusta dan amat terlarang. Keyakianan Islam menolak pengertian
bahwa Allah datang ke bumi dalam bentuk manusia atau dalam bentuk makhluk
apapun (Dodge, 2004: 78). Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan tak
terampunkan. Allah SWT berfirman:
إنّ الله لا يغفر أن يّشرك به و يغفر ما دون ذٰلك لمن يّشاء و من يّشرك بالله
فقد افترٰى إثما عظيما (النّساء ٤٨)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena
mempersekutukanNya (Syirik) dan Dia akan mengampuni dosa yang selain (syirik)
itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Barang siapa mempersekutukan Allah,
maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. al-Nisaa’ (4): 48).
Inilah pokok agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu
hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia,
baik dalam ketuhananNya maupun dalam kekuasaanNya. Segala yang ada ini,
siapapun dan apapun adalah makhlukNya. Oleh karena itu, jika ada orang yang
beranggapan bahwa ada yang lain yang berkuasa di samping Allah dan turut
menjadi Tuhan, maka orang itu mengikuti paham yang sesat. Dan tidaklah orang
yang demikian ini akan mendapat pengampunan dari Allah SWT (Hamka juzu’ 5,
1983: 97). Hanya Allah satu-satunya Tuhan, tiada Tuhan yang berhak untuk
disembah atau diibadahi selain Dia. Tidaklah seseorang dikatakan beriman kepada
Allah hingga dia mengimani 4 perkara:
a.
Mengimani adanya Allah SWT.
b.
Mengimani rububiah Allah (Tauhid
Rububiyyah), yaitu meyakini bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, mengatur,
dan memelihara alam semesta kecuali Allah SWT.
c.
Mengimani uluhiah Allah (Tauhid
Uluhiyyah), yakni meyakini bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain
Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah SWT.
d.
Mengimani semua nama dan sifat
Allah yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang Nabi-Nya shallallahu
alaihi wasallam tetapkan untuk Allah, serta menjauhi ta’thil, tahrif, takyif,
dan tamtsil.
Tahrif
atau takwil yaitu mengubah lafadz Nama dan Sifat, atau mengubah
maknanya, atau menyelewengkan dari makna sebenarnya.
Ta’thil
secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah :
Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan
sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya.
Takyif
artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif
di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan
bentuk/keadaan tertentu untuknya. Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya
tentang bentuk/keadaan istiwa’, (bersemayam), beliau menjawab: “Istiwa’ itu
telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya
wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.” Semua sifat Allah menunjukkan makna
yang hakiki dan pasti.
Tamtsil
artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai
Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya. Tamtsil ini dibagi
menjadi dua, yaitu : Pertama Menyerupakan makhluk dengan Pencipta.
Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan
Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula.
Maha Suci Allah dari itu semua. Kedua, Menyerupakan Pencipta dengan
makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai
wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran
sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan
sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan
lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Allah SWT memiliki nama-nama yang baik (al-Asmaa-u
al-Husna). Nama-nama tersebut menunjukkan sifat-sifat yang merupakan
perantara yang digunakan oleh Allah SWT agar hamba-hambaNya dapat berma’rifat
kepadaNya atau mengenalNya (Sabiq, 1999: 38). Nama-nama itu juga memberikan
penjelasan kepada umat manusia mengenai sifat-sifat Allah bahwa Dia Yang Maha
Penyayang, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Bijaksana, dan
lain sebagainya. Allah SWT telah
berfirman:
و لله الأسمآء الحسنى فادعوه بها وذر الّذين يلحدون فيٓ أسمآئه
سيجزون ما كانوا يعملون (الأعراف ١٨٠)
“Dan Allah memiliki Asmaa’
al-Husna (nama-nama yang baik), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut
Asmaa’ al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan
nama-namaNya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. al-A;raaf (7): 180).
Rasulullah SAW juga bersabda:
إنّ لله
تسعة و تسعين إسما من حفظها دخل الجنّة و إنّ الله وتر و يحبّ الوتر (رواه إبن ماجة)
“Sesungguhnya Allah
mempunyai sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghafalnya (dengan
meyakini kebenarannya), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil
(tidak genap) dan menyukai sesuatu yang ganjil.” (HR. Ibnu Majah).
2. Iman kepada Para Malaikat Allah
Kata
malaikat merupakan jamak dari kata Arab ملك (malak)
yang berarti kekuatan. Jadi malaikat adalah kekuatan-kekuatan yang patuh pada
ketentuan dan perintah Allah. Malaikat merupakan hamba dan ciptaan Allah
yang mulia dan terpelihara daripada maksiat. Mereka tidak memiliki nafsu, tidak
tidur, tidak makan serta tidak minum. Mereka mampu menjelma menjadi apa saja yang dikehendakinya dengan seizin Allah. Iman
kepada malaikat artinya meyakini bahwa Allah SWT., memiliki malaikat-malaikat
yang diciptakanNya.
Malaikat terrmasuk kelompok atau golongan makhluk gahib yang
tidak dapat dicapai atau ditangkap oleh panca indera. Orang-orang yang beriman
meyakini keberadaan para malaikat melalui pemberitaan yang disampaikan oleh
Allah SWT dalam al-Qur’an maupun penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh
utusanNya, yakni Muhammad SAW. Orang-orang yang beriman meyakini keberadaan
para Malaikat karena mereka yakin akan kebenaran Allah dan RasulNya. Berbeda
dengan manusia (Nabi Adam) yang diciptakan dari tanah liat dan jin diciptakan
dari api, maka Malaikat diciptakan oleh Allah dari nur (cahaya). Rasulullah SAW
bersabda:
خلقت الملائكة من نور و خلق الجنّ من مارج من نار و خلق اٰدم
ممّا وصف لكم (رواه مسلم)
“Malaikat itu diciptakan
dari cahaya, dan jin diciptakan dari nyala api, sedangkan manusia diciptakan
dari apa yang telah diterangkan padamu semua.” (HR. Muslim).
Malaikat merupakan makhluk yang senantiasa taat kepada Allah
dan tidak pernah sedikitpun ingkar kepadaNya. Mereka tunduk dan patuh kepada
kekuasaan Allah serta keagunganNya. Para malaikat itu melaksanakan segala yang
diperintahkan oleh Allah kepada mereka tanpa terkecuali. Allah SWT telah
berfirman:
يخافون ربّهم من فوقهم و يفعلون ما يؤمرون (النّحل ٥٠)
“Mereka (para malaikat itu)
takut kepada Tuhan yang (berkuasa) di atas mereka dan selalu melaksanakan apa
saja yang diperintahkan kepada mereka.” (al-Nahl (16): 50).
يا أيها الّذين اٰمنوا قوا أنفسكم و أهليكم نارا وقودها النّاس
و الحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله مٓا أمرهم و يفعلون ما يئمرون (التّحريم ٦)
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (al-Tahrim
(66): 6).
Jumlah malaikat sangat banyak (QS al-Muddatstsir (74): 31), mereka
juga memiliki pekerjaan bermacam-macam sesuai dengan yang diperintahkan Allah
SWT. Mereka memiliki pekerjaan tersendiri di alam ruh antara lain sepeti
bertasbih (QS. al Zumar (39): 75, QS. Al-Anbiya (21)`: 19-20); memikul ‘arsy
(QS.Mukmin (40): 7), memberi salam kepada ahli surga (QS. al-Ra’d (49): 23-24),
menyiksa para ahli neraka (QS. al-Muddatstsir (74): 27-31). Selain itu mereka
juga memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan dunia dan alam semesta ini.
Mereka juga memiliki hubungan yang khusus dengan bangsa manusia (Sabiq, 1999:
183-187).
Al Qur’an
dan sunnah Rasulullah telah menunjukkan berbagai tugas malaikat yang
bekerja menurut perintah dan seizin Allah untuk mengatur apa yang ada di langit
dan di bumi serta apa yang ada dan terjadi diantara keduanya, misalnya, ada
yang ditugaskan untuk mengatur peredaran matahari, bulan dan bintang, mengatur
peredaran awan dan turunnya hujan, mengatur terjadinya proses pembentukan janin
didalam rahim. Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi setiap
manusia, menghitung dan menulis amal usaha manusia. Selain itu, ada pula yang
ditugaskan untuk mencabut nyawa, bertugas di neraka, bertugas di surga, dan
tugas-tugas lainnya. Jadi, para malaikat adalah tentara Allah yang paling
banyak dari segi kuantitas dan paling banyak dari segi tugas-tugasnya. Inilah
tentara yang paling agung. sebab merekalah yang mengatur alam semesta dengan
izin Allah.
Sesuai dengan pemberitaan al-Qur’an dan al-Sunnah, dari sekian
banyak malaikat-malaikat Alah hanya ada 10 (sepuluh) malaikat yang dapat
diketahui nama-nama dan tugas-tugasnya. Kesepuluh malaikat dan tugas-tugasnya
itu adalah sebagai berikut:
a.
Malaikat
Jibril
Malaikat Jibril adalah malaikat yang bertugas sebagai perantara
untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi atau Rasul. Allah SWT berfirman:
إنّه لقول رسول كريم , ذي قوّة عند ذى
العرش مكين , مطاع ثمّ أمين , و ما صاحبكم بمجنونين , و لقد راٰه بالأفق المبين (التّكوير ١٩ – ٢٢)
“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang
dibwa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan (memiliki
kedudukan yang tinggi) di sisi (Allah) yang memiliki ‘arsy, yang di sana (di
alam malaikat) ditaati dan dipercaya, dan temanmu (Muhammad) itu bukan orang
gila, dan sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya di ufuk yang terang.”
(QS. al-Takwir (81): 19-23).
b.
Malaikat
Mikail
Malaikat
mikail bertugas mengatur pembagian rizki semua makhluk di seluruh
alam. Tugas malaikat Mikail ini diterangkan dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi’ dengan sanad yang hasan yang
artinya:
“Ketika Rasulullah bertanya kepada jibril, apa tugas
malaikat Mikail? Jibril menjawab : (Ia ditugaskan untuk mengatur)
tumbuh-tumbuhan dan hujan” Malaikat Mikail dikatakan bertugas mengatur pembagian
rizki karena semua rizki di duia ini berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan
hujan.
. Terdapat penyebutan Jibril dan Mikail dalam al-Qur’an secara bersamaan dalam satu
ayat. Allah Ta’ala berfirman:
من كان عدوّا
لّله و ملائكته و رسله و جبريل و ميكال فإنّ الله عدوّ لّلكافرين (البقرة ٩٨)
“Barang siapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya,
raul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi
orang-orang yang kafir.” (QS. al-Baqarah (2): 98).
c.
Malaikat
Izrail
Nama
lain malaikat Izrail adalah Malaikat Maut. Dia adalah malaikat yang bertugas
mencabut nyawa semua makhluk atas perintah Allah SWT. Allah SWT berfirman:
و النّازعات غرقا . و النّاشطات نشطا (النّازعت ١- ٢)
“Demi (Malaikat) yang mencabut (nyawa)
dengan keras , dan demi (Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.”
(al-Naazi’aat (79): 1-2).
قل يتوفّٰكم
مّلك الموت الّذي وكّل بكم ثمّ إلى ربّكم ترجعون (السّجدة ١١)
“Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi
untuk (mencabut) nyawamu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu kamu
semua akan dikembalikan.” (QS. al-Sajdah (32): 11).
d.
Malaikat
Israfil
Malaikat
Israfil adalah malaikat yang bertugas meniup sangkakala (terompet) pada saat
hari kiamat tiba dan menjelang dibangkitkannya seluruh manusia dari kematiannya
(alam qubur). Allah SWT berfirman:
و نفخ فى الصّور فصعق من فى السّمٰوٰت
و من فى الأرض إلّا من شاء الله ثمّ نفخ فيه أخرى فإذا هم قيام ينظرون (الزّمر ٦٨)
“Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah
semua (makhluk) yang di langit maupun di bumi kecuali mereka yang dikehendaki
Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu), maka seketika itu mereka
bangun (dari quburnya) menunggu (keputusan Allah).” (QS. al-Zumar (39): 68).
e.
Malaikat
‘Atid
Malaikat
‘Atid bertugas mencatat ucapan dan perbuatan (amal) manusia yang buruk (jahat).
Allah SWT berfirman:
و إنّ عليكم لحافظون , كراما كاتبين ,
يعلمون ما تفعلون (الإنفطار ١٠ – ١٢)
“Dan sesungguhnya bagi kamu ada
(malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaan/amalmu), yang mulia (di sisi
Allah) dan mencatat (perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Infithar (82): 10-12).
f.
Malaikat
Raqib
Malaikat
Raqib bertugas mencatat ucapan dan perbuatan (amal) baik manusia. Berkenaan
dengan tugas malaikat atid dan Raqib ini Allah SWT berfirman:
إذ يتلقّى المتلقّيان عن اليمين و عن
الشّمال قعيد , ما يلفظ من قول إلّا لديه رقيب عتيد (قٓ ١٧ – ١٨)
“Ingatlak ketika dua malaikat mencatat
(perbuatan) yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah
kiri , Tidak ada suatu kata yang diucapkan melainkan ada di sisinya malaikat
pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaaf (50): 17-18).
g.
Malaikat
Munkar dan Malaikat Nakir
Malaikat
Munkar dan Malaikat Nakir bertugas menginterograsi manusia di alam kubur. Abu
Hurairah ra. menceriterakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang
mayat atau seorang kamu telah dikuburkan, maka datanglah kepadanya dua malaikat
yang berwarna hitam dan biru, yang satu namanya Munkar dan yang satunya lagi
bernama Nakir. Lalu keduanya bertanya “Bagaimana pendapatmu tentang pria ini?”
(yang dimaksud adalah Rasulullah SAW). Jika ia (mayat) menjawab: “Dia adalah
hamba Allah dan RasulNya, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba dan RasulNya.” Maka kedua malaikat berkata: “Kami
sudah mengetahui bahwa kamu mengatakan kalimat ini.” Lalu kuburnya
diluaskan hingga tujuh puluh hasta kali tujuh puluh hasta dan diterangi dengan
cahaya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Tidurlah kamu!” ia menjawab: “Bolehkah
aku kembali kepada keluargaku di dunia agar aku dapat menceritakan kepada
mereka apa yang terjadi?” Kedua malaikat berkata: “Tidurlah kamu seperti
tidurnya seorang pengantin yang tidak akan dibangunkan kecuali oleh isteri yang
paling dicintai, hingga Allah membangkitkannya.”. Jika mayit itu orang munafik, maka ia akan
menjawab: “Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu maka akupun
mangatakan seperti perkataan mereka, sedang aku tidak memahami.” Lalu kedua
malaikat itu berkata: “Kami mengetahui bahwa kamu mengatakan demikian.”
Maka diperintahkan kepada bumi: “Himpitlah dia!” Bumipun menghimpit
mayat itu hingga tulang-tulang rusuknya berantakan, dan ia akan selalu diadzab
hingga Allah membangkitkannya kelak.” (HR. Turmudzi dan Ibnu ‘Ashim).
h.
Malaikat
Ridhwan
Malaikat
Ridhwan adalah malaikat penjaga surga. Nama malaikat Ridhwan sebagai penjaga
surga tidak disebutkan di dalam al-Qur’an al-Kariim. Demikian pula,
tidak ditemukan hadits shahih yang dengan jelas menyebutkan bahwa malaikat
penjaga surga adalah malaikat Ridhwan. Beberapa hadits yang menyebutkan
malaikat Ridhwan sebagai penjaga surga dipandang sebagai hadits yang tidak
shahih oleh sebagian ulama hadits.
Keberadaan
para malaikat penjaga surga sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan karena
hal ini telah dinyatakan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وسيق الّذين اتّقوا ربّهم إلى الجنّة
زمرا حتّىٓ إذا جآءوها و فتحت أبوابها و قال لهم خزنتها سلام عليكم طبتم فادخلوها
خالدون (الزّمر ٧٣)
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada
Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan, sehingga apabila mereka
sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya
berkata kepada mereka, Kesejahteraan dilimpahkan atas kamu, berbahagialah kamu,
maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (QS. al-Zumar
(39): 73).
و الّذين صبروا ابتغآء
وجه ربّهم و أقاموا الصّلٰوة و أنفقوا ممّا رزقناهم سرّا و علانية و يدرءون بالحسنة
السّيّئة أولٓئك لهم عقب الدّار , جنّات عدن يّدخلونها و من صلح من اٰبآئهم و
أزواجهم و ذرّيّاتهم و الملائكة يدخلون عليهم مّن كلّ باب (الرّعد ٢٢ – ٢٣)
“Dan orang-orang yang sabar
karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik). (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS. al-Ra’d (13): 22-23).
Jelaslah bahwa
yang dipersoalkan bukan ada atau tidaknya malaikat penjaga surga, tetapi yang
diperselisihkan adalah nama malaikat Ridhwan sebagai penjaga surga. Demikian
pula halnya dengan malaikat Munkar dan Nakir, Atid dan Raqib, serta malaikat
‘Izrail.
g. Malaikat Malik
Malaikat
Malik adalah malaikat penjaga neraka, yakni tempat manusia mererima imbalan
dari kedurhakaan dan kekafiran mereka. Allah SWT telah berfirman:
و نادوا يا مالك ليقض علينا ربّك قال
إنّكم مّاكثون (الزّخرف ٧٧)
“Dan mereka (para penghuni neraka) berseru:
"Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja." Dia
menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)." (QS. al-Zukhruf (43): 77).
Terlepas
dari perdebatan tentang nama-nama dan tugasnya, beriman kepada kepada para
malaikat Allah merupakan hal yang wajib. Keyakinan ini mutlak harus dimiliki
oleh orang-orang yang beriman. Mengingkari keberadaan dan kedudukan para
malaikat sebagai makhluk mulia, yang senantiasa taat, dan tidak pernah ingkar
terhadap Allah SWT adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang terlempar dari
posisi beriman menjadi kafir.
3.
Iman kepada Rasul-rasul Allah
Para Rasul adalah orang-orang pilihan Allah untuk menerima wahyu
dan sebagai duta-duta Allah SWT untuk umat manusia. Para Rsul berkewajiban
menyampaikan risalah dan wahyu yang diterima itu kepada manusia. Iman kepada
para Rasul Allah berarti meyakini bahwa Allah telah memilih orang-orang di
antara para manusia untuk menjadi utusanNya, dengan wahyu yang diterima
dariNya, untuk memimpin manusia ke jalan yang lurus, dan untuk keselamatan
dunia maupun akhirat (Razak, 1982: 140).
Kaum muslimin wajib beriaman kepada para Rasul tanpa terkecuali,
tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya. Apabila seseorang telah
beriman kepada sebagian Rasul dan mengingkari sebagian lainnya, maka jelas
orang yang demikian ini tidak termasuk ke dalam golongan orang yang beriman
atau dengan kata lain sudah jelas kekafirannya. Allah SWT telah berfirman:
قولوا اٰمنّا بالله و مآ أنزل إلينا و مآ أنزل إلٓى إبراهيم و
إسماعيل و إسحاق و يعقوب و الأسباط و مآ أوتي موسٰى و عيسٰى و مآ أوتي النّبيّون
من رّبّهم لا نفرّق بين أحد مّنهم و نحن له مسلمون (البقرة ١٣٦ )
“Katakanlah: “Kami beriman beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan kepada apa yang diturunkan kepada
Musa dan ‘Isa, serts spa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, dan kami berserah diri
kepadaNya.” (QS. al-Baqarah(2): 136).
إنّ الّذين يكفرون بالله و رسله و يريدون أن يّفرّقوا بين الله و رسله
و يقولون نؤمن ببعض وّنكفر ببعض وّيريدون أن يّتّخذوا بين ذٰلك سبيلا , أولٓئك هم
الكافرون حقّا و أعتدنا للكافرين عذابا مّهينا (النساء ١٥٠ – ١٥١)
“Sesungguhnya orang-orang yang inkar kepada Allah dan
Rasul-rasulNya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan
Rasul-rasulNya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami
mengingkari (yang lain)” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau
kafir). Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan kami sediakan
untuk orang-orang kafir itu adzab yang menghinakan.” (QS. al-Nisaa’(4):
150-151).
Kisah maupun cerita terkait dengan keberadaan para nabi dan rasul
ada yang disebutkan dalam al-Qur’an berikut nama-namanya, namun ada pula yang
tidak diceritakan. Allah SWT berfirman:
و رسلا قد قصصناهم عليك من قبل و رسلا
لّم نقصصهم عليك و كلّم الله موسٰى تكليما (النّساء ١٦٤)
“Dan ada beberapa rasul terdahulu yang Kami
kisahkan mereka kepadamu, dan ada pula beberapa rasul yang tidak Kami kisahkan
mereka kepadamu, dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”
(QS. al-Nisaa’ (4): 164).
Para
nabi dan rasul yang namanya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 25 (dua puluh
lima) orang, sebagaimana telah dismpaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
و تلك حجّتنآ اٰتيناهآ إبراهيم غلى قومه نرفع درجات مّن نّشاء إنّ
ربّك حكيم عليم , و وهبنا لهٓ إسحاق و يعقوب كلّا هدينا و نوحا هدينا من قبل و من
ذرّيّته داوٗد و سليمان و أيّوب و يوسف و موسٰى و هارون و كذٰلك نجزى المحسنين , و
زكريّا و يحيٰى و عيسٰى وو إلياس كلّ من الصالحين , و إسماعيل و اليسع و يو نس و
لوطا و كلّا فضّلنا على العالمين (الأنعم
٨٣ – ٨٦)
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan
kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada
keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu
(juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh)
yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan
Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh. Dan Ismail, Alyasa', Yunus
dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”
(QS. al-An’am (6): 83-86).
Firman
Allah tersebut di atas telah menghimpun sebanyak 18 (delapan belas) nama-nama
para nabi dan Rasul Allah. Adapun tujuh nama lagi disebutkan pada beberapa ayat
secara terpisah antara lain sebagai berikut ini. Allah SWT berfirman:
إنّ الله اصطفىٓ اٰدم و نوحا و اٰل إبراهيم
و اٰل عمران على العالمين (اٰل
عمران ٣٣)
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).”
(QS.Ali ‘Imran (3): 33).
وإلى عاد أخاهم هودا . . . (الأعراف ٦٥)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud
. . .” (QS. al-A’raaf (7): 65).
و إلى ثمود أخاهم صالح . . . (هود ٦١)
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh . . .” (QS. Huud (11): 61).
و إلى مدين أخاهم شعيبا . . . (هود ٨٤)
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib
. . .”
(QS. Huud (11): 84).
و إسماعيل و إدريس و ذا الكفل كلّ مّن
الصّابرين , و أدخلناهم في رحمتنا إنّهم مّن الصّالحين (الأنبياء ٨٥ – ٨٦)
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka
termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka kedalam rahmat
Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh.” (QS.
al-Anbiyaa’ 85 - 86).
Nabi Muhammad SAW adalah penutup segala nabi dan rasul, atau nabi dan
rasul yang terakhir. Tidak ada lagi nabi atau rasul yang diutus oleh Allah SWT
sesudah beliau SAW. Oleh karena itu jika ada siapapun yang mengaku sebagai nabi
atau rasul sesudah itu, dapat dipastikan bahwa itu adalah bohong dan palsu.
Allah SWT telah berfirman:
ما كان محمّد أبآ أحد مّن رجالكم ولٰكن
رّسول الله و خاتم النّبيّين و كان الله بكلّ شيئ عليما (الأحزاب ٤٠)
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab
(33): 40).
Beriman kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW berarti
meyakini keberadaan mereka, mayakini kebenaran ajaran yang dibawanya, dan
meyakini bahwa mereka itu adalah manusia-manusia mulia pilihan Allah yang
dipilih untuk menjadi utusanNya. Adapun terhadap beliau SAW, selain meyakini
juga wajib mempedomani dan mengamalkan ajaran yang dibawanya. Hal ini karena
kedudukan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir dan tidak ada lagi nabi
dan rasul sesudahnya sehingga ajaran yang dibawanya merupakan penyempurna dari
apa yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Selain itu, jika
ajaran yang dibawa oleh para rasul sebelumnya telah diselewengkan oleh manusia,
maka ajaran Muhammad SAW tentu telah meluruskannya. Otentisitas al-Qur’an
sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada beliau SAW telah teruji sepanjang
zaman. Sejak pertama diturunkan hingga kini dan sampai akhir zaman nanti,
al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran yang dibawa beliau SAW (Islam) akan terus
begitu dan tidak ada perubahan. Islam telah sempurna, dan Allah telah ridha
Islam sebagai agama. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah
Islam. Allah SWT berfirman:
. . . اليوم أكملت لكم دينكم و أتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم
الإسلام دينا . . . (الماءدة ٣)
“ . . . Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 3).
4.
Iman kepada Kitab-kitab Allah
Kitab-kitab Allah merupakan kumpulan
wahyu Allah yang diturunkan kepada para rasul dan nabi sebagai pedoman dalam
menjalani tugas hidup di dunia. Beriman kepada kitab-kitab Allah berarti
meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitabNya
kepada para nabi dan Rasul-Nya yang berfungsi sebagai pedoman hidup (way of
life) bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, agar mereka
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Beriman kepada kitab-kitab yang
Allah yang pernah diturunkan kepada para
rasulNya adalah keharusan yang mutlak bagi setiap orang yang beriman karena
beriman kepada kitab-kitab Allah itu merupakan salah satu rukun iman.
Pengingkaran terhadap kitab-kitab Allah sama artinya dengan pengingkaran
terhadap para rasul Allah, pengingkaran kepada para malaikat Allah, bahkan
pengingkaran terhadap Allah SWT sendiri.
Rukun adalah sesuatu yang wajib adanya. Jika salah satu rukun ditinggalkan
dengan sengaja, maka suatu perbuatan (perkara) dianggap batal atau tidak sah.
Konsekuensi pengingkaran terhadap kitab-kitab Allah adalah gugurnya iman.
Barang siapa yang mengingkari kitab-kitab Allah maka ia tidak termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang beriman, dengan kata lain ia telah kafir.
Tidak dijumpai adanya keterangan
yang menyebutkan jumlah kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada para
rasul. Sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an, kitab-kitab Allah yang diketahui
namanya ada empat macam, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al-Qur’an. Iman
terhadap kitab-kitab terdahulu yang diturunkan sebelum al-Qur’an adalah
meyakini bahwa kitab-kitab kitab itu telah dikirimkan (diturunkan) kepada para
rasul, dan semuanya itu diturunkan oleh Allah SWT yang juga telah menurunkan
al-Qur’an kepada nabi dan rasul terakhir yaitu Muhammad SAW.
a.
Kitab Taurat
Kitab Taurat diwahyukan kepada nabi
Musa AS, di dalamnya terdapat syari’at dan hukum agama yang sesuai dengan
tempat dan kondisi pada waktu itu. Kitab ini diturunkan sebagai pedoman bagi
bani Israil, aslinya Taurat berbahasa Ibrani atau Suriani . Taurat yang asli
berisi ajaran tentang aqidah yang benar, janji-janji Allah dan ancamanNya,
serta hak dan kewajiban hamba Allah, di dalamnya juga diterangkan tentang akan
datangnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang terakhir (Razak, 1982:153). Allah
SWT berfirman:
و اٰتينا
موسى الكتاب و جعلناه هدى لّبنيٓ إسرآئيل ألّا تتّخذوا من دوني وكيلا (الإسراء ٢)
“Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab
Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu
mengambil penolong selain Aku.” (QS. al-Israa’ (17): 2).
b. Kitab Zabur
Kitab Zabur diturunkan kepada nabi
Dawud AS sebagai pedoman Bani Israil. Kitab Zabur yang asli berbahasa Qibthi
dan berisi tentang puji-pujian kepada Allah, doa doa, dzikir, serta tausiah dan
kata-kata hikmah. Hukum agama dan syari’at tidak didapati dalam kitab Zabur,
karena dalam sejarah kenabian nabi Daud AS mengikut dan menurut kepada hukum
Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa AS. Allah SWT berfirman:
و ربّك أعلم
بمن فى السّماوات و الأرض و لقد فضّلنا بعض النّبيّين على بعض وّ اٰتينا داوٗد
زبورا (الإسراء ٥٥)
“Dan Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di
bumi. Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian
(yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. al-Israa’ (17): 55).
c. Kitab Injil
Kitab Injil diturunkan kepada nabi Isa AS. Aslinya
berbahasa Aramik atau Suriani. Kitab Injil berisi hukum-hukum Allah dan menyeru
manusia agar kembali kepada aqidah tauhid (monotheisme), dan perbaikan terhadap
agama bani Israil yang telah kacau dan menyeleweng (Razak, 1982: 153), serta
membenarkan dan menyempurnakan kitab sebelumnya. Allah SWT berfirman:
و قفّينا علٓ اٰثارهم بعيسى ابن مريم مصدّقا لّما بين يديه من التّوراة و اٰتينا
الإنجيل فيه هدى وّ نور وّ مصدّقا لّما بين يديه من التّوراة و هدى وّ موعظة
لّلمتّقين (الماءدة ٤٦)
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa
putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah
memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan
cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab
Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maaidah (5): 46).
d. Kitab al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir, yang tidak akan ada
lagi nabi maupun rasul yang akan diutus sesudahnya. al-Qur’an yang diturunkan
kepada Muhammad SAW berbahasa Arab, berisi tentang ajaran keimanan (ketauhidan),
Islam, Ihsan, bermacam-macam hukum, dan berbagai petunjuk kehidupan lainnya. al-Qur’an
sebagai kitab Allah yang terakhir disamping meluruskan (melakukan koreksi)
terhadap kitab-kitab yang sebelumnya juga menyempurnakannya. al-Qur’an berisi
petunjuk yang terang benderang dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia,
merupakan undang-undang yang jelas dalam mengatur hubungan antara hamba dengan
Khaliqnya maupun hubungan manusia dengan seluruh isi alam ini.
Al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan penyempurna dari kitab-kitaab
sebelumnya memiliki fungsi sebagai berikut ini (Razak, 1982: 156-157).
1) Al-Qur’an membenarkan apa yang termasuk dalam kitab-kitab suci yang lain
dan juga menguji kemurnia kitab-kitab suci itu. Oleh karena itu, al-Qur’an
memuat kisah dari nabi-nabi terdahulu, selain mengambil pelajaran juga
mendudukkan kejadian yang sebenarnya. Begitulah al-Qur’an memuat kisah para
nabi, seperti nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Sualiman, ‘Isa, dan
sebagainya. Allah SWT berfirman:
وأنزلنا إليك الكتاب بالحقّ مصدّقا لّما بين يديه من الكتاب و مهيمنا عليه . .
. (المائدة ٤٨)
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421]
terhadap kitab-kitab yang lain itu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 48).
2) Al-Qur’an sebagai Korektor terhadap kitab kitab suci yang telah dicampur
adukkan dengan buah pikiran manusia. Allah SWT berfirman:
فويل لّلّذين يكتبون الكتاب بأيديهم ثمّ يقولون هٰذا من عند الله ليشتروا به
ثمنا قليلا فويل لّهم ممّا كتبت أيديهم و ويل لّهم ممّا يكسبون (البقرة ٧٩)
“Maka kecelakaan yAng besarlah bagi
orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah
bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS.
al-Baqarah (2): 79).
3) Al-Qur’an sebagai penyempurna yang bersifat universal. Berbeda
dengan kitab-kitab sebelumnya yang dikhususkan bagi kaum rasul yang menerimanya,
al-Qur'an diturunkan untuk seluruh umat manusia dan seluruh bangsa yang ada di
dunia ini tanpa terkecuali.
.
. . اليوم أكملت لكم دينكم و أتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا . . . (المائدة ٣)
“ . . . Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu . . .” (QS. al-Maaidah (5): 3).
Al-Qur’an sebagai sumber keyakinan menerangkan bahwa kitab-kitab
Taurat, Zabur, dan Injil yang masih beredar hingga sekarang ini tidaklah sama
dengan aslinya. Isi kitab-kitab tersebut telah banyak yang ditukar,
diputarbalikkan, dan bercampur aduk dengan buah pikiraan manusia. Bangsa Yunani
dan kaum masehi sendiri mengakui bahwa asal kitab-kitab tersebut tidak ada pada
mereka. Mereka hanya memiliki salinan dari kitab-kitab itu, di mana dalam tempo
berabad-abad telah banyak diadakan perubahan, dibuat, dan masih akan dilakukan
lagi (Razak, 1982: 154). Oleh sebab itu, kitab-kitab tersebut tidak dapat lagi
dijadikan pedoman, dan hanya al-Qur’an sebagai kitab terakhir sekaligus
penyempurna, yang layak dijadikan pedoman sejak diturunkannya hingga akhir
zaman nanti. Jelaslah bahwa beriman
kepada kitab-kitab Allah terdahulu, yang diturunkan sebelum al-Qur’an tidak
berarti menjadikannya sebagai pedoman, melainkan hanya sekedar mayakini bahwa
kitab-kitab tersebut pernah diturunkan oleh Allah kepada para rasul yang mulia.
Atas dasar pemberitahuan Allah melalui al-Qur’an tentang ketidakaslian kitab-kitab
yang beredar sekarang ini, maka dengan sendirinya kitab-kitab yang sudah tidak
asli tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai pedoman. Al-Qur’an menjadi
satu-satunya kitab suci yang layak dijadikan pedoman karena selain sebagai
kitab terakhir dan penyempurna, otentisitas atau keasliannya juga tetap terjaga
sepanjang masa.
5.
Iman kepada Hari Akhir (Hari Qiyamat)
Iman kepada hari akhir
akan membawa manusia pada suatu keyakinan tentang adanya kehidupan kembali
sesudah berakhirnya kehidupan di dunia ini. Kehidupan kembali sesudah mati itu
merupakan kehidupan yang kekal dan abadi, di mana hanya ada kehidupan namun
tiada lagi kematian. Kehidupan sesudah mati itulah yang menjadi tujuan akhir
perputaran roda kehidupan dan penciptaan manusia. Orang yang beriman dengan
benar pasti meyakini bahwa kehidupan dunia dan apa yang ada di dalamnya akan
mengalami kehancuran total (berakhir) pada suatu hari yang telah ditentukan
oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya:
إذا السّمآء انفطرت , و إذا الكواكب انتثرت , و إذا
البحار فجّرت , و إذا القبور بعثرت , علمت نفس مّا قدّمت و أخّرت ( الإنفطار ١ – ٥)
“Apabila langit terbelah, dan apabila
bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan meluap, dan apabila
kuburan-kuburan dibongkar, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah
dikerjakan dan yang dilalaikannya.” QS. al-Infithar (82): 1 – 5).
Hari itulah yang
disebut dengan Yaum al-Qiyamah atau Yaum al-Hisab (Hari
Perhitungan). Dinamakan Yaum al-Qiyamah karena pada hari itu, sesudah
semua makhluk dimatikan tanpa terkecuali akan dibangkitkan (dihidupkan)
kembali, dan dinamakan hari perhitungan karena pada hari itu setiap orang akan
diadili dan diperhitungkan seluruh amalnya di hadapan Allah Yang Maha adil.
Demikian essensialnya masalah ini, sehingga didalam banyak ayat al-Qur’an
maupun hadist Rasulullah SAW, ketika mempersoalkan iman dan perilaku manusia
banyak dikaitkan dengan iman kepada Allah dan iman kepada Hari Akhir.
Kiamat pasti akan
datang, dunia dengan segala isinya pasti akan berakhir. Persoalan waktu atau
kapan terjadinya hari kiamat itu, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Ketika
Rasulullah SAW ditanya oleh malaikat Jibril yang menyerupakan diri sebagai
manusia tentang kapan terjadinya kiamat, beliau menjawab: . . . ما المسؤل عنها بأعلم من السّآئل . . . artinya “ . . . Tidaklah yang ditanya
tentangnya (hari kiamat) lebih mengetahui daripada yang bertanya . . .”
(HR. Muslim). Iman kepada hari akhir bukanlah meyakini kapan datangnya,
melainkan myakini dengan sepenuh hati bahwa hari akhir itu pasti akan datang
atau pasti adanya. Keyakinan ini tentu saja berdasarkan apa yang telah
disampaikan oleh Allah dan RasulNya. Iman kepada hari akhir juga bukan sekdar
meyakini bahwa semua yang hidup akan mati, semua yang ada akan muasnah kecuali
Allah SWT karena maknna hari akhir bukan
kehancuran alam semesta semata-mata, malainkan meliputi fase-fase berikut ini
(Razak, 1982: 16-163).
a. Fase Pertama
Jagad raya dengan
segala isinya akan hancur lebur, musnah, dan binasa. Segala jenis makhluk
hidup, baik makhluk fisik seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun makhluk
metafisik (makhluk ghaib) seperti jin dan malaikat, semuanya akan mati tanpa
terkecuali, bahkan segala jenis makhluk yang bernyawa maupun tidak bernyawa
akan musnah. Pada hari itu, hanya Allah SWT, Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana yang tetap hidup dan tetap ada. Itulah Yaum al-Qiyamah (Hari
Kiamat) yang biasa juga disebut dengan Qiyamat al-Kubra atau kiamat
besar. Alllah SWT berfirman:
كلّ من عليها فان , و يبقىٰ وجه ربّك ذو الجلال و الإكرام (الرّحمن ٢٦ – ٢٧)
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa , Dan tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. al-Rahman (55): 26-27).
b. Fase kedua
Setelah segala sesuatu
selain Allah telah hancur, mati, binasa, dan musnah, selanjutnya akan diikuti
dengan fase kebangkitan kembali. Semua manusia, sejak dari manusia pertama
(Adam AS) sampai dengan manusia terakhir yang pernah hidup di dunia
dibangkitkan kambali dari kematiannya. Oleh karena itu, hari ini disebut juga
dengan Yaum al-Ba’ats (hari kebangkitan). Allah SWT berfirman:
و نفخ في الصّور فإذا هم مّن الأجداث إلى ربّهم ينسلون ,
قالوا يا ويلنا من بعثنا من مّرقدنا هٰذا ما وعد الرّحمٰن و صدق المرسلون (يٰسٓ ٥٠ – ٥١)
“Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan
segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka , Mereka berkata:
"Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur
kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan
benarlah Rasul- rasulNya.” (QS. Yaasiin (36): 51 – 52).
c. Fase ketiga
Fase berikutnya, setelah dibangkitkan kembali, semua
manusia yang pernah hidup di dunia, sejak nabi Adam hingga manusia yang
terakhir hidup di dunia tanpa terkecuali dikumpulkan di padang mahsyar. Oleh
karena itulah hari kiamat dinamai dengan Yaum al-Hasyr (hari berkumpul).
Allah SWT berfirman:
و يوم نسيّر الجبال و ترى الأرض بارزة وّ حشرنا هم فلم نغادر منهم أحدا (الكهف ٤٧)
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan
gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan
seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS.
al-Kahfi (18): 47).
d. Fase keempat
Selanjutnya akan dipertontonkan amal setiap orang yang
dilakukannya semasa hidupnya di dunia. Hari itu tidak ada lagi yang dapat
disembunyikan, amal baik maupun amal yang jahat sekecil apapun akan ditampakkan
atau diperlihatkan. Pada hari itu tidak ada seorangpun dapat berdusta ataupun
mengingkari apa saja yang pernah diperbuatnya. Hari itu tidak ada lagi
kebohongan. Hari itu disebut juga Yaum al-‘Ardh (hari pertontonan). Allah SWT
berfirman:
يومئذ يّصدر النّاس أشتاتا لّيروا أعمالهم , فمن يّعمل مثقال ذرّة خيرا يّره ,
و من يّعمل مثقال ذرّة شرّا يّراه (الزّلزلة ٦ – ٨)
“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka ,
Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya , Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah (99): 6 – 8).
e.
Fase kelima
Setelah rahasia
semua manusia dibongkar dan dipertontonkan, selanjutnya akan dilaksanakan
perhitungan amal. Semua amal, yang baik maupun yang jahat akan ditimbang dengan
timbangan yang sangat adil. Di hadapan mahkamah pengadilan Allah Yang Maha
Adil, semua orang akan memperoleh keputusan yang seadil-adilnya dan tidak
sedikitpun mereka dirugikan atau dianiaya. Inilah sebabnya, hari itu dinamakan Yaum
al-Hisab (hari perhitungan) atau Yaum al-Wazn (hari pertimbangan).
Allah SWT berfirman:
و نضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا و إن كان مثقال
حبّة مّن خردل أتينا بها و كفٰى بنا حاسبين (الأنبياء ٤٧)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat
pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS. al-Anbiyaa’ (21):
47).
f.
Fase keenam
Setelah melalui
proses pengadilan di hadapan Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, setiap
orang akan menerima balasan sesuai dengan amal perbuatannya semasa hidup di
dunia. Segala amal atau perbuatan manusia ketika hidup di dunia yang fana atau
kehidupan yang sementara, akan diberi balasan pada hari akhir yang kekal di
mana hanya ada kehidupan dan tidak ada lagi kematian. Pada hari ini manusia
terbagi menjadi dua kelompok besar, masing-masing kelompok menuju ke suatu
tempat yang sesuai dengan amal atau perbuatannya dulu ketika masih di dunia.
Salah satu kelompok menuju ke surga yang penuh dengan kenikmatan yang tiada taranya,
kenikmatan kekal dan abadi. Sementara itu, kelompok yang lain, mereka
berbondong-bondong menuju ke neraka, tempat di mana orang-orang akan menerima
adzab yang pedih dari Allah SWT, sebagai balasan atas kejahatan yang mereka
lakukan selama hidup di dunia. Neraka inilah yang akan menjadi hunian tetap
atau tempat tinggal permanen bagi orang-orang yang mati dalam keadaan kafir,
musyrik, dan munafik bersama-sama dengan Iblis beserta pengikut-pengikutnya. نعوذ بالله من ذٰلك (Kita berlindung kepada
Allah dari keadaan demikian). Inilah fase yang terakhir, dan karena itu hari
ini dinamakan Yaum al-Fashl (hari keputusan) atau Yaum al-Jazaa’
(hari pembalasan). Allah SWT berfirman:
اليوم تجزٰى كلّ نفس بما كسبت لا ظلم اليوم إنّ الله سريع الحساب (المؤمن ١٧)
“Pada
hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada
yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS.
al-Mu’min (40): 17).
فأمّا
من ثقلت موازينه , فهو في عيشة رّاضية , و أمّا من خفّت موازينه , فأمّه هاوية , و
ما أدرٰك هاوية , نار حامية (القارعة ٦ – ١١)
“Dan adapun orang-orang yang berat
timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan
adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya
adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang
sangat panas.” (QS al-Qaari’ah (101): 6 – 11).
6.
Iman kepada Takdir
Takdir adalah kata
lain dari qadha’ dan qadar yang biasa digunakan dalam pembicaraan
sehari-hari. Beriman kepada takdir
dapat diartikan sebagai menyakini dengan sepenuh hati adanya ketentuan Allah
SWT yang berlaku bagi semua mahluk. Kesalahfahaman dalam memahami takdir (qadha’
dan qadar) karena tidak didasari iman dan ilmu yang benar dapat
menyebabkan seseorang tergelincir kepada sikap hidup dan perilaku yang fatal.
Kesalahan umum yang sering terjadi dalam memahami qadha’ dan qadar,
adalah mengartikan bahwa segala nasib baik dan buruk seseorang bahkan muslim
dan kafirnya manusia telah ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT (Razak, 1982:
165-166), sehingga manusia tidak ubahnya seperti robot yang tidak memiliki
pilihan sama sekali kecuali sekedar menjalani apa yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT.
Memahami
pengertian qadha dan qadar secara benar dapat ditelusur melalui
penggunaan kedua kata tersebut dalam firman Allah yang tersebar dalam beberapa
ayat suci al-Qur’an. Penggunaan dan arti qadha dalam al-Qur’an antara
lain terdapat dalam ayat-ayat berikut:
a.
Qadha
berarti hukum
فلا و ربّك لا يؤمنون حتّى يحكّموك فيما شجر بينهم ثمّ لا يجدوا فيٓ
أنفسهم حرجا ممّا قضيت و يسلّموا تسليما (النّساء ٦٥)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap hukum (putusan) yang kamu
berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS/ al-Nisaa’(4): 65).
b.
Qadha
berarti perintah
و قضٰى ربّك ألّا تعبدوٓ إلّآ إيّاه . . . (الإسراء ٢٣)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia . . .” (QS al-Israa’(17): 23).
c.
Qadha
berarti memberitakan
و قضينآ إلىٰ بنيٓ إسرآئيل فى الكتاب لتفسدنّ فى الأرض مرّتين و لتعلنّ
علوّا كبيرا (الإسراء
٤)
“Dan Kami telah memberitakan kepada Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan
diri dengan kesombongan yang besar.” (QS. al-Israa’(17): 4).
d.
Qadha
berarti menghendaki
... إذا قضٰىٓ أمرا فإنّما يقول له كن فيكون (اٰل عمران ٤٧)
“Apabila Allah menghendaki sesuatu urusan, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah dia.” (QS. Ali ‘Imran (3): 47).
e.
Qadha
berarti menjadikan
فقضاهنّ سبع سمٰوات في يومين . . . (فصّلات ١٢)
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa . . .” (QS. Fushshilaat(41): 12).
Dengan demikian pengertian qadha
menurut bahasa adalah hukum, perintah, pemberitaan, kehendak, atau menjadikan.
Qadha menurut istilah berarti ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak
zaman azali tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai
dengan iradah (kehendak-Nya). Adapun pengertian qadar menurut
bahasa berarti kepastian, peraturan, atau ukuran. Qadar menurut
istilah berarti perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu
yang berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman azali sesuai
dengan iradah-Nya. Qadar merupakan peraturan umum yang merupakan ketetapan
Allah untuk menjadi dasar atau undang-undang umum terhadap segala peristiwa
yang ada di alam ini, di mana terdapat hubungan sebab akibat (sunnatullah) dan
manusia juga terikat dengan sunnatullah itu (Razak, 1982: 167). Allah SWT
berfirman:
إنّا كلّ شيء خلقناه بمقدر (القمر ٤٩)
“Sesungguhnya Kami menjadikan segala sesuatu menurut ukuran
(aturan)nya.” (QS. al-Qomar(54): 49).
ما كان على النّبيّ من حرج فيما فرض الله له سنّة الله فى الّذين خلوا
من قبل و كان أمر الله قدرا مقدورا (الأحزاب ٣٨)
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang
telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah
itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. al-Ahzab (33): 38).
الّذي له ملك السّمٰوٰت و الأرض و لم يتّخذ ولدا وّ لم يكن لّه شريك فى
الملك و خلق كلّ شيء فقدّره تقديرا (الفرقان ٢)
“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia
tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan
dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya.” (QS. al-Furqan (25): 2).
Iman kepada
takdir memberikan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam
kehidupan, dan dalam diri manusia adalah menurut hukum atau undang-undang
universal yang merupakan ketetapan Allah SWT atau takdir.
Segala
peristiwa dan yang ada di alam ini pasti tunduk kepada sunnatullah. Segala
peristiwa mengandung hukum kausalitas (sebab-akibat) dan hikmah serta
bertujuan. Seseorang yang ingin menjadi sarjana mesti kuliah di perguruan
tinggi, ingin memperoleh hasil mesti berusaha, ingin menggapai cita-cita mesti
berjuang sekuat tenaga. Hampir dapat dikatakan suatu hal yang mustahil jika
cita-cita dan harapan bisa dicapai dengan modal berkhayal dan bermalas-malasan
tanpa adanya kerja dan usaha. Oleh karena itu wajib adanya usaha atau ikhtiyar dan
tanggung jawab dari manusia. Usaha atau ikhtiyar dan do’a merupakan hak bahkan
kewajiban manusia walaupun kepastian hasil tetap berada di tangan Allah SWT.
Tidak sepatutnya manusia mengatakan takdir untuk sesuatu yang belum terjadi,
karena hal itu tidak dapat diketahui oleh siapapun dan apapun kecuali hanya
diketahui oleh Allah Yang Maha Tahu. Jelas tiada benar apa yang diajarkan oleh
paham fatalisme yang menafikan ikhtiyar, di mana manusia sama sekali tidak
punya pilihan, semuanya terikat ibarat robot yang bergerak tanpa kehendak.
Diceritakan
bahwa Khalifah Umar bin Khaththab
beserta rombongan akan memasuki sebuah kampung. Sebelum sempat memasuki
kampung, beliau mendapat khabar dari seorang kurir bahwa di kampung tersebut sedang
dilanda wabah penyakit menular yang berbahaya. Setelah mendengar khabar
tersebut beliau mengajak rombongannya untuk kembali. Salah seorang dari
rombongan bertanya kepada beliau: “Takutkah tuan dari takdir Allah?”
Khalifah menjawab: “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah.”
Kemenangan
gilang-gemilang pahlawan-pahlawan Islam (para sahabat Rasul), adalah karena
iman yang benar kepada takdir. Begitulah iman Khalid bin Walid si pedang Allah penakluk
Parsi, iman ‘Amr bin ‘Ash sang penakhluk Mesir, iman Thariq bin Ziad si perintis penakhlukkan Spanyol (Andalusia),
dan begitu para sahabat Rasul yang lain. Mereka tidak tinggal diam berpangku
tangan pasrah kepada takdir, melainkan berjuang keras, jihad di jalan Allah
dengan mempertaruhkan harta dan jiwa untuk mengejar takdir Allah, meraih
kemengangan. Manusia wajib berusaha karena sesungguhnya keberhasilan itu adalah
buah dari perjuangan. Allah SWT berfirman:
أم حسبتم ان تدخلون الجنّة ولمّا يعلم الله الّذين جاهدوا منكم و يعلم
الصّابرين (اٰل
عمران ١٤٢)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad[232]
diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran (3):
142).
. . . إنّ الله لا يغيّر ما بقوم حتّىٰ يغيّروا ما بأنفسهم و إذآ
أراد الله بقوم سوٓءا فلا مردّ له و ما لهم من دونه من,ّال (الرّعد ١١)
“ . . . Sesungguhnya Allah tidak merobah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Dia.” (QS. al-Ra’du (13): 11).
Segala
peristiwa yang terjadi di alam ini tentu ada hikmah dan tujuannya. Allah
menciptakan segala sesuatu tidaklah sia-sia. Iman kepada takdir akan memberikan
dampak keseimbangan jiwa, tidak berputus asa ketika menemui kegagalan dan tidak
takabur serta tidak lupa diri ketika memperoleh kemujuran. Iman kepada takdir
akan menghantarkan yang bersangkutan kepada suatu kesadaran bahwa segala
sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk kegagalan dan keberhasilan tidak
semata-mata ditentukan oleh usaha atau ikhtiyar belaka, namun segala peristiwa
dan segala yang ada pasti tunduk kepada undang-undang universal yang telah
ditentukan oleh Allah SWT, yaitu takdir. Apapun yang terjadi dalam kehidupan
dan apapun yang ada di alam ini akan diterima oleh orang-orang yang beriman
sebagai ujian dari Allah SWT. Bagaimana sikap hidup dan perilaku seseorang
dalam menghadapi ujian itu akan sangat menentukan kualitas takwa yang akan
menjadi modal yang paling berharga dalam menjalani proses kehidupan di muka
bumi ini. Allah SWT berfirman:
أحسب النّاس أن يّتركوٓا أن يّقولوٓ اٰمنّا و هم لا يفتنون (العنكبوت ٢)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi?” (QS. al-Ankabuut (29): 2).
Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan
kemampuan manusia untuk ikhtiyar atau berbuat. Hal ini karena dalil syari’at
dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak untuk
melakukan sesuatu. Allah SWT berfirman:
و مآ أرسلنا من رّسول إلّا بلسان قومه ليبيّن لهم فيضلّ الله من يّشآء
و يهدي من يّشآء و هو عزيز الحكيم
(إبراهيم ٤)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim (14): 4).
ما أصاب من مّصيبة فى الأرض و لا في أنفسكم إلّا في كتاب مّن قبل أن
نّبرأها إنّ ذٰلك على الله يسير
(الحديد ٢٢)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (QS. al-Hadiid (57): 22).
Jika
diperhatikan sepintas saja, ayat-ayat diatas seolah-olah menunjukkan bahwa
manusia tidak punya pilihan apapun melainkan hanya menjalani saja seperti robot
apa yang telah ditentukan Allah sebelumnya. Memang, kehendak (masyi’ah) Allah untuk memberi petunjuk
atau menyesatkan seseorang adalah muthlak, tidak dipertanyakan apa yang perbuatNya.
Namun Allah juga Maha Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang
berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya. Allah SWT telah berfirman:
و أمّا ثمود فهديناهم فاستحبّو العمٰى على الهدى فأخذتهم صاعقة العذاب
الهون بما كانوا يكسبون
(فصلات ١٧)
“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka
disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Fushlaat (41): 17).
من عمل صالحا فلنفسه و من أشآء فعليها و ما ربّك بظلّام لّلعبيد (فصلات ٤٦)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah
Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushlaat (41): 46).
و قل الحقّ من رّبّكم فمن شآء فليؤمن وّ من شآء فليكفر . . . (الكهف ٢٩)
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir . . .” (QS. al-Kahfi (18): 29).
Allah SWT telah mengutus rasul-rasulNya untuk menyampaikan
petunjuk, membawa kitab-kitabNya, namun karena kecongkakan dan kesombongannya
maka sebahagian dari mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk. Setiap
orang mempunyai kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar untuk memilih bertakwa atau
tidak bertakwa. Allah SWT telah memberikan mereka akal untuk bisa membedakan
mana yang baik maupun yang buruk bagi dirinya. Kemudian manusia pun diberikan
kebebasan berikhtiar manakah jalan yang dipilihnya; jalan yang baik atau yang
buruk, ketaatan atau kemaksiatan, dan apabila ini telah terwujud maka berarti
telah berlaku tuntutan pertanggungjawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan
dengan pahala atau siksa. Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak
akan disiksa terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya,
seperti lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru,
lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR.
Ibnu Majah dan Baihaqi).
Allah SWT mengetahui bahwa setiap hambaNya
akan memilih dan melakukan sesuatu. Allah juga telah mengetahui apa saja dan
jalan mana yang akan dipilih oleh setiap orang. Dia SWT telah menulis di Lauh
Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukan hamba-hambanya, maka Allah
dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmuNya yang meliputi dan
menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf
(menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini, dan yang akan datang.
Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir
(mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendakNya. Jadi Allah mengetahui
secara azali tentang hambaNya, bahwa ia akan memilih jalan iman atau kekufuran
dan akan mati dalam iman atau kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat
inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir. Jelaslah
bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih dari dua jalan yang terbentang
luas. Manusia bebas memilih jalan yang hak atau yang bathil, yang Islam atau
yang kafir. Allah SWT berfirman:
و نفس وّ ما سوّاها . فألهمها
فجورها و تقوٰها (الشّمس ٧ – ٨)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.” (QS. al-Syams (91): 7 – 8).
Iman kepada
takdir dapat menghantarkan manusia kepada suatu kesadaran bahwa ikhtiyar,
upaya, atau usaha itu merupakan suatu kewajiban sekaligus menghantarkan kepada
keyakinan bahwa penentuan akhir berada pada kekuasaan Allah SWT. Upaya atau
ikhtiyar harus maksimal di samping harus disertai do’a, selanjutnya apapun yang
terjadi harus diterima dengan lapang dada sebagai keputusan atau takdir Allah
SWT.
C. KESIMPULAN
Iman tang
benar bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja,
keimanan juga bukan keyakinan dalam hati belaka. Iman yang benar merupakan
suatu ‘aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani dan
dari keimanan itu akan muncul bekas-bekas atau kesan-kesannya sebagaimana
munculnya cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Iman yang benar akan
memunculkan ucapan dan tindakan yang benar dan terkontrol oleh kebenaran Kitab
Allah (al-Qur’an) dan Sunnah RasulNya. Iman dan Islam merupakan keyakinan dan
perbuataan yang dengan kata lain disebut sebagai ‘aqidah dan syari’ah,
keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan buah dengan pohonnya, sebab dan
musababnya, atau natijah (hasil) dengan pendahuluannya. Iman tanpa Islam sama
artinya dengan kafir, sedangkan yang tampak seperti Islam tatapi tidak didasari
oleh keyakinan yang benar (iman) adalah kebohongan atau munafik.
Aqidah Islamiah dibangun di atas dasar-dasar atau pokok-pokok
keyakinan yang disebut sebagai rukun iman. Pokok-pokok keyakinan atau rukun iman itu
adalah; Iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab
Allah, iman kepada para rasul Allah, iman kepada hari akhirat, dan iman kepada
takdir yang baik dan yang buruk. Mempelajari dan memahami deatil dari
rukun-rukun iman itu haruslah merujuk wahyu Allah (al-Qur’an) yang merupakan
satu-satunya sumber azasi dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘aqidah
atau keimanan. ‘Aqidah atau keyakinan tidak dapat ditujukan kepada
hal-hal yang diada-adakan oleh manusia, melainkan harus berdasarkan wahyu Allah
yang telah disampaikan kepada Rasul-Nya. Hadits Rasulullah SAW, dalam hal ini
berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Baliq,
‘Izzuddin, 1985, Minhaaju al-Shaalihiin; alih bahasa oleh Muhammad Zuhri
dengan judul Pedoman Muslim, Semarang: Daarul Ihya Indonesia.
Bisri,
Adib dan Munawwir A. Fatah, 1999, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif.
Dodge,
Christine Huda, 2004, Everything Understanding Islam Book; alih bahasa
oleh Moh. Anwar dengan judul Memahami Segalanya tentang Islam, Batam:
Karisma Publishing Group.
Hamka,
1983, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
al-Nawawi, al-Imam. 2006. Syarah Arbain Nawawi.
Darul Haq: Jakarta.
Razaq,
Nasruddin, 1982, Dienul Islam, Bandung: al-Ma’arif.
Sabiq,
Sayid, 1999, al-‘Aqaaidu al-Islamiyyah; alih bahasa oleh Moh. Abdai
Rathomy dengan judul Aqidah Islam, Bandung: CV Diponegoro.