Rabu, 13 Februari 2013

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH



PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
MUHAMMAD ABDUH
Oleh: Ribut Purwo Juono S.Ag., M.Pd.I


A.  PENDAHULUAN

            Sejarah telah mencatat puncak kejayaan peradaban Islam dicapai pada masa Daulah Abbasiyyah, namun sesudah itu, yakni setelah keruntuhan Daulah Abbasiyyah akibat serangan tentara Mongol ke Baghdad, secara perlahan peradaban Islam terus mengalami kemunduran. Puncaknya, menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar mengalami kemunduran dan kemerosotan secara universal. Bersamaan dengan itu, umat Islam di dunia mengalami nasib yang sangat buruk, sebagai bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat (Eropa). Negara-negara yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Islam, pada saat itu telah menjadi daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa.
            Kenyataan bahwa ummat Islam sebagai bangsa-bangsa yang tertindas semakin diperburuk oleh eksploitasi kekayaan Islam oleh bangsa-bangsa Eropa itu, sehingga umat Islam benar-benar terpuruk pada posisi yang sangat lemah dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan semacam inilah yang barangkali telah mendorong para politisi, pemimpin dan ilmuwan Islam pada masa itu, untuk mulai memperhatikan dan menyelidiki rahasia keunggulan bangsa-bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman para pelajar ke Eropa, penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan barat, dan usaha-usaha penerapan konsep-konsep pemikiran barat ke dalam dunia Islam.
            Usaha untuk membangun kembali peradaban Islam dengan mengadopsi pemikiran barat tanpa seleksi dan tanpa koreksi, ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan membuat ummat Islam semakin terpuruk dan terperosok di bawah kekuasaan bangsa-bangsa Barat itu. Selain itu tentu saja ada faktor-faktor internal yang mempengaruhi kemunduran ummat Islam. Para tokoh kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslimin. Pertama, erosi nilai-nilai Islam dan tidak pedulinya pemerintah untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerja sama lembaga ulama dengan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga, korupsi dan sikap zhalim kelas penguasa dan keluarganya. Keempat, kerja sama kelas penguasa dengan, dan ketergantungan pada, kekuatan-kekuatan imperialis yang tidak Islami (Rahnema, 1998: 11). Kesadaran terhadap kenyataan tersebut medorong para tokoh pembaharuan untuk mengobarkan semangat kaum muslimin, berjuang meraih kembali kejayaannya.
            Makalah ini akan mengemukakan salah satu figur dan tokoh pembaharu dari Mesir, yakni Al-Syaikh Muhammad Abduh. Selain riwayat hidup dan perjuangannya, akan dibahas tentang ide-ide pembaharuan dan pemikirannya dalam berbagai aspek kehidupan, dalam upayanya membangkitkan ghirah dan semangat kaum muslimin, untuk merintis kembali kejayaan dan membebaskan diri dari penindasan bangsa-bangsa Eropa.

B.  RIWAYAT HIDUP DAN PERJUANGAN MUHAMMAD ABDUH

            Dilahirkan di Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 36).
            Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
            Tak lama kemudian Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar (Fakhry, 1987: 462).
            Pada tahun 1866, Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang yang besar pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Fakhry, 1987: 462). Metode pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh (Nasution, 1996: 60-61).
            Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar dianggap dan disamakan dengan bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu  menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
            Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857 (Nasution, 1996: 61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras. Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar Al-Ulum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat brpengaruh dalam membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998: 38).
            Muhammad abduh turut serta memainkan peran dalam revolusi Urabi Pasya, yaitu gerakan yang bermula dari usaha perwira-perwira militer Mesir yang berhasil mendobrak kontrol perwira-perwira Turki dan Sarkas yang menguasai Mesir. Selanjutnya gerakan di bawah pimpinan Urabi Pasya ini dapat menguasai pemerintahan, namun kekuasaan golongan nasionalis ini dianggap berbahaya dan mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Akibatnya, untuk menjatuhkan Urabi Pasya, pada tahun 1882 Inggris membom Alexandaria dari laut. Dalam pertempuran ini kaum nasionalis dapat dikalahkan dan Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Inggris. Sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya, Muhammad Abduh ditangkap dan dipenjarakan. Pada akhir tahun 1882 ia dibuang ke Beirut kemudian ke Paris pada tahun 1884 (Nasution, 1996: 61-62).
            Di Paris Muhammad Abduh bertemu kembali dengan Al-Afghani, kemudian mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh walaupun usianya sangat pendek yaitu Al-‘Urwat Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat). Tujuan Organisasi ini adalah menyatukan ummat Islam dan sekaligus melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini juga menerbitkan koran yang diberi nama sama dengan organisasinya (Al-‘Urwat Al-Wutsqa) dan berhasil terbit sebanyak delapan edisi, didedikasikan untuk tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non Barat tentang bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan Mesir dari pendudukan Inggris. Yang menjadi fokusnya adalah kaum muslimin, karena faktanya  mayoritas bangsa yang dikhianati dan dihinakan, serta sumber dayanya dijarah oleh pihak asing, adalah ummat Islam (Rahnema, 1998: 38-39). Organisasi ini akhirnya bubar dan pada tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut melalui Tunisia. Di Beirut ia kembali mengajar (menjadi guru). Pada tahun 1888, atas usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang Inggris, ia dibolehkan kembali pulang ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya terhadap Mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun 1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, ia membawa perubhan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Pada tahun 1889 ia diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini didudukinya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1905 (Nasution, 1996: 62).


C.  IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

1.   Analisis Sebab-sebab Kemunduran Ummat Islam
            Muhammad Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.
            Menurut Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang  keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema, 1998: 41-42).

            Sementara itu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada qadha’ dan qadar. Dengan demikian  akal akan membeku dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah. Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah  itulah yang membuat ummat Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
            Permusuhan di antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan antara ilmu dan agama yang telah dielesaikan Al-Qur’an muncul kembali untuk kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus kemajuan serta kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkitan ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).

2.   Aqidah dan Ibadah
            Dalam kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti ada (wajib) padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga membahas tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat yang pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan kepada mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil) pada mereka. Asal arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Ilmu ini dinamakan Tauhid karena ia merupakan bagian terpenting daripadanya, yaitu pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya tempat kembali semua yang ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah tujuan paling agung dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
            Kadang-kadang ilmu tauhid dinamakan  ilmu kalam karena persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah yang dibacakan (Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim). Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul) kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’), sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian manthiq diganti dengan kalam untuk membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh, 1996: 3-4;  Madjid, 1994: 365-366).
            Kuliah-kuliahnya Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar bagi karyanya yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhid yang menggambarkan suatu mata rantai panjang risalah-risalah skolastik yang telah diprakarsai oleh doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah ini dimulai dengan uraian tentang definisi teologi atau ilmu tauhid, seperti studi tentang eksistensi Tuhan, keesaanNya, sifat-sifatNya, dan sifat wahyu kenabian. Menurut pengamatannya, sebelum Islam teologi belum dikenal, tetapi metode demonstrasi yang digunakan oleh para teolog pra-Islam cenderung menjadi suatu jenis adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat (keajaiban-keajaiban), pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an menentang semua itu. Ia menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat ditiru, pengetahuan apa yang telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi tidak menentukan penerimaannya semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan mengajarkan pembuktian dan demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang yang tidak beriman, dan membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia menyatakan bahwa akal sebagai penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan perintah-perintah moralnya atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal dan agama dibariskan sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam menyadari bahwa akal sangat diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan yang demikian, seperti eksistensi Tuhan, kerasulan nabi-nabiNya, dan juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok wahyu dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun beberapa artikel ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak bertentangan dengannya.
            Intisari ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang tegas, yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan. Dia juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara tidak kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam dua karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa Al-Nashraniyyah ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba menyelaraskan akal dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika terjadi perselisihan antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan rasio atau akal, atau mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan manusia untuk mengetahui maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
            Ada tiga hal yang mendasari pemikiran teologi Muhammad Abduh yaitu; kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat kepada sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam mempergunakan kebebasan. Dengan ketiga dasar pemikiran tersebut, beberapa penulis menilai Muhammad Abduh cenderung kepada pemikiran Muktazilah. Akan tetapi sesuai dengan pernyataannya, dia mengaku sebagai pengikut metode salaf yang tidak menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya, dan Alam gaib. Namun dalam kenyataannya Muhammad Abduh mentakwilkan ayat-ayat yang demikian, di antara ayat-ayat yang ditakwilkannya misalnya, surat Al-Lail ayat 20; 4n?ôãF{$#  mÎn/u ž u Ïmô`ur ä!$tóÏGö/$# wÎ)  kata  mô`ur  ( wajh) pada ayat tersebut ditafsirkan kepada arti ridha, sesuai dengan arti yang biasanya dipakai oleh orang-orang Arab dalam ungkapan-ungkapan yang memakai kata tersebut, surat Al-Baqarah ayat 255;   uÚöF{$#ur   ÏNºuq»yJ¡¡9$#  çmÅöä. 4yìÅur  kata  mÅöä.  (kursiyyuhu)  ditakwilkan dengan pengetahuanNya (al-‘ilmi Allahi)  dan surat Al-Takwir ayat 20;   ûüÅ3tB ¸öyèø9$# ÏŒ ZÏã  >o§qè% ÏŒ   kata   ¸öyèø9$#  (al-‘arsy) ditakwilkan dengan arti kerajaan, kekuasaan atau kemuliaan. Sulaiman Dunya lebih melihat sosok Muhammad Abduh sebagai seorang yang berada di antara dua jalur pemikiran, yaitu pemikiran mutakallim dan filosof , bahkan dalam menerapkan fungsi akal ia menilai Muhammad Abduh lebih Muktazilah dari Muktazilah sendiri (Lubis, 1993: 135-137).
            Lapangan pengabdian manusia sesuai dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadat dan mu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci, karena itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:

“Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).


            Untuk menyesuaikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum sesuai dengan perkembangan zaman diperlukan interpretasi baru.  Pintu ijtihad harus dibuka, ijtihad dalam hal ini bukan hanya boleh dilakukan, bahkan penting dan perlu dilakukan. Namun demikian tidak berarti semua orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Yang tidak memenuhi syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat mujtahid yang disetujui fahamnya. Lapangan ijtihad sesungguhnya hanyalah soal-soal muamalat. Adapun soal ibadat, karena ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, maka tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadat bukanlah lapangan ijtihad untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Taklid kepada ulama tidak perlu dipertahankan karena hal ini menjadikan ummat islam tidak dapat maju, bahkan mengalami kemunduran (Nasution, 1996: 64). Dalam hal ini Muhammad Abduh mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sosial. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka untuk meninggalkan ajaran agamanya. Muhammad Abduh berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni menurut pandangannya dan menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini (Shihab, 2006: 23-24).


3.   Tafsir Al-Qur’an.
            Kitab suci Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang ada. Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi (tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang paling besar dan dalil atau bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan manusia. Ia adalah cahaya (nur) yang memancar dari matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi (Abduh, 1996: 123).
              Muhammad Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia  maupun  di  akhirat. Dia mengkritisi upaya-upaya penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an, kata-katanya yang asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan yang semacam itu dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh kepentingan ummat (Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang berbeda, yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh menggarisbawahi bahwa dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan generasi, karena itu menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun yang bodoh untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurutnya, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, namun kita harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena itu, manusia membutuhkan bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
            Muhammad Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a.   Memandang setiap surat sabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b.   Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c.   Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
d.   Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
      Karya-karya Muhammad Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54, Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’ ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu Muhammad Rasyid Ridha. Atas  desakan muridnya itu ia memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai tahun 1899 dan selalu dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang guru dicatat oleh muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang teratur. Apa yang telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa. Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian disiarkan dalam majalah Al-Manar. Dengan demikian maka timbullah Tafsir Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal tahun 1905. Setelah sang guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan sang guru (Nasution, 1996: 71).


4.   Politik
            Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan semangat  ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).  

 

 
            Muhammad Abduh memandang kemunduran bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah otoriter yang yang ditimbulkan oleh kebodohan faqih (ahli hukum Islam) dan kebodohan penguasa. Faqih dianggap bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara itu, penguasa bukan saja bodoh dalam hal memerintah dan menegakkan keadilan, bahkan mereka merusak faqih dan memanfaatkan faqih untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara memaksa faqih mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kebijakan pemerintah. Dalam keadaan demikian, hal yang terpenting bagi ummat adalah persatuan politik dan keadilan. Persatuan politik dan keadilan ini belum ada karena ketidakpedulian pemimpin. Segenap keburukan yang menimpa kaum muslimin adalah akibat dari kebodohan dan perpecahan pemimpin muslim yang menyandang gelar tinggi seperti pangeran dan sultan, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintah asing yang bukan muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi, tidak menegakkan keadilan, tidak merujuk kepada kitab yang tepat atau tidak mengikuti sunnah, dan pemimpin seperti ini menjadi penyebab kerusakan akhlak ummat (Rahnema,1998:60-61).
             Menurut Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini b

 

 
erbeda dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan.
            Penguasa berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing. Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum, janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62). 

 
 
5.   Pendidikan
            Ide-ide pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain (Lubis, 1993: 152-153). Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah  misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain (Lubis, 1993: 153-154).
            Dualisme pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
            Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan (Lubis, 1993: 156).
            Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya hanya akan merusak daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).

6.   Peranan Wanita  
            Untuk kepentingan pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at direvisi agar lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang berkenaan dengan peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam terdapat ajaran tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama. Antara pria dan wanita terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya, memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya kewajiban dan tanggung jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk menuntut ilmu (Rahnema, 1998: 63-64). Terkait dengan masalah pendidikan, sebagaimana kesejajaran wanita dan pria dalam hal keampunan dan pahala dari Allah atas perbuatan yang sama, maka wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, seperti hak yang didapatkan lelaki. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, dan yang demikian ini hanya mungkin dengan memberikan mereka pendidikan (Lubis, 1993: 160).
            Mengenai pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita, seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya. Muhammad Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad Abduh juga termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami yang ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil, namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at  membolehkan beristeri empat, jika memang mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis akhirnya, mustahil manusia bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristeri lebih dari satu. Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan cerai harus dilepaskan dari otoritas suami, dan menempatkannya di bawah yurisdiksi dan kepakaran qadhi. Dia bahkan merumuskan hukum yang memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai karena kondisi tertentu, seperti suami tak bertanggung jawab terhadap isteri, perlakuan kasar atau kata-kata yang tak pantas, atau jika terus menerus bertikai yang tidak mungkin ada penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).

7.   Telaah Kritis Tentang Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad Abduh
            Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;
a.   Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
b.   Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
c.   Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami terkesan  berlebihan. Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak  mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan manusia.
d.   Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap ijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
e.   Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435).  Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.  

D.  KESIMPULAN.  
            Muhammad Abduh kecil tumbuh sebagai anak yang cerdas tetapi terkesan agak malas belajar. Hal ini karena rasa tidak puasnya terhadap metode pembelajaran pada masa itu, yang pada umumnya hanya mengutamakan hapalan tanpa memperhatikan aspek pemahaman. Pertemuannya dengan Syaikh Darwisy dan Jamal Al-Din Al-Afghani  dapat membangkitkannya kembali semangatnya untuk belajar. Setelah menamatkan pendidikannya di Al-Azhar pada tahun 1877, ia segera mengawali karirnya sebagai guru di almamaternya dan di Dar Al-‘Ulum, lembaga pendidikan yang baru didirikan pada waktu itu. Karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras oleh pemerintah Mesir, pada tahun 1879 ia diberhentikan dari jabatan guru. Namun pada tahun 1880 segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat sebagai editor kepala pada surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah.
            Keterlibatannya dalam politik praktis (pemberontakan ‘urabi Pasya) menyebabkan ia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Dalam pengasingan semangat jihadnya semakin membara, kegiatan politik dan dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada rakyat Mesir, bahkan kepada penganut Islam di seluruh dunia. Di Paris, bersama Al-Afghani ia menerbitkan majalah Al-‘Urwat Al-Wustsqa. Ide dan semangat gerakannya adalah, membangkitkan semangat ummat Islam di seluruh dunia untuk melawan kekuasaan Barat. Ketika Majalah ini berikut organisasinya bubar, ia segera kembali ke Bairut. Di sana ia menghentikan segala kegiatan politiknya dan memusatkan perhatian dalam kegiatan mengajar. Setelah selesai masa pembuangannya pada tahun 1888 ia segera kembali ke Kairo (Mesir), dan di sini semangat jihadnya diwujudkan dengan memanfaatkan jabatan-jabatan yang diterimanya untuk melakukan upaya-upaya pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jabatan terakhir yang diterimaya adalah sebagai Mufti Agung di Mesir,dan dia menduduki jabatan ini higga akhir hayatnya pada tahun 1905.
            Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh pada dasarnya dilatarbelakangi oleh semangat memerangi paham jumud yang mewabah dalam lingkngan kehidupan ummat Islam pada waktu itu, dan semangat untuk melawan hegemoni Barat yang dianggapnya mengancam eksistensi Islam di seluruh dunia. Menurutnya kedua hal itulah yang menjadi penyebab kemunduran ummat Islam, dan jalan bagi kebangkitan Islam adalah melawan kejumudan, meninggalkan taklid yang membabi buta, dan melawan kekuasaan Barat dengan mendasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya. Rasionalitas (penonjolan akal), menjadi ciri utama dalam karya-karyanya, baik dalam penafsiran Al-Qur’an maupun ijtihad-nya dalam berbagai lapangan kehidupan. Dia berpendapat bahwa ajaran agama (Islam) hanya dapat dipahami melalui pembuktian akal (logika), dan kalaupun ada yang sulit dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal.   


DAFTAR REFERENSI

Abduh, Muhammad. 1996. Risalat Al-Tauhid. Diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Black, Anthony. 2006. The History of Islamic Political Though from The Prophet to The Present. Diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati dengan judul Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Fakhry, Majid. 1987. History of Islamic Philosophy. Diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara dengan judul Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1994.  Kazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Rahnema, Ali. 1998. Pioneer of Islamic Revival. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2006. Rasionalitas Al-Quran, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar. Tangerang: Lentera Hati.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

9 komentar:

  1. terima kasih informasinya,,,,
    cukup lengkap.

    BalasHapus
  2. sukran, jazakallahu khair :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bapak, aku minta penjelasan dan komentar tentang pendapat j.schacht yang menytakan imam syafi'i penyebab kujumudan
      syukron pak

      Hapus
  3. PENDAFTARAN BELA NEGARA
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
    Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

    Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
    Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
    Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

    Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
    hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

    Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
    semesta alam.

    Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

    Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

    Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

    Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

    Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
    Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

    Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

    Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.

    Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)

    Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
    para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

    301. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

    302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
    - ahli segala macam pertempuran
    - ahli Membunuh secara cepat
    - ahli Bela diri jarak dekat
    - Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

    303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
    - Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
    - Ahli Pembuat BOM / Racun
    - Ahli Sandera
    - Ahli Sabotase

    304. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

    305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
    - ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
    - Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
    - Ahli enkripsi cryptographi
    - Ahli Satelit / Nuklir
    - Ahli Pembuat infra merah / Radar
    - Ahli Membuat Virus Death
    - Ahli infiltrasi Sistem Pakar

    Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
    Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada

    Disebarluaskan
    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Syuaib Bin Shaleh
    singahitam@hmamail.com

    BalasHapus
  4. IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
    BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA
    ISLAM
    SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
    bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah
    senjata kalian.

    Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul
    Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu
    yang Agung
    Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami
    menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai
    Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan
    kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela
    di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak
    perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

    Firman Allah: at-Taubah 38, 39
    Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan
    orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu
    kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka
    dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah
    kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat,
    melainkan sedikit sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah
    menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar
    kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada
    Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

    Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi,
    sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan
    kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

    Firman Allah: al-Anfal 39
    Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah
    agama untuk Allah.

    Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah
    kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai
    penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan
    kepada manusia di bumi.

    Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka
    Dajjal

    Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan
    memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-
    Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada
    sesama manusia karena itu adalah FITNAH

    Firman Allah: al-Hajj 39, 40
    Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi,
    disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
    untuk menolong mereka itu. Iaitu
    orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran,
    melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

    Firman Allah: an-Nisa 75
    Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk
    (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki,
    perempuan-perempuan dan kanak-kanak .

    Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan
    (al-Baqarah 217)

    Firman Allah: at-Taubah 36, 73
    Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka
    memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama
    orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap
    orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap
    mereka.

    Firman Allah: at-Taubah 29,
    Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada
    mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan
    tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara
    ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan
    tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

    Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu
    minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa /
    kampung.

    Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda
    dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
    Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam
    secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

    Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
    ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera
    Hitam
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah
    Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    email : seleksidim@yandex.com

    Dipublikasikan
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    BalasHapus