GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Ribut Purwo Juono,
S.Ag.,M.Pd.I.
A. PENDAHULUAN
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender telah
memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian masyarakat
membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi
pembagian kerja tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas
kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran
laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya yang mengedepankan
dominasi kaum laki-laki.
Al-Qur’an merupakan kitab suci pertama yang memberikan
martabat kepada perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh
peradaban besar seperti Byzantium
dan Sassanid. Kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam
masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan, dan lain-lain. Masa Nabi
SAW adalah masa yang ideal bagi kehidupan perempuan. Mereka dapat
berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum
laki-laki (Nuryanto, 2001: 61). Jika kemudian terjadi perlakuan tidak adil
terhadap perempuan dengan mengatasnamakan Islam, atau tuduhan adanya
ketidakadilan gender dalam ajaran Islam, maka pemahaman, perlakuan, dan tuduhan
semacam itu perlu dipertanyakan kebenarannya.
Terkait dengan pendidikan Islam yang secara sederhana
dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran
Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits, seharusnya terbebas
dari prinsip-prinsip ketidakadilan dalam segala hal termasuk ketidakadilan
gender. Dengan kata lain konsep pendidikan Islami yang sebenarnya mengandung
makna konsep nilai yang bersifat universal seperti adil, manusiawi, terbuka,
dinamis, dan seterusnya sesuai dengan sifat dan tujuan ajaran Islam yang
otentik sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ciri otentisitas ajaran Islam adalah bersifat
menyeluruh (holistik), adil, dan seimbang. Jika pada masa Rasulullah SAW
merupakan masa yang paling ideal bagi kehidupan perempuan, di mana mereka dapat
berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum
laki-laki, maka dalam konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada al-Qur’an
dan al-Hadits seharusnya tidak akan dijumpai adanya ketidakadilan gender dan
perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam pandangan Islam, semua
orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama
serta seimbang termasuk hak dan kesempatan dalam memperoleh dan dalam urusan
pendidikan. Hal ini sangat kontradiktif dengan anggapan atau tuduhan sebagian
orang yang menyatakan bahwa ajaran Islam dan pendidikan Islam banyak diwarnai
oleh ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Tulisan ini akan membahas gender dan pendidikan Islam.
Oleh karena luasnya permasalahan yang menyangkut gender dan pendidikan Islam
tersebut, maka dalam hal ini penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas
hanya pada persoalan: Apa itu gender? Bagaimana pandangan Islam tentang gender?
Bagaimana pula gender dalam pendidikan Islam?
B. PENGERTIAN GENDER
Kata
Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (Echols, 1983: 265). Dalam Webster’s New World
Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. (Neufald, 1984: 561).
Kata gender menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins
dalam bahasa Arab, sehingga jika seseorang menyebut gender maka yang dimaksud
adalah jenis kelamin. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke
dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, Istilah ini menjadi
sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian
gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati
perempuan. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968)
untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik
biologis. Stoller mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut
yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nugroho,
2008: 2-3). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (Tiemey, tt: 153).
Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan
gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng
pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita
adalah feminim atau maskulin. (Mosse, 1996: 3).
Suke
Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara
laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam
rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan
sosial. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu,
alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang
dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Zaitunah Subhan mengemukakan
bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk
menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena
konstruksi sosial budaya. (Dzuhayatin, 1996: 23).
Pengertian
yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa
gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi
perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa
sosial. (Umar, 1998: 99).
Kata gender
belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah
tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental
dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
tetap bagi laki-laki dan perempuan. (Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, 1992: 3).
Dari
berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut,
peringkat, karakteristik, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Gender dalam
arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya
sesuatu yang bersifat kodrati. Adapun konsep kesetaraan gender adalah
konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut,
peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk
mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang lebih egaliter. Jadi, konsep
kesetaraan gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan pengukuran (measure) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam kehidupan masyarakat. Konsep kesetaraan gender
bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.
Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan adalah pihak
perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasannya untuk
mengejar kesetaraan gender dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan
karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir,
bertindak, berperan, dan berperilaku dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Ketika
fakta telah ditemukan, bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam
masyarakat berakar pada pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan, maka
perlu adanya usaha untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal
ini tidak dilakukan, proses perendahan martabat kemanusiaan dalam masyarakat
akan berlangsng terus menerus. Salah satu usaha yang perlu ditekankan adalah
bagaimana membuka wawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan
dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk tatanan
masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi (Arifin,
et.al. 2007: 228).
C. KONSEP GENDER DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan
perempuan terbangaun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena
itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan
dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja,
tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits
khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki.
Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan
untuk menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak
kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak
menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam
ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan
dengan masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan
lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat
di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau
keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar
itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur
dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap
Allah SWT. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti
yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula
seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran
Islam (al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta
penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada
laki-laki. Allah SWT telah berfirman:
يا أيّها النّاس اتّقوا
ربّكم الّذى خلقكم مّن نفس وّاحدة وّ خلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا وّ
نسآء وّ اتّقوا الله الّذى تسآءلون به و الأرحام انّ الله كان عليكم رّقيبا (النّساء
1)
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama lain, dan
peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan
mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).
يا ايّها النّاس إنّا
خلقناكم مّن ذكر وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله
أتقاكم إنّ الله عليم خبير (الحجات 13)
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah
yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujurat 13).
من عمل صالحا من ذكر أو
أنثى وهو مؤمن فلنحيينّه حيوة طيّبة وّ لنجينّهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل 97)
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik
laki-laki ataupun perempuan, sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka
sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami
balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An-Nahl 97)
Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam
(al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan
perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama
(jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku
dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling
memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,
warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik
(kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya.
Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan
tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan
diluar kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah
penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan
dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama
sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas
secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Sesuai dengan
kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan
kekuatan yang berbeda. Ada
jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya
sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa
dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang membutuhkan
kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan kepada
perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh
perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada dasarnya,
perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka sanggup
mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus dibebani
dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar
prinsip keadilan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk
berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah berdiri sama
tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu dengan yang
lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk saling
berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki atas
perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang
gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah
gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan
gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek
ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus
melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek
tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal demikian tidak
dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang pembagian warisan yang
dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an, bahwa anak
laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan.
Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak
adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi
epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain
yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada
pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka
yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara
komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada
ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan
persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.
D. GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam
Orang-orang yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum
Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha untuk membantu manusia
menjadi manusia (Tafsir, 2008: 33) atau usaha untuk memanusiakan manusia.
Seseorang dapat dikatakan telah manjadi manusia apabila memiliki sifat-sifat
(nilai) kemanusiaan seperti, memiliki kemampuan mengendalikan diri, memiliki
rasa cinta dan kasih sayang, memiliki pengetahuan, dan sebagainya. Dalam hal
ini pendidikan bersifat membantu atau menolong dan bukan mencetak atau
menjadikan. Hal demikian karena pada diri manusia itu sesungguhnya telah ada
potensi-potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan, di samping ada juga
potensi-potensi yang tidak manusiawi yang tentu saja tidak perlu dikembangkan.
Pendidikan
ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya
menumbuhkembangkan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal
(hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang
terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. (Syah. 2008:
36).
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pasal 1 ayat1 pendidikan ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama
atau insan kamil (Marimba, 1989:
19).
Ramayulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam dengan
mengemukakan pendapat al-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan Islam
adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan melalui
pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara
sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat (Ramayulis, 2009: 88).
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik
yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang
harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.
Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi
yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai
khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah
untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi
kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi
kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir
dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan
dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia ke arah yang lebih
baik dan lebih sempurna.
2. Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam bersifat integral, utuh, dan
serba meliputi. Nilai-nilai dasar Islam terpadukan dan terintegrasikan ke dalam
ruang dan gerak aktivitas pendidikan pada semua pola, level dan tingkatan
(Ismail, 2003: 10-11). Sifat integralistik dan karakteristik keserbaliputan
sistem pendidikan Islam secara sistematis dan strategis dapat dirangkum sebagai
berikut:
a. Sistem
pendidikan Islam tidak memisahkan nilai-nilai moral dan Ketuhanan dari
nilai-nilai hidup keduniawian ( QS. al-Ikhlas 1-5).
b. Totalitas
sistem pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan
dunia dan kepentingan akhirat (. Al-Qashash 77).
c. Sistem
pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan akal (intelektual) dan
pendidikan moral spiritual. Nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai moral
spiritual mendapat tempat yang serasi dan wajar dalam rancang-bangun sistem
pendidikan Islam. Islam menekankan pola keseimbangan antara kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional.
d. Keseluruhan
bangunan visi, orientasi, dan misi pendidikan Islam bertujuan untuk
menyeimbangkan antara prinsip-prinsip kepentingan individu, perorangan, dan masyarakat
agar pola-pola hubungan dan azas tatanan sosial Islami yang ada dalam kehidupan
masyarakat dapat terbina dan terjaga dengan baik.
e. Sistem
pendidikan Islam bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar komitmen ajaran hablun
min Allah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun min al-nas (hubungan
manusia dengan sesama manusia) dalam konstruk keseimbangan atas dasar paradigma
idealitas Ilahiyah dan realitas insaniyah.
f. Sistem
pendidikan Islam sesuai dengan arah, visi dan misinya yang komprehensif, sinergis
dan terpadu sangat menghargai pencapaian pola keseimbangan pendidikan jasmani
dan rohani. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya
terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani yang keduanya memerlukan
latihan dan pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta fondasai susunan
rohani yang sehat dan bangunan rohani yang kuat dalam pembinaan integritas
kepribadian dan pertumbuhan karakter yang baik dalam diri peserta didik.
3. Konsep Pendidikan Islam
Secara garis besar, prinsip-prinsip konseptual
pendidikan Islam dapat diterangkan sebagai berikut:
a. Islam
menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah dan kewajiban agama di mana
proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses pencarian ilmu menjadi
fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan
ini Rasulullah SAW menyatakan bahwa menuntut ilmu (tentu saja di dalamnya
terkait dengan proses belajar mengajar, proses pembelajaran, dan proses
pendidikan) adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.
b. Seluruh
pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam merupakan ibadah kepada
Allah SWT (QS. al-Dzariyaat 56). Iman harus dibuktikan dengan amal dan agar
dapat beramal dengan benar setiap orang harus berilmu. Pendidikan merupakan
kewajiban individual (baik laki-laki maupun perempuan) dan kolektif yang
pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal, non formal dan informal
sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Karena
bernilai ibadah, pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman
nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku dan kepribadian
para peserta didik.
c. Islam
memberikan posisi dan derajat yang tinggi kepada orang-orang terdidik,
terpelajar, sarjana, dan ilmuwan (QS. al-Mujadalah 11) dan menyerukan agar
bertanya kepada orang-orang yang berilmu (ilmuwan dan pakar) tentang sesuatu
yang tidak diketahui (QS. al-Nahl 43). Pendidikan memainkan peranan penting dan
kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang terdidik, terpelajar,
intelektual, ilmuwan, pakar, dan sarjana.
d. Seluruh
proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur
ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat, tidak mengenal batas umur (long
life education). Rasulullah SAW bersabda:
أطلبوا العلم من المحد الى
اللّحد
“Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga
ke liang lahad.”
e. Seluruh
proses pembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam bersifat
dialogis, inovatf, dan terbuka. Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan
yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja, baik dari timur
maupun dari barat sepanjang hal itu bermanfaat bagi intensitas peningkatan
bobot kreativitas dan pencerahan intelektualitas umat manusia.
Berdasarkan konsep Islam tentang manusia, yang kemudian
diaplikasikan ke dalam konsep pendidikan Islam, tampaklah bahwa sesungguhnya
pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang berkeseimbangan. Prinsip
keseimbangan tersebut merupakan ciri khas pendidikan Islam. Keseimbangan antara
jasmani dan rohani, individu dan masyarakat, dunia dan akhirat, intelektual dan
emosional, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
2. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
Pada tataran
konsep yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebenarnya tidak
ditemukan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam maupun pendidikan
Islam. KH. Husein Muhammad, seorang kyai dari Cirebon yang gigih mengkaji masalah
kesetaraan gender dalam kitab fiqih, mengatakan bahwa interpretasi keunggulan
laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi masyarakat saat itu.
Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap
ayat-ayat yang ada. Pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia tanpa
mengkotak-kotakkannya. Hal tersebut telah banyak ditegaskan dalam al-Qur’an,
antara lain:
يا ايّها النّاس إنّا خلقناكم مّن ذكر
وّ أنثى وجعلناكم شعوبا وّ قباءل لتعارفوآ إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله
عليم خبير (الحجات 13)
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah
yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujurat 13).
Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Allah
menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Karenanya tidak ada
alasan untuk menempatkan peranan perempuan di bawah posisi dan peranan
laki-laki (Santi, 2002: 52).
Jika pada masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi
kehidupan perempuan, maka sepeninggal beliau SAW banyak terjadi perubahan besar
dalam struktur masyarakat Islam.
Perubahan itu berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi
sistem monarki yang absolut. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis
muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum lelaki yang sebelumnya telah
dilindas oleh reformasi Islam yang berlangsung ketika Nabi masih hidup (Santi,
2002: 53). Hal demikian ini pada gilirannya berimbas bahkan telah mewarnai
dunia pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang strategis
dalam mentransformasikan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Budaya
yang bias gender dapat berkembang dan tetap ada tidak lepas dari proses pendidikan
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di
masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui
proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender
(Arifin, et. al. 2007: 241). Demikian
pula halnya yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam. Sistem patriarki yang
feodalistik dan hirarkis, yang muncul kembali untuk mengembalikan status quo
kaum laki-laki sesudah wafatnya Rasulullah SAW terus berlangsung dalam proses
transformasi budaya melalui dunia pendidikan Islam.
Penentuan
peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan
biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi
species antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh
perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan
berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara
laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia
lebih agresif dan lebih obyektif (Umar, 1999: 4).
Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun
sosiologis yang berimplikasi pada unequal gender bias (bias
ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu
dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah
masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan.
Namun, ketika hal itu melahirkan suatu struktur masyarakat yang menimbulkan
adanya pihak yang dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi
pada konstruksi sosial, maka timbullah permasalahan tersebut. Konstruksi sosial
akibat miss understanding gender menyebabkan masalah-masalah unequal dan
unbalance opportunity terhadap perempuan.
Kesenjangan
pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap
bidang-bidang yang lain. Di Indonesia, kesenjangan gender terlihat hampir di
semua sektor kehidupan, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat,
sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan dan
lain-lain. Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin
perempuan, maka secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal.
Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib
belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan
terhadap peningkatan peran perempuan.
Ketimpangan
gender dalam konteks Indonesia
dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka statistik
kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk
perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih
tinggi daripada laki-laki lulusan SD yakni 32,5%. Perempuan yang berpendidikan
SLTP 13%, sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu
sebesar 15%. Penduduk perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih
rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara
itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih
lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%. (Suryadi,
2004: 19). Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa masih
terlihat adanya ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia.
Kondisi ini tampak jelas dalam kenyataan bahwa tingkat pendidikan perempuan
pada umumnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki, padahal
jumlah penduduk perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk
laki-laki.
Kesenjangan
gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok
usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun
2001, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk
laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%.
Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sudah
mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan
hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni (APM)
untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan
masih lebih rendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan
(Suryadi, 2004: 20).
Kompetensi
diri, kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu merupakan salah satu
unsur yang harus di miliki oleh perempuan, apabila tidak memiliki kekuasaan
terutama dalam diri sendiri, maka akan berimplikasi kepada ketidak berdayaan
untuk melakukan kekuasaan. Kompentensi diri sangat di tentukan oleh tingkat
pendidikan, apabila pendidikan perempuan itu relatif rendah maka kemampuan untuk
berkompetisi rendah, dan aksesnya juga menjadi rendah. Kurangnya kompetensi dan
kemampuan berkompetisi pada perempuan sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan mereka yang relatif masih rendah.
Pada masa
kecil perempuan dituntut untuk menahan amarah atau ketidaksepakatan demi menyenangkan
orang tua. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk tidak mengemukakan pendapat sendiri,
sementara itu yang di beri kebebasan adalah saudara laki-laki, maka pada
umumnya perempuan tidak tahu bagaimana mengelola amarah yang sifatnya negatif,
menjadi agresif positif, ketidakmampuan menahan diri ketika dilanda
kesengsaraan, dan menyampaikan apa yang sesungguhnya mereka inginkan dalam
pesan yang jelas terutama kepada orang tuanya, apa lagi terhadap masyarakat.
Akibat
dari tidak adanya agresifitas yang di miliki perempuan berimplikasi kepada diri
perempuan itu sendiri seperti:
a. Perempuan kurang percaya
diri (self confidence) karena kemampuan mereka memang masih terbatas.
b. Perempuan kurang berusaha
merebut peluang.
c. Perempuan kurang mendapat
dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat apabila bekerja di sektor
publik.
d. Perempuan masih
terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik.
e. Perempuan masih kurang
memiliki kemampuan manawar (bargaining).
f. Perempuan masih terkungkung
dalam tradisi misogonis; dan
g. Perempuan masih di hadang
oleh pemahaman dan penafsiran agama yang didominasi niali-nilai partiarki dan
bias gender.
Proses
pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan nilai-nilai,
budaya, ataupun pandangan seringkali tidak disadari telah mengembangkan budaya
ketidakadilan gender. Dalam pendidikan formal di sekolah misalnya, para
pendidik baik guru maupun orang tua menganggap bahwa mereka telah telah
memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan secara sama dan adil. Padahal
guru dan orang tua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memperhatikan,
apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, kurikulum yang diterapkan,
termasuk kegiatan kurikulernya benar-benar terbebas dari bias gender?
Ketidaktahuan guru ataupun orang tua dapat dipahami mengingat konsep gender
masuk ke Indonesia
relatif masih baru. Ketidakpekaan guru, termasuk guru perempuan terhadap
kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender juga dapat dimengerti, karena
selama ini tidak ada keberanian untuk mendobrak kemapanan yang ada (Arifin,
et.al. 2007: 241).
Pendidikan
selain berfungsi untuk mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya, juga berfungsi untuk mengubah perilaku menuju ke arah yang lebih
baik. Pendidikan Islam yang seringkali ditempatkan pada posisi tertuduh sebagai
lembaga yang melestarikan ketidakadilan gender, berkepentingan untuk
menampilkan kembali rumusan keadilan gender dalam ajaran Islam. Tafsir,
dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami (Tafsir, 2008: 148-150)
mengemukakan rumusan tentang gender dalam ajaran Islam sebagai berikut:
a. Konsep berpasangan
Dalam
ajaran Islam laki-laki dan perempuan itu berpasangan sebagai mitra sejajar dan
bukan berhadapan. Rumusan ini merupakan kunci dalam memahami konsep gender
dalam Islam yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang penting. Rumusan
inilah yang kemudian melahirkan rumusan lain terkait dengan masalah hak dan
kewajiban, keadilan, dan lain-lain antara laki-laki dan permpuan dalam rangka
saling melengkapi dan saling menguatkan.
b.
Konsep
gender dapat berubah
Gender
dalam Islam termasuk perkara muamalah. Dalam urusan muamalah apa saja dapat
dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Perubahan situasi
menyebabkan perubahan konsep. Situasi sekarang sangat mendukung bagi perempuan
untuk melakukan apa saja sebagaimana halnya laki-laki. Gender Islam merumuskan
bahwa perempuan muslim boleh melakukan pekerjaan apa saja, bahkan boleh
melakukan apa saja selama tidak menghilangkan atribut kemuslimahannya serta
mampu melakukannya.
c. Konsep keadilan
Keadilan
merupakan salah satu prinsip dalam ajaran Islam. Diskriminasi terhadap
perempuan bertentangan dengan prinsip tersebut. Karena perbedaan sifat biologis
dan psikologisnya, maka pembagian kerja secara proporsional antara laki-laki
dan perempuan sesuai dengan kemampuannya merupakan bagian dari implementasi
prinsip keadilan. Kesetaraan gender bukan berarti penyamarataan antara
laki-laki dan perempuan dalam segala hal, karena memang secara kodrati ada
hal-hal yang hanya bisa dilakukan perempuan tetapi tidak bisa dilakukan oleh
laki-laki dan sebaliknya. Membebani seseorang di luar batas kemampuannya adalah
perbuatan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Allah SWT telah berfirman :
لا يكلّف
الله نفسا الاّ
وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan yang
sesuai dengan kekuatannya” (QS.
al-Baqarah 286).
Perlu disadari bahwa pembagian kerja
secara proporsional tersebut sama sekali tidak terkait dengan tinggi rendahnya
derajat laki-laki atau perempuan. Pada dasarnya Islam membenarkan laki-laki
ataupun perempuan untuk melakukan pekerjaan apa saja selama yang bersangkutan
sanggup melaksanakannya serta tidak melanggar aturan Allah SWT.
Konsep
gender seperti tersebut di atas ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah. Konsep gender dari sumber lain dapat juga diajarkan di
sekolah-sekolah. Biarlah peserta didik menentukan sendiri, konsep gender mana
yang lebih layak untuk dianutnya. Mungkin saja konsep ini dapat dimasukkan ke
dalam mata pelajaran agama, biologi, kesehatan, atau mata pelajaran yang lain.
E. KESIMPULAN
1 Gender secara etimologis
berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Makna ini kemudian
mengalami pergeseran menjadi sebuah istilah semenjak diperkenalkan oleh Robert
Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada
pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal
dari ciri-ciri fisik biologis. Sesudah itu istilah gender terus berkembang, dan
banyak ahli telah mendifinisikan istilah tersebut. Dari berbagai definisi
gender yang telah dikemukakan para ahli dapat disimpulkan bahwa gender adalah
suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti
ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya
sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan untuk
mengidentifikasi peran, relasi, atribut, peringkat, karakteristik, serta
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menempatkan posisi setara
antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang
lebih egaliter.
2. Dalam pandangan Islam
semua manusia memiliki derajat, kedudukan, dan kesempatan yang sama di hadapan
Allah SWT. Tidak ada kesenjangan gender, tidak ada pula pembedaan antara
laki-laki dan perempuan. Manusia mana saja, tidak peduli apakah laki-laki atau
perempuan, yang paling bertakwa di antara mereka, itulah manusia yang paling
mulia di sisi Allah SWT. Perlu disadari bahwa kesetaraan gender dalam ajaran
Islam bukanlah penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.
Adanya perbedaan dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam
ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan
pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan.
Pembagian tugas secara proporsional dimaksudkan agar tidak ada pihak yang
terzhalimi, atau agar tidak ada pihak yang harus memikul beban diluar
kesanggupannya, karena yang demikian itu tidak adil serta tidak manusiawi dan
bertentangan dengan ajaran Allah SWT.
3. Pada tataran konsep tidak
ditemukan ketidakadilan gender dalam pendidikan Islam. Bias gender yang
terjadi di dunia pendidikan Islam lebih
disebabkan karena adanya pengaruh budaya patriarki feodalistik yang lebih
mengedepankan peran laki-laki daripada perempuan. Keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak
bisa lepas dari kondisi masyarakat pada masanya. Budaya masyarakat Arab yang
patriarkis juga berimbas pada penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun
pada dasarnya Allah sendiri telah menempatkan manusia pada posisi yang sejajar,
tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Transformasi budaya
yang bias gender itu terus berkembang melalui proses pendidikan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat
merupakan estafet dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses
pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender. Selayaknya
dunia pendidikan Islam mulai memikirkan dan berusaha menampilkan sistem
pendidikan yang berbasis kesetaraan gender berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
و الله أعلم
بالصّواب
DAFTAR REFERENSI
Tobroni,
dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, Civil Society, dan
Multikulturalisme. Malang:
Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM).
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta:
PT. Rineka Putra.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1996. Gender dalam Persfektif
Islam:Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam,
dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif
Islam, cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta:
Gramedia.
Ismail, Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bakti Aksara
Persada.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung:
Al-Ma’arif.
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan. 1992. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul Gender dan Pembangunan, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuryanto, Agus. 2001. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan
Gender. Jogjakarta:
UII Press.
Neufelt,Victoria. 1984. Websters New World
Dictionary. New York: Websters New World Clevenlan.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Kalam
Mulia.
Santi, Budie. 2002. Perempuan dalam Kitab Fikih,
dalam Jurnal Perempuan 23. Jakata Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan. cet. I. Bandung:
Genesindo.
Syah, Muhibin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Tiemey, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encyclopedia, vol. I
. New York:
Green Wood Press.
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam, jurnal
Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, cet. I Jakarta: Paramadina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar