PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
MUHAMMAD ABDUH
Oleh: Ribut Purwo Juono S.Ag., M.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Sejarah telah
mencatat puncak kejayaan peradaban Islam dicapai pada masa Daulah Abbasiyyah,
namun sesudah itu, yakni setelah keruntuhan Daulah Abbasiyyah akibat
serangan tentara Mongol ke Baghdad, secara perlahan peradaban Islam terus
mengalami kemunduran. Puncaknya, menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar
mengalami kemunduran dan kemerosotan secara universal. Bersamaan dengan
itu, umat Islam di dunia mengalami nasib yang sangat buruk, sebagai
bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat (Eropa). Negara-negara
yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Islam, pada saat itu telah menjadi
daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa.
Kenyataan bahwa
ummat Islam sebagai bangsa-bangsa yang tertindas semakin diperburuk oleh eksploitasi
kekayaan Islam oleh bangsa-bangsa Eropa itu, sehingga umat Islam benar-benar
terpuruk pada posisi yang sangat lemah dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan
semacam inilah yang barangkali telah mendorong para politisi, pemimpin dan
ilmuwan Islam pada masa itu, untuk mulai memperhatikan dan menyelidiki rahasia
keunggulan bangsa-bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman para
pelajar ke Eropa, penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan barat, dan
usaha-usaha penerapan konsep-konsep pemikiran barat ke dalam dunia Islam.
Usaha untuk
membangun kembali peradaban Islam dengan mengadopsi pemikiran barat tanpa
seleksi dan tanpa koreksi, ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan membuat
ummat Islam semakin terpuruk dan terperosok di bawah kekuasaan bangsa-bangsa Barat
itu. Selain itu tentu saja ada faktor-faktor internal yang mempengaruhi
kemunduran ummat Islam. Para tokoh kebangkitan
Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslimin. Pertama,
erosi nilai-nilai Islam dan tidak pedulinya pemerintah untuk menerapkan
peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerja
sama lembaga ulama dengan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga,
korupsi dan sikap zhalim kelas penguasa dan keluarganya. Keempat, kerja
sama kelas penguasa dengan, dan ketergantungan pada, kekuatan-kekuatan
imperialis yang tidak Islami (Rahnema, 1998: 11). Kesadaran terhadap kenyataan
tersebut medorong para tokoh pembaharuan untuk mengobarkan semangat kaum
muslimin, berjuang meraih kembali kejayaannya.
Makalah ini akan
mengemukakan salah satu figur dan tokoh pembaharu dari Mesir, yakni Al-Syaikh
Muhammad Abduh. Selain riwayat hidup dan perjuangannya, akan dibahas tentang
ide-ide pembaharuan dan pemikirannya dalam berbagai aspek kehidupan, dalam
upayanya membangkitkan ghirah dan semangat kaum muslimin, untuk merintis
kembali kejayaan dan membebaskan diri dari penindasan bangsa-bangsa Eropa.
B. RIWAYAT HIDUP DAN
PERJUANGAN MUHAMMAD ABDUH
Dilahirkan di
Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat
sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat
beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan
menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an
(Rahnema, 1998: 36).
Ketika berusia tiga
belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid ini
kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi tempat
belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal nash
(teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi kesempatan
untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan
Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis. Kemudian ia
menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
Tak lama kemudian
Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru
dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad Abduh mendapat pengajaran
tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan tarekatnya (Rahnema,
1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh
Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga dengan
bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar (Fakhry, 1987: 462).
Pada tahun 1866,
Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang yang besar
pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia merasa
kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang
dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana
(Fakhry, 1987: 462). Metode pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan
di luar kepala tanpa memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini
Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad Abduh bertemu
dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan mahasiswa lainnya
berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan
itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat
Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini
memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh (Nasution, 1996: 60-61).
Ketika Al-Afghani
datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi
muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan tekanan
pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar dianggap
dan disamakan dengan bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan
menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada
Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa
filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling
selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan
sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat,
yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
Tahun 1877 Muhammad
Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim.
Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di
rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak
karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan
Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada
tahun 1857 (Nasution, 1996: 61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad
Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah
pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir semakin
meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad Abduh diusir dari
Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras. Pada saat yang sama
Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar Al-Ulum.
Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri serta
diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u
Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat brpengaruh dalam
membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998: 38).
Muhammad abduh
turut serta memainkan peran dalam revolusi Urabi Pasya, yaitu gerakan yang
bermula dari usaha perwira-perwira militer Mesir yang berhasil mendobrak
kontrol perwira-perwira Turki dan Sarkas yang menguasai Mesir. Selanjutnya
gerakan di bawah pimpinan Urabi Pasya ini dapat menguasai pemerintahan, namun
kekuasaan golongan nasionalis ini dianggap berbahaya dan mengancam kepentingan
Inggris di Mesir. Akibatnya, untuk menjatuhkan Urabi Pasya, pada tahun 1882
Inggris membom Alexandaria dari laut. Dalam pertempuran ini kaum nasionalis
dapat dikalahkan dan Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Inggris. Sebagaimana
pemimpin-pemimpin lainnya, Muhammad Abduh ditangkap dan dipenjarakan. Pada
akhir tahun 1882 ia dibuang ke Beirut kemudian
ke Paris pada
tahun 1884 (Nasution, 1996: 61-62).
Di Paris Muhammad
Abduh bertemu kembali dengan Al-Afghani, kemudian mereka mendirikan organisasi
yang sangat berpengaruh walaupun usianya sangat pendek yaitu Al-‘Urwat
Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat). Tujuan Organisasi ini adalah menyatukan
ummat Islam dan sekaligus melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka.
Organisasi ini juga menerbitkan koran yang diberi nama sama dengan
organisasinya (Al-‘Urwat Al-Wutsqa) dan berhasil terbit sebanyak delapan
edisi, didedikasikan untuk tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non
Barat tentang bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan
Mesir dari pendudukan Inggris. Yang menjadi fokusnya adalah kaum muslimin,
karena faktanya mayoritas bangsa yang dikhianati
dan dihinakan, serta sumber dayanya dijarah oleh pihak asing, adalah ummat
Islam (Rahnema, 1998: 38-39). Organisasi ini akhirnya bubar dan pada tahun 1885
Muhammad Abduh kembali ke Beirut melalui Tunisia.
Di Beirut ia kembali mengajar (menjadi guru). Pada tahun 1888, atas usaha
teman-temannya, di antaranya ada seorang Inggris, ia dibolehkan kembali pulang
ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar karena pemerintah Mesir takut akan
pengaruhnya terhadap Mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah
dan pada tahun 1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis A’la dari
Al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, ia membawa perubhan-perubahan dan
perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Pada tahun
1889 ia diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini didudukinya
sampai ia meninggal dunia pada tahun 1905 (Nasution, 1996: 62).
C. IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH
1. Analisis Sebab-sebab Kemunduran
Ummat Islam
Muhammad Abduh
menyadari kemunduran masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat
Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh
faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi
masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan
kaum muslimin sendiri.
Menurut Muhammad
Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban yang
berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta
organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh
sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang mampu
menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha
merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat muslim
karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada mereka,
sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang tinggi
tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir
menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan
mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta,
mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil
pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal,
pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi
percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap
leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti
simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema, 1998:
41-42).
Sementara itu faktor
internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam adalah
paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung
arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham
jumud itulah maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau
menerima perubahan, ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa
oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas
puncak-puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang
mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka
berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka
memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membukakan mata rakyat.
Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka
memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam
keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali,
kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan
tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada qadha’ dan qadar. Dengan
demikian akal akan membeku dan berhentilah
pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam
masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah.
Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah itulah yang membuat ummat Islam lupa
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang
menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang
seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
Permusuhan di
antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian
diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat.
Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan
antara ilmu dan agama yang telah dielesaikan Al-Qur’an muncul kembali untuk
kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya Muhammad Abduh
menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati ajaran Islam,
yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan
Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan berubah, yang menentukan siklus
kemunduran serta kehancuran, dan siklus kemajuan serta kejayaan suatu bangsa.
Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkitan ummat
Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil tentulah karena mengikuti
ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).
2. Aqidah dan Ibadah
Dalam kitabnya yang
berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, Tauhid
adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang
pasti ada (wajib) padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz)
padaNya, dan sifat-sifat yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid
juga membahas tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan
sifat-sifat yang pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa
dinisbatkan kepada mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin
dilekatkan (mustahil) pada mereka. Asal arti tauhid adalah
keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Ilmu
ini dinamakan Tauhid karena ia merupakan bagian terpenting daripadanya,
yaitu pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah pada esensiNya, dan pada
karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah
satu-satunya tempat kembali semua yang ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha
ini adalah tujuan paling agung dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
Kadang-kadang ilmu tauhid
dinamakan ilmu kalam karena
persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan pendapat di
antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah yang dibacakan
(Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim).
Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana
bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang
ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul)
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih
kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’),
sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang
yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara
pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu
logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir
dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian manthiq
diganti dengan kalam untuk membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh, 1996:
3-4; Madjid, 1994: 365-366).
Kuliah-kuliahnya
Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar bagi karyanya
yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhid yang menggambarkan suatu mata
rantai panjang risalah-risalah skolastik yang telah diprakarsai oleh
doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah ini dimulai dengan uraian
tentang definisi teologi atau ilmu tauhid, seperti studi tentang eksistensi
Tuhan, keesaanNya, sifat-sifatNya, dan sifat wahyu kenabian. Menurut
pengamatannya, sebelum Islam teologi belum dikenal, tetapi metode
demonstrasi yang digunakan oleh para teolog pra-Islam cenderung menjadi
suatu jenis adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat (keajaiban-keajaiban),
pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an menentang semua itu. Ia
menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat ditiru, pengetahuan apa yang
telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi tidak menentukan penerimaannya
semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan mengajarkan pembuktian dan
demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang yang tidak beriman, dan
membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia menyatakan bahwa akal sebagai
penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan perintah-perintah moralnya
atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal dan agama dibariskan
sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada
Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam menyadari bahwa akal sangat
diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan yang demikian, seperti eksistensi
Tuhan, kerasulan nabi-nabiNya, dan juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok
wahyu dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun
beberapa artikel ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak
bertentangan dengannya.
Intisari ajaran
Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang
ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu saja
ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang tegas,
yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan. Dia
juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara tidak
kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam dua
karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa Al-Nashraniyyah
ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba menyelaraskan akal
dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika terjadi perselisihan
antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan,
dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan rasio atau akal, atau
mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan manusia untuk mengetahui
maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
Ada tiga hal yang mendasari pemikiran teologi
Muhammad Abduh yaitu; kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan
yang kuat kepada sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam
mempergunakan kebebasan. Dengan ketiga dasar pemikiran tersebut, beberapa
penulis menilai Muhammad Abduh cenderung kepada pemikiran Muktazilah. Akan
tetapi sesuai dengan pernyataannya, dia mengaku sebagai pengikut metode salaf
yang tidak menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya,
dan Alam gaib. Namun dalam kenyataannya Muhammad Abduh mentakwilkan ayat-ayat
yang demikian, di antara ayat-ayat yang ditakwilkannya misalnya, surat Al-Lail
ayat 20;
4n?ôãF{$# mÎn/u u Ïmô`ur ä!$tóÏGö/$# wÎ) kata mô`ur ( wajh) pada ayat
tersebut ditafsirkan kepada arti ridha, sesuai dengan arti yang biasanya
dipakai oleh orang-orang Arab dalam ungkapan-ungkapan yang memakai kata
tersebut, surat Al-Baqarah ayat 255; … uÚöF{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# çmÅöä. 4yìÅur … kata mÅöä. (kursiyyuhu) ditakwilkan dengan pengetahuanNya (al-‘ilmi
Allahi) dan surat Al-Takwir ayat
20; ûüÅ3tB ¸öyèø9$# Ï ZÏã >o§qè% Ï
kata ¸öyèø9$# (al-‘arsy)
ditakwilkan dengan arti kerajaan, kekuasaan atau kemuliaan. Sulaiman Dunya
lebih melihat sosok Muhammad Abduh sebagai seorang yang berada di antara dua
jalur pemikiran, yaitu pemikiran mutakallim dan filosof , bahkan
dalam menerapkan fungsi akal ia menilai Muhammad Abduh lebih Muktazilah dari
Muktazilah sendiri (Lubis, 1993: 135-137).
Lapangan pengabdian
manusia sesuai dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua
kategori, yaitu ibadat dan mu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan
terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan (muamalat)
hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci,
karena itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan
dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an
mengatakan:
“Ajaran agama, menurut Abduh secara umum
terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan
ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan atau
perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang
dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.”
(Shihab, 2006: 23).
Untuk menyesuaikan
dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum sesuai dengan perkembangan zaman
diperlukan interpretasi baru.
Pintu ijtihad harus dibuka, ijtihad dalam hal ini bukan
hanya boleh dilakukan, bahkan penting dan perlu dilakukan. Namun demikian tidak
berarti semua orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya mereka yang
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat mujtahid yang
disetujui fahamnya. Lapangan ijtihad sesungguhnya hanyalah soal-soal muamalat.
Adapun soal ibadat, karena ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan,
maka tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadat
bukanlah lapangan ijtihad untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Taklid
kepada ulama tidak perlu dipertahankan karena hal ini menjadikan ummat islam
tidak dapat maju, bahkan mengalami kemunduran (Nasution, 1996: 64). Dalam hal
ini Muhammad Abduh mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskan
masyarakat mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan
perbedaan kondisi sosial. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat,
bahkan mendorong mereka untuk meninggalkan ajaran agamanya. Muhammad Abduh
berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni menurut pandangannya dan
menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini (Shihab, 2006: 23-24).
3. Tafsir Al-Qur’an.
Kitab suci
Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala kalimah
apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang ada.
Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi
(tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang paling besar dan dalil atau
bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan manusia. Ia adalah cahaya (nur)
yang memancar dari matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat
Rabbani yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi
(Abduh, 1996: 123).
Muhammad
Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun
di akhirat. Dia mengkritisi upaya-upaya
penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an, kata-katanya yang
asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan yang semacam itu
dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh kepentingan ummat
(Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan pada masa-masa
sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang berbeda, yang pada
akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab
tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya mengarahkan perhatian
pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan
penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi
semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan bukan kitab tafsir yang
sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh menggarisbawahi bahwa
dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan generasi, karena itu
menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun yang bodoh untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurutnya,
ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian
logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan
dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, namun kita
harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena itu, manusia membutuhkan
bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam
beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
Muhammad Abduh
adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin
ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri
penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a. Memandang setiap surat
sabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau
kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b. Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk
ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak
hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c. Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
d. Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
Karya-karya Muhammad
Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah
Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54, Al-Ahzab
ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’ ayat 129
(Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak ditulis
langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu Muhammad
Rasyid Ridha. Atas desakan muridnya itu
ia memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai tahun 1899 dan
selalu dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang guru dicatat oleh
muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang teratur. Apa yang
telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa.
Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian disiarkan dalam majalah Al-Manar.
Dengan demikian maka timbullah Tafsir Al-Manar. Muhammad Abduh
memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal tahun 1905. Setelah sang
guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan
jiwa dan ide yang dicetuskan sang guru (Nasution, 1996: 71).
4. Politik
Pada usia 23 tahun,
Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat
agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah
dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis
barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula
dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat
Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat
menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya
dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada
tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi
dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik
dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi
kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan
majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa.
Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan semangat ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan
Barat (Lubis, 1993: 116).
|
|
Menurut Muhammad Abduh organisasi politik
bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi
dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad
Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim
Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad,
mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern
demi kemaslahatan bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas
final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan
bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah
ataupun sultan. Peranan penguasa ini b
|
|
Penguasa berhak
untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin
berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut
pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus
diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya.
Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah
teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar
pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk
menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam
meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat,
tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan
kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa
didasarkan pada model asing. Ada
peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi
sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum,
janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi
masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62).
|
5. Pendidikan
Ide-ide pembaharuan
adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh dilatarbelakangi situasi
sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis, taqlid,
bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia Islam pada saat itu.
Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi
bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan
itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang
satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat
mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain (Lubis, 1993: 152-153). Program
pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran
Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan
kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan
oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah
misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah
al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk mempelajari kristen, sementara itu di
sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali (Rahnema,
1998: 97). Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum barat
sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain
sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat) sama sekali.
Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual sama
sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut
sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun
oleh pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana
Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali
antara yang satu dengan yang lain (Lubis, 1993: 153-154).
Dualisme pendidikan
sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua spirit
yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda dengan
pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama
menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada
sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan
moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua
hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus
kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di
sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah
agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama
akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
Tujuan pendidikan
yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang luas, yang
mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif).
Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan
antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa
mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang
bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan
terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat terhapuskan.
Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan
terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang
seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki
kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik
dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam
menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan
(Lubis, 1993: 156).
Dalam metode
pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia
mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian yang
pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan dalam
tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di Al-Azhar,
tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang
mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan pengertian dalam
setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para pendidik agar tidak
menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya hanya akan merusak
daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).
6. Peranan Wanita
Untuk kepentingan
pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at direvisi agar
lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang berkenaan dengan
peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam terdapat ajaran
tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang
sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama. Antara pria dan wanita
terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya, memiliki tanggung jawab
dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya kewajiban dan tanggung
jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk menuntut ilmu (Rahnema, 1998:
63-64). Terkait dengan masalah pendidikan, sebagaimana kesejajaran wanita dan
pria dalam hal keampunan dan pahala dari Allah atas perbuatan yang sama, maka
wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, seperti hak yang didapatkan lelaki.
Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, dan yang demikian ini hanya
mungkin dengan memberikan mereka pendidikan (Lubis, 1993: 160).
Mengenai
pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan
pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan
hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri
mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan
pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita,
seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya.
Muhammad Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan
kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad
Abduh juga termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami
yang ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena
itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil,
namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at membolehkan beristeri empat, jika memang
mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis akhirnya, mustahil manusia
bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku
sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristeri lebih dari satu.
Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan cerai harus dilepaskan dari
otoritas suami, dan menempatkannya di bawah yurisdiksi dan kepakaran qadhi.
Dia bahkan merumuskan hukum yang memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai
karena kondisi tertentu, seperti suami tak bertanggung jawab terhadap isteri,
perlakuan kasar atau kata-kata yang tak pantas, atau jika terus menerus
bertikai yang tidak mungkin ada penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).
7. Telaah Kritis Tentang
Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad Abduh
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan
ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad
Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara
kritis itu antara lain;
a. Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad
Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak
berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia
menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka
akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam
tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
b. Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni
Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum
muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup
pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual)
untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya
pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual
tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh
melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan)
yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang
diajukannya.
c. Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam,
Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya
terhadap poligami terkesan berlebihan.
Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan,
sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang
menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan
Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam pengertian
yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha
Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian,
keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak
sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan
manusia.
d. Pendapat lain yang bertentangan dengan
pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari
otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi
(hakim). Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi
oleh realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan
penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang
kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh
terhadap ijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan
golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh
berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu
diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan
ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
e. Harun Nasution menyatakan bahwa poligami
dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan.
Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat
sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan
mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan
keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang
isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari
kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan.
Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah
perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan
(dilarang) (Nasution, 1998: 435). Untuk
pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut
oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.
D. KESIMPULAN.
Muhammad Abduh kecil tumbuh sebagai anak yang cerdas tetapi
terkesan agak malas belajar. Hal ini karena rasa tidak puasnya terhadap metode pembelajaran
pada masa itu, yang pada umumnya hanya mengutamakan hapalan tanpa memperhatikan
aspek pemahaman. Pertemuannya dengan Syaikh Darwisy dan Jamal Al-Din
Al-Afghani dapat membangkitkannya
kembali semangatnya untuk belajar. Setelah menamatkan pendidikannya di Al-Azhar
pada tahun 1877, ia segera mengawali karirnya sebagai guru di almamaternya dan
di Dar Al-‘Ulum, lembaga pendidikan yang baru didirikan pada waktu itu.
Karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras oleh pemerintah Mesir, pada
tahun 1879 ia diberhentikan dari jabatan guru. Namun pada tahun 1880 segera
diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat sebagai editor kepala pada
surat kabar
resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah.
Keterlibatannya
dalam politik praktis (pemberontakan ‘urabi Pasya) menyebabkan ia diasingkan dari
Mesir pada tahun 1882. Dalam pengasingan semangat jihadnya semakin membara,
kegiatan politik dan dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada rakyat Mesir,
bahkan kepada penganut Islam di seluruh dunia. Di Paris, bersama Al-Afghani ia
menerbitkan majalah Al-‘Urwat Al-Wustsqa. Ide dan semangat gerakannya
adalah, membangkitkan semangat ummat Islam di seluruh dunia untuk melawan
kekuasaan Barat. Ketika Majalah ini berikut organisasinya bubar, ia segera
kembali ke Bairut. Di sana
ia menghentikan segala kegiatan politiknya dan memusatkan perhatian dalam
kegiatan mengajar. Setelah selesai masa pembuangannya pada tahun 1888 ia segera
kembali ke Kairo (Mesir), dan di sini semangat jihadnya diwujudkan dengan
memanfaatkan jabatan-jabatan yang diterimanya untuk melakukan upaya-upaya
pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jabatan terakhir yang diterimaya
adalah sebagai Mufti Agung di Mesir,dan dia menduduki jabatan ini higga
akhir hayatnya pada tahun 1905.
Ide-ide pembaharuan
Muhammad Abduh pada dasarnya dilatarbelakangi oleh semangat memerangi paham
jumud yang mewabah dalam lingkngan kehidupan ummat Islam pada waktu itu, dan
semangat untuk melawan hegemoni Barat yang dianggapnya mengancam eksistensi
Islam di seluruh dunia. Menurutnya kedua hal itulah yang menjadi penyebab kemunduran
ummat Islam, dan jalan bagi kebangkitan Islam adalah melawan kejumudan,
meninggalkan taklid yang membabi buta, dan melawan kekuasaan Barat dengan
mendasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah
RasulNya. Rasionalitas (penonjolan akal), menjadi ciri utama dalam
karya-karyanya, baik dalam penafsiran Al-Qur’an maupun ijtihad-nya dalam
berbagai lapangan kehidupan. Dia berpendapat bahwa ajaran agama (Islam) hanya
dapat dipahami melalui pembuktian akal (logika), dan kalaupun ada yang sulit
dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal.
DAFTAR REFERENSI
Abduh,
Muhammad. 1996. Risalat Al-Tauhid. Diterjemahkan oleh Firdaus A.N.
dengan judul Risalah Tauhid. Jakarta:
Bulan Bintang.
Black,
Anthony. 2006. The History of Islamic Political Though from The Prophet to
The Present. Diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati
dengan judul Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Fakhry,
Majid. 1987. History of Islamic Philosophy. Diterjemahkan oleh R.
Mulyadhi Kartanegara dengan judul Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya.
Lubis,
Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid,
Nurcholish. 1994. Kazanah Intelektual
Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution,
Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution,
Harun. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Rahnema,
Ali. 1998. Pioneer of Islamic Revival. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan
dengan judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan.
Shihab, M.
Quraish. 2006. Rasionalitas Al-Quran, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar.
Tangerang: Lentera Hati.
Sjadzali,
Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
terima kasih informasinya,,,,
BalasHapuscukup lengkap.
Thanks juga, telah mampir.
Hapustrimakasih
BalasHapusSama-sama
Hapussukran, jazakallahu khair :)
BalasHapuswa 'alaika syukran
Hapusbapak, aku minta penjelasan dan komentar tentang pendapat j.schacht yang menytakan imam syafi'i penyebab kujumudan
Hapussyukron pak
PENDAFTARAN BELA NEGARA
BalasHapusKHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam
Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,
Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami
Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.
Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
semesta alam.
Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.
Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu
Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.
Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.
Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.
Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin
Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu
Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.
Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)
Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.
301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam
302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan
303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase
304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam
305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar
Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada
Disebarluaskan
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Syuaib Bin Shaleh
singahitam@hmamail.com
IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
BalasHapusBENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA
ISLAM
SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah
senjata kalian.
Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul
Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu
yang Agung
Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami
menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai
Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan
kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela
di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak
perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !
Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan
orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu
kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka
dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah
kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat,
melainkan sedikit sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah
menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar
kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada
Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi,
sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan
kedurhakaan yang besar terhadap Allah!
Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah
agama untuk Allah.
Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah
kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai
penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan
kepada manusia di bumi.
Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka
Dajjal
Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan
memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-
Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada
sesama manusia karena itu adalah FITNAH
Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi,
disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
untuk menolong mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran,
melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah
Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk
(membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki,
perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan
(al-Baqarah 217)
Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka
memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama
orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap
orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka.
Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada
mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan
tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara
ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan
tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..
Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu
minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa /
kampung.
Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda
dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam
secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.
Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera
Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah
Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
email : seleksidim@yandex.com
Dipublikasikan
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu