A. PENDAHULUAN
Secara substansial maupun historis,
filsafat merupakan cikal bakal atau yang melatar belakangi kelahiran ilmu
pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui ketajaman panca
indera dan ketajaman akal manusia. Dalam proses
perkembangannya, filsafat dan ilmu pengetahuan tetap menjadi dua hal yang tak
terpisahkan. Kelahiran ilmu pengetahuan tidak terlepas dari peranan filsafat
dan sebaliknya, perkembangan ilmu pengetahuan semakin memperkuat keberadaan
atau eksistensi filsafat.
Islam
sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk banyak berfikir (menggunakan akal),
dan memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya (mengadakan penelitian), bahkan
mencela orang-orang yang malas berfikir (tidak mau menggunakan akalnya). Allah SWT telah berfirman:
إنّ
فى خلق السّماوات و الأرض و اختلاف الّيل و النّهار لآيات لّأول الألباب (ال عمران ١٩٠)
“Sungguh pada penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ’Imran (3): 190).
Secara etimologi, filasafat berarti cinta kebijaksanaan
atau kebenaran (Tafsir.1990: 8). Filsafat dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar untuk
berfikir radikal sampai ke akar-akarnya dalam rangka menemukan kebenaran atau
kesimpulan yang bersifat universal. Segala bentuk kebenaran yang diketahi dan dinyatakan
harus diberlakukan dalam kehidupan dan kebenaran yang terstruktur akan
menjadikannya sebagai sebuah ilmu. Ilmu yang bersumber dari kebenaran yang
diproses dengan benar dan digunakan dengan benar merupakan tujuan yang benar
(Hatta, 1986: 3). Manusia diciptakan bukan untuk dirinya sendiri dan ilmupun
dicptakan juga bukan untuk ilmu itu sendiri. Manusia, ilmu, dan amal harus
terintegrasi dengan moral dan hikmah sehingga manusia dapat mewarnai dunia
dengan ilmu dan hikmah.
Cara kerja dan hasil filsafat
dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan hidup manusia dan pendidikan
merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia. Pendidikan memerlukan
filsafat karena dalam pendidikan terdapat berbagai permasalahan yang kompleks
dan luas, seluas lapangan kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut
maka lahirlah filsafat pendidikan sebagai salah satu cabang filsafat di samping
cabang-cabang filsafat yang lain. Selanjutnya dari filsafat pendidikan terlahir
ilmu pendidikan yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan
merupakan usaha untuk mewujudkan atau merealisasikan ide-ide yang ideal dari
filsafat pendidikan dalam kenyataan, tindakan, dan tingkah laku.
Berdasar pada perihal sebagimana tersebut di atas,
filsafat pendidikan Islam seharusnya tidak hanya memberi tawaran dalam
menyumbang ilmu-ilmu pendidikan tetapi juga dapat memberikan solusi dalam
memecahkan berbagai macam permasalahan pendidikan. Makalah ini akan mengemukakan pembahasan terkait dengan
filsafat pendidikan dengan memfokuskan permasalahan pada identifikasi
aliran-aliran atau tipologi filsafat pendidikan Islam, fungsi filsafat
pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi tipologi filsafat
pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam.
B. BERBAGAI ALIRAN
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat sebagai hasil
pemikiran para filosof yang obyeknya adalah permasalahan hidup di dunia, dalam
proses perkembangannya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Berbagai
macam pendangan dalam filsafat tersebut ada kalanya saling mendukung serta
saling menguatkan dan ada kalanya juga saling bertentangan serta berlawanan
antara yang satu dengan lainnya walaupun obyek yang dikaji adalah sama. Perbedaan
pandangan terjadi selain karena penggunaan sistem pendekatan yang berbeda juga
disebabkan oleh faktor zaman, pendangan hidup, dan lingkungan yang
melatarbelakangi para filosof berbeda-beda pula. Demikian pula halnya dengan
filsafat pendidikan sebagai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang
menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas serta karakteristik sistem
pendidikan.
Berbagai macam pandangan
dalam filsafat sebagaimana tersebut di atas telah mempengaruhi dan melahirkan
berbagai aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut al-Syaibani (1984: 36) filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang
menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses
pendidikan. Zuhairini (2012: 20) mengemukakan bahwa secara garis
besar terdapat lima macam aliran dalam filsafat pendidikan, yaitu: Progressivisme,
Esensialisme, Perennialisme, Rekonstruksionisme, dan Eksistensialisme. Lebih
lanjut Muhaimin (2012: 79) menyatakan bahwa aliran-aliran tersebut telah
berkembang di Amerika Serikat dan dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu
tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism
dan Essentialism. Adapun yang masuk ke dalam kelompok kontemporer adalah
Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism.
1. Esensialisme
Aliran esensialisme
dalam hal pendidikan didasari oleh pandangan humanisme, yang merupakan
reaksi terhadap hidup yang terlalu mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah, dan
materialistik.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai
yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini
hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji
oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai
yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik sehingga mereka perlu
dilatih agar mempunyai kemampuan absorsi atau penyerapan yang tinggi
(Muhaimin, 2012: 80).
Tujuan
umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat.
Isi pendidikannya mencakup pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum pendidikan bagi esensialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran,
dan kegunaan. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya kurikulum
esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum seperti pola idealisme,
realisme, dan sebagainya (Zuhairini, 2012: 27). Sesuai dengan pandangan aliran
esensialisme ini, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi
sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
2. Perennialisme
Perennialisme berasal
dari kata perennial yang berarti continuing throughout the whole
year atau lasting for a very long time abadi
atau kekal.
Perennialisme merupakan kepercayaan filsafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi (Zuhairini, 2012: 27). Perennialisme
berpandangan bahwa kehidupan modern telah menimbulkan banyak krisis pada
berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal ini, aliran perennialisme
menawarkan solusi berupa “regressive road to
cultural” yaitu kembali kepada kebudayaan
masa lampau (Noorsyam, 1987: 158). Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan
memiliki peranan yang penting dalam proses pengembalian keadaan manusia zaman
modern ini kepada kebudayaan masa
lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya.
Aliran ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Plato
menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum universal
yang abadi dan ideal. Menurut Plato manusia memiliki tiga potensi yaitu nafsu,
kemauan, dan akal. Program pendidikan yang ideal berorientasi kepada tiga
potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Ide Plato kemudian dikembangkan oleh Aristoteles yang
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai
kebahagiaan maka aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara
seimbang, bulat, dan totalitas. Adapun
menurut Thomas Aquinas tujuan
pendidikan adalah perwujudan kapasitas (potensi) yang ada dalam diri individu agar menjadi aktif dan nyata. Oleh
karena itu peran pendidik dalam hal ini mengajar dalam arti memberi bantuan kepada peserta didik untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya
(Djumransjah, 2006: 187-188).
Berbeda
dengan aliran esensialisme, aliran ini memandang pendidikan
bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk
mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi situasi yang riil. Peserta didik hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar
dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugas peserta didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang
telah diwariskan oleh leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi
yang dimiliki melalui usaha sendiri. Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi,
karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini
bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran
abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki
kesamaan. Aliran ini menilai
bahwa belajar itu untuk
berfikir (Muhmidayeli, 2011: 163-164). Pendidikan merupakan alat untuk menyampaikan apa yang
menjadi kebanggaan pada masa lalu. Oleh
karena itu organisasi pendidikan
hanyalah sekedar perantara dalam menurunkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat
sama dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Progresivisme
Aliran
progresivisme menghendaki tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman
yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent
dan mampu mengadakan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan tuntutan dari
lingkungan (Muhaimin, 2012: 80). Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan azas progresivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia
bisa survive dalam menghadapi semua tantangan hidup. Alran progresivisme
dinamakan pula sebagai instrumentalisme karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan azas eksperimen
untuk menguji kebenaran suatu teori. Selanjutnya, aliran ini dinamakan
environmentalisme karena menganggap lingkungan hidup mempengaruhi pembinaan
kepribadian (Jalaluddin, 2013: 228-229).
Aliran
progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan pada
segi manfaat bagi hidup praktis. Dalam banyak hal, progresivisme identik dengan
pragmatisme. Oleh sebab itu, jika orang menyebut pragmatisme, berarti ia
menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297). Aliran progresivisme memiliki
sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif (Zuhairini, 2012: 21). Sifat negatif
progresivisme yang dimaksud adalah menolak otoritarisme dan absolutisme dalam
segala bentuk seperti politik, etika, epistemologi, dan bahkan agama. Adapun
yang dimaksud dengan sifat positif adalah, bahwa progresivisme menaruh terhadap
kekuatan alamiah dari manusia. Progresivisme meyakini bahwa manusia memiliki
kesanggupan-kesanggupan mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi
rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam, dan sanggup pula menguasai
lingkungan sosial.
Tugas
pendidikan menurut aliran progresivisme adalah meneliti sejelas-jelasnya
kesanggupan-kesanggupan manusia serta menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam
pekerjaan praktis (Zuhairini, 2012: 22). Manusia hendaknya mempekerjakan
ide-ide atau pikiran pikirannya. Manusia hendaknya tidak hanya berpikir untuk
kesenangan berpikir, melainkan berpikir untuk berbuat sesuatu. Progresivisme
menolak “pure intellectualism.” Bagi progresivisme, jiwa dan pikiran manusia
harus dipergunakan untuk menghadapi tugas-tugas hidup yang sangat besar.
Progresivisme menolak pendapat yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang tidak berdaya, yang hanya dapat menyerah kepada kekuatan alam dan
lingkungannya.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran Rekonstruksionisme pada
dasarnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu berawal dari krisis
kehidupan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran (Jalaluddin dan Adullah Idi, 2013: 116).
Perbedaan kedua aliran ini terletak pada visi dan cara yang ditempuh untuk
mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Perennialisme memilih
cara kembali ke alam kebudayaan lama (regresive road culture) yang
mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran rekonstruksionisme menempuh
jalan dengan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas mengenai tujuan
pokok serta tertinggi dalam kehidupan umat manusia (Departemen Agama RI, 1994:
31).
Aliran ini meyakini
bahwa pendidikan kebudayaan
merupakan tanggung
jawab social
karena eksistensi pendidikan
dalam keseluruhan realitasnya diarahkan untuk pengembangan dan perubahan
masyarakat. Aliran ini percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan
kukuh, baik dalam sikap maupun tindakannya. Merupakan hal yang sangat berharga dalam
kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk
mengembangkan potensi dirinya secara sempurna. Pendidikan adalah jawaban dari
keinginan potensial manusia itu
(Muhmidayeli, 2011: 177). Upaya untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh dengan berusaha mencari kesepakatan antar sesama manusia agar dapat
mengatur kehidupan dalam suatu tatanan yang meliputi
seluruh lingkungannya. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang baru (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 3013: 117).
Penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Oleh karena itu pembinaan
daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang benar dan
yang tepat akan dapat membina kembali manusia dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang benar demi kebaikan generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang. Dengan demikian akan terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
5. Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Atas
dasar pandangannya itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran
ini sering kali tampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom
to (Hasan,
1974: 71) adalah
lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya
tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism
and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki
adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu
eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F.
Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling
Society,
yang banyak mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu
model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya
mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam
filsafat pendidikan (Zuhairini, 2012: 31).
Aliran Eksistensialisme
menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati
dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung
jawab atas diri dan nasibnya sendiri (Muhaimin, 2012: 82). Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang
dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk menemukan jati dirinya.
Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui
panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan
ilmiah, integritas, dan kreatifitas.
Pengajar tidak
mencampuri perkembangan minat dan bakat peserta didik.
C. FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai sumber ajaran, al Qur’an maupun al-Hadits menaruh
perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan. Sumber-sumber selain dari
keduanya menduduki strata di bawahnya yang mesti merujuk pada sumber pokok
tersebut. Muhaimin (2012: 81) mengemukakan sumber-sumber pemikiran pendidikan
Islam selengkapnya adalah al-Qur’an, al-Sunnah, perkataan sahabat Nabi SAW, kemaslahatan
sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, dan pemikir-pemikir Islam.
Ajakan kembali kepada
Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) bukan sekedar ajakan untuk kembali ke masa
lalu, melainkan ajakan kepada suatu sumber yang hidup dinamis, berkembang dan
progresif sepanjang masa. Al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki fleksibilitas
pada prinsip-prinsip umum berkenaan dengan penyusunan hidup manusia menyebabkannya
selalu relevan pada segala zaman dan segala tempat. Kembali ke peninggalan lama
dalam hal ini adalah mengaitkan kondisi masa kini dengan masa lampau,
mendalamkan filsafat pendidikan, dan menekankan identitas budaya serta
pendidikan Islam. Selain itu, hal ini sangat diperlukan untuk menjaga pemikiran
generasi selanjutnya dari benih-benih ilhad, hedonisme, pembaratan pemikiran,
sekularisasi prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat
dan teori-teori yang tidak Islami (Muhaimin, 2012 82).
Dalam pandangan filsafat
Islam yang berdasar pada firman Allah SWT (al-Baqarah (2): 30; al-An’aam (6):
165), manusia diciptakan sebagai khalifah. Khalifah dalam hal ini
berarti wakil atau yang mendapat kuasa. Status sebagai khalifah mengandung
pengertian bahwa manusia diberi kuasa oleh Allah untuk memanfaatkan sekaligus
memelihara, menjaga, dan memakmurkan bumi (alam). Termasuk bagian dari tugas
kekhalifahan itu manusia diberikan wewenang untuk melaksanakan pendidikan
terhadap dirinya sendiri, dan manusia diberi potensi untuk melaksanakannya.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang hidup dan kehidupan merupakan tantangan bagi manusia untuk menjawabnya.
Terkait dengan pendidikan, agar dapat mendidik dirinya sendiri, terlebih dulu
manusia harus memahami dirinya sendiri. Timbullah pertanyaan-pertanyaan seperti
apa hakikat manusia dan bagimana hakikat hidup dan kehidupannya, apa tujuan
hidupnya, dan apa pula tugas hidupnya. Selanjutnya manusia berhadapan dengan
alam dan lingkungannya dan manusia harus pula memahaminya. Manusia hidup
ditengah-tengah masyarakat yang mengharuskannya untuk menyesuaikan diri di
dalamnya, manusia hidup bersama hasil cipta, rasa, dan karsanya (kebudayaan),
manusia hidup bersama keyakinan dan kepercayaannya, dan manusia hidup dengan
pengetahuan yang diperoleh dalam proses hidupnya. Sementara itu, dari waktu ke
waktu, dari generasi ke generasi alam dan lingkungan terus mengalami perubahan
dan perkembangan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga terus mengalami
perubahan dan perkembangan sehingga nilai-nilai juga mengalami perubahan dan
perkembangan. Seiring dengan perubahan-perubahan itu kualitas hidup manusiapun
berangsur-angsur mengalami perubahan dan perkembangan.
Perubahan-perubahan dan
pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tersebut telah mendorong manusia untuk
mencari jawabannya. Jawaban-jawaban berbagai masalah dan pertanyaan itu
selanjutnya akan menjadi dasar bagi pelaksanaan dan praktik pendidikan. Ketepatan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengarahkan tujuan pendidikan
secara tepat dan benar yang sekaligus juga akan mengarahkan usaha-usaha
kependidikan yang tepat dan benar pula. Dalam hal ini, filsafat pendidikan
menunjukkan peranannya. Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan
landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksanaan pendidikan.
Filsafat dengan cara kerjanya yang sistematis, universal dan radikal, yang
mengupas dan menganalisis sesuatu secara mendalam (Suriasumantri, 1982: 4)
sangat relevan dan dapat menjawab problema hidup dan kehidupan manusia termasuk
permasalahan pendidikan.
Perkembangan pemikiran
(filsafat) dalam dunia Islam telah menghasilkan berbagai alternatif jawaban
terhadap berbagai problema kehidupan kehidupan manusia. Jawaban terhadap
pertanyaan terkait hubungan manusia dengan Tuhan, tentang keyakinan dan kepercayaan
hidup, telah melahirkan teori-teori atau Ilmu Kalam. Jawaban dari pertanyaan
tentang bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, nilai-nilai, norma-norma
kehidupan, dan tingkah laku, telah melahirkan Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqih.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta dan hubungan
manusia dengan alam semesta telah melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia Islam dengan menggunakan
metode yang khas islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan
kemampuan daya akal dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari kebenaran dan
mengambil kebijaksanaan dengan bimbingan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ijtihad
dengan menggunakan kemampuan daya akal ini merupakan dasar bagi terbentuknya
pola berpikir rasional (Abd. Al-Raziq, 1959: 132).
Metode ijtihad sebagai
metode khas filsafat Islam telah mengalami banyak perkembangan. Para ulama dan
filosof Islam juga telah menggunakan metode ijtihad tersebut secara bervariasi.
Pada dasarnya metode ijtihad berakar pada upaya memahami petumjuk al-Qur’an
sebagai wahyu Allah SWT dan al-Sunnah sebagai penjelasan dan penjabarannya,
namun para ulama dan filosof Islam berbeda-beda cara penggunaannya sebagai
sumber pemikiran dan ijtihadnya. Perbedaan tersebut pada hakikatnya bersumber
dari perbedaan dasar filosofis yang mendasarinya. Misalnya saja, para ulama dan
filosof dalam bidang fiqih yang berbeda-beda dalam sistem ijtihadnya
menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda-beda pula. Demikian pula di kalangan
ahli tasawuf, perbedaan penggunaan sistem ijtihad menghasilkan tarikat yang
berbeda-beda pula.
Filsafat pendidikan Islam
merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam
terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok
dalam arti umat Islam (Zuhairini, 2012: 128). Filsafat pendidikan juga
merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam
dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan
arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksnaan pendidikan umat Islam. Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa di kalangan para ulama dan para filosof Islam terdapat
perbedaan sistem atau cara dalam melakukan ijtihadnya, maka demikian pula yang
terjadi dalam pemikiran pendidikan Islam. Penggunaan metode ijtihad dengan
sistem atau cara yang bervariasi telah melahirkan metode-metode filosofis dan
aliran-aliran filfafat yang beraneka ragam dalam dunia pendidikan Islam, namun
terdapat titk temu dalam aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta,
informasi, pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang
dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkembangan pemikiran
pendidikan Islam dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern,
terutama dalam menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas.
Tipologi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhaimin (2012: 103-104) dapat
dibedakan dalam lima kategori yaitu: Tipologi Perenial-Esensialis Salafi, Tipologi Perenial-Esensialis
Madzhabi, Tipologi Modernis, Tipologi Perenial- Esensialis
Kontekstual-Falsifikatif, Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan
Tauhid.
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi
Perenial-Esensial Salafi merupakan tipologi pemikiran pendidikan yang
menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan
Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai
ilahiyah serta nilai-nilai insaniyah dan kebiasaan serta tradisi masyarakat
salaf karena mereka dipandang sebagai masyarakat ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi
ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan memiliki
kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta pemahaman
pemikiran-pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan dan
mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan
kurang ada keberanian untuk mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya. Dalam hal ini pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan
nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dan tidak harus mempertimbangkan
relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang
dihadapinya.
3. Tipologi Modernis
Tipologi
Modernis adalah tipologi filsafat pendidikan yang menonjolkan wawasan
kependidikan yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis dalam menghadapi
tuntutan serta kebutuhan dari lingkungannya. Sesuai dengan wataknya yang bebas
modifikatif, progresif, dan dinamis, tipologi modernis ini memandang fungsi
pendidikan Islam sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman terus-menerus
agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan
penyesuaian dengan tuntutan serta kebutuhan dari lingkungan masa kini.
4. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan
Tauhid
Tipologi
Rekonstruksi Sosial merupakan tipologi dalam filsafat pendidikan Islam yang
lebih mengedepankan sikap proaktif dan antisipatifnya dalam pengembangan
pendidikan. Dalam pandangan tpologi ini tugas pendidikan adalah membantu
manusia agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab
terhadap pengembangan masyarakat. Terkait dengan tugas tersebut, maka fungsi
pendidikan menurut tipologi ini adalah sebagai upaya menumbuhkembangkan
kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi
nilai-nilai insani dan ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
5. Tipologi Perenial- Esensialis
Kontekstual-Falsifikatif
Aliran
ini mengambil jalan tengah antara kebali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan
Islam masa kini selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan sosial. Pendidikan juga harus memberikan kesempatan kepada
individu-individu untuk dapat mengembangkan potensinya masing-masing dalam
rangka menemukan jati dirinya. Tipologi ini memandang fungsi pendidikan Islam
sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai ilahiyah dan
nilai-nilai insaniyah sekaligus menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial kultural.
D. IMPLIKASI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Pengembangan kurikulum
adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat
menjadi bahan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk
memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai implikasi filsafat
pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam berikut
ini akan dikemukakan terlebih dahulu gambaran singkat tentang pengertian
pendidikan Islam, pengertian kurikulum, dan komponen-komponen kurikulum.
Banyak pengertian pendidikan Islam yang telah dikemukakan
oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Dari sekian
banyak pengertian pendidikan Islam itu pada dasarnya dapat dirangkumkan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia
baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang
harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.
Pendidikan Islam bertolak dari pandangan Islam tentang
manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang
mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama,
manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia
diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam
raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah
dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki
potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua potensi tersebut perlu
ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia ke
arah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Pendidikan sebagai suatu
sistem dan suatu aktivitas membutuhkan adanya sejumlah perangkat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata
manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama
anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka
(al-Syaibany, 1984: 478). Kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program
pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan
(Daradjat, 1996: 122). Secara sederhana
kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum sebagai bagian
dari sistem pendidikan memiliki beberapa komponen yang saling berkaitan dan
saling menguatkan satu sama lain. Komponen-komponen kurikulum terdiri dari tujuan,
materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi. Komponen tujuan
kurikulum berhubungan dengan
arah atau hasil yang diharapkan. Rumusan tujuan menggambarkan sesuatu yang
dicita-citakan. Dalam skala makro, rumusan tujuan
kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut
masyarakat. Komponen
isi/materi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan
dengan pengalaman belajar yang harus dikuasai peserta
didik. Isi kurikulum
itu menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan atau materi
pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap materi pelajaran yang
diberikan maupun aktivitas dan kegiatan siswa. Baik materi maupun aktivitas itu
seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Komponen strategi merupakan komponen ketiga dalam pengembangan
kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang sangat penting, sebab
berhubungan dengan implementasi kurikulum. Bagaimanapun bagus dan idealnya
tujuan yang harus dicapai tanpa strategi yang tepat untuk mencapainya, maka
tujuan itu tidak mungkin dapat di capai. Strategi meliputi rencana, metode, dan
perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen evaluasi merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan kurikulum. Melalui evaluasi, dapat
ditentukan nilai dan arti kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dipertahankan atau tidak, dan
bagian-bagian mana yang perlu disempurnakan.
Upaya
pengembangan kurikulum terkait erat dan sangat dipengaruhi filsafat yang
melandasinya (landasan filosofisnya). Menurut Sukmadinata (1997: 58) ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan
kurikulum. Pertama, filsafat dapat
menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua,
filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,
filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat
ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan. Selanjutnya gambaran implikasi tipologi-tipologi
filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum pendidikan agama
Islam telah dikemukakan oleh Muhaimin (2012: 126-138) sebagaimana berikut ini.
1. Tipologi
Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini
menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat).
Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu
yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan salaf
melalui inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa dan
penting untuk diketahui semua orang.
Berdasarkan
tipologi tersebut tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya:
a. Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan, dan
menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih
(masa Nabi SAW dan sahabatnya).
b. Menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah serta budaya salaf
melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang
masa.
Materi
pendidikan agama Islam yang lebih diutamakan adalah doktrin-doktrin agama, kitab-kitab
besar, kembali kepada hal-hal yang mendasar dan esensial, serta mata pelajaran
kognitif sebagaimana yang ada pada era salaf. Bidang akidah dan ibadah khusus
(shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), dan membaca al-Quran
dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta menyebarkan akidah dan
amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf al-Shalih.
Metode pembelajran yang
digunakan adalah metode ceramah, dialog, diskusi,
debat, dan pemberian tugas.
Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman,
bersifat kaku dan terstruktur
tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi berupa essay test, tes
diagnostik, tes hasil belajar, dan tes kompetensi
barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi, paham
dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan
orang/sarjana yang ahli dalam bidangnya.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi
Berdasarkan pada tipologi
Perenial-Esensialis Madzhabi, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada
upaya:
a. Membantu
peserta didik untuk menguak, menemukan, dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik atau pasca salaf al-shalih.
b. Menjelaskan dan
menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang
dianggap mapan secara turun temurun.
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama
sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu yang berisi
hal-hal mendasar dan esensial, serta mata pelajaran kognitif yang ada pada masa
pasca salaf. Bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji,
nikah, dan lain-lain), dan membaca al-Quran dimaksudkan untuk melestarikan dan
mempertahankan, serta menyebarkan pemikiran akidah dan amaliah ubudiyah hasil
karya imam-iamam madzhab terdahulu dan mengamalkannya sesuai dengan pandangan
mereka tanpa adanya kritik dan perubahan kecuali hanya memberikan syarh dan
hasiyyah terhadap pemikiran mereka. Pelanggaran terhadap ajaran dan
nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan atau pemikiran para pendahulu dianggap
penyelewengan pada bidang-bidang tersebut.
Metode
pembelajaran yang digunakan adalah metode ceramah, dialog, diskusi, debat, dan
pemberian tugas. Manajemen kelas
diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku
dan terstruktur,
tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif
terstandarisasi
berupa essay test, tes diagnostik, tes hasil belajar, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki
otoritas tinggi, paham
dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan
orang/sarjana yang ahli dalam bidangnya.
3. Tipologi Modernis
Bertolak
pada pandangan tipologi modernis ini tujuan pendidikan Agama Islam
diorientasikan pada upaya:
a. Memberikan keterampilan
dan alat-alat kepada peserta
didik yang bisa digunakan
untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah sehingga peserta didik dapat
bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan serta kebutuhan
lingkungannya.
b. Membantu peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan
penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal
(agama Islam).
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada penggalian problematika yang berkembang
di lingkungan atau yang dihadapi oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilatih
dan diajarkan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah tersebut dalam perspektif
ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Metode yang digunakan
adalah cooverative learning, metode proyek, dan metode ilmiah, yaitu dengan mengidentifikasi
masalah-masalah, merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian di lapangan.
Manajemen kelas lebih
diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi
dan aktif dalam pembelajaran,
serta mencptakan suasana belajar yang demokratis.
Guru berperan sebagai sebagai fasilitator dan pengatur pembelajaran. Evaluasi
lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing
peserta didik memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu
dengan lainnya, di mana kelebihan-kelebiahn atau kemampuan-kemampuan tersebut
perlu dikembangkan. Diperlukan penggunaan on going feedback atau usaha
mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Bertolak
dari karakteristik tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif tujuan
pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya:
a. Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan, dan
menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih
atau masa klasik dan pertengahan.
b. Menjelaskan dan menyebarluaskan ajaran dan nilai salaf atau para
pendahulu yang dianggap mapan dan teruji oleh sejarah.
c. Memberikan keterampilan
dan alat-alat kepada peserta
didik yang bisa digunakan
untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah sehingga peserta didik dapat
bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan serta kebutuhan
lingkungannya.
d. Membantu peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan
penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal
(agama Islam).
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada doktrin-doktrin bidang akidah dan ibadah
khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain) atau nilai-nilai
esensial dalam Islam yang telah teruji oleh sejarah seperti akhlaq al-kariimah,
keutamaan jihad fii sabiili Allah, menjauhi akhlaq al-mazhmuumah, dan
sebagainya sebagai nilai-nilai ayng harus dipertahankan, dilestarikan, dan
disebarluaskan serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal-hal yang
bersifat aktual peseta didik dilatih untuk menggali problem-problem yang tumbuh
berkembang di lingkungannya atau yang dialami peserta didik yang berbeda
konteks dengan yang dialami para pendahulunya. Selanjutnya masalah-masalah yang
telah diidentifikasi peserta didik dijadikan tema-tema dalam pembelajaran.
Metode pembelajaran yang digunakan
dalam hal-hal yang bersifat doktriner adalah metode ceramah, dialog,
debat, diskusi, dan pemberian
tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan,
keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur
tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas. Guru berperan sebagai figur yang
memiliki otoritas tinggi serta ahli dalam bidangnya. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktual metode yang digunakan adalah cooverative learning,
metode proyek, dan metode ilmiah. Manajemen kelas lebih diarahkan pada
pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dan aktif dalam
pembelajaran,
serta menciptakan suasana belajar yang demokratis.
Guru berperan sebagai sebagai
fasilitator dan pengatur pembelajaran
ketika menghadapi hal-hal yang bersifat aktual.
Evaluasi untuk hal-hal yang bersifat
doktrin adalah
tes objektif dan
terstandarisasi, atau tes essay, tes diagnostik, dan tes kompetensi berbasis
amaliah. Adapun untk hal-hal aktual, evaluasi
lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing
peserta didik memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu
dengan lainnya, di mana kelebihan-kelebiahn atau kemampuan-kemampuan tersebut
perlu dikembangkan. Diperlukan penggunaan on going feedback atau usaha
mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus.
5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Menurut
tipologi ini, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian
dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
manusia, yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk
memecahkan masalah da’wah bi al-hal, baik yang terkait dengan masalah
sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, serta mengajarkan keterampilan untuk
memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam melakukan
perbaikan dan amr ma’ruf nahi munkar, sehingga dapat terwujud suatu
tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Bertolak
dari karakteristik tipologi Rekonstrusi Sosial Berdasarkan Tauhid tersebut
tujuan pendidikan Agama Islam diorientasikan pada upaya-upaya untuk:
a. Membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang berkembang di masyarakat untuk selanjutnya dijadikan
sebagai tema proyek kajian.
b. Membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir krtis.
c. Membantu peserta didik agar memiliki kemampuan strategis dan teknis
dalam berhubungan dengan masyarakat.
d. Membantu peserta didik agar
mampu bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaboratif.
e. Membantu peserta didik agar memiliki sikap menghargai atau toleran
terhadap orang lain.
f. Membantu peserta didik agar memiliki kemampuan bekerja untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan
pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik.
Materi
pendidikan agama Islam diarahkan pada masalah-masalah sosial dan budaya yang
dihadapi masyarakat, dan diharapkan peserta didik dapat menyelesaikan masalah
tersebut melalui konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki. Metode
pembelajaran yang digunakan adalah metode simulasi, bermain peran, menerjunkan
peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek (internship), dan
belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen dalam pembelajaran ini tidak terlalu terikat
pada kelas, tetapi lebih banyak di luar kelas, tidak membedakan jenis kelamin
dan ras, serta membangun masyarakat. Interaksi guru dan murid lebih bersifat
dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif, dan antisipatif,
tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan
kewajiban asasi manusia.
Evaluasi pembelajaran mengedepankan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa
masing-masing peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang
lebih maju dan meningkat secara berkelanjutan serta memiliki kemampuan untuk
membangun masyarakat yang lebih baik dengan menerapkan ilmu dalam memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan
kemampuan, minat, bakat, dan prestasi belajar secara terus menerus melalui
umpan balik.
E. TINJAUAN KRITIS TENTANG IMPLIKASI TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Filsafat
Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas tentang bagaimana umat islam
dalam beragama namun secara umum juga membahas permasalahan yang lebih luas
tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan sukses bagi umat islam di dunia
hingga akhirat. Perbedaan esensial
antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah
kependidikan selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur'an
dan al-Hadits.
Formulasi
tentang tipologi filsafat pendidikan Islam sebagaimana telah dikemukakan
sesungguhnya merupakan hasil studi komparasi antara tipologi filsafat
pendidikan dan pemikiran Islam sesuai dengan sifat dan kharakteristiknya yang
hampir serupa dengan menyandarkan pada pendapat para ahli. Sebagaimana telah
dilakukan oleh Muhaimin (2012) dalam bukunya pengembangan kurikulum pendidikan
Islam, studi komparatif ini telah berhasil memetakan tipologi filsafat
pendidikan Islam menjadi lima kategori (aliran), yaitu tipologi
perenial-esensialis salafi, tipologi perenial-esensialis madzhabi, tipologi
modernis, tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif, dan
tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid. Selanjutnya ia
memformulasikan implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan tersebut
terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam.
Bertolak
dari karakterisitik pendidikan agama Islam, menurut Muhaimin setidaknya
terdapat dimensi-dimensi yang bisa dikembangkan dalam perspektif kelima
tipologi tersebut bagi pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam. Gambaran
secara terperinci mengenai implikasi tipologi filsafat pendidikan terhadap pengembangan
komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam, secara garis besar telah
dikemukakan pada bagian terdahulu pada makalah ini. Mencermati implikasi kelima
tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum
pendidikan agama Islam tersebut, agaknya tipologi perenial-esensialis
kontekstual-falsifikatif merupakan tipologi yang dapat mengakomodir kelompok
tradisional maupun kelompok kontemporer. Selain itu tipologi ini sangat relevan
untuk diterapkan pada generasi masa kini yang sedang menghadapi tantangan
kemerosotan nilai-nilai moral dan sekaligus menghadapi tantangan globalisasi
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
F. KESIMPULAN
Filsafat pendidikan
merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam
terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok
dalam arti umat Islam. Filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang
penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan
problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan
yang jelas terhadap pelaksnaan pendidikan umat Islam. Setidaknya ada empat
fungsi filsafat pendidikan Islam bagi pengembangan kurikulum pendidikan Islam: Pertama filsafat dapat menentukan arah dan tujuan
pendidikan. Kedua, filsafat dapat
menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat
dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan
tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Berdasarkan
hasil studi komparasi antara tipologi filsafat pendidikan dan pemikiran Islam, sesuai
dengan sifat dan kharakteristiknya tipologi filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan
menjadi lima kategori (aliran), yaitu tipologi
perenial-esensialis salafi, tipologi perenial-esensialis madzhabi, tipologi
modernis, tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif, dan
tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid. Masing-masing tipologi
filsafat pendidikan Islam serta karakteristiknya berimplikasi terhadap
pengembangan komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam yang terdiri
dari komponen tujuan, materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.al-Raziq, Mustafa, 1959, Tamhid
li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah
wa al-Nashr.
Ali, Hamdani, 1990, Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang.
Daradjat, Zakiyah dkk, 1996, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Putra.
Departemen Agama RI, 1994, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam
Djumransjah,
M., 2006,
Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
Hasan, Fuad, 1974, Kita dan
Kami, Jakarta: Bulan Bintang.
Hatta, Muhammad, 1986, Alam pikiran Yunani,
Jakarta: Tintamas.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2013, Filsafat Pendidikan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhaimin, 2012, Pengembangan Kurkulum Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhmidayeli,
2011, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Refika Aditama.
Suriasumantri, J.S., 1982: Ilmu
dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy,
1984, Falsafah
Pendidikan Islam, Terj. Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
Syam, Muhammad Noor, 1987, Pengantar Filsafat
Pendidikan, Malang: IKIP Malang.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Wiyani, Novan
Ardy dan Barnawi, 2012, Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA.
Zuhairini,
2012, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.