Minggu, 17 Februari 2013

GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM



GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM  
Oleh: Ribut Purwo Juono, S.Ag.,M.Pd.I.


A.  PENDAHULUAN
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian kerja tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya yang mengedepankan dominasi kaum laki-laki.
Al-Qur’an merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Byzantium dan Sassanid. Kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan, dan lain-lain. Masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan. Mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki (Nuryanto, 2001: 61). Jika kemudian terjadi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dengan mengatasnamakan Islam, atau tuduhan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam, maka pemahaman, perlakuan, dan tuduhan semacam itu perlu dipertanyakan kebenarannya.
Terkait dengan pendidikan Islam yang secara sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits, seharusnya terbebas dari prinsip-prinsip ketidakadilan dalam segala hal termasuk ketidakadilan gender. Dengan kata lain konsep pendidikan Islami yang sebenarnya mengandung makna konsep nilai yang bersifat universal seperti adil, manusiawi, terbuka, dinamis, dan seterusnya sesuai dengan sifat dan tujuan ajaran Islam yang otentik sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.  Ciri otentisitas ajaran Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik), adil, dan seimbang. Jika pada masa Rasulullah SAW merupakan masa yang paling ideal bagi kehidupan perempuan, di mana mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki, maka dalam konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits seharusnya tidak akan dijumpai adanya ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam pandangan Islam, semua orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama serta seimbang termasuk hak dan kesempatan dalam memperoleh dan dalam urusan pendidikan. Hal ini sangat kontradiktif dengan anggapan atau tuduhan sebagian orang yang menyatakan bahwa ajaran Islam dan pendidikan Islam banyak diwarnai oleh ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Tulisan ini akan membahas gender dan pendidikan Islam. Oleh karena luasnya permasalahan yang menyangkut gender dan pendidikan Islam tersebut, maka dalam hal ini penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya pada persoalan: Apa itu gender? Bagaimana pandangan Islam tentang gender? Bagaimana pula gender dalam pendidikan Islam? 

B.  PENGERTIAN GENDER
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”  (Echols, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. (Neufald, 1984: 561). Kata gender menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab, sehingga jika seseorang menyebut gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Stoller mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nugroho, 2008: 2-3). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (Tiemey, tt: 153). Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin. (Mosse, 1996: 3).
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya. (Dzuhayatin, 1996: 23).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial. (Umar, 1998: 99).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan. (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 1992: 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Adapun konsep kesetaraan gender adalah konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang lebih egaliter. Jadi, konsep kesetaraan gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran (measure) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam kehidupan  masyarakat. Konsep kesetaraan gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasannya untuk mengejar kesetaraan gender dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, berperan, dan berperilaku dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Ketika fakta telah ditemukan, bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam masyarakat berakar pada pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan, maka perlu adanya usaha untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal ini tidak dilakukan, proses perendahan martabat kemanusiaan dalam masyarakat akan berlangsng terus menerus. Salah satu usaha yang perlu ditekankan adalah bagaimana membuka wawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk tatanan masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi (Arifin, et.al. 2007: 228).

C. KONSEP GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangaun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap Allah SWT. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah SWT telah berfirman:   

يا أيّها النّاس اتّقوا ربّكم الّذى خلقكم مّن نفس وّاحدة وّ خلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا وّ نسآء وّ اتّقوا الله الّذى تسآءلون به و الأرحام انّ الله كان عليكم رّقيبا               (النّساء 1)
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).

يا ايّها النّاس إنّا خلقناكم مّن ذكر وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله عليم خبير (الحجات 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينّه حيوة طيّبة وّ لنجينّهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل 97)
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki ataupun perempuan, sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (QS. An-Nahl 97)

Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan  jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda. Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar prinsip keadilan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal demikian tidak dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang pembagian warisan yang dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan. Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.

D.  GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM

1.   Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam      
Orang-orang yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha untuk membantu manusia menjadi manusia (Tafsir, 2008: 33) atau usaha untuk memanusiakan manusia. Seseorang dapat dikatakan telah manjadi manusia apabila memiliki sifat-sifat (nilai) kemanusiaan seperti, memiliki kemampuan mengendalikan diri, memiliki rasa cinta dan kasih sayang, memiliki pengetahuan, dan sebagainya. Dalam hal ini pendidikan bersifat membantu atau menolong dan bukan mencetak atau menjadikan. Hal demikian karena pada diri manusia itu sesungguhnya telah ada potensi-potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan, di samping ada juga potensi-potensi yang tidak manusiawi yang tentu saja tidak perlu dikembangkan.
Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya menumbuhkembangkan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. (Syah. 2008: 36).
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat1 pendidikan ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” 
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama atau insan kamil  (Marimba, 1989: 19).
Ramayulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam dengan mengemukakan pendapat al-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat (Ramayulis, 2009: 88).
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.

2.   Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam bersifat integral, utuh, dan serba meliputi. Nilai-nilai dasar Islam terpadukan dan terintegrasikan ke dalam ruang dan gerak aktivitas pendidikan pada semua pola, level dan tingkatan (Ismail, 2003: 10-11). Sifat integralistik dan karakteristik keserbaliputan sistem pendidikan Islam secara sistematis dan strategis dapat dirangkum sebagai berikut:
a.   Sistem pendidikan Islam tidak memisahkan nilai-nilai moral dan Ketuhanan dari nilai-nilai hidup keduniawian ( QS. al-Ikhlas 1-5).
b.   Totalitas sistem pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat (. Al-Qashash 77).
c.   Sistem pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan akal (intelektual) dan pendidikan moral spiritual. Nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai moral spiritual mendapat tempat yang serasi dan wajar dalam rancang-bangun sistem pendidikan Islam. Islam menekankan pola keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
d.   Keseluruhan bangunan visi, orientasi, dan misi pendidikan Islam bertujuan untuk menyeimbangkan antara prinsip-prinsip kepentingan individu, perorangan, dan masyarakat agar pola-pola hubungan dan azas tatanan sosial Islami yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat terbina dan terjaga dengan baik.
e.   Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar komitmen ajaran hablun min Allah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun min al-nas (hubungan manusia dengan sesama manusia) dalam konstruk keseimbangan atas dasar paradigma idealitas Ilahiyah dan realitas insaniyah.
f.    Sistem pendidikan Islam sesuai dengan arah, visi dan misinya yang komprehensif, sinergis dan terpadu sangat menghargai pencapaian pola keseimbangan pendidikan jasmani dan rohani. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani yang keduanya memerlukan latihan dan pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta fondasai susunan rohani yang sehat dan bangunan rohani yang kuat dalam pembinaan integritas kepribadian dan pertumbuhan karakter yang baik dalam diri peserta didik.

3.   Konsep Pendidikan Islam
Secara garis besar, prinsip-prinsip konseptual pendidikan Islam dapat diterangkan sebagai berikut:
a.   Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah dan kewajiban agama di mana proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses pencarian ilmu menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW menyatakan bahwa menuntut ilmu (tentu saja di dalamnya terkait dengan proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses pendidikan) adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.
b.   Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam merupakan ibadah kepada Allah SWT (QS. al-Dzariyaat 56). Iman harus dibuktikan dengan amal dan agar dapat beramal dengan benar setiap orang harus berilmu. Pendidikan merupakan kewajiban individual (baik laki-laki maupun perempuan) dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal, non formal dan informal sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Karena bernilai ibadah, pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku dan kepribadian para peserta didik.
c.   Islam memberikan posisi dan derajat yang tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana, dan ilmuwan (QS. al-Mujadalah 11) dan menyerukan agar bertanya kepada orang-orang yang berilmu (ilmuwan dan pakar) tentang sesuatu yang tidak diketahui (QS. al-Nahl 43). Pendidikan memainkan peranan penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang terdidik, terpelajar, intelektual, ilmuwan, pakar, dan sarjana.
d.   Seluruh proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat, tidak mengenal batas umur (long life education). Rasulullah SAW bersabda:
أطلبوا العلم من المحد الى اللّحد
      “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahad.”
e.   Seluruh proses pembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam bersifat dialogis, inovatf, dan terbuka. Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja, baik dari timur maupun dari barat sepanjang hal itu bermanfaat bagi intensitas peningkatan bobot kreativitas dan pencerahan intelektualitas umat manusia.           

Berdasarkan konsep Islam tentang manusia, yang kemudian diaplikasikan ke dalam konsep pendidikan Islam, tampaklah bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang berkeseimbangan. Prinsip keseimbangan tersebut merupakan ciri khas pendidikan Islam. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, individu dan masyarakat, dunia dan akhirat, intelektual dan emosional, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

2.   Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
 Pada tataran konsep yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebenarnya tidak ditemukan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam maupun pendidikan Islam. KH. Husein Muhammad, seorang kyai dari Cirebon yang gigih mengkaji masalah kesetaraan gender dalam kitab fiqih, mengatakan bahwa interpretasi keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat saat itu. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang ada. Pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia tanpa mengkotak-kotakkannya. Hal tersebut telah banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, antara lain:
يا ايّها النّاس إنّا خلقناكم مّن ذكر وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله عليم خبير (الحجات 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Allah menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Karenanya tidak ada alasan untuk menempatkan peranan perempuan di bawah posisi dan peranan laki-laki (Santi, 2002: 52).
Jika pada masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan, maka sepeninggal beliau SAW banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat Islam.  Perubahan itu berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem monarki yang absolut. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum lelaki yang sebelumnya telah dilindas oleh reformasi Islam yang berlangsung ketika Nabi masih hidup (Santi, 2002: 53). Hal demikian ini pada gilirannya berimbas bahkan telah mewarnai dunia pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang strategis dalam mentransformasikan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Budaya yang bias gender dapat berkembang dan tetap ada tidak lepas dari proses pendidikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender (Arifin, et. al.  2007: 241). Demikian pula halnya yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis, yang muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum laki-laki sesudah wafatnya Rasulullah SAW terus berlangsung dalam proses transformasi budaya melalui dunia pendidikan Islam.
Penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif (Umar, 1999: 4).
Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada unequal gender bias (bias ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, ketika hal itu melahirkan suatu struktur masyarakat yang menimbulkan adanya pihak yang dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi sosial, maka timbullah permasalahan tersebut. Konstruksi sosial akibat miss understanding gender menyebabkan masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap perempuan.
Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang yang lain. Di Indonesia, kesenjangan gender terlihat hampir di semua sektor kehidupan, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan dan lain-lain. Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, maka secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan peran perempuan.
Ketimpangan gender dalam konteks Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka statistik kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD yakni 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13%, sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15%. Penduduk perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%. (Suryadi, 2004: 19). Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa masih terlihat adanya ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia. Kondisi ini tampak jelas dalam kenyataan bahwa tingkat pendidikan perempuan pada umumnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah penduduk perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni (APM) untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebih rendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan (Suryadi, 2004: 20).
Kompetensi diri, kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu merupakan salah satu unsur yang harus di miliki oleh perempuan, apabila tidak memiliki kekuasaan terutama dalam diri sendiri, maka akan berimplikasi kepada ketidak berdayaan untuk melakukan kekuasaan. Kompentensi diri sangat di tentukan oleh tingkat pendidikan, apabila pendidikan perempuan itu relatif rendah maka kemampuan untuk berkompetisi rendah, dan aksesnya juga menjadi rendah. Kurangnya kompetensi dan kemampuan berkompetisi pada perempuan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka yang relatif masih rendah.
Pada masa kecil perempuan dituntut untuk menahan amarah atau ketidaksepakatan demi menyenangkan orang tua. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk tidak mengemukakan pendapat sendiri, sementara itu yang di beri kebebasan adalah saudara laki-laki, maka pada umumnya perempuan tidak tahu bagaimana mengelola amarah yang sifatnya negatif, menjadi agresif positif, ketidakmampuan menahan diri ketika dilanda kesengsaraan, dan menyampaikan apa yang sesungguhnya mereka inginkan dalam pesan yang jelas terutama kepada orang tuanya, apa lagi terhadap masyarakat.
Akibat dari tidak adanya agresifitas yang di miliki perempuan berimplikasi kepada diri perempuan itu sendiri seperti:
a.   Perempuan kurang percaya diri (self confidence) karena kemampuan mereka memang masih terbatas.
b.   Perempuan kurang berusaha merebut peluang.
c.   Perempuan kurang mendapat dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat apabila bekerja di sektor publik.
d.   Perempuan masih terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik.
e.   Perempuan masih kurang memiliki kemampuan manawar (bargaining).
f.    Perempuan masih terkungkung dalam tradisi misogonis; dan
g.   Perempuan masih di hadang oleh pemahaman dan penafsiran agama yang didominasi niali-nilai partiarki dan bias gender.

Proses pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan nilai-nilai, budaya, ataupun pandangan seringkali tidak disadari telah mengembangkan budaya ketidakadilan gender. Dalam pendidikan formal di sekolah misalnya, para pendidik baik guru maupun orang tua menganggap bahwa mereka telah telah memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan secara sama dan adil. Padahal guru dan orang tua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memperhatikan, apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, kurikulum yang diterapkan, termasuk kegiatan kurikulernya benar-benar terbebas dari bias gender? Ketidaktahuan guru ataupun orang tua dapat dipahami mengingat konsep gender masuk ke Indonesia relatif masih baru. Ketidakpekaan guru, termasuk guru perempuan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender juga dapat dimengerti, karena selama ini tidak ada keberanian untuk mendobrak kemapanan yang ada (Arifin, et.al. 2007: 241).

Pendidikan selain berfungsi untuk mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, juga berfungsi untuk mengubah perilaku menuju ke arah yang lebih baik. Pendidikan Islam yang seringkali ditempatkan pada posisi tertuduh sebagai lembaga yang melestarikan ketidakadilan gender, berkepentingan untuk menampilkan kembali rumusan keadilan gender dalam ajaran Islam. Tafsir, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami (Tafsir, 2008: 148-150) mengemukakan rumusan tentang gender dalam ajaran Islam sebagai berikut: 

a.   Konsep berpasangan
Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan itu berpasangan sebagai mitra sejajar dan bukan berhadapan. Rumusan ini merupakan kunci dalam memahami konsep gender dalam Islam yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang penting. Rumusan inilah yang kemudian melahirkan rumusan lain terkait dengan masalah hak dan kewajiban, keadilan, dan lain-lain antara laki-laki dan permpuan dalam rangka saling melengkapi dan saling menguatkan.


b.      Konsep gender dapat berubah
Gender dalam Islam termasuk perkara muamalah. Dalam urusan muamalah apa saja dapat dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Perubahan situasi menyebabkan perubahan konsep. Situasi sekarang sangat mendukung bagi perempuan untuk melakukan apa saja sebagaimana halnya laki-laki. Gender Islam merumuskan bahwa perempuan muslim boleh melakukan pekerjaan apa saja, bahkan boleh melakukan apa saja selama tidak menghilangkan atribut kemuslimahannya serta mampu melakukannya. 

c.   Konsep keadilan
Keadilan merupakan salah satu prinsip dalam ajaran Islam. Diskriminasi terhadap perempuan bertentangan dengan prinsip tersebut. Karena perbedaan sifat biologis dan psikologisnya, maka pembagian kerja secara proporsional antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kemampuannya merupakan bagian dari implementasi prinsip keadilan. Kesetaraan gender bukan berarti penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal, karena memang secara kodrati ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan perempuan tetapi tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan sebaliknya. Membebani seseorang di luar batas kemampuannya adalah perbuatan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Allah SWT telah berfirman :
لا  يكلّف  الله  نفسا  الاّ  وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan yang sesuai dengan kekuatannya”  (QS. al-Baqarah 286).
Perlu disadari bahwa pembagian kerja secara proporsional tersebut sama sekali tidak terkait dengan tinggi rendahnya derajat laki-laki atau perempuan. Pada dasarnya Islam membenarkan laki-laki ataupun perempuan untuk melakukan pekerjaan apa saja selama yang bersangkutan sanggup melaksanakannya serta tidak melanggar aturan Allah SWT.

Konsep gender seperti tersebut di atas ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Konsep gender dari sumber lain dapat juga diajarkan di sekolah-sekolah. Biarlah peserta didik menentukan sendiri, konsep gender mana yang lebih layak untuk dianutnya. Mungkin saja konsep ini dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran agama, biologi, kesehatan, atau mata pelajaran yang lain.

E.  KESIMPULAN

1    Gender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Makna ini kemudian mengalami pergeseran menjadi sebuah istilah semenjak diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sesudah itu istilah gender terus berkembang, dan banyak ahli telah mendifinisikan istilah tersebut. Dari berbagai definisi gender yang telah dikemukakan para ahli dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
2.   Dalam pandangan Islam semua manusia memiliki derajat, kedudukan, dan kesempatan yang sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada kesenjangan gender, tidak ada pula pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Manusia mana saja, tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, yang paling bertakwa di antara mereka, itulah manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT. Perlu disadari bahwa kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Pembagian tugas secara proporsional dimaksudkan agar tidak ada pihak yang terzhalimi, atau agar tidak ada pihak yang harus memikul beban diluar kesanggupannya, karena yang demikian itu tidak adil serta tidak manusiawi dan bertentangan dengan ajaran Allah SWT.
3.   Pada tataran konsep tidak ditemukan ketidakadilan gender dalam pendidikan Islam. Bias gender yang terjadi  di dunia pendidikan Islam lebih disebabkan karena adanya pengaruh budaya patriarki feodalistik yang lebih mengedepankan peran laki-laki daripada perempuan.  Keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat pada masanya. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia pada posisi yang sejajar, tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Transformasi budaya yang bias gender itu terus berkembang melalui proses pendidikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender. Selayaknya dunia pendidikan Islam mulai memikirkan dan berusaha menampilkan sistem pendidikan yang berbasis kesetaraan gender berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.

                              و الله أعلم  بالصّواب












DAFTAR REFERENSI

Tobroni, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme. Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM).
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Putra.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1996. Gender dalam Persfektif Islam:Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ismail, Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bakti Aksara Persada.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 1992. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuryanto, Agus. 2001. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender. Jogjakarta: UII Press.
Neufelt,Victoria. 1984. Websters New World Dictionary. New York: Websters New World Clevenlan.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Santi, Budie. 2002. Perempuan dalam Kitab Fikih, dalam Jurnal Perempuan 23. Jakata Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.  cet. I. Bandung: Genesindo.  
Syah, Muhibin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tiemey, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encyclopedia, vol. I . New York: Green Wood Press.
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember
Umar, Nasaruddin. 1999.  Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, cet. I Jakarta: Paramadina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar