A. PENDAHULUAN
Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah
berhasil membuat dunia seolah-olah semakin kecil telah membawa pengaruh yang
sangat besar pada norma-norma dan system nilai masyarakat, perilaku manusia,
organisasi, struktur keluarga, mobilitas masyarakat, kebijakan pemerintah, dan
sebagainya. Kelemahan generasi dalam memahami dan menghayati nilai-nilai moral
dan ajaran agama menyebabkan mereka tidak memiliki filter yang baik ketika
mengkonsumsi, mengadopsi, atau menyerap budaya asing. Sebagai akibatnya mereka
lebih cenderung kepada pilihan yang buruk dari pada nilai-nilai kebaikannya.
Mereka telah tercabut dari ajaran agama serta nilai-nilai moral dan nilai-nilai
luhur yang sebenarnya telah lama dimiliki oleh bangsa sendiri.
Pendidikan, sesuai dengan fungsinya sebagai proses
pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, maupun sebagai proses
pewarisan budaya dari generasi ke generasi mengarah kepada kegiatan pembibingan
terhadap umat manusia agar dapat mempertahankan kelangsungan dan kelayakan
hidupnya sebagai manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa selain menyiapkan
generasi agar dapat mengembangkan potensi sebagai bekal dasar untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, pendidikan juga bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugas pembimbingan dalam bidang moral dan agama agar mereka dapat
hidup layak sebagai manusia sehingga terwujudlah suatu tatanan kehidupan yang
manusiawi, bermoral, dan berakhlak mulia.
Kemerosotan nilai-nilai moral dan agama ditandai
dengan terjadinya krisis multidimensional yang tengah membelit bangsa saat ini
tidak terlepas dari kelalaian sistem pendidikan nasional yang selama ini kurang
memperhatiakan pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu pengembangan sistem
pendidikan berbasis karakter dipandang sebagai kebutuhan atau solusi yang
diperlukan untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional Indonesia saat ini.
Pengembangan pendidikan karakter ini telah menjadi
salah satu program utama pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan , pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pengembangan kurikulum pendidikan karakter merupakan
suatu kebutuhan dan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya
suatu generasi berkarakter yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Integrasi
nilai-nilai agama diperlukan dalam kurikulum pendidikan karakter karena agama
merupakan acuan utama yang membawa manusia untuk membentuk kehidupan yang
bermoral. Meskipun tiap-tiap agama memiliki perbedaan mendasar antara yang satu
dengan yang lain namun ada satu kesamaan prinsip bahwa setiap perilaku manusia
dalam kehidupan ini akan berdampak atau mendapatkan balasan yang setimpal di
masa yang akan datang. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki
kewajiban berbuat baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan (Lickona,
2013: 64).
Jauh sebelum munculnya istilah pendidikan karakter,
sesungguhnya pendidikan agama Islam sudah merupakan suatu model
pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter karena pendidikan agama
Islam pada dasarnya merupakan upaya penanaman atau internalisasi nilai-nilai
Islam yang berdasar pada ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) melalui
pendidikan dan pembelajaran. Pencanangan program pemerintah untuk menerapkan
kurikulum pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional merupakan
peluang strategis untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional..
Berdasar pada konteks sebagaimana tersebut di atas
penelitian ini berfokus pada permasalahan bagaimana integrasi nilai-nilai Islam
dengan 18 nilai karakter sebagaimana telah dirumuskan oleh kementerian pendidikan
nasional Republik Indonesia dan bagaimana integrasi nilai-nilai Islam dalam
pembelajaran selain pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Tujuan
penelitian adalah untuk memahami integrasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai
pendidikan karakter dan memahami integrasi nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran
pada mata pelajaran selain pendidikan agama Islam di sekolah. Adapun metode
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kritis,
yaitu metode penelitian yang mendeskripsikan gagasan
manusia dengan suatu analisis yang bersifat kritis (Mastuhu dan Deden Ridwan,
1998: 44). Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna sebagai masukan bagi teori pengembangan kurikulum dalam kaitannya
dengan pendidikan agama Islam khususnya dan pengembangan kurikulum pendidikan
karakter pada umumnya.
B. KAJIAN TEORI TENTANG NILAI-NILAI ISLAM
1. Kajian penelitian terdahulu
Penelitian
tentang niali-nilai atau karakter dalam kaitannya dengan pendidikan antara lain
telah dilakukan oleh Putra (2013) dengan penelitiannya yang
berjudul Pengembangan Model Internalisasi nilai karakter dalam Ilmu
Pengetahuan Sosiai melalui Value Clarification Technique (VCT) di Sekolah Menengah
Pertama se Solo Raya. Penelitian ini mengkaji efektifitas model VCT
(Value Clarification Technique)
untuk menginternasilsasikan nilai-nilai karakter khususnya pada mata pelajaran
IPS ke dalam aktivitas siswa. Model Internalisasi
Nilai Karakter Melalui VCT ini dinilai
sebagai model yang baik dan efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran IPS.
Komariyah
(2011) dalam penelitiannya yang berjudul Model Pendidikan Nilai Moral bagi
Para Remaja menurut Perspektif Islam menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan
nilai atau moral sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik antara sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai moral tesebut tidak akan
berhasil jika hanya dibebankan kepada sekolah saja. Demikian juga sebaliknya, jika
pendidikan hanya diserahkan kepada keluarga atau masyarakat saja tanpa adanya
kerja sama yang baik antara ketiganya (sekolah, keluarga, dan masyarakat) maka
pendidikan moral itu tidak akan pernah mencapai keberhasilan. Substansi
pendidikan moral adalah penanaman nilai-nilai yang hendaknya diawali dengan
penanaman nilai-nilai agama. Model pendidikan nilai moral di sekolah hendaknya
dilaksanakan dengan menciptakan kultur religius di sekolah dibarengi dengan
penguatan pada bidang studi atau mata pelajaran akhlak. Adapun model pendidikan
nilai moral di masyarakat hendaklah diawali dengan membangun budaya religius di
tengah-tengah masyarakat itu sendiri dengan cara mengintensifkan pendidikan
agama di lingkungan keluarga, di masjid, dan mengisi waktu luang para remaja
dengan bimbingan agama.
Afandi (2011) dengan penelitiannya yang
berjudul Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah
Dasar. Menurutnya melalui
pembelajaran ilmu pengetahuan sosial dapat di masukkan nilai-nilai pendidikan
karakter dengan mengintegrasikan materi dalam pembelajaran ilmu pengetahuan
sosial tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa IPS sebagai bidang studi
dalam pembelajaran yang bertujuan agar peserta didik mampu bertanggung jawab
terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara merupakan mata pelajaran yang
tepat untuk mengimplementasikan pendidikan karakter.
Penelitian
terkait dengan nilai agama Islam dilakukan oleh Rochman (2010) berjudul Pembelajaran Fisika Berbasis
Nilai Agama Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan metode
deskritif serta research and development ia mengkaji pengintegrasian
nilai agama Islam dalam program pembelajaran fisika pada perguruan tingga agama
Islam. Menurut hasil penelitiannya, karakteristik Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang terintegrasi dengan nilai agama Islam dalam
pembelejaran fisika dapat diwujudkan dalam beberapa komponen yaitu: tujuan
pembelajaran, uraian materi, media, pendekatan/metode, langkah-langkah
pembelajaran dan evaluasi. Adapun sintak proses pembelajaran yang dikembangkan
terdiri dari: introduksi, eksplorasi, eksplanasi, elaborasi, dan evaluasi.
Menurutnya terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan mahasiswa dalam
menitegrasikan nilai agama Islam pada materi fisika dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran.
Sadiah
(2010) penelitiannya berjudul Pengembangan Model Pendidikan Nilai-nilai
Keberagamaan dalam Membina Kepribadian Sehat. Melalui metode deskritif
analitik dengan pendekatan kualitatif ia dia mengkaji tentang pengembangan
model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat
terhadap perubahan perilaku siswa di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina
kepribadian sehat terhadap perubahan perilaku siswa tampak dari rutinitas dan
aktivitas siswa dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah. Pengembangan
model pendidikan dimaksud berdampak positif terhadap perubahan perilaku siswa
yang menunjukkan kepribadian sehat dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan
sekolah.
Selain beberapa penelitian sebagaimana
tersebut di atas, tentu masih banyak penelitian tentang nilai-nilai dalam
kaitannya dengan pendidikan karakter yang telah dilakukan oleh para peneliti
terdahulu. Sekalipun demikian sejauh penelusuran peneliti belum ada kajian
tentang Konsep Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Pendidikan Karakter.
Oleh karena itu peneliti mengangkat judul tersebut dalam sebuah penelitian
dengan harapan dapat menjadi masukan pengembangan ilmu dan bahan kajian bagi
penelitian-penelitian pada bidang terkait.
2. Landasan
Teori tentang Nilai-nilai Islam
Niali merupakan preferensi yang tercermin dalam
perilaku seseorang. Nilai itulah yang mendasari seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Dalam hal ini, nilai dapat dikatakan sebagai konsep,
sikap, dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandangnya berharga.
Ketika nilai diletakkan pada bangunan sistem pendidikan agama Islam maka
jadilah nilai-nilai dasar pendidikan Islam yang bermakna sebagai konsep-konsep
yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral, dan
operasional pendidikan Islam.
Pendidikan agama Islam yang di jalankan atas dasar
nilai-nilai ajaran Islam memiliki dua orientasi, yaitu orientasi ketuhanan dan
orientasi kemanusiaan. Orientasi ketuhanan menyangkut penanaman keyakinan,
ketaatan, dan kepasrahan kepada Allah yang tercermin dalam kesalehan ritual
atau nilai-nilai sebagai hamba Allah (‘abdu Allah). Adapun orientasi
kemanusiaan menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan
sesama makhluk ciptaan Allah terkait dengan tugas manusia sebagai wakil Allah
di bumi (khalifat Allah fii al-ardh).
Secara epistemologis pendidikan Islam dibangun dia
atas dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijtihad.
al-Qur’an sebagai landasan epistemologis bukan hanya dipandang dari sudut
keimanan atau keyakinan semata, malinkan karena kebenaran al-Qur’an teruji oleh
nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
al-Qur’an merupakan pedoman yang tidak mengandung unsur keraguan (QS.
al-Baqarah (2): 2) dan tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (QS. Hijr(15):
9) baik dalam aspek pembinaan sosial budaya maupun pendidikan.
Landasan epistemologis yang kedua adalah al-Sunnah
yang diartikan sebagai ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. Integritas
kepribadian Rasulullah SAW telah dijamin sepenuhnya oleh Allah. Beliau dijadikan
sebagai teladan utama bagi manusia atau uswatun hasanah (QS. al-Ahzab (33):
21) dan perilakunya senantiasa terpelihara dan dikontrol oleh Allah (QS.
al-Najm (53): 3-4) merupakan jaminan bahwa mencontoh dan meneladani Nabi SAW
dalam segala hal adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan untuk
memperoleh kemaslahatan pada segala aspek kehidupan.
Landasan ketiga adalah ijtihad sahabat,
pemikir muslim, juga pergumulannya dengan pemikir dan pemikiran Barat modern.
Langgulung (1992: 120-122) , menggambarkan bahwa para sahabat merupakan
murid-murid dari guru teragung (Muhammad SAW). Sekolah Nabi SAW benar-benar
telah menghasilkan manusia luar biasa yang dapat mengatasi segala kesulitan dan
tekanan serta mencatatkan namanya dalam lembaran sejarah sebagai orang-orang
besar. Umar bin Khaththab adalah salah satu contoh dari muridnya yang mempunyai
kemampuan tinggi dalam berijtihad. Umar tidak saja mengambil apa yang baik dari
umat lain, tetapi juga tidak menghendaki sikap jumud (stagnan), ia mengikuti
berbagai pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros
penetapan hukum yang diridhai Allah SWT (Rahman, 1994: 346-348). Landasan ijtihad
ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara penyelenggaraan pendidikan agama
Islam dengan kondisi serta situasi sosial kemasyarakatan namun ia tidak
tercabut dari akarnya sebagai pendidikan Islam.
Berdasar pada landasan epitemologis sebagaimana telah
dikemukakan selanjutnya di jabarkan (break down) dalam kerangka atau
nilai-nilai dasar ajaran Islam yaitu iman, islam, dan ihsan (HR. Muslim)[1] yang
mana ketiganya merupakan satu keasatuan yang tak terpisahkan. Iman merupakan keyakinan atau sikap batiniah yang penuh
kepercayaan kepada Allah SWT. Iman bukan sekedar meyakini adanya Alah melainkan
juga meyakini kebenaran seluruh ajaran-Nya yang telah disampaikan melalui
utusan-Nya yakni Nabi Muhammad SAW tanpa menyisakan keraguan sedikitpun (QS.
al-Hujuraat (49): 15). Adapun Islam, dapat dimaknai sebagai penyerahan diri secara
total terhadap Allah (QS. al-An’am(6): 162). Penyerahan diri secara total ini
akan menumbuhkan sikap dan kehendak untuk mengimplementasikan ajaran-Nya dalam
segala aspek kegiatan dan kehidupan. Islam dalam hal ini merupakan penjabaran
atau pengejawantahan iman dalam sikap dan perilaku hidup baik lahir maupun
batin. Sedangkan ihsan adalah suatu kesadaran bahwa Allah selalu hadir dalam
kehidupan hambaNya yang menumbuhkan sikap untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu semata-mata karena Dia.
Para ulama telah mengembangkan
konsep kajian tentang nilai-nilai dasar ajaran Islam tersebut. Iman melahirkan
konsep kajian ‘aqidah, Islam melahirkan konsep kajian syari’ah,
dan ihsan melahirkan konsep kajian akhlaq. Dari kajian-kajian tersebut,
terlahir nilai-nilai Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sabiq (1999: 15) menyatakan bahwa keimanan itu
merupakan ‘aqidah dan pokok yang diatasnya berdiri syari’at Islam,
kemudian dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya yang tak terhinga.
Keyakinan, pengkajian, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam
melahirkan nilai-nilai kebajikan yang tercermin perilaku kehidupan baik yang
lahir maupun yang batin. Iman yang benar akan melahirkan amal shalih (Islam),
selanjutnya iman dan amal shalih akan membuahkan kebajikan-kebajikan (ihsan).
Nilai-nilai
Islam berisi tentang ketentuan-ketentuan atau tata cara yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah (Tuhan), hubungan manusia dengan sesama manusia,
dan hubungan antara manusia dengan alam secara keseluruhan (Suryana, dkk, 1996:
148-150). Nilai-nilai Islam dijabarkan
dari tiga nilai dasar ajaran Islam (iman, islam, dan ihsan) sebagaimana
tersebut di atas. Nilai-nilai dasar ajaran Islam
tersebut selanjutnya dapat dijabarkan menjadi nilai-nilai islam yang lebih
spesifik sepeti iman dan takwa, tawakkal, tawadhu’, sabar, syukur, disiplin,
toleransi, dan sebagainya. Sesuai dengan keluasan ajaran Islam, cakupan
nilai-nilai Islam sangat luas dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam
konteks pendidikan, baik pada dataran teori maupun praktek,
seluruh komponen pendidikan Islam harus didasarkan pada nilai-nilai Islam. Penyelenggaraan
pendidikan harus didedikasikan untuk meningkatkan kualitas iman dan
taqwa(QS. Ali Imran (3): 102) atau iman dan amal shalih (QS al-Nahl (16): 97),
selanjutnya proses pendidikan Islam harus dijalankan dengan semangat ibadah
kepada Allah SWT (QS. al-Dzaariyaat (51) : 56).
C. Integrasi
Nilai-nilai Islam dan Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan berupa tabiat atau watak yang membedakan seseorang dari yang lain.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir, dan berperilaku setiap individu yang
khas untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara (Samani dan Hariyanto, 2013: 41). Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang uniersal dan meliputi seluruh seluruh
aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan
dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Fathurrohman
dkk, 2013: 18). Dalam terminologi Islam karakter lebih dikenal sebagai akhlaq,
yaitu suatu sifat
yang terpatri dalam jiwa yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah
tanpa memerlukan pemikiran dan perenungan terlebih dahulu.
Pendidikan karakter menurut Zuriah
(2011: 11) dapat disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan karakter
adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli,
dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai
insan kamil (Samani dan Hariyanto, 2013: 46). Pendidikan
karakter bertujuan menanamkan nilai-nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan
bersama yang lebih menghargai kebebasan
individu. Selain itu pendidikan karakter juga bertujuan meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik
secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai dengan standar kompetensi lulusan (Asmani, 2013: 42-43).
Pendidikan karakter hendaknya menjadi
gerakan nasional dan menjadikan institisi pendidikan (sekolah) sebagai agen
pembentukan karakter bangsa. Senada dengan itu, UU No.20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mendefinisikan pendidikan
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003 pasal 3).
Pendidikan yang berbasis pada
nilai-nilai karakter merupakan sebuah keniscayaan yang diperlukan bagi
penanaman nilai-nilai karakter terhadap generasi muda harapan bangsa. Agar
internalisai atau penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik dapat
efektif maka diperlukan identifikasi nilai-nilai karakter secara komprehensif
kemudian diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional dengan segenap
komponen-komponennya yang mendasari segala aktivitas pendidikan.
Kementerian Pendidikan Nasional
(2010) telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkan pada diri
peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Nilai-nilai karakter
rumusan Kementerian Pendidikan Nasional tersebut selengkapnya adalah sebagai
berikut:
1.
Religius, yakni
ketaatan dan kepatuahan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran
kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan
berdampingan.
2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara
pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan
yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang
bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap
perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat,
dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta
dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala
bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh
(berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas,
permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6. Keratif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai
segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan
berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh
melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain.
8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak
dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan
penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan
dipelajari secara lebih mendalam.
10.
Semangat
kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan
golongan.
11.
Cinta tanah
air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan
sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat
merugikan bangsa sendiri.
12.
Menghargai
prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih
tinggi.
13.
Komunikatif,
senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara
kolaboratif dengan baik.
14.
Cinta damai,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan
nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.
Gemar membaca,
yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna
membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya,
sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16.
Peduli
lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar.
17.
Peduli sosial,
yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain
maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18.
Tanggung jawab,
yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara,
maupun agama.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bagian terdahulu bahwa pendidikan karakter sebenarnya sejak awal telah menjadi
bagian dari sistem pendidikan nasional yang disampaikan melalui pendidikan
agama dan pendidikan kewarga negaraan (PKn). Dalam perkembangannya disadari
bahwa penanaman nilai-nilai karakter tidaklah cukup dengan mengandalkan dua
mata pelajaran tersebut. Berangkat dari kesadaran itu kemudian timbul inovasi
bahwa pelaksanaan pendidikan karakter dapat diintegrasikan ke
dalam semua mata pelajaran. Integrasi
yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan
kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya
nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. Pendidikan
karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik. Pendidikan karakter dilaksanakan melalui
kegiatan pengelolaan semua urusan di
sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Pendidikan agama Islam yang sejatinya
adalah pendidikan nilai (karakter) mendapatkan peluang lebih dengan adanya
inovasi dan kebijakan dimaksud. Sebagaimana telah dimaklumi, penanaman
nilai-nilai Islam sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui pendidikan agama
Islam. Dengan adanya inovasi dan kebijakan tersebut dapat dipahami bahwa
pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam arti penanaman nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Untuk
kepentingan itu langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengintegrasikan
nilai-nilai Islam tersebut dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Pengintegrasian dalam hal ini adalah usaha pemaduan nilai-nilai Islam dengan 18
nilai karakter yang telah dirumuskan oleh kementerian pendidikan nasional.
Setelah mencermati butir demi
butir nilai-nilai karakter bangsa yang telah dirumuskan kementerian pendidikan
nasional kemudian menyandingkannya dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, peneliti
menemukan kenyataan bahwa 18 nilai karakter yang telah dirumuskan kementerian
pendidikan nasional keseluruhannya telah mencerminkan dan merupakan bagian dari
nilai-nilai Islam. Sekedar untuk memperjelas, posisi nilai-nilai karakter dalam
perspektif Islam dapat dilihat pada tabel karakter dan nilai-nilai Islam
berikut ini.
Tabel karakter dan nilai-nilai Islam
No
|
Nilai Karakter
|
Nilai Islam
|
1
|
Religius
|
Iman dan takwa
|
2
|
Jujur
|
Akhlaq al-kariimah
|
3
|
Toleransi
|
Akhlaq al-kariimah
|
4
|
Disiplin
|
Akhlaq al-kariimah
|
5
|
Kerja keras
|
Akhlaq al-kariimah
|
6
|
Kreatif
|
Akhlaq al-kariimah
|
7
|
Mandiri
|
Akhlaq al-kariimah
|
8
|
Demoktatis
|
Akhlaq al-kariimah
|
9
|
Rasa ingin tahu
|
Akhlaq al-kariimah
|
10
|
Semangat Kebangsaan atau Nasionalisme
|
Akhlaq al-kariimah
|
11
|
Cinta tanah air
|
Akhlaq al-kariimah
|
12
|
Menghargai prestasi
|
Akhlaq al-kariimah
|
13
|
Komunikatif
|
Akhlaq al-kariimah
|
14
|
Cinta damai
|
Akhlaq al-kariimah
|
15
|
Gemar membaca
|
Akhlaq al-kariimah
|
16
|
Peduli lingkungan
|
Akhlaq al-kariimah
|
17
|
Peduli sosial
|
Akhlaq al-kariimah
|
18
|
Tanggung jawab
|
Akhlaq al-kariimah
|
Tiap-tiap butir nilai karakter
rumusan kementerian pendidikan nasional merupakan rumusan budi pekerti yang
baik yang bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka akan terlihat dengan jelas
bahwa sikap religius merupakan pusat dan inti dari keseluruhan karakter. Selanjutnya
dari sikap religius itulah maka terlahir nilai-nilai karakter yang lain. Budi pekerti yang baik dalam terminologi Islam
disebut dengan akhlaq al-kariimah yang terlahir dari iman dan takwa
dalam arti yang sebenar-benarnya, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Iman dan takwa serta keseluruhan akhlaq al-kariimah
merupakan nilai-nilai Islam yang dijabarkan dari nilai-nilai dasar ajaran
Islam, yakni iman, islam, dan ihsan. Analisis perbandingan antara nilai-nilai
karakter dengan nilai-nilai Islam sebagaimana telah dikemukakan, kiranya cukup
untuk membuktikan bahwa nilai-nilai karakter rumusan kementerian pendidikan
nasional, disadari atau tidak, telah mengakomodasi sebagian dari nilai-nilai Islam
yang tercermin pada semua butirnya.
Berdasar pada temuan sebagaimana
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam dengan sendirinya
telah terintegrasi ke dalam nilai-nilai pendidikan karakter. Rumusan 18 nilai
karakter bangsa versi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang
menjadi rujukan niali-nilai bagi pelaksanaan pendidikan karakter, secara
substansi dapat dikatakan sebagai wahana integrasi antara nilai-nilai Islam
dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Walaupun tentu saja tidak mungkin semua
nilai-nilai Islam dapat terintegrasi pada pada 18 nilai karakter dimaksud,
namun hal itu sudah cukup memadai untuk dijadikan sebagai landasan dan bahan
acuan bagi kepentingan pengintegrasian nilai-nilai Islam pada tahap berikutnya,
yakni pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam semua pembelajaran di sekolah.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bagian terdahulu, penanaman nilai-nilai Islam dalam pola pendidikan berbasis
karakter dapat dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran pendidikan agama
Islam, melainkan dapat di interelasikan dan diintegrasikan dengan semua mata
pelajaran dan semua kegiatan pembelajaran di sekolah. Guru pendidikan agama
Islam bersama-sama dengan guru pendidikan agama lain dan guru pendidikan
kewarganegaraan (PKn) dalam hal ini dapat bertindak sebagai konsultan
pembelajaran bagi semua guru mata pelajaran atau guru kelas untuk
mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang sekaligus juga nilai-nilai Islam
yang dinilai relevan ke dalam semua kegiatan pembelajaran di sekolah. Nilai-nilai
yang dapat diintegrasikan adalah nilai-nilai Islam dalam bentuk substansi
seperti kewajiban mengamalkan ajaran agama yang dianut, jujur, bertanggung
jawab dan lain-lain, mengingat tidak semua peserta didik bahkan tidak semua
guru beragama Islam. Hal-hal yang bersifat khusus terkait dengan nilai-nilai
Islam tentunya dapat disampaikan pada pembelajaran pendidikan agama Islam.
Hal lain yang mesti
dipertimbangkan adalah keberadaan sekolah yang pada umumnya ditopang oleh
lingkungan masyarakat yang majemuk. Kondisi demikian mengharuskan
pengintegrasian nilai-nilai Islam pada mata pelajaran atau pembelajran selain
pendidikan agama Islam adalah pengintegrasian pada dataran substabsi. Alasan
lain perlunya disampaikan nilai-nilai Islam secara substansial karena substansi
nilai-nilai Islam itu bersifat universal yang kebenarannya dapat diterima oleh
semua agama. Adapun untuk sekolah-sekolah Islam atau yang seluruh murid maupun
gurunya beragama Islam tidak ada halangan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam
secara lebih terbuka seperti hal-hal yang berkaitan dengan aqidah Islamiyah,
ibadah mahdhah (khusus), dan lain-lain dalam batasan-batasan yang mampu
dijangkau.
Integrasi
nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran selain pendidikan Islam
dilaksanakan pada semua tahapan pembelajaran seiring dengan pengintegrasian
nilai-nilai karakter. Integrasi dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan
(penyusunan rencana pembelajaran), pelaksanaan pembelajaran, hingga evaluasi
pembelajaran. Adapun konsep integrasi nilai-nilai Islam (karakter) pada tahapan-tahapan
pembelajaran dapat diuraikan sebagaimana berikut ini.
1. Tahap perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang sangat penting dalam proses
pembelajaran karena perencanaan akan menjadi pemandu proses pembelajaran pada
tahap-tahap sesudahnya. Pada tahap ini semua guru akan menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran yang meliputi komponen-komponen tujuan, materi,
metode/strategi, dan evaluasi. Pada saat penyusunan perencanaan pembelajaran
ini guru agama Islam hendaknya bertindak sebagai konsultan bagi guru mata
pelajaran atau guru kelas untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam yang
memiliki relevansi dengan pembelajaran yang hendak dilaksanakan.
Rumusan tujuan pembelajaran yang dibuat hendaknya tidak hanya
berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik, tetapi juga
memuat aspek afektif. Pada aspek afektif inilah diintegrasikan nilai-nilai
karakter dan pada saat yang sama dapat diintegrasikan pula nilai-nilasi Islam
yang dinilai relevan. Selain itu masih ada satu lagi rumusan tujuan yang khusus
dibuat untuk karakter yang bearti pula nilai-nilai Islam yang relevan sekali
lagi dapat diintegrasikan. Nilai-nilai Islam juga diintegrasikan pada materi
atau bahan ajar yang disiapkan. Perlu diingat bahwa penambahan disini cukup
dengan memasukkan substansi nilai-nilai Islam dan memperhatikan relevansinya
dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Selanjutnya metode dan strategi
pembelajaran yang dipilih hendaknya metode dan strategi yang dapat
memfasilitasi peserta didik sehingga dapat mencapai pengetahuan dan
keterampilan yang ditargetkan. Selain itu, metode dan strategi pembelajaran
yang dipilih hendaknya yang dapat mengembangkan karakter atau nilai-nilai Islam
yang diintegrasikan. Demikian pula teknik evaluasi yang digunakan harus dapat
mengukur pencapaian kompetensi sekaligus karakter yang dalam hal ini adalah
nilai-nilai karakter atau nilai-nilai Islam yang diintegrasikan. Penilaian
karakter atau nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dinyatakan secara
kualitatif dan bukan kantitatif. Oleh karena itu, kusus untuk karakter/nilai
Islam terintegrasi dipilih teknik evaluasi yang sesuai dengan penilaian
kualitatif seperti observasi, penilaian kinerja, atau sejenisnya.
2. Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang
tertuang pada perencanaan pembelajaran. Sudah barang tentu dalam pelaksanaannya
guru harus tetap memperhatikan situasi dan kondisi kelas. Hal ini penting untuk
diperhatikan karena tidak jarang terjadi perubahan atau perbedaan situasi kelas
di luar dugaan sehingga kurang memungkinkan atau pembelajaran menjadi tidak
efektif jika guru terpaku pada apa yang telah dipersiapkan. Situasi demikian
menuntut guru untuk bertidak dan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Selanjutnya
perilaku guru selama berlangsungnya proses pembelajaran hendaknya merupakan
model pelaksanaan karakter atau nilai-nilai yang dikembangkan.
3. Tahap evaluasi
Evaluasi dilaksanakan sesuai yang tertuang pada perencanaan. Hal
yang perlu ditekankan kembali di sini adalah, penilaian karakter yang berarti
pula nilai-nilai Islam terintegrasi lebih mengedepankan pencapaian pada aspek
afektif dan psikomotorik dari pada aspek kognitif. Oleh karena itu, selain
harus benar-benar memahami prinsip-prisip evaluasi yang benar, guru dituntut
untuk mempersiapkan perangkat evaluasi sebaik-baiknya agar diperoleh hasil
evaluasi yang benar dan objektif.
Berdasar pada uraian sebagaimana
tersebut di atas, tampak jelas bahwa untuk pengintegrasian nilai-nilai Islam
dalam proses pembelajaran pada pendidikan berbasis karakter diperlukan kesiapan
dan kesigapan guru pendidikan agama Islam. Guru pendidikan agama Islam dalam
hal ini benar-benar berada pada posisi sentral, di mana selain dituntut untuk
memberikan pelayanan yang baik kepada peserta didik pada mata pelajaran yang
diampunya, ia dituntut pula untuk memberikan pelayanan sebagai konsultan bagi
semua guru kelas atau guru mata pelajaran di sekolahnya dalam mengintegrasikan
nilai-nilai karakter atau nilai-nilai Islam. Selanjutnya guru pendidikan agama
Islam juga harus mampu membangun kerja sama yang baik dengan guru pendidikan
agama yang lain dan guru prndidikan kewarganegaraan (PKn) terkait dengan
tugasnya sebagai sesama konsultan karakter dalam pembelajaran.
D. Kesimpulan
Setelah mencermati 18 nilai karakter yang telah
dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia kemudian
menyandingkannya dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, peneliti menemukan
suatu kenyataan bahwa semua butir dari 18 nilai karakter
yang telah dirumuskan kementerian pendidikan nasional telah mencerminkan
substansi nilai-nilai Islam. Tiap-tiap butir nilai karakter pada rumusan
dimaksud merupakan rumusan budi pekerti yang baik yang dalam terminologi Islam
disebut dengan akhlaq al-kariimah. Sementara itu, akhlaq al-kariimah
adalah bagian dari nilai-nilai Islam yang dijabarkan dari nilai-nilai dasar
ajaran Islam, yakni iman, islam, dan ihsan. Berdasar pada kenyataan tersebut,
18 nilai karakter bangsa yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional Republik Indonesia secara substansi dapat dinyatakan sebagai wahana
integrasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Integrasi nilai-nilai Islam dalam
proses pembelajaran selain pendidikan Islam dilaksanakan pada semua tahapan
pembelajaran mulai dari tahap perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran. Guru pendidikan agama Islam dalam
hal ini bekerja sama dengan guru pendidikan agama lain dan guru pendidikan
kewarganegaraan bertindak sebagai konsultan pembelajaran bagi semua guru mata
pelajaran atau guru kelas untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang
sekaligus juga nilai-nilai Islam ke dalam semua kegiatan pembelajaran di
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, 1992, Islam
sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media.
Afandi, Rifki, 2011,
Integrasi Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, Paedagogia, Jurnal Penelitian
Pendidikan Vol. 1 No. 1, ISSN: 1026-4109.
Asmani, Jamal
Makmur, 2013, Buku Panduan Internalisasi Karakter di Sekolah,
Jogjakarta: Diva Press.
Fathurroman, Pupuh, dkk, 2013, Pengembangan
Pendidikan Karakter, Bandung: Refika Aditama.
Hartoko, Dick, 1985, Memanusiakan
Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, Yogyakarta: Kanisius.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Kementerian Pendidikan Nasional,
2010, Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah
Pertama, Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas.
Komariyah, Kokom St., 2011, Model
Pendidikan Moral bagi Remajamenurut Perspektif Islam, Jurnal Pendidikan
Agama Islam-Ta’lim Vol. 9 No. 1.
Langgulung, Hasan, 1992, Asas-asas
Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna).
Lickona,
Thomas, 2013, Educating for Character, Terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta:
Bumi Aksara.
Mastuhu dan Deden
Ridwan (eds), 1998, Tradisi Baru Penelitian Agama Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu, Bandung: NUANSA.
Putra, Ghanis,
2013, Pengembangan Model Internalisasi nilai
karakter dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Value Clarification Technique (VCT) di
Sekolah Menengah Pertama se Solo Raya, Jurnal Teknologi Pendidikan dan
Pembelajaran Vol. 1 No. 3, ISSN: 2354-6441.
Qardhawi, Yusuf, 2000, al-Iman wa
al-Hayat, terj. Jazirotul Islamiyah dengan judul: Merasakan Kehadiran
Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Rahman, Budi Munawar, 1994, Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Rochman, Chaerul, 2010, Pembelajaran Fisika Berbasis
Nilai Agama Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam, Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 11 No. 2.
Sabiq,
Sayid, 1999, al-‘Aqaaidu al-Islamiyyah; Terj. Moh. Abdai Rathomy dengan
judul Aqidah Islam, Bandung: CV Diponegoro.
Sadiah,
Dewi, 2010, Pengembangan Model Pendidikan Nilai-nilai Keberagamaan dalam
Membina Kepribadian Sehat, Jurnal
Penelitian Pendidikan Vol.11 No. 2.
Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2013, Konsep
dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sarjono, 2005, Nilai-nilai
Dasar Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II No. 2.
Suryana, Toto, dkk, 1996,
Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Tiga Mutiara.
Zuriah, Nurul, 2011, Pendidikan Moral dan Budi
Pekerti dalam Perspektif Perubahan,
[1] Dari Umar radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Ketika kami
duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba
datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut
sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada
seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan
Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku
tentang Islam!”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah)
selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.”
Kemudian dia berkata: “Anda benar.” Kami semua heran, dia yang
bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan
aku tentang Iman!”. Lalu beliau bersabda: “Engkau
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian dia berkata: “Anda benar.“, Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan
aku tentang ihsan!” Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka
Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang kapan terjadinya hari kiamat!” Beliau
bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Dia
berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya!” Beliau
bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau
melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya.” Kemudian orang itu berlalu dan aku (Umar) berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah
engkau siapa yang bertanya?” Aku (Umar) berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud)
mengajarkan agama kalian.” (HR. Riwayat Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar