A. PENDAHULUAN
Masalah pendidikan memang tidak akan pernah selesai
untuk dibicarakan. Dinamika perubahan dan perkembangan zaman senantiasa
memunculkan berbagai persoalan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, tidak
terkecuali dunia pendidikan Islam. Oleh karenanya, perlu adanya usaha
pemberdayaan secara terus menerus dan berkesinambungan yang antara lain dapat
dilakukan melalui pengembangan sistem dan inovasi pembelajaran.
Tulisan ini akan menampilkan beberapa karya inovasi
dengan mengemukakan ikhtisar beberapa buku dan artikel yang telah di tulis oleh
para ahli dan pemerhati pendidikan terkait dengan pengembangan sistem dan
inovasi pembelajaran. Selain itu akan dikemukakan pula analisis kritis terhadap
pengembangan sistem dan inovasi pembelajaran PAI dalam praktik pendidikan Islam
di Indonesia pada pondok pesantren. Perlu diketahui bahwa ikhtisar buku dalam
tulisan ini bukanlah mengikhtisarkan keseluruhan isi masing-masing buku,
melainkan hanya beberapa bab yang diperlukan dari masing-masing buku.
B.
IKHTISAR
BUKU DAN ARTIKEL INOVASI PEMBELAJARAN SERTA IMPLIKASINYA DALAM INOVASI
PEMBELAJARAN PAI DI INDONESIA.
1. Ikhtisar Buku
a. The Meaning of
Educational Change (karya Michael Fullan)
Dalam buku ini, pada bab 14 (Professional Perparation
and Professional Development)[1]
dibahas tentang pembaharuan pendidikan. Penulis menekankan bahwa pembaharuan
pendidikan hendaknya dimulai dari perbaikan kualitas guru. Misalnya seorang
guru harus memaksimalkan waktu yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan, dan pembelajaran teori hendaknya
diseimbangkan dengan pembelajaran praktik sehingga dapat menunjang pemahaman
siswa tentang pengetahuan yang diajarkan tersebut.
Seorang guru harus memiliki hubungan individual yang
baik dengan komunitasnya serta kepada lingkungan yang lebih luas. Hal ini
sangat penting untuk merefleksi, mengobservasi, mendiskusikan serta
merencanakan sistem pembelajaran yang tepat dan relevan dengan kebutuhan dan
kondisi yang dihadapi siswa dalam masyarakat.
Untuk mengimplementasikan perubahan pendidikan, guru
harus mampu menyesuaikan potensi siswa yang berbeda satu sama lain untuk
mencetak output yang berkualitas. Adapun output yang berkualitas dalam konteks
ini adalah lulusan yang memiliki suatu basic skill tertentu, yang dapat
diandalkan untuk menunjang kehidupannya kelak. Penulis merumuskan beberapa hal
yang dapat menunjang keberhasilan suatu lembaga pendidikan untuk mencetak
lulusan dengan basic skill tertentu, diantaranya: (1) Dalam sekolah
formal disisipkan kurikulum khusus tentang pendidikan profesional yang
ditangani oleh guru-guru profesional dalam berbagai bodang pendidikan. (2)
Kemampuan dan kecermatan guru dalam memahami dan mengarahkan siswa kepada bakat
dasar yang dimiliki. (3) Pendidikan pengembangan profesional dilakukan secara
intensif dengan waktu yang memadai, bahkan terkadang pendidikan diselenggarakan
diluar jam pendidikan formal.
Pada bab berikutnya (The Future of Eucational Change)[2]
pembahasan dimulai dengan penjelasan antara
masalah tujuan akademik (cognitif) dengan tujuan pengembangan sosial
individual. Tujuan cognitif menekankan pada kemahiran dalam menggunakan
pengetahuan dan alat-alat intelektual dalam memperoleh dan menginterpretasikan
informasi. Sedangkan tujuan pengembangan kemampuan sosial individual adalah
untuk membekali siswa dengan kemahiran bekerja dan hidup dalam suatu komunitas.
Kemahiran semacam ini dapat berupa skill bekerja dan skill hidup, kemandirian,
kreatif, empati, inisiatif, interpersonal skill dan kecenderungan dalam memilih
jalan hidup.
Inti pemikiran dalam bab ini adalah rekomendasi penulis
bahwa kurikulum sekolah hendaknya tidak terlalu melangit atau sebatas pembelajaran
teori semata, tetapi harus lebih membumi dalam arti bagaimana suatu kurikulum
yang diajarkan tersebut dapat lebih berperan mempersiapkan siswa dalam
menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan di tengah-tengah
masyarakat yang selalu berubah.
Akhirnya, apa yang dapat diharapkan dari sebuah sistem
pendidikan? Yang paling diharapkan adalah output pendidikan harus bisa menjadi
representasi yang memotori implementasi dari prinsip-prinsip perubahan sosial.
b. The
Foundations of Educational Effectiveness (karya Jaap Scheerens dan Roel J.
Bosker).
The Conceptual Map of School Effectiveness (bab 1)[3] membahas
mengenai efetivitas pendidikan. Efektivitas pendidikan dapat dilihat dari
esensi suatu konsep kausal, yang berarti bahwa output pendidikan sangat
dipengaruhi hubungan sebab-akibat dari komponen-komponen pendidikan yang telah
ditetapkan. Ada
tiga jenis komponen yang disebutkan dalam konteks ini, yaitu peraturan yang
dipakai, bentuk atau model pembelajaran yang diterapkan, serta fungsi dan mekanisme
yang dijalankan.
Bentuk atau model pendidikan dideskripsikan dengan
menggunakan beberapa kategori penting berdasarkan anatomi organisasi sebagai
suatu dasar bekerja dengan sistem
jaringan yang saling terkait dan saling bergantung antara satu dengan
yang lainnya. Adapun unsur-unsur jaringan tersebut adalah: (1) Tujuan, yang
merupakan karakteristik paling utama, karena tujuan yang ingin dicapai
merupakan penentu proses operasional suatu sistem pendidikan. (2) Struktur
posisi dalam organisasi, yang termasuk di dalamnya adalah menejemen fungsi.
Struktur ini menjadi penggerak dan perangkat dari fungsi hubungan yang
mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang akan dicapai. (3) Sruktur
prosedur, struktur ini menyangkut proses pembuatan keputusan, prosedur perencanaan,
formasi kebijakan dan kordinasi. (4) Dimensi budaya. Dalam aspek organisasi
budaya dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu substansi budaya, homogenitas budaya,
dan kekuatan budaya yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam suatu
organisasi pendidikan. (5) Lingkungan, dan (6) Proses primer, yaitu proses
transformasi input ke output atau implementasi teori ke praktik.
Beberapa kategori di atas merupakan bidang yang
masing-masing memegang peranan penting dalam mempengaruhi efektivitas pendidikan.
Berdasarkan penelitian, tampaknya struktur prosedur, budaya dan kondisi
instruksional telah mendapatkan perhatian yang paling besar dalam konteks
efektivitas pembelajaran formal.
Pada bab 2 (Modeling Educational Effectiveness)[4]
dibahas beberapa model konseptual yang mendorong atau yang melatarbelakangi
efektivitas pendidikan, yaitu: (1) Pendekatan ekonomi yang difokuskan pada
fungsi produksi pendidikan, (2) pendekatan psikologi pendidikan yang digunakan
untuk mengefektifkan instruksi dan kondisi pembelajaran, serta (3) pendekatan educationalist-generalist
untuk mengintegrasikan model-model efektivitas dalam sistem pembelajaran
multilevel.
Pada bab-bab buku ini secara keseluruhan menjelaskan
tentang bagaimana menejemen organisasi pendidikan dapat dimaksimalkan dengan
merekonstruksi standar efektivitas pembelajaran melalui observasi output dari
suatu lembaga pendidikan.
c. Rekonstruksi Pendidikan Islam (Karya Muhaimin)
Dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Pendidikan
Islam, Muhaimin mengemukakan tentang Memadukan Sekolah dan Pesantren
sebagai Upaya Membangun Akhlak yang Mulia (bab 5) dan Pengembangan
Interelasi PAI dan PKN di Madrasah (bab 6).[5]
Menurut penulis buku ini, sekolah-sekolah atau institusi
pendidikan pada saat ini perlu mengembangkan gagasan-gagasan yang cerdas dan
kreatif-inovatif dalam mengantisipasi berbagai tantangan kemajuan seperti
globalisasi di bidang budaya, krisis etika dan moral, masalah eskalasi konflik,
serta stigma keterpurukan bangsa yang berakibat kurangnya rasa percaya diri.
Pengembangan sekolah terpadu ke arah pemaduan sistem sekolah dan pesantren
untuk mencapai keunggulan, baik pada aspek akademik, non-akademik, maupun
karakter kepribadian yang kuat, kokoh dan mantab dalam diri peserta didik,
merupakan salah satu jawaban alternatif terhadap berbagai tantangan tersebut.
Peserta didik di sekolah terpadu diposisikan sebagai siswa sekaligus santri.
Internalisasi nilai-nilai religius dalam pembelajaran
dan pengintegrasiannya dalam segala kegiatan di sekolah menurut Muhaimin juga
bertolak dari berbagai alasan seperti adagium bahwa sains tanpa agama adalah
buta, dan agama tanpa sains adalah pincang/timpang. Saat ini dunia global
memasuki konflik yang lebih hebat, yaitu konflik antara peradaban Barat yang
sekuler dan peradaban Timur yang spiritual. Salah satu penyebabnya adalah
rasionalitas sains tidak mau membebaskan diri dari logika material, sedangkan logika
spiritual tidak tidak peduli pada realitas empirik ketika logika ini melakukan
ekstrapolasi (loncatan) ke wilayah terjauh menuju dunia metafisik (ketuhanan).
Dua logika tersebut bisa didamaikan jika realitas alam dan kemanusiaan
diletakkan dalam keutuhan autentiknya. Kesatuan autentik antara wilayah empirik
dan metafisik adalah keniscayaan, karena yang pertama sebagai medan dan ajang gerak naik memasuki wilayah
metafisik yang spiritual, dan yang kedua tak akan dikenal tanpa yang pertama.
Demikian pula yang pertama tak mempunyai nilai tanpa yang kedua.
Maka untuk mencapai itu semua kurikulum sekolah perlu
dikembangkan secara terpadu, dengan menjadikan ajaran dan nilai-nilai Islam
sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan mata pelajaran-mata
pelajaran umum, yang operasionalnya dapat dikembangkan dengan cara memasukkan
nilai-nilai akhlak mulia ke dalam semua mata pelajaran seperti IPA, IPS, PKN
dan sebagainya. Dengan demikian konsep dikotomi ilmu tidak terjadi. Adapun
model pembelajarannya dirancang melalui team work, yakni guru IPA, IPS atau
lainnya bekerja sama dengan guru pendidikan agama untuk menyusun desain pembelajaran
secara konkrit dan detail, untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya Muhaimin menegaskan adanya kaitan erat
antara mata pelajaran PAI dan PKN, maka dari itu penulis buku ini menawarkan
untuk melakukan interelasi kedua mata pelajaran tersebut. Seperti misalnya
dalam pendidikan agama, siswa diajarkan mencintai tanah airnya yang merupakan
sebagian dari iman, sedangkan dalam mata pelajaran PKN siswa juga diajarkan
untuk memiliki jiwa patriotisme yang tinggi terhadap tanah airnya.
PAI dan PKN, merupakan dua mata pelajaran
yang relatif dekat antara yang satu dengan lainnya. Kedua materi ini mempunyai
orientasi penekanan pada aspek pembinaan dan pengembangan kepribadian siswa yang
berakhlak mulia, beriman, bertaqwa kepada Allah SWT, sebagai warga negara yang
menyadari akan status, hak, dan kewajibannya. Dengan demikian, kedua kelompok
mata pelajaran tersebut memiliki orientasi yang hampir sama dan saling
melengkapi, yaitu sama-sama berorientasi pada pengembangan kepribadian. Dengan
demikian peserta didik diharapkan memiliki integritas kepribadian sebagai
seorang muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta berakhlak mulia sekaligus
sebagai warga megara Indonesia yang menyadari akan status, hak dan
kewajibannya. Integritas kepribadian merupakan salah satu syarat pokok bagi
calon pemimpin di masa depan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat. Kompetensi
sebagai seorang pemimpin tanpa dukungan moral atau intergitas, dapat
mengakibatkan seseorang mudah terjatuh pada tindakan yang merendahkan martabat
dirinya.
Hingga saat ini kesadaran
warga negara Indonesia akan hukum (sebagai bagian dari PKN) lebih banyak
dipengaruhi oleh sanksi dari dalam atau kontrol internal (sebagai peranan PAI),
sedangkan sanksi dari luar atau kontrol eksternal masih lemah. Karena itu, PKN
memerlukan kontribusi dari pendidikan agama Islam, demikian sebaliknya
pendidikan agama Islam memerlukan kontribusi dari PKN. Betapa kokohnya
kesadaran warga negara akan hukum itu jika dilandasi oleh kontrol internal dan
eksternal sekaligus, sebagai realisasi dari interelasi antara PAI dan PKN.
Karena kedekatan antara kedua
mata pelajaran tersebut, maka perlu di design model pembelajaran dan
pengembangan bahan ajar untuk menghubungkan antara satu kompetensi dasar atau
satu topik PAI dengan kompetensi dasar atau topik PKN. Mata pelajaran PAI dan
PKN, disamping mengembangkan aspek knowing (belajar untuk mengetahui),
juga menekankan aspek doing (belajar untuk mempraktekkan) dan being
(belajar untuk menjalani hidup sesuai dengan yang diketahui). Aspek doing dan
being dalam interelasi materi PAI dan PKN merupakan hal yang mendesak
untuk dilakukan, karena rendahnya moral dan iman bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam.
Ada faktor-faktor penting yang
harus diperhatikan dalam interelasi tersebut, yaitu (1) akademik (2) lingkungan
(3) pelatihan ibadah dan muamalat (4) model peran (5) pesantren kilat (6)
syarat kecakapan umum (7) program khusus non akademik.
Berbagai pendekatan dapat
ditempuh dalam rangka pencapaian interelasi tersebut antara lain adalah (1)
informative (2) dialogis (3) situasional (4) substitutive (5) kausalitas (6)
kontemplasi (7) pelatihan dan bimbingan secara continue (8) pendekatan
lain-lain seperti bermain peran, PHBI, PHBN. Pada tataran ini, guru PAI dan PKN
di harapkan mampu berimprovisasi dalam pendekatan yang cocok.
Dari berbagai pemaparan
diatas, dapat dipahami bahwa di antara tujuan buku ini adalah merekomendasikan
rekonstruksi kurikulum pada lembaga pendidikan untuk selalu menyeimbangkan pembelajaran
sains dengan spiritual, atau yang lazim dikatakan sebagai perpaduan antara ilmu
dunia dengan ilmu akhirat, karena keduanya harus berjalan beriringan, tidak
boleh salah satunya lebih menonjol, karena yang hendak dicapai adalah
tercapainya implementasi ajaran agama melalui cara-cara sains modern.
d. Inovasi Pendidikan (Karya Udin
Saefudin Sa’ud)
Bab 13 buku ini membahas
tentang Inovasi Pembelajaran Kompetensi.[6]
Dalam pembelajaran ini guru bertindak sebagai fasilitator. Pembelajaran
kompetensi lebih ditujukan untuk membelajarkan siswa atau ditujukan pada usaha
agar siswa mempelajari bahan pelajaran sabagai akibat perlakuan guru dalam
mengelola pembelajaran yang menekankan pada kemampuan dasar yang dimiliki oleh
siswa pada tahap pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran kompetnsi
menekankan pencapaian standar kompetensi yang diurai menjadi kemampuan dasar,
kemudian diurai lagi menjadi beberapa materi pelajaran yang cakupannya meliputi
beberapa indikator. Prinsip-prinsip pembelajaran kompetensi bertitik tolak dari
pengelolaan kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan suatu kondisi sehingga
terjadi proses belajar pada siswa dengan melibatkan berbagai aspek yang
mempoengaruhi, baik yang terdapat dalam diri siswa maupun sesuatu yang berada pada
lingkungan sekitarnya serta peranan guru.
Pembelajaran kompetensi
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pembelajaran lainnya (yang
bukan kompetensi) mengenai apa yang dipelajari, bagaimana proses
pembelajarannya, waktu belajar, dan kemajuan siswa secara individual.
Pengelolaan pembelajaran kompetensi harus mempertimbangkan pengelolaan ruang
kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan pembelajaran, strategi kegiatan
pembelajaran, serta sarana dan sumber belajar. Proses pembelajaran harus pula
memperhatikan tingkat kematangan belajar siswa.
Pada bab selanjutnya (bab 14) dikemukakan
pembahasan tentang Inovasi Pembelajaran Kontekstual.[7]
Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan
suatu model pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa pada setiap tahapan
pembelajaran dengan cara menghubungkannya dengan situasi kehidupan yang dialami
siswa sehari-hari sehingga pemahaman materi pembelajaran dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata. Karakteristik pembelajaran kontekstual ini meliputi;
pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, belajar
dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru, pengetahuan yang
diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk diyakini dan diterapkan,
mempraktikkan pengalaman dalam kehidupan nyata, dan melakukan refleksi terhadap
strategi pengembangan pengetahuan.
Tiga prinsip utama dalam
pembelajaran kontekstual yaitu; saling ketergantungan (interdependence),
diferensiasi (differentiation), dan pengorganisasian diri (self organization).
Perbedaan prinsip pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional
terutama dalam hal peranan siswa, peranan guru, proses pembelajaran, dan tujuan
belajar. Seluruh komponen pembelajaran kontekstual menekankan pada aktivitas
siswa sepenuhnya, baik fisik maupun mental. Selain menempatkan siswa sebagai
subjek, pembelajaran kontekstual juga selalu mempertimbangkan latar belakang
kehidupan, kemampuan, pengalaman belajar, pengelompokan belajar, dan tujuan
belajar. Adapun azas-azas yang sering juga disebut sebagai komponen-komponen
yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran kontekstual meliputi;
konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi,
dan penilaian nyata.
e. Hasil Telaah Bacaan (Rumusan)
Berdasarkan beberapa bacaan
tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa inovasi pembelajaran adalah ide
pembaharuan atau usaha untuk mengadakan perubahan dalam rangka mencapai hasil
yang lebih baik terkait dengan persoalan pembelajaran yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses
belajar pada peserta didik.
Inovasi pembelajaran hendaknya
dilakukan dengan berpijak pada tiga landasan pokok, yaitu; Pertama,
landasan filosofis terkait dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat. Hal ini
karena sistem nilai sangat erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang hendak
dicapai. Kedua, Landasan psikologis terkait dengan aspek kejiwaan dan
perkembangan peserta didik. Secara psikplogis peserta didik memiliki perbedaan
dalam hal bakat, minat, maupun potensi. Oleh karena itu pengembangan inovasi
pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi dan tahapan-tahapan perkembangan
psikologis peserta didik. Ketiga, Landasan Sosiologis dan teknologis
yang didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik dipersiapkan untuk dapat
berperan aktif dalam kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan
inovasi pembelajaran hendaknya memperhatikan masalah relevansi dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Berbagai pendekatan dapat ditempuh dalam melakukan pengembangan inovasi
pembelajaran, seperti pedekatan informative, dialogis, situasional,
substitutive, kausalitas, kontemplasi, pelatihan dan bimbingan secara continue,
dan sebagainya.
Adapun implikasinya bagi inovasi
pembelajaran Pendidikan agama Islam (PAI) di Indonesia, bahwa pembelajaran PAI
sebagai suatu proses harus dirancang, dikembangkan, dan dikelola secara
kreatif, dinamis, terpadu, dengan menggunakan pendekatan multi untuk
menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik.
Mengingat sedikitnya jam pelajaran PAI terutama di sekolah-sekolah umum,
hendaknya guru PAI berupaya secara cerdas untuk memasukkan nilai-nilai Islam
(moral) melalui matapelajaran PKN maupun mata pelajaran yang lain guna
menyeimbangkan pengembangan sistem pembelajaran pada aspek kognitif, afektif,
maupun psiko motorik pada siswa. Hal ini sejalan dengan upaya
menumbuhkembangkan insan cerdas komprehensip sebagai salah satu visi pendidikan
nasional, yakni cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual,
dan cerdas kinesetis yang juga merupakan manifestasi kemuliaan budi pekerti (makarimal
akhlaq).
2. Ikhtisar Artikel/Jurnal
a. Reconstruction of The Teacher Education System in China,
karya Xudong Zhu dan Xue Han: International Education Journal, 2006,
7(1), 66-73 (http://ehlt.flinders.edu.au/education/iej/v7n1/zhu/paper.pdf)
Artikel
ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebuah sistem kerja konseptual untuk
menguji perkembangan sistem pendidikan guru di China di era sekarang ini
(kontemporer). Berdasarkan cara kerja tersebut, ada tiga masa perkembangan yang
disebut dengan era Shifan, era post-Shifan, dan era pendidikan guru
professional. Ketiga hal tersebut dapat ditelusuri dalam lingkungan
pemerintahan, struktur institusional, dan alokasi sumber. Pada pusat
pemerintahan, desentralisasi kontrol managerial meliputi bidang pendidikan. Isu
pemerintah mengenai pendidikan guru menjadi sangat signifikan pada era
post-Shifan. Pada akhir masa pendidikan guru professional, pemerintah
menetapkan bahwa program perbaikan pendidikan guru hendaknya dijadikan sasaran
jangka panjang dan menjadi bagian dari proses reformasi sistem pendidikan di China.
Di China,
akhir sistem pendidikan guru yang lama telah menjelma ke banyak sistem terbuka untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan guru dan kualitasnya, agar
mampu merespon kebutuhan masyarakat akan perlunya mempersiapkan pemenuhan bakat
dan keahlian siswa untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan ekonomi pasar global pada masa mendatang
dengan reorganisation melalui institusi pendidikan yang lebih tinggi. Seruan
untuk melakukan rekonstruksi sistem pendidikan guru mengarah pada penetapan
sistem baru yang telah digolongkan pada program pemondokan pendidikan guru oleh
institusi seperti universitas, dan dilaksanakan menurut standard akreditasi dan
kurikulum nasional. Dalam artikel ini penulis menyarankan bahwa sasaran jangka
panjang perbaikan pendidikan guru ditekankan untuk mendidik para calon guru di
sekolah profesional atau institusi pendidikan pada (level) universitas.
Akan
tetapi, beberapa surat
protes kerap kali didapati dalam proses memperbaiki sistem pendidikan guru. Perbedaan
ekonomi yang sangat besar antara satu daerah dengan daerah lainnya menjadi
faktor signifikan menjadi alasan penting bagaimana rekonstruksi pendidikan guru
dapat dijalankan pada berbagai wilayah di China. Sangatlah tidak realistis
ketika semua daerah mengadopsi sistem yang sama dalam proyek besar ini. Beberapa
peneliti (Cheng, 2000; Zhou and Reed, 2005) menyatakan bahwa sekolah formal
harus didirikan di setiap daerah miskin dan pedesaan, karena lulusan perguruan
tinggi biasanya didapati tidak memiliki ketertarikan untuk bekerja di daerah
seperti itu. Setiap provinsi dianjurkan untuk mendirikan universitas negeri dengan
multi tujuan, sementara tujuan utamanya adalah untuk mempersiapkan kader guru
melalui pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi pada setiap provinsi.
Dengan demikian diharapkan dengan adanya lulusan calon guru maka sekolah dasar
hingga sekolah menegah dapat didirikan. Sejak guru memainkan perannya, maka
mengajar dianggap sebagai sebuah profesi, profesionalisasi guru telah terjadi
dalam wacana kebijakan pendidikan negara. Tetapi sangat penting untuk
mendefinisikan secara jelas apa artinya kebijakan tersebut dalam konteks sosial
dimana standar kurikulum nasional dan buku teks yang ditentukan, dan tingginya
nilai ujian sangat ditekankan, dengan jalan apa kita dapat mereorganisasikan
dan mendesain ulang sistem pendidikan guru?
b. Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat dari Sudut
Metodologi Keilmuan, karya Mustafa: Jurnal
Al-Iqra’ Volume 3 Januari - Juni 2007 (http://Jurnaliqra.files.word
press.com/2008/08/03-27-36.pdf)
Konsep pemikiran
dalam bidang ilmu tidak lepas dari status ontologi dan epistemologi pengetahuan
sehingga kerangka teori yang dibangun dengan hasil pemikiran dapat dijelaskan.
Dalam bidang kajian pendidikan, objek kajiannya adalah manusia sebagai makhluk
yang unik dan mempunyai potensi lahiriyah dan batiniyah (fitrah). Memang agak
sulit untuk ditelusuri bila asumsi yang dipakai untuk manusia hanya sebatas
kuasa material dalam pendidikan dengan tidak menelusuri aspek immaterial,
apalagi sebatas memandang makhluk bebas dan sosial. Dan, kalau disimpulkan
sebagai mahkluk immaterial semata jelas manusia bukan makhluk rohani. Oleh
karena itu, dalam tulisan ini dicoba untuk mengklarifikasi perbedaan itu dari
sudut pandang metodologi keilmuan Islam dan metodologi keilmuan Barat.
Kesimpulan
dari pembahasan pada artikel ini adalah; bahwa perbedaan metodologi Barat dan
Islam dari sudut keilmuan terletak pada peletakan status ontologi dan
epistimologi pengetahuan. Kalau Barat akhirnya cenderung menolak status
ontologis objek-objek metafisika dan lebih memusatkan perhatiannya pada
objek-objek fisik (positivistik), epistimologi Islam masih mempertahankan
status ontologis yang tidak hanya objek-objek fisika, tetapi juga objek-objek
metafisika. Perbedaan cara pandang serta keyakinan terhadap status ontologis ini
telah menimbukan perbedaan yang cukup signifikan di antara kedua sistem
epistimologi tersebut dalam masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi
ilmu dan metode-metode ilmiah.
Perbedaan
pada sisi lain, seperti dari sudut pendidikan ternyata Barat melihat anak didik
sebagai manusia yang merdeka dan memiliki kebebasan dan sementara Islam
memandang manusia sebagai makhluk Tuhan dan sosial yang memiliki potensi sesuai
dengan fitrahnya. Akan tetapi, Barat lebih mengedepankan akal dengan
mengenyampingkan kalbu. Artinya ilmu pengetahuan hanya merupakan teori-teori
inderawi yang dapat diamati, diteliti serta dibuktikan saja. Oleh karena itu, tugas
utama sebuah epistimologi adalah menunjukkan bagaimana ilmu itu mungkin secara
filosofis.
Sebenarnya antara metode keilmuan Barat dengan Islam
tidak perlu diperbandingkan dengan tujuan memisahkan antara keduanya, tetapi
justru bagaimana mengintegrasikan antara keduanya. Sebab keilmuan Barat
terbukti maju dalam hal keduniaan, sedangkan keilmuan Islam terbukti unggul dalam
pembinaan moral manusia. Jadi, perbedaan dari sudut pandang metodologi keilmuan
Islam dan metodologi keilmuan Barat harus berakhir dengan integrasi sistem yang
akomodatif terhadap kepentingan masyarakat kontemporer.
c. Multikulturalisme Dalam Pendidikan Islam, hasil penelitian
karya Agus Moh. Najib
dkk (http://ern.pendis.depag.go.id/Dok Pdf/ern-11-06.pdf)
Tujuan
penelitian ini adalah untuk membuktikan hipotesa beberapa peneliti tentang
apakah tiga PTAI objek penelitian, yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN
Antasari Banjarmasin dan STAIN Surakarta, sebagai sampel institusi pendidikan,
telah mengembangkan pembelajaran yang berwawasan multikultural. Aspek yang
dijadikan perwakilan elemen multikultural dalam penelitian ini adalah persoalan
identitas, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan serta proses pencerdasan.
Metode
yang digunakan adalah: observasi, yakni dengan ikut ambil bagian dalam proses
pembelajaran, wawancara terhadap dosen, mahasiswa, serta pejabat-pejabat
di lingkungan perguruan tinggi dan metode dokumentasi, yakni dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen, baik berupa data tulisan atau gambar yang
memiliki relevansi terhadap penelitian ini.
Hasil
riset menunjukkan bahwa pada UIN Sunan Kalijaga implementasi semangat
multikultural pada aspek kelembangaan diwujudkan dengan cara beragam. Di UIN
Sunan Kalijaga, sebagai model ideal perwujudan semangat multikultur disbanding
2 PTAI lain (IAIN Banjarmasin dan STAIN Surakarta) diperlihatkan oleh adanya
berbagai lembaga atau pusat studi, baik di tingkat universitas maupun di
tingkat fakultas, yang mendialogkan Islam dengan berbagai realita sosial budaya
dan berbagai isu lokal, nasional, regional maupun global yang berkembang. Selain
itu, UIN Sunan Kalijaga membuka diri dengan menerima mahasiswa non muslim untuk
menuntut ilmu baik pada program S1 maupun pascasarjana.
Secara
akademik IAIN Antasari menjadi model pembelajaran bagaimana mendialogkan Islam
dengan realita sosial budaya yang ada serta apresiasi positif lembaga
pendidikan Islam terhadap budaya lokal. Ini diperlihatkan dengan
memperkenalkan, mendemostrasi dan memahami berbagai kearifan budaya dan
diversitas budaya yang ada di seputar kampus. Mahasiswa dapat menyaksikan
secara langsung ritual-ritual budaya yang hingga sekarang masih dipertahankan
oleh berbagai komunitas di Banjarmasin.
Inimendorong minat mahasiswa dan dosen untuk mehamai berbagai peristiwa budaya sekitar
melalui berbagai karya ilmiah yang ditulis dan mengangkatnya sebagai warisan budaya
yang perlu dipertahankan.
Sementara
itu, dalam program pengabdian kepada masyarakat, STAIN Surakarta menjadi
terdepan dalam penerapan model “KKN transformatif” yang menerapkan PAR dan PRA
sebagai ikhtiar memberdayakan masyarakat. Model ini menjadi garda depan
dalam mentransformasikan serta memberdayakan masyarakat.
d. Implikasinya terhadap Inovasi Pembelajaran PAI di Indonesia
Belajar dari apa yang telah
dikemukakan Xudong Zhu dan Xue Han, maka untuk memperbaiki sistem pendidikan
yang di dalamnya juga termasuk sistem pembelajaran, maka pertama-tama yang
harus dilakukan adalah meningkatkan mutu dan kualitas guru. Hal demikian karena
guru merupakan garda terdepan yang bersentuhan langsung dengan para peserta
didik. Oleh karena itu profesionalisasi guru dalam hal ini merupakan langkah
terpenting dan mesti didahulukan di samping pebaikan bidang-bidang yang lain.
Masa sekarang ini sudah bukan
saatnya bagi masyarakat pendidikan termasuk pendidikan Islam untuk mendikotomikan
antara ilmu dunia dan akhirat, Barat dan Timur baik dari segi keilmuan maupun
metodologinya. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, dan oleh karenanya
mensinergikan serta mengintegrasikannya untuk meraih harapan masa depan yang
lebih baik adalah langkah sangat bijaksana.
Sains dan teknologi adalah
lapangan kegiatan yang perlu dikembangkan secara terus menerus, karena jelas
mempunyai manfaat besar bagi kehidupan. Penemuan-penemuan di bidang sains dan
teknologi telah menghantarkan manusia kepada kemudahan-kemudahan material. Hal
ini seharusnya membuahkan kebahagiaan dan kemaslahatan yang lebih banyak bagi
manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya,
kebahagiaan itu bahkan semakin jauh, kesulitan-kesulitan material berganti
dengan kesulitan mental spiritual. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan,
ketegangan, dan tekanan perasaan makin sering terasa serta lebih menekan
sehingga mengurangi kebahagiaan yang diharapkan.
Islam menempatkan sains dan
teknologi pada tempatnya yang layak, yakni dalam kerangka pengalaman manusia
secara total. Keharusan menuntut ilmu menempati posisi yang penting, namun
demikian harus tetap tunduk pada nilai-nilai dan etika Islam. Islam memiliki
cara pandang, prinsip, dan strategi tersendiri dalam mengembangkan pendidikan
sains dan teknologi. Dengan menerapkan prinsip dan strategi tersut, insya Allah
akan diperoleh keuntungan yang berguna
untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern. Oleh karena itu pengembangan
sistem pembelajaran yang menggabungkan aspek nilai dan mental spiritual (Islam)
dengan sains dan teknologi merupakan sebuah tawaran dan alternatif terbaik
untuk menghadapi dan mengantisipasi kerisis multidimensional yang terjadi di
Indonesia dewasa ini.
Jikalau tujuan akhir
pendidikan adalah perubahan perilaku, sikap, dan kualitas seseorang, maka
inovasi pembelajaran harus berlangsung sedemikan rupa sehingga pembelajaran
tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan, melainkan harus menyentuh
hati, memerdekakan, dan mencerahkan. Inovasi pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (PAI) disamping bertujuan memperteguh keyakinan juga harus diorientasikan
untuk menanamkan empati, simpati, dan solidaritas terhadap sesama. Inovasi
pembelajaran PAI harus menyentuh pendidikan Islam multikultural, yakni nilai
Islam yang menjunjung semangat menghargai perbedaan dan bersinergi demi kemajuan
serta mencintai perdamaian dan keadilan sosial. Para kyai, ustadz, guru di
pesantren dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya, selayaknya memberikan
teladan yang baik (uswatun hasanah) tanpa kekerasan dalam berdakwah dan
bertumpu pada semangat fastabiqu al-khayrat. Demikian pula halnya dengan
guru-guru PAI pada lembaga pendidikan formal yang lainnya.
C. INOVASI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DI PONDOK
PESANTREN (PENGEMBANGAN KURIKULUM PONDOK PESANTREN)
1. Pengertian Kurikulum Pesantren
Kurikulum dapat diterjemahkan
dalam bahasa Arab dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang atau
jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan.[8]
Pengertian kurikulum menurut UU SISDIKNAS BAB I Th. 2003
Pasal 1 (19) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Istilah kurikulum
dalam pendidikan pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna,
sejalan dengan dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi
masyarakat yang bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat
modern. Proses perkembangan ini telah membawa corak pendidikan pesantren yang
semakin beragam dewasa ini. Dari sudut ini pemaknaan terhadap arti dan fungsi
kurikulumnya menjadi turut beragam pula. Untuk lembaga-lembaga pendidikan
semacam pesantren tradisional, pola transmisi terlihat dominan berpengaruh di
dalam aktivitas pendidikannya.[9]
2. Tujuan
Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan
cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut
disampaikan secara tertulis atau tidak tertulis (lisan). Sebagai lembaga
pendidikan Islam, pesantren dalam merumuskan tujuan atau cita-citanya selalu
merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah, baik itu
rumusan dalam bentuknya yang tertulis maupun yang disampaikan secara lisan oleh
kyainya. Pesantren juga memperhatikan aspirasi masyarakat sekitarnya, karena
itu pesan-pesan masyarakat juga diakomodasi dalam wujud kurikulum pesantren.[10]
3. Transformasi Kurikulum Pesantren
Ketika masih berlangsung di langgar (Surau) atau masjid,
kurikulum pengajian masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran
Islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran Islam yang berupa iman,
islam dan ihsan atau doktrin ritual dan mistik telah menjadi perhatian kyai
perintis pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Tiga
komponen dasar ajaran Islam tersebut disampaikan dalam bentuk yang paling
mendasar, disesuaikan dengan tingkat intelektualitas masyarakat (santri) dan
kualitas keberagamaannya pada waktu itu, yang kebanyakan dari masyarakat yang
baru saja menjadi muslim atau baru saja memeluk Islam.[11]
Peralihan dari pendidikan surau atau masjid menjadi
pondok pesantren secara perlahan membawa perubahan perubahan-perubahan
kurikulum. Dari sekedar pengetahuan menjadi suatu ilmu, dari materi yang
bersifat dokrinal menjadi lebih interpretatif kendati dalam wilayah yang sangat
terbatas. Ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren adalah nahwu dan sharaf,
kemudian fiqih, tafsir, ilmu kalam, dan akhirnya sampai kepada tasawuf dan
sebagainya.[12] Sistem
pendidikan tidak didasarkan pada kurikulum yang dipergunakan secara luas,
tetapi diserahkan pada persesuaian yang elastis antara kehendak kyai dan
santrinya secara individual. Ilmu-ilmu dasar seperti tauhid, fiqih, dan tasawuf
menjadi mata pelajaran paforit bagai para santri.
Kapasitas dan kecenderungan kyai merupakan faktor yang
menentukan bagi pengembangan kurikulum tersebut.[13]
Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren pada mulanya haruslah ilmu-ilmu yang
telah dikuasai kyai dan telah menjadi kecenderungannya seperti ilmu tasawuf. Para kyai pada umumnya mempunyai kecenderungan yang kuat
terhadap tasawuf baik pada tataran amalan maupun keilmuan yang merupakan
pewarisan terhadap sosok para wali. Bentuk-bentuk kehidupan sufistik yang
dijalani kyai senantiasa dikaitkan dengan mata rantai transmisi ajaran wali.
Kurikulum pesantren terus berkembang menjadi bertambah
luas lagi dengan penambahan ilmu yang masih merupakan elemen dari materi yang
diajarkan pada masa awal pertumbuhannya. Pengembangan kurikulum tersebut lebih
bersifat rincian materi pelajaran yang sudah ada daripada penambahan disiplin
ilmu yang baru sama sekali. Masing-masing pesantren memiliki kurikulumnya
sendiri yang berbeda antara pesantren satu dengan yang lainnya. Upaya
standarisasi kurikulum pesantren selalu berhadapan dengan otonomi pesantren sebagai
pantulan dari otoritas kyai dan spesialisasi ilmu yang dimilikinya. Sebagian
besar kalangan pesantren tidak setuju dengan standariasi kurikulum pesantren.
Biarlah pesantren tetap dengan kekhususan-kekhususan mereka, sebab hal itu jauh
lebih baik daripada harus disamakan. Sebaliknya variasi kurikulum pesantren
justru diyakini lebih baik. Adanya variasi kurikulum pada pesantren akan
menunjukkan ciri khas dan keunggulan masing-masing. Penyamaan kurikulum
dipandang membelenggu kemampuan santri seperti pengalaman yang terjadi pada
madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah. Lulusan madrasah ternyata hanya
memiliki kemampuan yang setengah-setengah.[14]
Jika pada awal pertumbuhan pesantren, tasawuf merupakan
mata pelajaran yang dominan, pada akhir-akhir ini dominasi tasawuf telah
melemah. Selanjutnya yang mendominasi kurikulum pesantren adalah ilmu-ilmu
bahasa Arab, kemudian ilmu fiqih, baik fiqih ‘ubudiyah maupun fiqih
mu’amalah.[15] Dalam
perkembangannya yang terakhir justru ilmu fiqh yang dominan dalam kurikulum
pesantren.[16] (Wahid,
Suwendi, dan Zuhri, 1999: 292). Sehubungan dengan hal tersebut, Mujamil Qomar
dengan mengutip pernyataan Muhammad Tholchah Hasan menganjurkan agar pesantren
menambah porsi kajian tafsir Al-Qur’an (khususnya ayat al-ahkam) dan hadits, selain kutub al-fiqh
al-mu’tabarah, ushul al-fiqh, qawaid al-ahkam, dan tarikh tasyri’ sebagai
perangkat keilmuan yang dapat mendinamisasi pemahaman fiqh sebagai produk
ijtihad.[17]
Terkait dengan masuknya pelajaran umum ke dalam
lingkungan pesantren, mulai pada awal abad ke 20 beberapa pesantren mulai
bersikap progresif dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum. Salah satu
pesantren yang mempelopori pembaharuan kurikulum tersebut adalah pesantren
Tebuireng. Qomar dengan mengutip pernyataan Abubakar Aceh mengatakan bahwa pada
tahun 1935 pesantren Tebuireng telah membuka madrasah modern secara
basar-besaran yang dinamakan madrasah Nizhamiyah, suatu bentuk perguruan hasil
karya A.Wahid Hasyim sendiri, dengan cara dan daftar pelajaran yang belum
pernah terjadi dan belum pernah ada orang yang berani menciptakannya sebagai
salah satu cabang pesantren. Di dalam madrasah tersebut selain pelajaran agama
dan bahasa Arab, juga disajikan pengetahuan umum, bahasa Belanda, dan bahasa
Inggris, di mana ketiga mata pelajaran yang disebut terakhir masih dianggap
alergi bagi kaum ulama.[18]
Pada awalnya Tebuireng memang hanya mementingkan pelajaran agama semata sebab
pengajaran-pengajaran umum seperti bahasa-bahasa asing (selain bahasa Arab),
belajar huruf latin, dan berhitung masih dianggap haram untuk diajarkan. Bahkan pada waktu itu, memakai bangku dan
papan tulis ketika memberikan pelajaran sudah di anggap tidak sesuai dengan
kehidupan agama. Pandangan semacam ini dilatarbelakangi semangat agama yang
sangat menentang penjajahan.[19]
Sebagai pesantren terkemuka khususnya di Jawa dan Madura
pada waktu itu, pembaharuan kurikulum di pesantren Tebuireng tersebut tentu
saja mendapatkan banyak tantangan. Namun demikian secara perlahan-lahan pada
akhirnya banyak diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Pada tahun 1980-an
cukup banyak pesantren tradisional yang sudah memasukkan sistem madrasah dan
ikut kurikulum pemerintah. Sekurang-kurangnya pesantren tersebut menambahkan
pengetahuan umum seperti pelajaran PMP, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, IPS,
dan Matematika.[20]
Memang titik pusat pengembangan keilmuan di pesantren
adalah ilmu-ilmu agama, tetapi ilmu-ilmu agama ini tidak akan berkembang dengan
baik tanpa ditunjang ilmu-ilmu lain (ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan
kealaman). Oleh karena itu sebagian pesantren mengajarkan ilmu-ilmu tersebut
sebagai penunjang ilmu-ilmu agama. Sekalipun demikian orientasi keilmuan
pesantren tetap berpusat pada ilmu-ilmu agama.[21]
Sementara itu, ilmu-ilmu umum dipandang sebagai suatu kebutuhan atau tantangan.
Tantangan untuk menguasai pengetahuan umum itu merupakan salah satu tugas yang
harus dilaksanakan pesantren.
Seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan
masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral,
pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman
tersebut. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut
dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan
pembangunan bangsa. Sementara itu, pesantren memiliki otoritas untuk menentukan
kehidupannya sendiri. Sebagai akibatnya terjadilah polarisasi bentuk-bentuk
pesantren dengan model sekaligus kurikulum yang berbeda-beda antara satu
pesantren dengan pesantren yang lain. Ada
pesantren salaf yang mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab
klasik tanpa memngajarkan pengetahuan umum, ada pula pesantren khalaf
yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, mengajarkan ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama dan juga pendidikan ketrampilan[22]
Lebih lanjut Khozin dalam bukunya Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia mengemukakan hasil penelitian Soedjoko
Prasodjo tentang bentuk-bentuk pesantren dilihat dari perkembangan fisiknya
yaitu: Pertama pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; Kedua
pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, dan pondok; Ketiga
pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah; Keempat
pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tampat
ketrampilan; Kelima pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai,
pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, sekolah-sekolah umum, gedung
pertemuan, tempat olah raga dan lain-lain.[23]
Keragaman bentuk, pola, karakteristik, maupun tradisi
pesantren menjadi alasan tidak adanya keseragaman kurikulum yang berlaku
menyeluruh pada semua pesantren. Dengan otoritas kyai dan kemandiriannya,
pesantren memiliki kebebasan penuh untuk menentukan bentuk, materi, sistem
pendidikan, serta kurikulum yang diterapkan pada masing-masing pesantren. Sekalipun
demikian, di antara perbedaan-perbedaan itu masih ada beberapa kesamaan,
terutama dalam beberapa mata pelajaran keagamaan yang berlaku hampir di seluruh
pondok pesantren.
4. Materi Pembelajaran Pesantren
Sebagaimana telah dikemukakan, pola pembelajaran
pesantren juga sangat beragam, tidak ada keseragaman antara satu pesantren
dengan yang lainnya. Walaupun demikian, di balik keberagaman itu tanpa disadari
masih terdapat kesamaan-kesamaan, terutama mengenai mengenai salah satu fungsi
pesantren untuk mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam sebagai upaya
mewujudkan manusia yang tafaquh fi al-din.
Berikut ini hanya akan dikemukakan materi pembelajaran
yang diberlakukan hampir di semua pesantren yang ada di Indonesia. Pembelajaran
yang berlaku hampir di seluruh pesantren tersebut pada umumnya menggunakan
sumber yang berbahasa Arab (kitab kuning). Secara umum tujuan pengajian
(pembelajaran) dan kitab-kitab yang diajarkan berbeda satu sama lain tergantung
pada jenis mata aji (mata pelajaran) yang bersangkutan.[24]
Adapun mata aji-mata aji dimaksud
meliputi:
a. Aqidah/Tauhid.
Pembelajaran Aqidah/Tauhid bertujuan
menanamkan keyakinan tentang ketauhidan Allah dan rukun iman yang lain kepada
santri.
b. Tajwid (Baca al-Qur’an)
Pengajaran baca al-Qur’an biasanya
ditekankan pada beberapa hal, yaitu: Pertama, kemampuan mengenali dan
membedakan huruf-huruf al-Qur’an (huruf hijaiyyah) secara benar; Kedua,
kemampuan untuk mengucapkan atau melafalkan kata-kata dalam al-Qur’an dengan
fasih sesuai dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyyah
dari rongga mulut): Ketiga, mengerti dan memahami hukum-hukum atau
patokan-patokan pembacaan al-Qur’an.
c. Akhlak/Tasawuf
Tujuan pembelajaran akhlak/tasawuf
adalah membentuk santri agar memiliki kepribadian muslim yang berakhlak karimah
(mulia), baik yang terkait dengan hubungan antara manusia dengan Allah atau hablun
min Allah (hubungan vertikal) maupun yang terkait dengan hubungan antara
sesama manusia atau hablun min al-nas (hubungan horisontal) serta
hubungan dengan alam sekitar atau makhluk Allah yang lain.
d. Bahasa Arab
Mata pelajaran ini biasanya mendapatkan
porsi besar dan posisi cukup penting dalam pembelajaran di pesantren, sehingga
hampir di setiap pesantren selalu ada mata pelajaran ilmu alat yang meliputi Nahwu,
Sharaf, dan Balaghah. Ada
kalanya juga dimasukkan ke dalamnya ilmu Manthiq (logika). Tujuan
pembelajaran ini adalah agar para santri mampu memahami al-Qur’an dan al-Hadits
serta kitab-kitab lain yang berbahasa Arab.
e. Fiqh
Materi pembelajaran Fiqh atau
syari’at Islam biasanya dibagi menjadi: Fiqh ibadah (ibadah dalam arti
sempit/ritual); Fiqh Muamalat (tentang hubungan atau kerja sama antar
manusia); Fiqh Munakahat (tentang pernikahan); dan Fiqh Jinayat
(tentang pelanggaran dan pembunuhan). Pembelajaran ini biasanya terbagi beberapa tingkatan, yakni
tingkat permulaan, tingkat menengah,dan tingkat tinggi. Fiqh Ibadah
biasanya diberikan pada tingkat permulaan, sedangkan Fiqh Muamalat
diberikan pada tingkat menengah. Pada tingkatan yang tinggi dipelajari Fiqh
Munakahat dan Fiqh Jinayat. Selain itu, pada tingkat tinggi biasanya
dilakukan perluasan wawasan dengan menjangkau fiqh-fiqh yang lain dan fiqh-fiqh
dari berbagai madzhab.
f. Ushul Fiqh
Selain Fiqh, pesantren juga
memberikan pembelajaran Ushul Fiqh. Ilmu ini berkaitan dengan
dasar-dasar dan metode untuk menarik sebuah hukum (istinbath). Pada
tataran tertentu Fiqh merupakan sebuah produk, sedangkan prosesnya
tercakup dalam Ushul Fiqh.
g. Tafsir al-Qur’an
Secara garis besar, Tafsir al-Qur’an
dibedakan menjadi dua macam, yakni Tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan
rasio) dan Tafsir bi al-ma’tsur (tafsir yang menitikberatkan pada
penggunaan ayat-ayat lain, hadits Nabi, dan pendapat sahabat). Penekanan
pembelajaran Tafsir al-Qur’an di pondok pesantren terutama diberikaan pada: Pertama,
kemampuan mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (i’rab)
serta mengetahui dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata)
ayat-ayat al-Qur’an baik ditinjau dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan
katanya (muradif); Kedua, asbabun nuzul, makkiyyah-madaniyyah,
serta nasikh dan mansukh suatu ayat; Ketiga, kandungan
ayat secara tekstual maupun kontekstual sehingga santri menemukan relevansi
ayat itu dalam realitas kehidupan; Keempat, perbandingan penjelasan
makna-makna ayat-ayat al-Qur’an suatu kitab tafsir dengan kitab-kitab tafsir
lainnya. Kelima, pada beberapa pesatren tertentu, kitab tafsir yang
dibaca ditekankan pada kitab-kitab tafsir yang bercorak hukum (tafsir
al-ahkam).
h. Ilmu Tafsir
Tidak banyak pesantren yang mengajarkan
Ilmu tafsir, kecuali pesantren yang memiliki ciri khusus atau spesialisasi
al-Qur’an. Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui tentang al-Qur’an dan sangat
berguna sebagai alat bantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
i. Hadits
Pengajian Hadits pada tingkat awal
biasanya bertujuan untuk memperkenalkan hadits secara tidak langsung dengan
menonjolkan kandungan materinya. Oleh karena itu yang diajarkan adalah
hadits-hadits yang pendek. Konsentrasi pengkajiannya berpusat pada matan dan
dengan pembahasan yang sederhana saja, disesuaikan dengan kemampuan santri pada
tingkat ini. Pada tingkat menengah (wustha) perhatian kepada sanad hadis
mulai ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-hadits dengan tetap
memberikan perhatian pada kandungan matan. Pada tingkat tinggi (‘aly),
pengkajian hadits benar-benar telah memasuki tahap yang lengkap, yang meliputi
pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karakter pe-rawi-nya,
cara periwayatannya, sanad dan variasinya, serta asbab al-wurdnya, dan
materi kandungannya.
j. Ilmu Hadits
Beberapa pesanren baru mengajarkan
Ilmu Hadits pada tingkat menengah. Tujuan pengajian Ilmu Hadis pada tingkat
menengah dan tinggkat tinggi adalah agar para santri mengetahui seluk beluk hadits,
dari mulai posisinya sebagai sumber hukum, sejarah penulisannya, kualitas dan
jenis-jenisnya baik dilihat dari segi matan, sanad atau keduanya,
kitab-kitabnya, perawi-perawinya, dan seterusnya. Pada tinggkat tinggi biasanya
juga ditambah dengan ketrampilan takhrij al-hadits yaitu ketrampilan
untuk menerapkan metode-metode yang ada. Dengan kemampuan takhrij ini
diharapkan santri dapat melakukan kajian mandiri mengenai status dan kualitas
hadits.
k. Tarikh (Sejarah Islam)
Tujuan pembelajaran Tarikh ialah
untuk mengenal secara kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam
semenjak masa Rasulullah SAW hingga masa kehidupan Turki ‘Utsmani. Pada tingkat
awal, materi yang diberikan biasanya dibatasi hanya pada masa Rasulullah SAW.
Pada tingkat tinggi biasanya materi yang diberikan mulai masa awal hingga masa
temporer, namun tekanannya tidak hanya terbatas pada fakta sejarah, namun
menjangkau makna dibalik fakta itu.
5. Metode Pembelajaran Pesantren
Metode pembelajaran di pesantren ada
yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan
menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan dalam institusi
pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru (tajdid),
yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan
mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan
metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah
atau klasikal.[25] Berikut
ini adalah metode-metode pembelajaran tradisional yang merupakan metode
pembelajaran asli pesantren, yaitu:
a. Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan kegiatan
pembelajaran para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan
kemampuan perseorangan di bawah
bimbingan seorang ustadz atau kyai. Metode pembelajaran sorogan ini
biasanya dilaksanakan pada ruang tertentu, di hadapan kyai atau ustadz tersedia
sebuah meja pendek (dampar) untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap
untuk mengaji kitab. Sementara itu santri-santri yang lain duduk agak jauh
sambil mendengarkan dan mempersiapkan diri untuk menunggu giliran menghadap.
Metode pembelajaran ini sangat
bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika ia membaca
kitab dihadapan kyai atau ustadz dan akan meninggalkan kesan yang mendalam baik
bagi santri maupun ustadz atau kyai. Selain para santri mendapatkan bimbingan
dan arahan, kyai dapat mengevaluasi dan mengetahui secara langsung perkembangan
dan kemampuan para santrinya.
b. Metode Bandongan/Wetonan
Berbeda dengan metode sorogan, dalam
metode bandongan ini kyai menghadapi sekelompok santri yang masing-masing
memegang kitab yang sama. Kyai membacakan, menterjemahkan, menerangkan dan
sesekali mengulas teks-teks kitab yang berbahasa Arab tanpa harakat (gundul).
Sementara itu, para santri memberikan harakat, atatan simbul-simbul kedudukan
kata, memberikan makna di bawah kata (makna gandul), dan keterangan-keterangan
lain pada kata-kata yang dianggap perlu serta dapat membantu memahami teks.
Posisi para santri pada pembelajaran ini melingkari kyai sehingga membentuk halaqah
(lingkaran). Dalam penterjemahan maupun penjelasannya kyai menggunakan bahasa
utama para santrinya, misalnya bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Indonesia.
Sebelum dilakukan pembelajaran kyai
mempertimbangkan jumlah jama’ahnya, penentuan jenis dan tingkatan kitab yang
dikajinya, dan media pembelajaran yang dianggap efektif. Demikian pula,
biasanya kyai memulai kegiatan pembelajaran dengan menunjuk salah satu santri
yang ada dalam keompok secara acak (sembarang) untuk membaca dan menterjemahkan
pelajaran yang telah disampaikan dalam pertemuan sebelumnya dan sesudah itu
kyai menyampaikan pelajaran selanjutnya.
c. Metode Musyawarah/Bahtsul
Masa’il
Metode ini lebih mirip dengan metode
diskusi atau seminar. Para santri dalam jumlah
tertentu duduk membentuk halaqah dan dipimpin langsung oleh kyai atau bisa juga
santri senior untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya. Untuk melakukan pembelajaran dengan metode ini,
sebelumnya kyai telah mempertimbangkan kesesuaian topik atau persoalan (materi)
dengan kondisi dan kemampuan peserta (para santri). Ada sebagian pesantren yang menerapkan metode
ini hanya untuk kalangan santri pada tingkatan yang tinggi dan hal ini sekaligus
menjadi predikat untuk menunjukkan tingkatan mereka, yakni para santri pada
tingkatan ini disebut sebagai Musyawwirin.
d. Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah
kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada
seorang kyai senior yang dilakukan secara terus menerus (maraton) selama
tenggang waktu tertentu. Pada umumya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan
targetnya adalah selesai membaca kitab. Titik berat pengkajiannya bukan
pemahaman melainkan pembacaan. Sekalipun dimungkinkan bagi para pamula untuk
ikut dalam pengajian ini, namun pada umumnya pesertanya adalah mereka yang
telah mempelajari kitab tersebut sebelumnya. Bahkan kebanyakan pesertanya
adalah para kyai yang datang dari tempat-tempat lain untuk keperluan itu.
Pengajian ini lebih bermakna untuk mengambil berkah atau ijazah dari
kyai yang dianggap senior.
Dalam perspektif yang lebih luas,
pengajian pasaran ini dapat dimaknai sebagai proses pembentukan jaringan
pengajaran kitab-kitab tertentu di antara pesantren-pesantren. Mereka yang
mengikuti pengajian pasaran di tempat tertentu akan menjadi bagian dari
jaringan pengajian pesantren itu. Dalam konteks pesantren, hal ini sangat
penting karena akan memperkuat keabsahan pengajian di pesantren-pesantren para
kyai yang telah mengikuti pengajian pasaran tersebut.
e. Metode Hapalan/Muhafazhah
Metode hapalan ialah kegiatan belajar
santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan
pengwasan kyai atau ustadz. Selanjutnya hapalan yang telah dimiliki santri
dilafalkan di hadapan kyai atau ustadz secara periodik atau insidental
tergantung petunjuk kyai atau ustadz tersebut.
f. Metode
Demonstrasi/Praktek ibadah.
Metode demonstrasi atau praktek ibadah
ialah cara pembelajaran dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu
ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara
perorangan atau kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kyai atau ustadz.
g. Metode Rihlah Ilmiyah
Metode rihlah ilmiyah adalah kegiatan
pembelajaran yang diselenggarakan melalui kegiatan kunjungan (perjalanan)
menuju ke suatu tempat tertentu dangan tujuan untuk mencari ilmu. Kegiatan
kunjungan yang bersifat keilmuan ini dilakukan oleh para santri untuk
menyelidiki atau mempelajari suatu hal dengan bimbingan ustadz atau kyai.
h. Metode Muhawarah/Muadatsah
Metode Muhawarah merupakan latihan
bercakap-cakap dengan bahasa Arab, dalam beberapa pondok pesantren juga dengan
bahasa Inggris yang diwajibkan oleh pondok kepada para santri selama mereka tinggal
di pondok pesantren. Bagi para pemula akan diberikan perbendaharaan kata-kata
yang sering dipergunakan untuk dihapalkan sedikit demi sedikit dalam jangka
waktu tertentu. Setelah mencapai target yang ditentukan, maka diwajibkan bagi
para santri untuk menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan
bahasa asing (Arab maupun Inggris) di lingkungan pondok pesantren, biasanya
ditetapkan pada hari-hari tertentu.
i. Metode Riyadhah
Metode Riyadhah ialah metode
pembelajaran yang menekankan pada olah batin yang bertujuan mensucikan hati
berdasarkan petunjuk dan bimbingan kyai. Metode ini biasanya diterapkan di
pesantren yang sebagian kyainya memiliki kecenderungn dan perhatian yang cukup
tinggi pada ajaran tasawuf atau tarekat.
6. Pembaharuan
Kurikulum Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan
sosial yang selalu adaptif terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di
lingkungannya. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, seiring
dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren yang pada
dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha
memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman. Orientasi pendidikan pesantren
perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang
berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu
pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang tidak hanya akan
mendukung kelangsungan hidup pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi
para santri, seperti sistem penjenjangan kurikulum yang lebih jelas dan sistem
klasikal.
Sifat adaptif sebagaimana tersebut di
atas adalah sifat dasar kurikulum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan
dan perkembangan zaman. Paling tidak terdapat tiga dasar keyakinan yang
kondusif untuk dijadikan sebagai landasan akan pentingnya memperhatikan sikap
adaptif kurikulum terhadap suatu perubahan yang terjadi yaitu: Pertama,
perubahan yang terjadi bersifat positif; Kedua, perubahan yang terjadi
dilingkungan sekolah sifatnya cenderung menetap (terus menerus); Ketiga,
perlunya usaha untuk menyempurnakan rencana-rencana yang disusun oleh sekolah
atau guru karena terjadinya proses adopsi terhadap suatu pembaharuan atau
inovasi.[26]
Pesantren-pesantren yang masih dalam
bentuk aslinya (tradisional), biasanya cenderung mengikuti pola pemahaman
tekstual. Sedangkan di pesantren-pesantren yang sudah terpengaruh dengan pola
pendidikan modern, arti tekstual telah diimbangi oleh pemahaman-pemahaman
kontekstualnya. Perkembangan seperti ini cukup kondusif untuk menopang proses
inovasi, apa lagi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk membuktikan kebaikan
inovasi itu sendiri di dalam sistem kehidupan masyarakatnya. Keterpaduan itu
mengindikasikan bagaimana suatu ide atau praktek baru dapat dikembangkan dalam
kurikulum untuk membawa perubahan-perubahan yang membawa kepada perbaikan atau
peningkatan mutu lulusan pesantren. Proses perpaduan kurikulum ini juga
memperlihatkan bagaimana suatu ide atau praktek baru dapat diorganisasikan ke
dalam hubungan-hubungan logis, harmonis, terpadu dan konsisten dengan ide dan
praktek yang sudah ada dan masih tetap dipandang perlu untuk diaktualkan dalam
pendidikan pesantren.
Dari sudut pandang ilmu kurikulum,
model kurikulum terpadu ini bertujuan untuk mentransformasikan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam kurikulum berada dalam satu kesatuan yang utuh, sehingga
suatu bagian (nilai) dalam kurikulum dengan bagian lainnya saling kuat
menguatkan untuk mendukung tujuan pendidikan yang ditetapkan di lembaga pendidikan
Islam yang disebut pesantren. Model
kurikulum terpadu ini tidak hanya berpihak kepada orientasi proses kegiatan
belajar siswa, tetapi juga berpihak pada tujuan lembaga dan kegiatan pengajaran
guru. Oleh karena itu, makana dari model kurikulum terpadu tidak hanya
diartikan atau diukur dari rencana-rencana yang disusun oleh guru untuk proses
kegiatan mengajarnya, tetapi juga kurikulum dilihat dari sisi lainya yaitu,
seberapa besar dari rencana tersebut dapat diaktualkan untuk diterpadukan dalam
proses pembentukan pribadi santri sebagai kader ulama yang mandiri dan
inovatif, melalui pengalaman-pengalaman belajar sehari-hari di pesantren.
Masuknya tuntutan yang lebih luas ke
dalam kehidupan pesantren melahirkan adanya adanya kehendak pesantren untuk
melakukan pembaharuan kurikulum, sehingga terwujudlah kurikulum terpadu yang
diimplementasikan melalui prinsip-prinsip; bagaimana kurikulum yang
direncanakan membawa misi pembaharuan dapat mentransformasikan unsur-unsur
muatan kurikulum baru, mengintegrasikan berbagai hubungan yang relevan dan
tepat, serta menjadikan akumulasi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan
nilai-nilai menjadi utuh dalam pengalaman belajar santri dalam kehidupan
kesehariannya di pesantren. Proses ini menghendaki lahirnya keterpaduan antara kepentingan
guru dalam proses pengjarannya dengan kepentingan santri dalam proses
pembelajarannya. Hal ini menuntut model inovasi yang dapat membuat unsur-unsur
baru di dalam kurikulum menjadi bagian yang terpadu dengan tradisi dan
nilai-nilai spiritual pesantren. Model dari inovasi kurikulum tersebut dapat
dilihat dari sisi pendekatan tauhid, seleksi materi, dan organisasi pengalaman
belajar santri. Profil ini menjadi pertimbangan dalam menciptakan pribadi
santri menjadi kader ulama yang kreatif, inovatif dan mandiri.
DAFTAR REFERENSI
Daulay, Haidar
Putra. 2001. Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Fullan, Michael.
1982. The Meaning of Educational Change. New York: The Ontario Institute of Studies
in Education.
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press.
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi
Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Mustafa. 2007. Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat
dari Sudut Metodologi Keilmuan. Jurnal Al-Iqra’ Volume 3
Januari - Juni (http: //Jurnaliqra. files. word press.
com/2008/08/03-27-36.pdf).
Najib,
Agus Moh. dkk. tt. Multikulturalisme Dalam
Pendidikan Islam. (http: //ern. pendis.
depag. go. id/Dok Pdf/ern-11-06.pdf).
Qomar, Mujamil. tt.
PESANTREN. Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Ideologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Rahim, Husni. 2001.
Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Said, Moh dan
Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Saridjo, Marwan.
1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.
Sa’ud, Udin
Saefudin. 2008. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Scheerens, Jaap dan
Roel J. Bosker. 1997. The Foundations
of Educational Effectiveness. New
York: Elsevier Science Ltd.
Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama.
Wahid, Marzuki;
Suwendi dan Saefuddin Zuhri. 1999. Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren.
Bandung:
Pustaka Hidayah.
Yunus, Mahmud.
1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zhu, Xudong dan Xue Han. 2006. Reconstruction
of The Teacher Education System in China. International Education Journal.
7(1), 66-73 (http: //ehlt. flinders. edu. au/education/iej/v7n1/zhu/paper.pdf).
[1] Michael Fullan. 1982. The
Meaning of Educational Change. New
York: The Ontario Institute of Studies in Education,
h. 257-287.
[2] Ibid, h.288-297.
[3] Jaap Scheerens dan Roel J.
Bosker. 1997. The Foundations of
Educational Effectiveness. New York:
Elsevier Science Ltd, h. 3-34.
[4] Ibid, h. 35-67.
[5] Muhaimin. 2009. Rekonstruksi
Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, h. 101-147.
[6] Udin Saefudin Sa’ud. 2008. Inovasi
Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, h. 141-158.
[7] Ibid, h. 162-176.
[8] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan. Bandung:
PT. Imperial Bhakti Utama, h. 447.
[9] Ibid, h. 448.
[10] Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press, h.
102-103.
[11] Husni Rahim. 2001. Arah
Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, h. 145.
[12] Mahmud Yunus. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung,
h. 232.
[13] Mujamil Qomar. Tt. PESANTREN. Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Ideologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga, h. 110.
[14] Ibid, h. 112.
[15] Marwan Saridjo. 1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia.
Jakarta: Dharma
Bhakti, h. 30.
[16] Marzuki Wahid; Suwendi dan Saefuddin Zuhri. 1999. Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren. Bandung:
Pustaka Hidayah, h. 292.
[17] Mujamil Qomar. Op.cit, h.119.
[18] Ibid, h. 131.
[19] Saridjo, Op.Cit, h. 114.
[20] Moh Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman ke Zaman.
Bandung:
Jemmars, h. 103.
[21] Haidar Putra Daulay. 2001. Historitas dan Eksistensi Pesantren
Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya
[22] Khozin, Op. cit, h. 101.
[23] Ibid. h. 101-102.
[24] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Op. cit, h. 450-451.
[25] Ibid, h. 453.
[26] Ibid, h. 458-459.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar