A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
Islam ditinjau dari aspek historis sebenarnya telah dimulai bersamaan dengan
kehadiran Islam itu sendiri. Tentu saja pada masa awal perkembangan Islam,
pendidikan itu belum terselenggara secara sistematis seperti halnya sekarang
ini. Sekalipun demikian, pada masa awal atau permulaan Islam ini telah dimulai
suatu babak baru yang merupakan cikal bakal kemunculan sistem pendidikan Islam
yang memiliki corak dan ciri-ciri tersendiri. Pendidikan yang berlangsung pada
masa itu bersifat informal terkait dengan upaya-upaya dakwah Islam, penyebaran
dan penanaman aqidah, serta pengajaran ibadah.
Pengangkatan
beliau SAW sebagai Rasul Allah SWT antara lain ditandai dengan turunnya wahyu pertama,
yakni Allah SWT berfirman:
إقرأ باسم ربّك الّذي خلق , خلق الإنسان من علق , إقرأ و ربّك الأكرم
, الّذي علّم بالقلم , علّم الإنسان ما لم يعلم (العلق ١ – ٥)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq (96): 1-5).
Wahyu pertama tersebut seolah
merupakan petunjuk dan instruksi bagi beliau SAW untuk segera melaksanakan
dakwah Islam, mulai membimbing dan mendidik umatnya. Pada mulanya aktivitas
pendidikan (dakwah Islam) itu dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi, dimulai dari keluarga, kerabat, dan sahabat dekat. Khadijah
Isteri Nabi SAW adalah orang pertama yang menjadi sasaran pendidikan dan masuk
Islam, kemudian diikuti oleh Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar,
Zubeir ibn ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Thalhah bin
Ubaidillah, dan lain-lain. Pendidikan dan dakwah Islam yang dilakukan secara
diam-diam ini telah berhasil mempengaruhi belasan orang sehingga mereka masuk
Islam (al-Ismail, 1996: 2). Rumah Arqam bin Abi al-Arqam selanjutnya menjadi
pusat kegiatan dakwah Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para
pengikutnya. Rumah Arqam ini dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam
yang pertama.
Pada periode Madinah (sesudah
hijrah) terdapat dua hal penting yang dilakukan Nabi SAW. Pertama,
setibanya di Madinah, beliau SAW beserta kaum muslimin baik muhajirin
maupun anshar segera membangun masjid yang di dalamnya terdapat suatu
ruangan yang disediakan khusus untuk beliau. Bagi kaum muhajirin yang miskin,
yang tidak mampu membangun tempat tinggal sendiri dibangunkan tempat tinggal di
samping masjid. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai ahl al-shuffah
(Zuhairini dkk, 2004: 30). Kedua, pembentukan negara Madinah yang
ditandai dengan adanya suatu perjanjian tertulis yang disepakati oleh semua
pihak, baik dari kelompok muslim maupun yang bukan muslim. Dengan disahkannya
perjanjian yang kemudian disebut sebagai konstitusi madinah tersebut maka
Madinah dan sekitarnya telah menjelma menjadi suatu negara dengan kepala
negaranya Nabi Muhammad SAW. Menurut sebagian besar sejarawan, Konstitusi
Madinah tersebut merupakan konstituasi yang pertama di dunia (Ramayulis, 2012:
35). Substansi materi pendidikan pada masa itu telah meliputi seluruh aspek
kehidupan seperti akidah, syaria’ah, ibadah, akhlak, sejarah, politik, ekonomi,
sosial, budaya dan sebagainya (QS. al-Maaidah (5): 3).
Sepeninggal Rasulullah SAW, segala
urusan menjadi tanggung jawab kaum muslimin pada umumnya, tak terkecuali
permasalahan pendidikan. Secara berturut-turut Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib tampil sebagai khalifah
melanjutkan kepemimpinan beliau SAW yang kemudian dikenal sebagai Khulafaa’
al-Raasyidiin. Masing-masing dari mereka terpilih sebagai khalifah melalui
proses pemilihan yang berlangsung secara demokratis dan dipilih langsung oleh
kaum muslimin. Kelembagaan pendidikan pada masa ini merupakan kelanjutan dari
tradisi pendidikan pada masa Rasulullah SAW, hanya saja secara kuantitatif
terus mengalami pengembangan dan kemajuan seiring dengan bertambah luasnya
wilayah serta bertambah banyaknya kaum muslimin.
Masa kekuasaan Khulafaa’
al-Raasyidiin diakhiri dengan berdirinya Daulah Umawiyyah.
Sebagaimana dimaklumi, pada awal berdirinya Daulah Umawiyyah kekuasaan
diperoleh melalui proses politik yang diwarnai tipu daya dan kekerasan.[1]
Sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun). Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan
Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan
interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dan
menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian penguasa yang diangkat
oleh Allah (Yatim, 1998: 42).
Terlepas dari masalah awal perolehan kekuasaannya, Bani
Umayyah telah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun yakni, 661-743M (Yatim, 1998: 43). Dalam kurun waktu
itu, Bani Umayyah telah membuat banyak kemajuan di berbagai bidang
kehidupan, antara lain perluasan daerah kekuasaan, pertumbuhan partai politik,
penyusunan organisasi negara dan pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan,
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, perkembangan seni budaya, dan tak
terkecuali kemajuan dalam bidang pendidikan. Dinasti ini memberikan dukungan yang kuat terhadap pengembangan pendidikan
dengan penyediaan sarana dan prasarana yang lengkap. Hal ini dilakukan agar
para ilmuwan, para seniman, dan para ulama melakukan pengembangan ilmu yang
dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu (Ramayulis, 2012:69).
Makalah ini akan mengungkap dan
mendiskusikan tentang kelembagaan pendidikan Islam pada masa Daulah
Umawiyyah. Adapun permasalahan yang diajukan meliputi model-model atau
jenis-jenis lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada masa Bani Umayyah,
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa Bani Umayyah dalam
pengembangan kelembagaan pendidikan Islam, dan relevansi model kelembagaan
pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah terhadap penyelenggaraan
pendidikan Islam di Indonesia masa kini.
B.
JENIS DAN FUNGSI INSTITUSI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH ISLAM KLASIK
Sebagaimana kemunculan pendidikan Islam, institusi pendidikan
secara substansial terlahir mengiringi dakwah Rasulullah SAW. Dalam
sejarahnya, institusi pendidikan Islam tersebut mengalami berbagai dinamika
pertumbuhan dan perkembangan. Berbagai pola dan tipe institusi pendidikan Islam
muncul dan berubah seiring perkembangan pemikiran. Institusi pendidikan di
dunia Islam menurut Makdisi (1981: 9) dapat dibedakan menjadi dua kategori,
yakni institusi pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah
(pra-madrasah) dan institusi pendidikan madrasah.
1.
Institusi Pendidikan
Islam Sebelum Madrasah (Pra-Madrasah)
Tipe-tipe Institusi pendidikan Islam
yang telah ada sebelum kemunculan madrasah tersebut antara lain sebagaimana
dikemukakan berikut ini.
a. Dar al-Arqam
Dar al-Arqam (rumah
Arqam) sebenarnya adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam yang digunakan oleh
Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyampaikan pembelajaran dan dakwah Islam
di awal periode Mekah. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu,
pembelajaran dan dakwah Islam pada masa ini masih dilakukan secara diam-diam
atau sembunyi-sembunyi. Dapat dikatakan bahwa Dar al-Arqam ini merupakan
lembaga atau pusat pendidikan pertama yang sekaligus menjadi cikal-bakal
lembaga pendidikan Islam. Pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah di Dar
al-Arqam ini merupakan masa yang paling penting bagi sejarah pendidikan dan
dakwah Islam. Banyak di antara kaum mislimin mencatat masuk Islamnya
orang-orang yang hari-harinya bersama Rasulullah SAW menebarkan dakwahnya di
rumah Arqam ini (Ramayulis, 2012: 18). Dengan demikian, fungsi rumah al-Arqam
pada saat itu adalah sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan Islam
dengan pembelajaran individual (perorangan) yang dilakukan secara diam-diam.
b. Masjid
Selepas hijrah ke Madinah, pendidikan Islam pada
mulanya berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba merupakan masjid pertama yang
dijadikan Rasulullah sebagai institusi pendidikan. Masjid yang terus berkembang
digunakan sebagai tempat pembelajaran ilmu-ilmu Islam (Makdisi, 1981: 9). Fungsi
masjid selain sebagai tempat ibadat dan tempat penyebaran dakwah serta
ilmu-ilmu Islam, juga digunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah
individu dan masyarakat, tempat menerima duta-duta asing, tempat pertemuan
pemimpin-pemimpin Islam, dan tempat bersidang.
c. Shuffah
Shuffah untuk yang pertama kalinya dibangun setelah
Nabi SAW hijrah ke Madinah bersamaan dengan pembangunan masjid yang pertama.
Selain sebagai tempat untuk melaksanakan aktivitas pendidikan, shuffah
juga digunakan sebagai pemondokan bagi para pendatang baru (golongan muhajirin)
yang tergolong miskin (Zuhairini dkk,
2004: 30). Tempat ini berfungsi sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal
al-Qur’an. Setidaknya telah ada sembilan shuffah pada perode Madinah dan
salah satunya berada di samping masjid Nabawi. Ubaid bin Shamit adalah salah
seorang sahabat yang diangkat oleh beliau SAW untuk menjadi guru pada shuffah
di Madinah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dakwah Islam, pada
perkembangan berikutnya shuffah juga menawarkan pembelajaran dasar-dasar
berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik (Ramayulis, 2012:
46).
d. Kuttab
Kuttab atau maktab
berasal dari kata dasar kataba yang berarti
menulis atau tempat menulis. Dalam hal
ini kuttab atau maktab diartikan sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Sebelum kehadiran Islam sebenarnya kuttab ini sudah dikenal meskipun terbatas pada golongan tertentu
saja. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar baca tulis adalah Sufyan bin Umayyah bin Abdu Syam dan Abu Qais bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilat. Keduanya belajar di negeri Hirah (Zuhairini dkk, 2004: 89). Di awal
perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru
yang bersangkutan.
Materi yang diajarkan adalah menulis dan membaca syair yang terkenal pada
masanya. Sementara penulisan al-Qur'an tidak
diajarkan di sini, sebab kebanyakan pengajar adalah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa Al Qur'an tidak boleh dipermainkan oleh anak-anak dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu Al Qur'an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja (Syalabi, 1973: 45).
Pokok-pokok ajaran Islam dan al-Qur’an mulai diajarkan
di dalam kuttab pada akhir abad pertama hijriyyah. Pada mulanya kuttab
merupakan pemindahan dari pengajaran Al Qur'an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun karena ada kekhawatiran
bahwa anak-anak tidak dapat menjaga kesucian masjid maka bagi mereka
dibuatkan tempat-tempat khusus disamping masjid yang juga berfungsi untuk
belajar baca tulis Al Qur'an serta pokok-pokok ajaran Islam (Syalabi 1973: 50).
e. Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya,
proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari
gurunya. Halaqah merupakan paktik pendidikan Islam yang berlangsung di
dalam masjid. Meskipun tidak ada batasan resmi namun rata-rata dalam sebuah halaqah
terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui
sebuah seleksi (Makdisi, 1981: 184). Pada sebuah masjid bisa ada lebih dari
satu halaqah. Masing-masing halaqah biasanya diberi nama sesuai ilmu yang
dikaji atau nama syaikh yang mengajar dalam halaqah tersebut. Jika
beberapa halaqah menempati satu masjid dalam waktu yang bersamaan maka
mereka akan memilih lokasi yang terpisah, namun ada juga yang memilih waktu
berbeda di tempat yang sama. Selain
digunakan untuk pembelajaran halaqah juga difungsikan untuk mengeluarkan fatwa dan dapat pula
difungsikan sebagai tempat untuk berdebat (Makdisi, 1981: 13).
f. Majlis
Pada zaman Rasulullah dan Khulafaa’
al-Rasyidiin, majlis dilaksanan di dalam masjid. Pertemuan majlis ini
berfungsi untuk memberikan fatwa, musyawarah, dan diskusi dengan para sahabat
untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Pada masa khilafah Bani Umayyah majlis tersebut dipindahkan ke istana. Majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa pada
masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H), seorang khalifah dari Bani Abbas
yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya.
Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar
ahli syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta
sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga (Zuhairini dkk,,2004: 76-77).
g. Qushur (Pendidikan Rendah
di Istana)
Timbulnya
kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak sejak kecil agar mereka
dapat melaksanakan tugasnya setelah dewasa nanti telah mendorong para khalifah
dan keluarganya serta para pembesar istana untuk mendatangkan guru-guru khusus
yang ditugasi untuk mengajar anak-anak mereka. Materi pembelajaran yang disampaikan
pada murid serta tujuan pembelajaran pada pendidikan rendah di istana
ditentukan oleh orang tuanya sendiri. Guru yang mengajar di istana dinamakan mu'addib. Kata mu’addib
berasal dari kata adab yang artinya budi pekerti atau yang meriwayatkan. Dengan sebutan tersebut dimaksudkan
bahwa mereka akan
mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta pengetahuan orang-orang terdahulu kepada
anak-anak (Zuhairini
dkk, 2004: 92).
h. Badi’ah
Badi’ah merupakan
dusun Badui di Padang Sahara di mana penduduknya masih menggunakan bahasa Arab
yang asli, sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu sendiri. Seiring dengan semakin
luasnya perkembangan dan penggunaan bahasa Arab, maka Badi’ah menjadi
tujuan bagi mereka yang ingin mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang
bahasa Arab (Ramayulis, 2012: 72).
i. Khan
Istilah
Khan dapat diartikan sebagai pemondokan (penginapan musafir) tetapi
dalam hubungan ini istilah tersebut berarti asrama mahasiswa yang berasal dari
desa-desa yang jauh yang pada umumnya belajar hukum Islam (Asrohah, 1999: 64). Khan
di abad pertengahan Islam difungsikan
untuk berbagai tujuan,
antara lain sebagai hotel
atau penginapan, sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai
sarana komersial yang memiliki banyak toko. Ada pula khan yang secara finansial
didukung oleh wakaf dan penghasilannya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
sosial. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar
kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu masjid dan sebagai tempat
pembelajaran privat atau bimbingan belajar tentang hukum bagi orang asing di
kota (Makdisi, 1981: 23-24). Penambahan khan pada bangunan masjid merupakan
solusi terhadap kesulitan mahasiswa yang datang dari luar kota, dimana mereka
sebelumnya dihadapi oleh masalah penginapan. Namun masih kurang jelas apakah
khan menyediakan akomodasi gratis bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut (Masnur,
2009: 76).
j. al-Hawanit al-Waraqin
(Toko-toko Buku)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam pada permulaan Daulah Bani Abassiyah yang begitu pesat diikuti oleh
penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu. Hal inilah yang mendorong
berdirinya toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut pada umumnya bukan
sekedar para pedagang, akan tetapi orang-orang yang cerdas yang memilih profesi
tersebut agar dapat membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para
ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan.
Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai tempat berjual beli
buku melainkan juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para ilmuwan untuk
berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah (Zuhairini, 2004: 79).
j. Maktabah
(Perpustakaan)
Perhatian Islam terhadap pendidikan dan pentingnya buku sebagai
media ilmu pengetahuan melatarbelakangi tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban
Islam (Asari, 1994: 112). Perpustakaan memiliki peranan penting dalam kegiatan
transmisi keilmuan Islam. Pada periode klasik perpustakaan tidak hanya
berfungsi sebagai tempat untuk membaca buku melainkan juga berfungsi sebagai
tempat pembelajaran. Perpustakaan pada masa ini memiliki ruang khusus yang
dipergunakan untuk melangsungkan proses pembelajaran yang dibimbing oleh para
ulama sesuai dengan bidang keahliannya (Ramayulis, 2012: 72).
k. Bimaristan
(Rumah Sakit).
Rumah sakit
pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati
orang-orang sakit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi
tenaga-tenaga perawatan dan pengobatan. Penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan
obat-obatan berkembang cukup pesat. Rumah sakit juga menjadi tempat praktikum
sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah
kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa rumah
sakit, maristan juga merupakan sekolah kedokteran (Makdisi, 1981: 27). Dengan
demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.
Sesuai
dengan teori yang diajukan oleh Makdisi (1981: 9-10) sebagian dari institusi-institusi
pendidikan tersebut ada yang bersifat inklusif, yakni institusi-institusi
pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu asing (mengajarkan pengetahuan umum) di
samping mengajarkan ilmu pengetahuan agama. Sedangkan sebagiannya lagi bersifat
bersifat eksklusif, yaitu institusi-institusi pendidikan yang tidak mengajarkan pengetahuan umum, melainkan
hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama saja.
2. Madrasah
Kemunculan madrasah sebagai instituai pendidikan Islam
merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam. Format
penyelenggaraan pendidikan Islam mengalami perubahan menjadi lebih sistematis
dan terstruktur setelah kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Penjelmaan
istilah madrasah merupakan merupakan proses evolusi yang terjadi melalui tiga
tahapan, yakni lembaga pendidikan masjid pada tahap pertama, kemudian khan pada
tahap kedua, dan madrasah pada tahap yang ketiga (Makdisi, 1981: 27). Hendaklah
dipahami bahwa madrasah pada konteks ini bukanlah lembaga pendidikan pada
tingkat dasar dan menengah sebagaimana yang berlaku di Indonesia sekarang ini.
Madrasah dalam konteks pembicaraan ini merujuk pada lembaga pendidikan tinggi
yang secara luas berkembang di dunia Islam pra-modern, sebelum era universitas
atau al-Jami’ah (Asari, 1994: 44).
Pendapat Makdasi sebagimana tersebut di atas
didasarkan pada pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat
pada saat itu. Banyaknya murid yang datang dari luar kota untuk belajar hukum
Islam di masjid- masjid membutuhkan pembangunan pemondokan atau
asrama di sekitar masjid sebagai tempat tinggal bagi mereka selama
menuntut ilmu. Hal ini menyebabkan terjadinya proses transformasi dari institusi
pendidikan masjid menjadi institusi pendidikan masjid yang didukung oleh khan
disekitarnya sebagai asrama mahasiswa yang berfungsi pula sebagai tempat pembelajaran privat atau bimbingan belajar tentang hukum bagi orang
asing di kota. Tahap berikutnya, masjid-khan berubah menjadi
madrasah yang selain dilengkapi dengan pemondokan juga dilengkapi aula besar
yang berfungsi sebagi tempat diselenggarakannya proses pembelajaran. Kebanyakan
madrasah juga mempunyai masjid di dalamnya. Faktor lain yang mendorong perlunya
pendirian madrasah sebagai pengganti masjid-khan adalah kenyataan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru yang oleh
karenanya memajukan dan mengembangkan institusi pendidikan seperti madrasah
merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka (Asari, 1994: 46-47).
Makdisi (1981:32) menyatakan bahwa pada abad kedua
hijriyah/kedelapan masehi atau lebih awal dari itu, masjid telah menjadi institusi
pendidikan tinggi yang menyediakan gaji untuk stafnya serta biaya pendidikan
bagi mahasiswanya. Masjid-khan mengambil satu langkah lebih maju dengan
menyediakan penginapan bagi mahasiswa dan kemungkinan juga makanan. Adapun
madrasah lebih menyempurnakannya dengan menyediakan seluruh kebutuhan mahasiswa
utamanya kebutuhan dalam belajar. Ditinjau dari fungsi dan tujuannya,
terdapat indikasi bahwa transformasi substansi keilmuan dari institusi
pendidikan sebelumnya ke madrasah tidak menglami perubahan yang berarti. Ilmu-
ilmu yang diajarkan di madrasah merupakan kelanjutan dari keilmuan yang
diajarkan di masjid atau masjid-khan. Dibandingkan dengan institusi pendidikan
yang telah ada sebelumnya madrasah terorganisir secara lebih formal. Sejarah
pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah institusi pendidikan Islam
unggulan (par excellence) hingga pada periode modern dengan
diperkenalkannya lembaga-lembaga pendidikan modern seperti universitas (Asari,
1994: 51).
C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Berbicara tentang Bani Umayyah terkait dengan masa kekuasannya, mesti
dibedakan menjadi dua bagian. Masa kekuasaan Bani Umayyah yang pertama (661-750
M) berpusat di Damaskus (Mufrodi, 1997: 72) dan Kekuasaan Bani Umayyah yang
kedua (755-1013 M) di Andalusia atau Spanyol (Yatim, 1998: 93-97). Untuk tidak
menimbulkan kesalahpahaman, perlu dijelaskan bahwa penguasaan Bani Umayyah atas
Andalusia telah dimulai sejak tahun 711 M melalui penaklukan yang dipimpin oleh
tiga pahlawan Islam, Yakni Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin
Nusair (Yatim, 1998: 88). Sesudah penaklukan tersebut gelombang perluasan
wilayah masih terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada
tahun 717 M untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis
Selatan. Sesudah itu masih terdapat perluasan wilayah seperti ke Avirignon pada
tahun 734 M, ke Lyon pada tahun 743 M dan pulau-pulau yang terdapat di Laut
Tengah. Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari
Sicilia juga jatuh ke tangan Islam di Zaman Bani Umayyah (Nasution, 1985: 62).
Sejak dari tahun 711 M hingga runtuhnya Bani Umayyah pada tahun 750 M,
Andalusia belum menjadi sebuah negara tersendiri dan masih berada dalam wilayah
kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Semenjak tahun 755 M, pemerintahan
di Andalusia di bawah kepemimpinan amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak
tunduk kepada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh khalifah
Abbasiyyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol
pada tahun 755 M dan diberi gelar al-Dakhlil (Yang Masuk ke Spanyol).
Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas
ketika menakhlukkan Bani Umayyah di Damaskus (Yatim, 1998: 94-95). Tulisan ini hanya
akan membahas kelembagaan pendidikan pada masa Daulah Umawiyyah atau Bani
Umayyah yang berkuasa dan berpusat di Damaskus pada tahun 661-750 M. Dengan
kata lain Daulah Umawiyyah yang berkuasa di Spanyol atau Andalusia pada
tahun 755-1013 M tidak termasuk dalam pembahasan makalah ini.
Secara esensial, sistem penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa Daulah
Umawiyyah tidak berbeda jauh dari pendidikan pada masa Khulafa
al-Rasyidin. Pendidikan pada masa ini bersifat desentralisasi, tidak
memiliki tingkatan dan standar umur, serta tidak diatur oleh pemerintah. Keberlangsungan
pendidikan dalam hal ini berjalan di bawah kendali para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan
secara alamiah (Suwendi, 2004: 14). Walaupun demikian Daulah Umawiyyah telah
memberikan dukungan yang cukup kuat terhadap dunia pendidikan dengan
menyediakan sarana dan prasarana (Ramayulis, 2012: 69). Hal demikian ini tentu
saja sangat membantu para ulama, para ilmuwan, dan para seniman untuk
mengembangkan ilmu dan melakukan kaderisasi pada masa itu.
Periode Bani Umayyah merupakan masa inkubasi. Masa ini merupakan
masa peletakan dasar-dasar kemajuan pendidikan Islam. Intelektual muslim
bermunculan dan berkembang pada masa ini (Nizar, 2007: 60). Kajian keilmuan
pada masa ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova,
Basrah, Damsyik, dan Palestina/Syam (Yunus, 1992: 33). Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah tidak hanya berpusat di
Madinah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaa’
al-Raasyidiin, melainkan telah mengalami perluasan dan penyebaran seiring
dengan ekspansi teritorial atau perluasan wilayah.
1. Institusi Pendidikan
Institusi-institusi pendidikan yang berkembang pada masa Bani Umayyah
termasuk dalam kategori institusi pendidikan sebelum madrasah. Dapat dipastikan
bahwa madrasah sebagai institusi pendidikan belum dikenal pada masa Bani
Umayyah. Madrasah yang didirikan
pertama kali dalam catatan sejarah adalah madrasah Baihaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan
al Baihaqi (414 H.) di kota
Nisabur sebelum abad ke-10 selisih lebih satu
abad sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah
di kota yang sama (Nizar, 2007: 121).
Institusi-institusi pendidikan Islam sebelum madrasah menurut Makdisi
(1981: 9-10) dapat diklasifikasikan menjadi institusi pendidikan eksklusif dan
institusi pendidikan inklusif. Stanton (1990:122) menyebutnya sebagai
pendidikan formal dan non formal. Institusi pendidikan eksklusif (formal) hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan agama, sedangkan institusi pendidikan inklusif
(non formal) selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama juga terbuka untuk
mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Terkait dengan hal ini, tercatat dalam
sejarah bahwa pada masa Bani Umayyah tampak adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu
terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia,
kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya
gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha
sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Orang
yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari
Muawwiyah (Suwendi, 2004: 16).
Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Bani Umayyah dan
fungsinya antara lain:
a. Kuttab
Lembaga pendidikan (Kuttab) ini telah ada pada periode sebelumnya,
yakni pada masa Nabi SAW dan Khulafaa al-Rasyidiin. Dengan demikian Kuttab
pada masa Bani Umayyah ini merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan
yang telah ada pada masa sebelumnya. Berbeda dengan fungsi Kuttab pada
pada masa Rasulullah yang padanya hanya diajarkan membaca al-Qur’an, pada masa
ini fungsi Kuttab tidak hanya sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal
al-Qur’an melainkan juga sebagai tempat untuk pembelajaran menulisnya. Selain
itu Kuttab juga difungsikan sebagai tempat untuk pembelajaran tentang
dasar-dasar mengenai pokok-pokok ajaran Islam (Yunus, 1992:39).
b. Masjid
Pada masa Bani Umayyah, masjid merupakan tempat pendidikan tingkat
menengah dan tingkat tinggi setelah kuttab. Pembelajaran di masjid
meliputi al Qur’an, tafsir, hadist, dan fiqh. Selain itu juga diajarkan
kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung, dan ilmu perbintangan
(al-Abrasi, 1993: 56). Pada tingkat menengah yang menjadi pengajar bukanlah
ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi pengajarnya adalah ulama yang dalam
ilmunya dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sama halnya dengan pembelajaran
pada kuttab, pembelajaran tingkat menengah yang berlangsung di masjid
pada umumnya disampaikan secara perorangan. Adapun pendidikan tingkat tinggi di
masjid, pembelajarannya disampaikan dalam suatu halaqah yang
dihadiri oleh pelajar bersama-sama. Pada masa ini, di samping sebagai tempat
ibadah masjid difungsiakan sebagai pusat kegiatan ilmiah. Masjid Nabawi di
Madinah dan Masjidil Haram di Makkah menjadi tumpuan penuntut ilmu di seluruh
dunia Islam. Pada masa pemerintahan Walid ibn Abdul Malik (707-714 M) didirikan
Masjid Zaitunnah di Tunisia yang juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan
tinggi. Lembaga ini kemudian dianggap sebagai universitas tertua hingga sekarang
(Langgulung, 1980: 19).
c. Shuffah
Sejauh penelusuran penulis, tidak dijumpai keterangan yang pasti mengenai
keberadaan shuffah pada masa Bani Umayyah. Sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa shuffah pertama kali muncul
setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah untuk menyediakan pemondokan bagi para
pendatang baru (golongan muhajirin) yang tergolong miskin dan sekaligus
berfungsi sebagai tempat pembelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an bersamaan
dengan dibangunnya masjid untuk yang pertama kali pula. Shuffah ini kemudian
terus dikembangkan pada periode Madinah dan dilanjutkan pada masa Khulafaa’
al-Raasyidiin. Oleh karena itu, mengingat bahwa masa berkuasanya Bani
Umayyah ini bersambungan atau merupakan kelanjutan dari masa Nabi SAW dan Khulafaa’
al-Raasyidiin, maka dapat diduga bahwa pada masa Bani Umayyah keberadaan shuffah
masih tetap terjaga (dilestarikan) sebagai lembaga pendidikan yang merupakan
warisan dari generasi atau periode yang mendahuluinya.
d. Majlis Sastra
Pada masa Nabi SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin majlis berfungsi
untuk menyampaikan fatwa, musyawarah, dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan
masalah yang dihadapi pada masa itu dan bertempat di masjid. Pada masa Bani
Umayyah, majlis dilaksanakan di balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah
dihiasi dengan hiasan yang indah, dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan
ulama terkemuka. Majlis ini kemudian disebut dengan majlis sastra. Balai-balai
pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang
yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah,
tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak
boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi
kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari
penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan
seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan
diperdebatkan (al-Abrasi, 1993: 6).
e. Qushur (Pendidikan Istana)
Qushur merupakan salah satu lembaga pendidikan yang muncul pada masa Bani
Umayyah dan belum pernah ada pada masa sebelumnya. Keberadaan pendidikan istana
ini terlihat dari wasiyat Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul
Malik kepada guru yang mendidik anak-anaknya (Ramayulis, 2012: 70). Pendidikan
Istana adalah pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi
anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan
istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau
hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah,
maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid (Departemen Agama, 1986:
91). Materi pembelajaran lembaga pendidikan ini meliputi menulis dan membaca al-Quran dan Hadist, bahasa Arab dan syair-syair
yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangannya, adab kesopaan dalam perilaku
pergaulan, pelajara-pelajaran keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda
dan kepemimpinan berperang. Tempat pendidikan berada dalam lingkungan istana.
Guru-gurunya ditunjuk oleh Khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih
baik (Zuhairini, 2004: 92).
f. Badi’ah
Kemunculan badi’ah dilatarbelakangi program arabisasi yang digagas
oleh Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Badi’ah berasal dari nama sebuah
dusun Badui di Padang Sahara yang penduduknya masih menggunakan bahasa Arab
yang murni dan fasih sesuai dengan kaidah bahasa arab itu sendiri. Beberapa
khalifah mengirim anaknya ke Badi’ah untuk mempelajai bahasa Arab,
bahkan ada pula ulama yang pergi ke badi’ah untuk belajar bahasa Arab,
di antaranya adalah al-Khalil ibn Ahmad (Departemen Agama, 1986: 96).
g. Bimaristan
Bimaristan adalah rumah sakit yang sekaligus berfungsi
sebagai pusat pembelajaran ilmu kedokteran. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik
(86-96 H/705-715 M) telah mendirikan rumah sakit sekaligus sekolah kedokteran (Bimaristan).
Sebelumnya, Khalid bin Yazid cucu Muawiyah telah melakukan penterjemahan
buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab dengan bantuan para sarjana
Yunani yang ada di Mesir. Hal ini tercatat sebagai penerjemahan pertama dalam
catatan sejarah Islam. Boleh jadi penerjemahan inilah yang melatar belakangi
ketertarikan khalifah al-Walid bin Abdul Malik sehingga ia memberi perhatian
serta mendirikan bimaristan (Sunanto, 2004: 39).
Tidak ditemukan keterangan mengenai keberadaan toko-toko buku, perpustakaan maupun khan
sebagai institusi atau lembaga pendidikan pada periode kekuasaan Bani
Umayyah. Perpustakaan yang didirikan oleh keturunan Muawiyah, yakni
al-Hakam ibn Nasir di Cordova (Qurtubah) pada tahun 350 H/961 M tentu
saja tidak termasuk dalam periode Daulah Umawiyyah, karena periode
dimaksud telah berakhir pada tahun 132 H/750 M.
2. Pemikiran Pendidikan dan Gerakan Ilmiah
Sebagaimana telah dikemukakan, sistem penyelenggaraan
pendidikan pada masa Bani Umayyah tidak berbeda jauh dari sistem yang berlaku
pada masa Rasulullah SAW dan Khulaffa’ al-Raasyidiin. Hal yang berbeda
pada periode ini adalah penyebarannya yang semakin meluas seiring dengan
perluasan wilayah kekuasaan. Lain dari itu pemikiran pendidikan juga mengalami
perkembangan sebagai akibat dari persentuhan budaya antara umat Islam dengan
masyarakat lain yang berada pada wilayah kekuasaan yang semakin meluas.
Ilmu-ilmu asingpun kemudian mulai masuk dan diterima di kalangan pemikir dan
tokoh pendidikan Islam walaupun masih sangat terbatas. Hal ini berpengaruh
terhadap perkembangan pendidikan Islam pada masa itu.
Orang-orang Islam pada waktu itu mulai mengarahkan
perhatiannya kepada kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan peradaban-peradaban yang mereka
jumpai di negeri-negeri yang ditaklukan. Transmisi ilmu-ilmu asing ke dalam
peradaban Islam telah dimulai pada masa ini. Pada waktu yang sama mereka juga memberi
perhatian besar pada Ilmu bahasa, sastra, dan agama untuk memeliharan pemikiran
dan budaya Arab Islam dari pemikiran asing. Dalam hal memilih, orang-orang Islam
lebih mengutamakan budaya dan peradaban Arab Islam dari pada budaya dan
peradaban asing. Bani Umayyah terkenal fanatik kepada budaya Arab Islam,
sekalipun di antara mereka ada orang-orang politik dan pemerintahan yang bukan
ahli Ilmu dan Agama. Fanatisme terhadap budaya Arab Islam di sini selain perilaku
politik juga perilaku keagamaan.
Pemikiran pendidikan pada zaman Bani Umayyah
ini nampak pula dalam nasihat para Khalifah kepada para pendidik anak-anaknya,
yang termuat dan hampir memenuhi buku- buku sastra, yang menunjukkan bagaimana
teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab Islam (Abdurrahman, 2004: 81-83). Pemikiran
pendidikan Islam pada zaman Bani Umayyah ini juga tersebar pada tulisan-
tulisan para para ulama ahli nahwu, sastra, hadits, dan tafsir. Ulama-ulama
pada zaman in mulai mencatat ilmu-ilmu bahasa, sastra dan agama untuk
menjaganya agar tidak diselundupi pemikiran asing dan perubahan-perubahan yang
merusak ajaran Islam.
Gerakan ilmiah masa Bani Umayyah antara lain
ditandai dengan adanya transmisi ilmu pengetahuan asing ke dalam peradaban
islam. Penerjemahan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia oleh Khalid
bin Yazid bin Mu’awiyah (Suwendi, 2004: 16) merupakan bukti bahwa embrio
gerakan penerjemahan telah muncul pada periode ini. Khalid bin Yazid
disebut-sebut sebagai penerjemah pertama buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.
Gerakan penerjemahan secara besar-besaran memang terjadi setelah berlalunya Daulah
Umawiyyah, namun hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa penerjemahan itu
telah dimulai pada masa ini. Selain astronomi, kedokteran, dan kimia ilmu-ilmu asing yang mulai tumbuh dan
berkembang pada masa ini antara lain ilmu mantik, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan itu. Adapun ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh merupakan
pengembangan dari ilmu yang telah ada sebelumnya. Ilmu sejarah, geografi serta
ilmu bahasa juga tumbuh berkembang (Sunanto, 2004: 41-42) menyemarakkan gerakan
ilmiyah pada masa ini.
Gerakan ilmiah bidang keagamaan antara lain ditandai dengan munculnya pusat
kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama besar
seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang yang
menjadi perhatian adalah tafsir, hadits, fikih, dan kalam. Ulama-ulama tabi’in
ahli tafsiryang mengemuka antara lain Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, Masruq bin al-Ajda’, Qatadah. Pada masa ini jangkauan ilmu
tafsir al-Qur’an bertambah luas karena persentuhan dengan peradaban asing
seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan.
Penyempurnaan penulisan al-Qur’an juga terjadi pada masa ini. Mushaf Usmani pada mulanya tidak memakai tanda baca, seperti titik
dan syakal. Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar
karena bercampur dengan bahasa lainnya, maka para penguasa Bani Umayyah mulai
melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang benar. Perlunya
pembubuhan tanda baca dalam penulisan al Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad
bin Samiyah menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan (661-680 M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum
muslim dalam membaca Al Qur’an. Melihat
kenyataan seperti itu, Ziyad bin Samiyah meminta Abu al Aswad al Duali
(w.69H/638 M) untuk memberi syakal. Ia memberi tanda fathah atau tandabunyi (a)
dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda
bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda dammah atau
tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara
bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun atau tanda bunyi konsonan (huruf
mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf
bersangkutan (Faizah, 2008:194). Kemudian, tanda baca Abu al-Aswad tersebut
disempurnakan lagi oleh ulama sesudahnya pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu
oleh al Khalil bin Ahmad dengan fathah, dlammah dan kasrah seperti sekarang
ini.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan, ia menginsturksikan kepada al Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi untuk
menciptakan tanda-tanda huruf Al Qur’an. Untuk mewujudkan usaha tersebut, al
Hajjaj menugaskan hal ini kepada Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, keduanya
adalah murid Abu al-Aswad al-Duali. Akhirnya, mereka berhasil menciptakan
tanda-tanda pada huruf al Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang
serupa untuk membedakan huruf yang satu dengan lainnya. Misalnya, huruf dal
dengan huruf dzal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf tsa.
Demikian pula dengan huruf-huruf lainnya sebagaimana kita kenal saat ini.
Awal
periode Bani Umayyah bertepatan dengan masa sahabat kecil dan tabi’in
yang dalam istilah ilmu hadits disebut masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadits (Ash-Shidieqy, 1987: 47-54). Seiring dengan perluasan
wilayah pada waktu itu, Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui
hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah
tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping
tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab,
perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai. Pada saat yang sama, muncul
pula usaha pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi masalah politik, yakni
perpecahan antara pengikut Ali bin Abu Thalib dan pengikut Muawiyah bin Abu
Sofyan yang memunculkan kelompok Syi’ah, Khawarij, dan jumhur (kelompok
pemerintah pada waktu itu).
Berdasar
pada kekhawatiran akan hilangnya hadits karena wafatnya para ulama hadits, pada
masa kepemimpinannya Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk
melakukan pembukuan hadits (Yuslem, 2001: 125). Untuk mewujudkan maksud
tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin
Muhammad bin Amr bin Hazm (120 H) yang menjadi guru Ma'mar al-Laits, al-Auza'i,
Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasul yang
terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman
Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20
H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim
Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabi’in
dan salah salah satu dari tujuh orang ahli fiqh di madinah (Ash-Shidieqy, 1987:
79). Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di
bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di
wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas
kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab al-Zuhri,
seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah berhasil dilakukan
oleh al-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama
hadist pada masanya. Tercatat dalam sejarah bahwa pembukuan hadits yang
pertama kali dilakukan oleh Imam al-Zuhri atas perintah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam al-Zuhri tersebut tidak
diketahui dan tidak sampai kepada kaum muslimin di era sekarang ini.
Gerakan ilmiah ini juga
memunculkan ulama-ulama fiqih seperti Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais,
Masuruq al-Ajda’, al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka,
yaitu: Ibrahim al-Nakh’i (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil al Sya’by
(wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat
tahubn 120 H), guru dari Abu Hanafiah. Terkait dengan gerakan ilmiah dalam
bidang fiqh pada saat itu berkembang dua pola ijtihad, pertama, tokoh-tokoh
hadits dalam memberikan ketetapan hukum sangat tergantung pada ketetapan
Rasulullah, sehingga bagaimana pun juga, mereka berusaha mendapatkan
hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka inilah yang akhirnya
mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang
mendapat dukungan sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi
sayangnya pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk
kepentingan-kepentingan politik. Kedua adalah pola ijtihad yang
dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini karena
keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak
hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits
yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam
berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha
penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping
itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu
dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian
disebut sebagai ilmu ushul fiqih (Zuhairini, 2004: 85). Dari dua pola umum
ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam fiqih,
yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqih
yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu
Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang madrasah
Madinah.
Persentuhan antara bangsa Arab
Muslim dengan negeri-negeri taklukan pada masa Bani Umayyah telah melahirkan
kreativitas baru yang mengagumkan di bidang ilmu pengetahuan dan seni (Mufrodi,
1997: 83). Sebagaimana dimaklumi, perselisihan antara Ali bin Abu Thalib dan
Mu’awiyah telah menyisakan problem teologis di kalangan kaum muslimin. Pemeluk
Islam dari kalangan non Arab pada masa awal Daulah Umawiyyah
memperkenalkan tradisi argumentasi filsafat Yunani dan teologi Kristen yang
dengannya para pemikir muslim dapat menggunakan untuk menyaring konsep-konsep
mereka. Perdebatan Islam-Kristen di istana khalifah di Damaskus dan
penerjemahan literatur Siria dan Yunani ke dalam bahasa Arab mendorong para
pemikir muslim untuk mengadopsi peristilahan dan bentuk-bentuk argumentasi
rasional mereka (Lapidus, 1999: 160-161). Di antara pejabat Istana masa
khalifah Abdul Malik ada pula beberapa penganut kristen yang tetap
mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya ia mempertahankan Nabi Isa
sebagai oknum Tuhan yang kedua. Sikap demikian mendorong para pemikir muslim
untuk menyelidiki keyakinan dan mempelajari logika mereka untuk mempertahankan
Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka. Perdebatan mereka sampai
menyoal tentang qadar dan sifat-sifat Tuhan. Kelompok yang mempersoalkan
masalah-masalah ini kemudian dikenal sebagai kelompok Mu’tazilah (Sunanto,
2004: 40-41. Harun Nasution (1971: 38) dalam bukunya Teologi Islam
Aliran-aliran Perbandingan menyatakan bahwa kelompok Mu’tazilah ini sebagai
golongan rasionalis Islam yang benyak menggunakan akal dalam pembahasannya. Hal-hal
sebagaimana tersebut tentu saja semakin memperluas, memperkaya, dan membuka
lapangan kajian baru di kalangan kaum muslimin, terutama dalam masalah teologi.
Kemajuan
juga dicapai dalam pengembangan ilmu bahasa, sastra, dan seni. Pada masa
pemerintahan Abd. Malik bin Marwan, bahasa arab digunakan sebagai administrasi
negara. Dengan penggunaan bahasa Arab yang semakin luas dibutuhkan suatu
panduan bahasa yang dapat digunakan semua orang. Penguasaan bahasa Arab juga
merupakan syarat mutlak dalam berbagai studi al-Qur’an. Seiring dengan
perluasan wilayah bahasa Arab berkembang menyimpang dari al-Qur’an. Sebuah lingua
franca bahasa Arab tumbuh untuk beberapa suku yang berbeda. Lantaran lingua
franca bahasa Arab telah berubah, para ulama khawatir akan kehilangan
pertalian dengan bahasa Arab al-Qur’an sehingga mereka akan kehilangan makna
yang terkandung dalam wahyu Tuhan. Untuk menghindari hal ini diperlukan adanya
usaha mempertahankan kemurnian bahasa Arab Makkah dan bahasa Arab suku-suku
padang pasir serta perlu dilakukan upaya
pembakuan bahasa Arab Klasik (Lapidus, 1999:136). Hal inilah yang
mendorong lahirnya lembaga pendidikan badi’ah dan memotivasi para ulama ahli
bahasa untuk menciptakan produk intelektual yang berupa kitab-kitab bahasa
Arab. Seorang ahli bahasa terkemuka yang bernama Imam Syibawaihi dan beberapa
kamus bahasa Arab generasi pertama merupakan produk dari periode ini.
Seiring dengan perkembangan ilmu
bahasa, seni sastra turut melaju dengan pesat. Segmen-segmen milliu Arab yang
terinspirasi oleh orientasi yang lebih sekuler turut memperkaya bahasa Arab.
Terlepas dari syair-syair klasik bahasa Arab padang pasair, pada masa ini muncul
suatu bentuk syair baru yang mencerminkan interes, kesenangan, serta tamsil
lingkungan istana dan perkotaan (Lapidus, 1999: 137). Sastrawan-sastrawan
terkemuka yang muncul pada saat ini antara lain Qays Bin Mullawah wafat tahun 699 M,
Jamil al-Uzri wafat tahun 701 M, al-Akhtal wafat tahun 710 M, Umar Bin Abi Rubi’ah wafat tahun 719
M, al-Farazdaq wafat tahun 732 M, Ibnu Al-Muqoffa wafat tahun 756 M, Ibnu Jarir
wafat tahun 792 M (Jamil, 2008: 38).
Ilmu
lain yang juga berkembang dan turut meramaikan gerakan ilmiah pada masa ini
antara lain adalah ilmu sejarah, yaitu segala ilmu yang membahas tentang
perjalanan hidup, kisah, dan riwayat (Sunanto, 2004: 41). Kekhilafahan etnis,
kebanggaan akan berbagai penaklukan, hasrat mengagungkan masa silam yang dapat
menghadirkan gengsi dan hasrat untuk mempertahankan status mereka terhadap
beberapa klaim dari warga non Arab yang secara kultural merupakan kelompok
superior, telah memotivasi bangkitnya keilmuan sejarah (Lapidus, 1999: 137). Selain itu
berkembang pula ilmu filsafat, segala ilmu yang umumnya berasal dari bangsa
Asing, seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, ilmu hitung dan
lain-lain ilmu yang ada hubungannya dengan itu.
Sunanto (2004: 41-45) mengemukakan
bahwa pada masa ini pendukung ilmu tidak lagi hanya bangsa Arab asli, melainkan
didukung pula oleh golongan non Arab, bahkan golongan non Arab inilah yang
merubah sistem ilmu pengetahuan pada saat itu. Pembidangan ilmu pada saat itu
meliputi empat bidang ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu pengetahuan bidang agama,
ilmu pengetahuan bidang
sejarah, ilmu pengetahuan bidang bahasa, dan ilmu pengetahuan bidang filsafat.
Keempat bidang ilmu tersebut bahu membahu, saling membutuhkan dan saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Ilmu pengetahuan sudah merupakan
suatu keahlian, masuk ke dalam bidang pemahaman dan pemikiran yang membutuhkan
sistematika dan penyusunan. Sementara itu, golongan yang sudah biasa dengan
keahlian ini adalah golongan non Arab yang disebut dengan Mawali, yaitu golongan
yang berasal dari bangsa asing atau turunannya. Tokoh-tokoh ilmu nahwu seperti
Sibawaihi, al-Farisi, al-Zujaj; tokoh-tokoh hadits seperti al-Zuhri, Bukhari,
Muslim; Tokoh-tokoh ilmu tafsir seperti ikrimah dan Mujahid bin Jabbar, semua
nama yang disebutkan itu adalah Mawali. Masih banyak lagi ulama yang berasal
dari darah campuran yang juga disebut Mawali. Cucu-cucu Khulafaa’
al-Raasyidiin; Salim.bin Abdullah bin Umar bin Khaththab, Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar, Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib masing-masing
adalah anak dari putri-putri Yazdajird, raja Persi terakhir.
D. TELAAH KRITIS TENTANG KELEMBAGAAN PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Kerancuan dalam memetakan peristiwa yang terjadi pada periode atau masa Bani
Umayyah didapati dalam penulisan beberapa buku atau artikel tentang sejarah
pendidikan Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Periode atau masa Bani
Umayyah yang dimaksud seharusnya mengacu pada masa berkuasanya Daulah
Umawiyyah yang berpusat di Damaskus pada taun 661-750 M. Sedangkan apa yang
terjadi pada masa berkuasanya Daulah Umawiyyah di Andalusia sesudah 750
M tidak termasuk dalam masa ini. Sebagimana periodisasi yang telah dikemukakan
para ahli sejarah, zaman Umayyah sesungguhnya telah berakhir pada tahun 750 M
dan dilanjutkan dengan masa atau zaman Abbasiyyah. Adapun kekuasaan Bani
Umayyah di Andalusia sesudah itu, jika ditinjau dari zamannya maka termasuk
ke dalam zaman Abbasiyyah walaupun di sana masih ada Daulah Umawiyyah
yang berkuasa dan tidak tunduk kepada kekuasaan pusat atau kekuasaan Daulah
Abbasiyyah yang berpusat di Bagdad. Oleh kare itu, pembahasan tentang
kelembagaan pendidikan pada masa Bani Umayyah ini tidak memasukkan segala
peristiwa yang terjadi di Andalusia sesudah tahun 750 M.
Ditinjau dari sistem penyelenggaraan pendidikan serta model dan metode
pembelajarannya, pendidikan pada masa Bani Umayyah belum banyak mengalami
kemajuan dibandingkan dari periode sebelumnya. Penyelenggaraan pendidikan tidak
mengenal standar umur dan belum diatur dengan kurikulum dalam
tingkatan-tingkatan kelas yang jelas. Kurikulum pendidikan sepenuhnya berada
ditangan pengajar atau guru yang memiliki otoritas penuh atas penyelenggaraan
pembelajaran di lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Dapat diperkirakan bahwa metode
pembelajaran pada masa ini masih didominasi oleh metode ceramah, tanya jawab,
diskusi, dan demonstrasi.
Penyelenggaraan pendidikan bersifat desentralisasi, dalam arti tidak
dikelola dan belum diatur oleh negara. Lembaga pendidikan yang tumbuh dan
berkembang adalah lembaga-lembaga pendidikan informal dan lembaga-lembaga
pendidikan nonformal yang diselenggarakan atas inisiatif dan oleh masyarakat.
Sekalipun demikian bukan berarti Daulah Umawiyyah tidak menaruh perhatian
terhadap pendidikan. Sejak zaman Muawiyah berkuasa, pemerintah atau negara telah
memberikan dorongan yang kuat terhadap pendidikan, hanya saja
penyelenggaraannya tidak ditangani dan tidak diatur secara resmi oleh
pemerintah atau negara. Dukungan konkret yang diberikan oleh pemerintah
terhadap pengembangan pendidikan pada saat itu antara lain terwujud dalam
bentuk motivasi dan penyediaan atau bantuan yang berupa sarana dan prasarana.
Sistem penyelenggaraan pendidikan Islam dan model-model pembelajarannya
pada masa ini memang tidak berbeda jauh-jauh dari periode sebelumnya. Sekalipun
demikian jika dilihat dari kwantitas, penyebaran, dan substansi materi
pembelajarannya terlihat adanya kemajuan yang sangat pesat. Seiring dengan
perluasan teritorial, keberadaan pendidikan Islam juga meluas ke berbagai
wilayah taklukkan Daulah Umawiyyah, sementara itu sekalipun masih dalam
kontrol budaya Arab Islam, materi pembelajaran juga terus berkembang. Perluasan
wilayah kajian ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam,
perkembangan ilmu bahasa, penulisan al-Qur’an, juga transmisi ilmu-ilmu asing
ke dalam peradaban Islam melalui persentuhan budaya serta penerjemahan buku-buku yang memunculkan ilmu-ilmu seperti astronomi,
kedokteran, kimia, ilmu mantik, ilmu hitung, dan sebagainya menunjukkan betapa
maju pesat dan semakin luasnya materi pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa
yang sama, telah muncul pula lembaga-lembaga pendidikan yang menurut istilah
Makdisi (1981) dikatakan sebagai lembaga-lembaga pendidikan pra madrasah yang
bersifat inklusif, yakni lembaga-lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu
asing dalam proses pembelajarannya di samping ilmu-ilmu agama yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, berdasarkan pada hal-hal yang
telah dikemukakan, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa pada masa Bani
Umayyah tidak banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang pendidikan.
Beberapa model pendidikan Islam nonformal yamg masih berlaku di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, seperti Taman
Pendidikan al-Qur’an (TPQ/TPA) dan pengajian-pengajian, baik yang berpusat di
masjid, di rumah-rumah, dan yang berkeliling serta bergilir dari rumah ke
rumah, merupakan model-model kelembagaan pendidikan yang serupa dan memiliki
kesamaan ciri-ciri dengan beberapa model kelembagaan pendidikan Islam pada masa
Bani Umayyah seperti lembaga pendidikan masjid, kuttab, dan halaqah.
Kelembagaan pendidikan nonformal sebagaimana tersebut masih sangat relevan
untuk dikembangkan dan cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan para peserta
didik yang tidak sempat menikmati pendidikan di pondok pesantren. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran mata pelajaran agama di lembaga pendidikan formal
non pesantren belum sepenuhnya atau bahkan masih jauh dari memadai untuk dapat
memenuhi kebutuhan peserta didik dalam bidang agama Islam, baik pada aspek
kognitif, afektif, maupun aspek psikomotorik. Hal ini antara lain disebabkan
oleh alokasi waktu yang disediakan untuk pendidikan agama terlalu sedikit
sehingga masih jauh dari memadai untuk menyajikan materi-materi pendidikan
Agama Islam. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal
ini juga cukup efektif untuk memberikan pendidikan agama Islam kepada anggota
masyarakat yang sudah tidak lagi duduk di bangku sekolah. Oleh karena itu,
menghadirkan dan memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan Islam pada jalur
nonformal dan mengelolanya dengan baik merupakan solusi tepat untuk mengatasi
permasalahan pendidikan nasional Indonesia saat ini, bahkan dapat pula menjadi
solusi alternatif dalam mengatasi barbagai permasalahan bangsa yang berakar
pada kemerosotan nilai-nilai dan moral serta berujung pada krisis
multidimensional yang melanda kehidupan bangsa dewasa ini.
E. KESIMPULAN
Mengacu pada teori yang diajukan oleh Makdisi (1981), yang mnegklasifikasi
institusi-institusi pendidikan atau kelembagaan pendidikan Islam pada zaman
Islam klasik menjadi dua kategori, yakni lembaga-lembaga pendidikan pra
madrasah dan madrasah, maka institusi-institusi pendidikan yang tumbuh dan
berkembang pada masa Bani Umayyah termasuk dalam kategori kelembagaan
pendidikan pra madrasah. Adapun institusi-institusi pendidikan yang berkembang
pada masa itu antara lain adalah lembaga pendidikan masjid, kuttab, shuffah,
majlis sastra, pendidikan istana (qushur), badi’ah, halaqah,
dan bimaristan. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada masa ini secara
esensial tidak berbeda jauh dari penyelenggaraan pendidikan pada periode Nabi
SAW dan Khulafaa’ al-Raasyidiin, yakni bersifat desentralisasi (tidak
diatur oleh negara) dan belum memiliki struktur kurikulum yang jelas. Kurikulum
pendidikan Islam pada masa ini sepenuhnya berada di tangan guru atau orang tua
dan guru untuk pendidikan istana.
Kemajuan-kemajuan bidang pendidikan yang cicapai pada masa Bani Umayyah
antara lain terlihat pada munculnya lembaga-lembaga pendidikan baru yang belum
pernah ada pada periode sebelumnya, seperti pendidikan istana, badi’ah, dan
bimaristan. Selain itu, secara kwantitatif lembaga-lembaga pendidikan
bertambah banyak dan tersebar ke berbagai wilayah seiring dengan perluasan
wilayah pada waktu itu. Substansi materi pembelajaran juga mengalami banyak
kemajuan dengan masuknya ilmu-ilmu asing sebagai akibat dari persentuhan antara
budaya Arab Islam dan budaya-budaya asing di daerah taklukkan. Selain
lembaga-lembaga pendidikan eksklusif yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan
agama, pada masa ini telah muncul pula lembaga-lembaga pendidikan inklusif yang
memasukkan ilmu-ilmu asing sebagai materi pembelajarannya.
Beberapa model kelembagaan pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah dipandang
masih cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia sekarang ini, terutama untuk
penyelenggaraan pendidikan pada jalur pendidikan Islam non formal. Pengembangan
lembaga pendidikan Islam nonformal merupakan solusi tepat untuk memenuhi
kebutuhan akan pendidikan agama Islam bagi para peserta didik yang tidak berkesempatan
untuk menikmati pendidikan di pondok pesantren. Kehadiran pendidikan Islam
nonformal juga dapat menjadi sarana yang cukup efektif bagi pembinaan
masyarakat, utamanya dalam memberikan pendidikan keagamaan kepada anggota
masyarakat yang sudah melewati usia sekolah atau sudah tidak berkesempatan lagi
untuk mengikuti pendidikan pada jalur formal sejalan dengan kosep atau prinsip
pendidikan seumur hidup sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Dengan
demikian, pengembangan lembaga pendidikan Islam nonformal dapat menjadi solusi
alternatif dalam mengatasi permasalahan pendidikan nasional sekaligus mengatasi
permasalahan bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis yang berakar
pada kemerosotan nilai-nilai dan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jogjakarta :
LESFI.
al-Abrasi, Athiyya, 1993, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemah Bustami A.
Ghani, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, K, 2000, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Asari, Hasan, 1994, Menyingkap Zaman Keemasan Islam,
Bandung: Mizan.
Ash-Shidieqy,
M. Hasbi, 1987, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang.
Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
al-Ismail, Taha, 1996, Tarikh
Muhammad; Teladan Perilaku Umat, Terjemah A. Nashir Budiman, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Departemen Agama, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Faizah,Nur, 2008, Sejarah Al
Qur’an. Jakarta:CV.Artha Rivera.
Heri, Musnur,
2009, Sejarah Pendidikan Islam, IAIN
Raden Fatah Press.
Jamil, Ahmad, dkk, 2008, sejarah
kebudayaan islam, Gresik: CV.Putra kembar jaya.
Langgulung, Hasan, 1980, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21,
Jakarta, Pustaka Al Husna.
Lapidus, M. Ira, 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam, edisi terjemahan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Makdisi, George, 1981, The
Rise of Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Mufrodi, Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid
I, Jakarta: UI Press.
--------------, 1971, Teologi Islam Aliran-aliran Perbandingan,
Jakarta: UI Press.
Nizar, Syamsul, 2007, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pulungan, Suyuthi, 1994, Fiqih
Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ramayulis, 2012, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Stanton, Charles Michael, 1990, Higher Learning in Islam, Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers.
Sunanto, Musyrifah, 2004, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, Bogor: Kencana.
Suwendi, 2004, Sejarah dan Pemikiran Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syalabi, Ahmad, 1973, Sejarah Pendidikaan
Islam, terj. Muhtar Yahya, Jakarta : Bulan Bintang.
Syukur, Fatah, 2002, Sejarah
Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Yatim, Badri, 1998, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud, 1992, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung.
Yuslem,
Nasir, 2001, Ulumul Hadist, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Zuhairini dkk, 2004, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Penyelesaian perang
Siffin diselesaikan dengan kompromi antara Ali dengan Muawiyah. Namun hal ini
tidak menguntungkan bagi Ali, karena hal tersebut menimbulkan pecahnya kaum
muslimin (syi’ah dan Khawarij), sehingga kepemimpinan Ali semakin lemah dan
Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh
oleh salah seorang anggota Khawarij. Kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah dijabat
oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan (Syukur, 2002: 69); Peralihan kekuasaan ke bani Umayyah sebenarnya terjadi setelah Hasan bin
Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah pengganti Ali
mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi
pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada
Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha
rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam
Islam dikenal dengan tahun persatuan (‘am al-Jama’ah), yaitu episode
sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang
khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Mu’awiyah setelah Mu’awiyah
bersedia memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Hasan (Pulungan, 1994:
162-163). Setelah naik tahta ternyata Mu’awiyah tidak mentaati perjanjiannya
dengan Hasan bin Ali (Yatim, 1998: 45).
deskripsi yang rigit
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus