Minggu, 02 Juni 2013

PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN DI DUNIA ISLAM



A.  PENDAHULUAN

Secara substansial maupun historis, filsafatlah yang menjadi cikal bakal atau yang melatar belakangi kelahiran ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui ketajaman panca indera dan ketajaman akal manusia. Dalam proses perkembangannya, filsafat dan ilmu pengetahuan tetap menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Kelahiran ilmu pengetahuan tidak terlepas dari peranan filsafat dan sebaliknya, perkembangan ilmu pengetahuan semakin memperkuat keberadaan atau eksistensi filsafat.
Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk banyak berfikir (menggunakan akal), dan memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya (mengadakan penelitian), bahkan mencela orang-orang yang malas berfikir (tidak mau menggunakan akalnya). Allah SWT telah berfirman:

إنّ فى خلق السّماوات و الأرض و اختلاف الّيل و النّهار لآيات لّأول الألباب (ال عمران ١٩٠)
 
“Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ’Imran 190)

Fakta sejarah juga telah membuktikan bahwa kemajuan dan perkembangan peradaban Islam tidak terlepas dari pengaruh masuknya filsafat ke dalam dunia Islam.
                  Makalah ini akan membahas tentang perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Karena luasnya perbincangan mengenai filsafat dan ilmu pengetahuan, maka pembahasan pada makalah ini akan dibatasi hanya pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1.   latar belakang timbulnya kegiatan filsafat,
2.   perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam,
3.   tokoh-tokoh filsafat Islam dan pokok-pokok pikirannya,
4.      Filsafat sebagai aspek peradaban Islam yang sangat penting.

B. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG TIMBULNYA KEGIATAN FILSAFAT

1.      Pengertian Filsafat
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani;  philosophia, yang terdiri dari dua kata yaitu philo dan sophia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan dan sophia berati hikmat (kebijaksanaan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filasafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (Tafsir.1990: 8).
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Mohammad Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa filsafat tidak perlu didefinisikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Oleh karena itu biarkan saja orang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian menyimpulkannya sendiri. (Tafsir.1990: 8).
Berdasarkan telaah sejak zaman Yunani kuno sampai dengan sekarang, beberapa ahli filsafat telah mendifinisikan bidang kajian ini. Misalnya, Plato menyatakan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni. Murid Plato, Aristoteles mendifinisakan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, seperti ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Descartes mendifinisikan filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. (Wiramihardja. 2006: 11)
Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. (Tafsir.1990: 9)
Pengertian filsafat menurut Fuad Hassan adalah, suatu ikhtiar untuk berfikir radikal; radikal dalam arti radix-nya suatu gejala; dari akarnya sesuatu yang hendak dipermasalahkan. Dan dengan jalan penjagaan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang universal. (Hassan.1989: 10)
Harun Nasution mengatakan bahwa, filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan. (Nasution. 1991: 3)

2.      Latar Belakang Timbulnya Filsafat
Manusia adalah makhluk yang selalu mempersoalkan segala sesuatu. Banyak hal yang ingin diketahui manusia. Bermula dari keheranan, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan jawaban, karena itu timbullah usaha untuk mencari jawaban atas segala sesuatu yang ditanyakannya.  Dengan menemukan jawaban, maka bertambahlah ilmunya. Semakin heran, semakin banyak pertanyaan, semakin keras usahanya untuk mencari jawaban, dan semakin menemukan jawaban, maka ilmunya akan semakin dalam dan semakin bertambah luas. Dengan bertambahnya ilmu, semakin dalam dan semakin luas, maka seseorang akan semakin mampu menganalisis masalah secara lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan demikian seseorang akan mampu memahami lingkungannya kemudian dapat bertindak dengan benar. Kebenaranlah yang akan membawa manusia kepada puncak kebahagiaan hidupnya. (Wiramihardja. 2006: 4).
Karena selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, maka timbullah keheranan pada diri manusia terhadap alam, kemudian timbullah pertanyaan-pertanyaan atas segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi di alam ini.  Masyarakat primitif hidup dalam kesederhanaan dalam berbagai aspek, baik aspek materi maupun aspek kepercayaan. Mereka hidup dengan bergantung kepada alam, namun alam ada kalanya tidak bersahabat dengan mereka. Air yang mereka anggap sangat bermanfaat tiba-tiba mendatangkan bencana, seperti banjir dan melongsorkan tanah. Tanah yang menjadi tempat tumbuhnya berbagai tanaman yang menjadi sumber penghidupan mereka, tiba-tiba bergoyang dan menghancurkan segalanya. Hal semacam inilah yang menimbulkan kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Kekuatan itu tidak tampak dan liar tetapi mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia.
Dari hal tersebut di atas, muncullah kepercayaan dinamisme  bahwa setiap benda mempunyai kekuatan gaib (misterius). Benda-benda tertentu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang sangat besar, sehingga dipuja sebagai benda bertuah atau mempunyai kesaktian yang dapat digunakan untuk melawan musuh, menyuburkan tanah, menyembuhkan penyakit dan sebagainya.
Kemudian, muncul pula kepercayaan animisme  yang beranggapan bahwa semua benda, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai jiwa atau roh. Jiwa atau roh menurut kepercayaan masyarakat primitif mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa senang dan susah. Jikalau roh sampai marah, maka akan membahayakan hidup manusia. Oleh karena itu, manusia harus menjaga agar roh itu tidak marah dengan mencari kerelaannya. Cara untuk merayu roh agar tidak marah yaitu dengan memberi sesajian berupa makan atau dengan memberikan kurban.
Para ahli agama berpendapat bahwa dinamisme lebih dulu muncul dari pada animisme. Dalam dinamisme belum ada kepercayaan pada roh orang yang meninggal yang bisa menjalin persahabatan dengan keluarga yang masih hidup. Kepercayaan demikian baru muncul dalam animisme. Dengan demikian dinamisme muncul lebih dulu dari pada animisme, lagi pula dinamisme lebih sederhana dari pada animisme. Dari animisme kemudian meningkat menjadi politeisme. (Bakhtiar. 1997: 65)
Kepercayaan kepada benda yang mempunyai kekuatan gaib (dinamisme), meningkat menjadi kepercayaan kepada roh yang disebut animisme. Pada perkembangannya animisme tidak berhenti pada anggapan bahwa semua benda mempunyai roh, tetapi meningkat pada kepercayaan bahwa di antara benda-benda yang mempunyai roh itu ada yang sangat kuat sehingga menimbulkan pengaruh pada alam. Benda yang dianggap mempunyai kekuatan yang paling besar itulah yang dijadikan simbul penyembahan dan peribadatan.
Roh yang menjadi simbul penyembahan pada kepercayaan animisme itu akhirnya diberi nama sesuai dengan fungsinya, seperti dewa api, dewa laut, dewa petir, dewa hujan dan sebagainya. Dengan demikian dari kepercayaan animisme meningkat menjadi politeisme yang mayakini adanya banyak dewa. Dewa-dewa itulah yang mempunyai kekuatan besar dan yang mengendalikan alam ini sehingga para dewa itu harus dipuja dan disembah.
Perkembangan kepercayaan dari dinamisme menjadi animisme kemudian menjadi politeisme bahkan akhirnya meningkat menjadi monoteisme, merupakan rentetan sejarah peradaban dan pemikiran manusia dalam upayanya mencari jawaban atas keheranan dan pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap kekuatan yang ada dibalik alam semesta ini. Ketidakpuasan terhadap mitos-mitos yang dilandasi oleh kepercayaan-kepercayaan dalam menjawab keheranan dan pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatar belakangi timbunya filsafat. Manusia yang sudah tidak percaya lagi dengan adanya mitos-mitos kemudian berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan logis yang terdapat dalam fakta-fakta. Ilmu positif adalah ilmu yang diambil dari data yang empiris, kemudian dihubungkan dengan pengertian umum yang berasal dari akal. (Bakhtiar.1997:75)

C.  FILASAFAT  YUNANI  KUNO

Orang-orang Yunani pada awalnya sangat percaya kepada dongeng dan takhyul. Lama kelamaan, terutama setelah mereka mampu membedakan yang riil dan yang ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunaka rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya. (Bakhtiar. 2009: 232). Filsafat telah berhasil merubah pola pikir bangsa Yunani bahkan ummat manusia di dunia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris, yaitu pola pikir yang semula mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam menjadi pola pikir yang mengandalkan rasio. Anggapan yang semula, bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi atau merupakan aktivitas para dewa berubah menjadi anggapan bahwa fenomena alam tersebut adalah aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
Untuk menelusuri filsafat Yunani, perlu dijelaskan terlebih dahulu asal mula penggunaan kata filsafat. Sekitar abad  IX sebelum masehi atau paling tidak thun 700 sebelum masehi, di Yunani sophia diberi arti kebijaksanaan dan dapat juga berarti kecakapan. Kata Philisophia mula-mula dipergunakan oleh Heraklitos (540-480 SM). Sementara ada pula yang mengatakan bahwa yang menggunakan kata tersebut untuk pertama kalinya adalah Pythagoras (580-500 SM). Namun pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa Herakitos yang pertama kali menggunakan istilah tersebut. (Bakhtiar. 2009: 22). Pradana Boy dalam bukunya “Filsafat Islam” mengatakan bahwa philosophos (filosof) sebagai suatu istilah tehnis tidak digunakan pada seorangpun sebelum Socrates dan begitu juga sesudahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles juga tidak menggunakannya. Belakangan penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin meluas. (Boy. 2003: 28)
Pada zaman Yunani kuno (600 SM – 200 M) terdapat tiga periode masa sejarah filsafat yaitu, masa awal, masa keemasan, serta masa Helenitas dan Romawi. (Wiramihardja. 2006: 46). Masa awal filsafat Yunani kuno ditandai dengan tercatatnya tiga nama filosof yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales (± 624-546 SM), Anaximandros (± 610-540 SM), dan Anaximenes (± 538-480 SM). Selain ketiga nama tersebut ada beberapa nama dari daerah lain seperti, Herakleitos (± 540-475 SM) dari Ephesos, Pythagoras (± 580-500 SM), dari Italia selatan, Parmenides (± 540-475 SM) dari Elea, Xenophanes (± 570-480 SM) dari Kolofon-Asia Kecil, dan Demokritos (± 460-370 SM) dari Abdera.
Masa keemasan filsafat Yunani kuno, ditandai dengan sejumlah nama besar yang sampai ekarang tidak pernah dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk pemikir yang berbeda pendapat sekalipun. Sejumlah nama besar itu antara lain adalah, Protagoras (± 480-411 SM), Socrates (± 469-399 SM), Plato (± 427-347 SM), dan Aristoteles (± 384-322 SM).
Masa Helenitas dan Romawi adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dari peranan raja Alexander Agung. Raja ini telah mampu mendirikan negara besar yang tidak sekedar meliputi seluruh Yunani, tetapi juga daerah-daerah di sebelah timurnya. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional. Kebudayaan Yunani ini disebut “Kebudayaan Helenitas”. Helenisme berasal dari kata hellenizein yang berarti berbahasa Yunani atau menjadikan Yunani. Dalam bidang kebudayaan, selain akademia lykeion dibuka juga sekolah-sekolah baru dan yang menjadi tekanan pembelajarannya adalah masalah etika, yaitu bagaimana sebaiknya seseorang mengatur tingkah lakunya agar dapat hidup bahagia dalam kehidupan bersama. Ada sejumlah aliran pada masa ini seperti, stoisme, epikurisme, skeptisisme, elektisisme dan neoplatonisme. (Wiramihardja. 2006: 46-51 ; Hadiwijono. 1980: 15-69).
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (± 384-322 SM). Filsafat Yunani yang rasional boleh dikatakan brakhir setelah Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional itu masih digunakan selama beberapa abad sesudahnya, sampai sebelum filsafat Yunani benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan. Namun jelas setelah periode ketiga filosof besar ( Socrates, Plato, Aristoteles), mutu filsafat semakin merosot. Kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik pada masa itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexander Agung. Tepat pada ujung zaman Helenisme, yaitu pada ujung sebelum Masehi, menjelang neoplatonisme, filsafat benar-benar mengalami kemunduran. (Bakhtiar. 2009: 31-33).

D.  PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN  ILMU PENGETAHUAN  DI  DUNIA  ISLAM
     
1.      Persinggungan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Yunani dengan Dunia Arab sebelum Islam
Dalam rekaman sejarah terjadinya kontak antara ummat Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani didahului oleh kontak langsung antara dunia Arab dan Yunani sebelum Islam melalui daerah Siria, Mesopotamia, dan Mesir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Yunani datang ke daerah-daerah ini ketika penakhlukan oleh Alexander Agung ke timur pada abad ke empat ( 331 SM). Alexander Agung mempersatukan orang-orang Yunani dan Persia dalam satu negara besar dengan cara sebagai berikut:
a.   Mengangkat pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan Persia.
b.   Mendorong perkawinan campuran antara Yunani dan Persia, bahkan ia pernah menyelenggarakan perkawinan massal 24 Jendral dan 10.000 prajuritnya dengan wanita-wanita Persia di Susa.
c.   Alexander Agung sendiri kawin dengan Statira, putri Darius, raja Persia yang kalah perang.
d.   Mendirikan kota-kota dan pemukiman-pemukiman yang dihuni bersama oleh orang-orang Yunani dan Persia. (Nasution. 1985: 54) .
Sebuah catatan sejarah menyatakan, ketika datang ke Timur Tengah pada abad keempat sebelum Masehi, Alexander Agung tidak hanya membawa kaum militer, tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukan hanya melakukan ekspansi daerah kekuasannya keluar Macedonia, tetapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu, ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian, maka berkembanglah filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariyah di Mesir, Antokia di Suria, Selopsia serta Jundisapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran. (Boy. 2003: 31). Di antara bekas-bekas pengaruh Hellenisme di daerah-daerah ini ialah bahasa administrasi yang dipakai adalah bahasa Yunani, bahkan di Mesir dan Suria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam di kedua daerah ini hingga abad ke tujuh oleh Khalifah  Abdul Malik Ibnu Marwan (685-705 M) diganti dengan bahasa Arab (Nasution. 1973: 8). Boleh dikatakan hal ini merupakan awal persentuhan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dengan dunia Arab, yang dapat pula diartikan sebagai babak pendahuluan masuknya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dunia Islam.
Sementara itu pada sisi lain, seperti telah diungkapkan sejarah, telah terjadi pelenyapan semua akademi filsafat Yunani dan pengusiran para filosofnya oleh kaisar Justianus dari Bizantium pada tahun 529 Masehi. Menurut kaisar ini ajaran filsafat bertentangan dengan agama Masehi. Pada umumnya para filosof Yunani lari ke Jundisapur dan dierima baik oleh maharaja Persia. Kasus ini dapat diartikan bahwa kegiatan filsafat dan ilmu pengetahuan sudah pindah dari Yunani (Barat) ke Jundisapur dan daerah-daerah lainnya di Timur. (Zar. 2009: 34).

2.   Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan pada Awal Islam hingga Daulah Amawiyyah
Sejak awal kelahirannya Islam telah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan bahkan juga filsafat. Kalau dilacak akar sejarahnya pandangan Islam tentang pentingnya ilmu pengetahuan tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, adalah perihal perihal membaca.
Allah SWT, telah berfirman :

إقرأ باسم ربّك الّذى خلق ـ خلقالإنسان من علق ـ إقرأ و ربّك الأكرم ـ الّذى علّم بالقلم ـ علّم الإنسان ما لم      

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
                                                                                        (QS. Al-‘Alaq 1-5)



Dari kata “Iqra’ ” ini, kemudian lahir berbagai makna seperti, menelaah, mendalami, meneliti, membaca ayat yang tertulis (ayat Al-Qur’aniyyah) maupun yang tidak tertulis (ayat al-kauniyyah), dan sebagainya. Tidak sedikit ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasululah SAW, yang mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya dengan filsafat atau cara berfikir filafati. Hal ini antara lain dapat kita lihat pada kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS.  
Allah SWT telah berfirman :
           
و كذالك نرى إبراهيم ملكوت السّماوات و الأرض و ليكون من الموقنين ـ فلمّا جنّ عليه الّيل رءا كوكبا قال هاّا ربّى فلمّا أفل قال لا أحبّ الآ فلين ـ فلمّا رءا القمر بازغا قال هاذا ربّى فلمّا أفل قال لئن لّم يهدى ربّى لأكوننّ من القوم الضّآلّين ـ فلمّا رءا الشّس بازغة قال هاذا ربّى هاذا أكبر فلمّا أفلت قال يا قوم إنّى بريء مّمّا تشركون ـ  إنّى وجّهت وجهى للّذى فطر السّماوات و الأرض حنيفا و ما أنا من المشركين (الأنعام  ٧٥-٧٩)   

75. Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.
76. Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.  (QS. Al-An’am 75-79) 

Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan yang asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan pemahaman filosofisnya. (Bakhtiar. 2009: 35). Satu hal yang mesti diingat bahwa sejak zaman Nabi SAW dan Khulafa Al-Rasyidin pertumbuhan ilmu pengetahuan berlangsung sangat pesat.
Tahapan penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi keilmuan Islam adalah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam. Ketika Mesir akhirnya takhluk kepada kekuasaan Arab tahun 641 M, Iskandariyah tetap berkembang sebagai pusat filsafat kedokteran dan ilmu pengetahuan Yunani. (Boy. 2003: 31). Interaksi intelektual orang-orang muslim dengan dunia pemikiran Hellenik terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Syiria, Mesopotamia, dan Jundisapur (Persia). Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuno, yang kelak didukung dan disponsori oleh para penguasa muslim (Majid. 2008: 219).
Pada masa berkuasanya Bani Umayyah, pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani belum begitu kelihatan. Hal ini disebabkan masa ini adalah masa di mana kaum muslimin masih disibukkan dengan persoalan penakhlukan dan perluasan wilayah ke daerah-daerah sekitarnya. Selain dari itu, kegiatan kaum muslimin masih banyak mengacu pada kebudayaan Arab. (Zar. 2009: 34).

Pasca fitnah al- kubra  muncullah aliran-aliran teologis yang pada dasarnya berkembang karena alasan politis. Pada  saat itu muncul aliran Syi’ah yang membela Ali, Khwarij dan kelompok Muawyyah. Kemudian muncul pula dua orang tokoh besar yang tidak mau terlibat dalam perdebatan teologis. Kedua tokoh besar itu adalah Abdullah Ibnu Abbas yang mencurahkan perhatian pada ilmu tafsir dan Abdullah Ibnu Umar yang mencurahkan perhatiannya pada ilmu hadits. Mereka inilah yang kemudian sering disebut sebagai moyang golongan Sunni atau Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah. Dari sinilah awal kajian Islam bidang teologi sudah dimulai, walaupun masih berbentuk embrio. Kemudian sesudah itu, muncul pula aliran Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm Ibnu Shofwan dan Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil Ibnu Atha’. Dari  adanya pandangan yang dikotomi antara keduanya, kemudian muncullah usaha untuk menengahi dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme terutama filsafat Aristoteles yang dilakukan oleh Abu Al-Hasan dan Al-Maturidi. (Bakhtiar. 2009: 38-39).
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa, sejak kelahiran Islam dunia Arab telah mengalami perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang cukup pesat. Kemudian, masih dalam masa awal perkembangan Islam ini pula, masuknya pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani sudah dimulai. Kemajuan inilah yang kemudian hari membawa peradaban Islam kepada puncak kejayaannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan.
Penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani juga sudah dimulai pada masa  Daulah Amawiyyah  ini. Buku-buku yang diterjemahkan pada masa ini adalah yang erat kaitannya dengan keperluan hidup praktis, seperti buku kimia dan kedokteran. Penerjemahan pada masa ini antara lain disponsori oleh khalifah Marwan Ibnu Al-Hakam, khalifah Khalid Ibnu Yazid dan khalifah Umar Ibnu Abdu Al-‘Aziz. (Zar. 2009: 34-35). Buku ilmiah pertama yang diterjemahkan oleh orang Arab adalah Ilmu Kedokteran pada masa khalifah Marwan Ibnu Al-Hakam pada tahun 64-65 H.  (Boy. 2003: 32)

3.   Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyyah
            Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penerjemahan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani telah dimulai pada masa Daulah Amawiyyah. Namun demikian, kegiatan penerjemahan dalam arti yang sebenarnya baru dilaksanakan pada masa Daulah Abbasiyyah. Pada masa ini timbul gerakan penerjemahan buku-buku filsafat maupun ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan para khalifah Bani Abbas, seperti khalifah Al-Mansur, khalifah  Harun Al-Rasyid, dan khalifah Al-Makmun, sehingga zaman ini dikenal sebagai zaman penerjemahan.
Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada zaman ini mampu menghantarkan peradaban Islam sampai ke puncak kejayaannya. Kontribusi para ilmuwan Islam dalam membangun peradaban pada masa ini sungguh sangat besar. Pemikiran Aristoteles, Plato, Socrates dan lain-lain mungkin akan lenyap dari permukaan bumi jikalau para ilmuwan muslim tidak menyelamatkannya melalui gerakan penerjemahan. Ali Al-Thabari merupakan fisikawan termasyhur pada masa  khalifah Al-Mutawakkil. Al-Razi dan Ibnu Sina, selain pakar dalam ilmu kedokteran juga sebagai filsof besar dan fisikawan termasyhur di dunia. Selama abad 12 sampai 17 Masehi kitab Ibnu Sina “Al-Qanun fii Al-Thibb merupakan kitab yang paling lama dipakai dalam dunia kedokteran. Sementara itu karya Al-Razi yang berjudul Al-Hawi dipandang sebagai buku induk dalam bidang medis.
Kegiatan penterjemahan mencapai masa keemasan pada masa khalifah Al-Makmun. Beliau termasuk intelektual yang sangat menggandrungi ilmu pengetahuan dan filsafat. Beliau mendirikan akademi  “Bait Al-Hikmah” yang dipimpin oleh Hunain Ibnu Ishaq, seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani dibantu oleh anaknya Ishaq Ibnu Hunain, Sabit Ibnu Qurra, Qusta Ibnu Luqas, Hudaibah Ibnu Al-Hasni, Abu Bishsr Matta Ibnu Yunus, Al-Kindi dan lain-lain. Akademi ini tidak hanya dipakai sebagai tempat penerjemahan, tetapi juga dipakai sebagai pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Di luar Bagdad; kota Marwa (Persia Tengah), Jundisapur dan Harran juga melakukan kegiatan penerjemahan. (Zar. 2009: 34-36).
Selain dikenal sebagai zaman kejayaan Islam, periode Abbasiyyah ini dapat juga dikatakan sebagai masa kebangkitan sekaligus masa keemasan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Hal ini ditandai dengan kemunculan banyak tokoh-tokoh filsafat dan ilmuwan Muslim seperti, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Miskawaih dan sebagainya. Selain kemajuan di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan eksakta seperti, matematika, biplogi, kimia, dan lain-lain, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, dan sebagainya.
Masih terkait dengan era kejayaan keilmuan Islam, patut  dicatat bahwa pada masa ini juga terjadi transformasi ilmu dari dunia Islam ke dunia barat. Terjadinya transformasi budaya khususnya dari dunia Islam ke dunia barat, paling tidak disebabkan dengan adanya dua alasan. Alasan pertama adalah kontak pribadi. Setelah Arab menakhlukkan Persia, Mesir dan Siria, terjadilah kontak antara orang-orang Kristen di timur dengan orang-orang Islam dalam suasana toleransi agama yang besar.Terjadinya kontak pribadi ini juga karena Bizantium secara geografis berdekatan dengan dunia Islam. Dari sinilah kemudian gagasan-gagasan barat masuk ke dunia Islam dan sebaiknya gagasan-gagasan Islam juga masuk ke dunia barat, khususnya sesudah terjadinya perang salib. Alasan kedua, adanya kegiatan penerjemahan setelah mereka (orang-orang barat) mengenal sebagian khazanah kebudayaan Islam, mereka berusaha memperkaya pengetahuan dengan kegiatan penerjemahan. (Bakhtiar. 2009: 40-46).

4.   Runtuhnya Tradisi Keilmuan dalam Islam
            Jatuhnya Bagdad akibat serangan tentara Mongol pada tahun 1258 M. bukan saja mengakhiri daulah Abbasiyyah, melainkan juga mengwali masa kemunduran politik Islam secara drastis. Kondisi politik ummat Islam mulai berkembang kembali setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu, kerajaan Syafawi di Persia (1501-1736 M), Mughal di India (1526-1885 M) dan kerajaan Turki Utsmani (1281-1924 M). Kehancuran Bagdad dan kemunduran politik Islam ini tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Sekalipun demikian, walau tidak sehebat zaman keemasan (masa daulah Abbasiyyah), pengaruh dan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam pada masa ini masih kelihatan. Hal ini dapat dilihat dari masih eksisnya pengaruh dan karya para filosof serta ilmuwan Islam yang muncul pada masa daulah Abbasiyyah. Selain itu masih bermunculan para sarjana seperti Mir Damad (w. 1631 M), Baha’ Al-Din ‘Amili (w. 1621 M), Mir Abu Al-Qasim Fendereksi (w. 1640 M), Al-Syirazi (w. 1641 M) dan lain-lain. (Fakhry.1987: 418-419).
Selanjutnya, menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar mengalami kemunduran secara universal. Seperti diungkapkan oleh Lothrop Stoddart, bahwa menjelang abad 18 dunia Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan merendahkan martabat ummatnya. Ia mengatakan bahwa, seandainya Muhammad bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik. (Qadir. 2002: 34). Pernyataan Stoddart tersebut menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan Islam yang kemudian menjadikan ummat Islam sebagai bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa barat.
Sebab-sebab runtuhnya tradisi keilmuan dalam Islam secara garis besar disebabkan oleh hal-hal berikut :
a.   Penyebab pertama dan utama adalah kematian semangat ilmiah di kalangan ummat Islam karena diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah dinamis dan berkembang.
b.   Persepsi yang keliru dalam menafsirkan pemikiran Al-Ghazali. Orang umumnya mengecam pemikiran Al-Ghazali kerena ia menolak filsafat seperti yang ia Tulis dalam “Tahafut Al-Falasifahnya.” Padahal ia sebenarnya menawarkan sebuah metode yang ilmiah dan rasional, dan juga menekankan pentingnya pengamatan dan analisis, serta sikap skeptis. Hal ini misalnya yang ia tuang dalam karyanya yang berjudul “Al-Munqidz min Al-dhalal.”  Selain itu ummat Islam juga tidak memperhatikan karya Ibnu Rusyd (Tahafut Al-Tahafudz), yang membela Arestotelianisme dan mengecam kritik Al-Ghazali kepada filsafat. Seandainya orang mau mluangkan waktunya untuk mengkaji karya Ibnu Rusyd itu, barangkali kemerosotan rasional di kalangan ummat Islam tidak akan separah sekarang ini.
c.   Fiqih yang dikembangkan oleh ummat Islam, keempat sumbernya yang utama adalah, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, merupakan sumber hukum yang tetap. Karena sifatnya yang tetap itulah kaum muslimin harus menggunakan metode deduktif untuk sampai kepadakeputusan mengenai masalah-masalah khusus. Pada sa’at yang sama metode induktif kehilangan semangatnya. Di masa dekadensi, kegiatan intelektual sedang mencapai titiknya yang terendah, tidaklah mengherankan jika orang kemudian menjadi bersikap dogmatis dan taklid secara membuta.
d.   Kesulitan-kesulitan ijtihad dan mistisisme aksetik yang menyebabkan kemunduran tradisi intelektual dan keilmuan di dunia Islam.
e.   Kekhawatiran para penguasa, golongan elit feodal dan keagamaan yang merasa takut akan kehilangan kekuasaan yang mutlak dan hak-hak istimewanya untuk memperoleh pengaruh melalui pewarisan, jika pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebar luas di kalangan masyarakat. (Bakhtiar. 2009: 47-49).

 E. FILOSOF DAN FILSAFATNYA

Sekalipun perkembangan filsafat Islam tidak terlepas dari pengaruh Hellnisme, akan tetapi filsafat Islam bukanlah skedar pengalihan bahasa atau jiplakan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan keagamaan yang tidak kurang ketelitian dan kecematannya dalam menyelesaikan masalah bila dibandingkan dengan filsafat Yunani. Para filosof muslim telah membicarakan masalah hakikat yang ada, dari mana asalnya dan ke mana akhirnya, serta cara-cara mendapatkan hakikat pengetahuan yang benar, dan menetapkan ukuran benar dan salah, baik dan buruk, serta teori kebahagiaan, bahkan mereka telah mengembangkan dan menambahkan hasil-hasil penyelidikan mereka sendiri dalam ilmu pengetahuan. Demikian juga dalam masalah ketuhanan, mereka telah mengemukakan bukan sekedar adanya Allah, tetapi juga sifat-sifat dan ke-EsaanNya, serta qadha’ dan qadar yang kesemuanya itu tidak ada dalam filsafat Yunani.
Nurkholis Majid mengatakan bahwa, mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy  Hellenisme. Pasalnya semua pemikir muslim meski terdapat variasi, mereka berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangaun teori kenabian, seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal ‘Itsbat Al-Nubuwwat’. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para filosof muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedidikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme. (Majid. 2008: 226).
Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan kutipan Prof. Dr. Sirajuddin Zar tentang pengertian filsafat Islam dari beberapa ahli sebagai berikut :
1.      Ibrahim Madkur; Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam     untuk menjawab tantangan zaman yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. (Zar. 2009: 15)
2.      Ahmad Fuad Al-Ahwany; Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam. (Al-Ahwani. 1997: 7)
3.      Muhammad ‘Athif Al-Iraqy; Filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawwuf dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertian secara khusus ialah pokok-pokok dan dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof muslim (Zar. 2009: 16).
Dengan demikian, kini menjadi lebih jelas bahwasanya filsafat Islam bukanlah jiplakan filsafat Yunani atau Hellenisme, dengan kata lain sekalipun karya para filosof muslim banyak merujuk kepada filsafat Yunani tetapi tetapi mereka mempunyai ciri khas tersendiri (keislaman) yang membedakan mereka dari para filosof dan filsafat Yunani. Banyak sekali tokoh-tokoh yang muncul dari dunia Islam, terutama pada zaman kejayaan Islam di bawah kepemimpinan Daulah Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M). Berikut ini akan dikemukakan beberapa tokoh filsafat (filosof) muslim dan pokok-pokok pikirannya.

1.      Al-Kindi

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub  Ibnu Ishaq Al-Kindi. Tidak dijumpai keterangan yang pasti mengenai tahun kelahiran maupun tahun wafatnya Al-Kindi. Menurut Prof. Dr. Sirajuddin Zar, Al-Kindi dilahirkan di Kuffah sekitar 185 H (801 M). (Zar. 2009: 37). Sementara itu menurut Majid Fakhry, Al-Kindi dilahirkan menjelang akhir abad 8 M dalam masa kegubernuran ayahnya di Iraq, dan wafat menurut beberapa perkiraan, pada tahun 866 M atau lebih sedikit setelah itu. Pradana Boy dalam bukunya “Filsafat Islam” mengemukakan pendapat beberapa ahli sejarah mengenai tahun kematian Al-Kindi yaitu,       Louis Massignon mencatat tahun 246 H (860 M), C. Nallino 260 H (873 M), Mustafa Abd. Al-Raziq 252 H (866 M) dan Ya’qub Al-Himawi menyebutkan bahwa Al-Kindi wafat setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.                    (Boy. 2003: 89).
      Ada dua kisah menarik mengenai Al-Kindi, pertama kisah kekikirannya yang sama terkenalnya dengan kegeniusannya.  Kedua kisah kepiawaiannya tentang musik. Menurutnya rasa seni tidak hanya dimiliki oleh menusia tetapi juga hewan. Dengan seni musik ia berhasil mengobati anak tetangganya yang seorang pedagang kaya raya yang ditimpa penyakit saraf dan tiba-tiba lumpuh, padahal tidak seorang dokterpun di Bagdad yang berhasil menyembuhkannya. (Zar. 2009: 40-41).
Al-Kindi adalah penulis pertama filsafat sistematik dalam Islam, dan juga salah seorang penyokong utama penerapan rasional kepada teks-teks yang diwahyukan. Karya Al-Kindi sesungguhnya harus diletakkan dalam arus  utama pada pemikiran-pemikiran teologis yang punya hubungan dengan kaum Mu’tazilah, para penulis sejati teologi skolastik dalam Islam. (Fakhry. 1987: 112). Selain tu ia juga termasuk seorang penulis yang kreatif  dan produktif. Banyak karya-karya yang telah dihasilkan Al-Kindi antara lain, Fi Al-Filsafat Al-Ula, Kitab Al-Harsi ‘ala Ta’allum Al-Filsafat, Risalat fi Ta’lif Al-Adad, Kummiyat Kutub Aristoteles, Fi Al-Nafs dan lain-lain. (Zar. 2009: 42-43). Berikut ini adalah pokok-pokok pemikiran filsafat Al-Kindi;

a.   Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi adalah orang pertama yang berusaha memperkenalkan filsafat ke dunia Islam. Menurutnya ummat Islam tidak perlu malu menerima kebenaran, dari manapun datangnya. Mengakui kebenaran tidak akan memerosotkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya. Ia mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya di antara keduanya tidaklah bertentangan, karena keduanya adalah ilmu tentang kebenaran, sedang kebenaran itu adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mendatangkan mudharat. Hal seperti ini juga di bawa oleh para Rasul Allah, mereka juga menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yanag diridhainya. (Zar. 2009: 43-44). Menurut Al-Kindi kita harus berterimakasih kepada para pendahulu yang telah memberikan ukuran kebenaran. Ia mengutip apa yang dikatakan Aristoteles: “Kita harus berterimakasih kepada para leluhur yang telah memberi kita sebuah ukuran kebenaran, seperti yang kita lakukan kepada mereka yang datang kemudian, sejauh mereka menjadi sebab-sebab wjudnya dan oleh karena itu menjadi sebab penemuan kita tentang kebenaran.” (Fakhry. 1987: 115)
Dalam bukunya “Kummiyat Kutub Aristoteles” Al-Kindi mengemukakan beberapa perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut:
1)   Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan    berfikir, belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berfikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
2)   Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau perenungan. Sementara itu agama(Al-Qur’an) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan.
3)   Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode keimanan. (Zar. 2009: 48-49).
Jelaslah bahwa sebagai filosof pertama di dunia Islam Al-Kindi telah melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama, akal dan wahyu. Dan dengan cara ini berati dia telah melempangkan jalan bagi para filosof sesudahnya.
           
b.   Filsafat Ketuhanan.
Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain “Fi Al-Falsafat Al-Ula” dan “Fi Wahdaniyat Allah wa Tanahi Jirm Al-‘Alam”. Dari tulisan-tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinus. Allah adalah wujud sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Dia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. WujudNya tidak berakhir, sedang wujud lain disebabkan wujudNya. Dia adalah Yang Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tak ada zat lain yang menyamainya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.
Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi mengajukan tiga argumen yaitu: baharunya alam, keanekaragaman wujud, dan kerapian alam.
            Untuk jalan pertama, Al-Kindi menanyakan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya bahwa hal itu tidak mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini baru dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu pasti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mngkin ada benda yang ada dengan sendirinya, dan dengan demikian maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
Untuk jalan kedua, Al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini, baik alam inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, atau ada keseragaman tanpa keanekaragaman. Kalau alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dan keseragaman bersama-sama, maka hal ini bukan karena kebetlan, melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi “sebab” bukanlah alam itu sendiri, karena kalau alam itu sendiri yang menjadi sebabnya, maka tidak ada habis-habisnya, dan demikian seterusnya, sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu sabab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi, dan lebih dahulu adanya, karena sebab harus ada sebelum ma’lulnya (akibatnya).
Untuk jalan ketiga, yaitu jalan kerapian alam dan pemeliharaan Allah terhadapnya, maka Al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mugkin rapi dan teratur kecuali karena adanya  yang tidak tampak. Yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketaui melalui bekas-bekasNya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat tujuan” (illat ghayyah) yang telah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya. (Hanafi. 1996: 77-78).
Bagi Al-Kindi Allah itu Esa. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah Yang Benar Pertama (Al-Haq Al-Awwal), dan Yang Benar Tunggal (Al-Haq Al-Wahid). Pada penafian Allah tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘ainah dan mahiyah, tidak ‘ainah karena bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Allah tidak merupakan genus atau spesies. Pada penafiannya terhadap ‘ainah dan mahiyah dari ke Maha Esaan Allah, Al-Kindi memiliki pandangan yang mirip dengan Mu’tazilah yang menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi ketika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan ilmuNya dan ilmuNya adalah zatNya (‘alim bi ‘ilmihi wa ‘ilmuhu dzatuhu), berkuasa dengan kekuasaanNya dan kekuasaanNya adalah zatNya (qadir biqudratihi wa qudratihu dzatuhu) dan seterusnya, Al-Kindi meninggalkan pandangan ini. Menurut Al-Kindi Allah itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata negatif; Allah tidak sama dengan ciptaanNya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, dan Allah tidak berbagi. Dalam mengesakan Allah Al-Kindi sangat menekankan ketidaksamaanNya dengan ciptaanNya. (Zar. 2009: 51-52).
     
c.   Filsafat Alam
 Di dalam risalahnya yangberjudul “Al-Ibanat ‘an Al-Illat Al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn wa Al-Fasad”, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat ‘illat yaitu; Al-Unshuriyyat (materi benda), Al-Shuriyyat (bentuk benda), Al-Fa’ilat (pembuat benda) dan At-Tamamiyyat (manfaat benda).
Tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, zman dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak, masa gerak menunjukkan adanya zaman, adanya gerk tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
Pada sisi yang lain, benda mempunyai tiga dimensi yaitu, panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan setiap yang tersusun tidak dapat dikatakan qadim.
Andai kata zaman itu qadim, seandainya ditelusuri ke belakang tentu tidak akan ada akhirnya, karena tidak mempunyai awal. Zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu tidak akan sampai pada masa kini. Oleh karena itu, zaman yang sampai pada masa sekarang bukan qadim, melainkan baharu.
Dengan denmikian Al-Kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini pastilah terbatas, ia menolak dengan tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Pandangan Al-Kindi tentang baharunya alam ini sama dengan pendapat kaum teolog muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang datang sesudahnya yang menyatakan alam ini qadim. (Zar. 2009: 54-58).

d.   Filsafat Jiwa
Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menjelaskan secara tegas tentang ruh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat mengetahui hakikat ruh, karena ruh itu urusan Allah dan bukan urusan manusia. (QS. Al-Israa’: 85). Karena itu kaum fiosof muslim membahas jiwa berdasarkan filsafat jiwa Yunani, kemudian diselaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat kepada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, dan binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa yang suci akan dapat sampai pada alam kebenaran. Jiwa yang masih kotor harus mengalami penyucian terlebih dulu. Mula-mula ia harus pergi kebulan dan membersihkan diri di sana, kemudian dilanjutkan ke merkuri, dan seterusnya naik setingkat demi setingkat, sampai akhirnya  jika sudah benar-benar bersih akan dapat mencapai alam akal dalam lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah. (Zar. 2009: 58-63). Di sini terlihat bahwa Al-Kindi meyakini hukum kekekalan jiwa sesuai dengan ajaran Islam, akan tetapi Al-Kindi tidak percaya terhadap kekekalan hukuman terhadap jiwa.



2.   Al-Farabi

Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh Al-Farabi, yang biasa disingkat dengan Al-Farabi, dilahirkan di Wasij, distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/870M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh karena itu terkadang dikatakan keturunan Persia dan terkadang dikatakan keturunan Turki. Akan tetapi sesuai ajaran Islam yang mendasarkan keturunan kepada pihak ayah, maka lebih tepatnya kalau ia disebut keturunan Persia. (Zar. 2009: 65).
Ketika berumur 40 tahun, ia pergi ke Baghdad yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia ketika itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Matius Ibnu Yunus. Kemudian ia pindah ke Harran,yang menjadi pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna Ibnu Jailan. Akan tetapi tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Karya tulis Al-Farabi antara lain; Al- Jami’ Bain Ra’yai Al-Hakimain, Tahshil Al-Sa’adat, Risalat fi Isbat Al-MufarraqatAl-Siyasat Al-Madaniyyat dan lain-lain. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibnu Adi, filosof  Kristen. (Zar. 2009: 65-68)
Karakter dan tingkah laku pribadinya diperlihatkan secara tidak langsng dalam anekdot-anekdot mengenai persahabatannya dengan Pangeran Hamdani Shaif Al-Daulah (918-967 M), seorang penyokong seni dan sastra terkemuka, yang beribu kota di Aleppo. Ia dikatakan sangat menghormati Al-Farabi, tetapi sempat dibikin gusar oleh pakaiannya yang aneh-aneh dan kebiasaannya yang kurang sopan, dan juga kenyataan bahwa sekalipun ia terkenal dengan kerendahan hati dan kesederhanaannya, sering juga bersandiwara sesuka hati di hadapan pelindungnya. Namun persahabatan ini tidak berlangsung lama, dan Al-Farabi yang melepaskan persekutuannya itu, tidak mengambil semua keuntungan yang berlimpah dari kebaikan hati sang pangeran.(Fakhry. 1987: 163). Al-Farabi menghembuskan nafas yang terkhir pada bulan Desember 950 M di Damaskus dalam usia 80 tahun. (Zar.2009: 66). Berikut ini dikemukakan pokok-pokok pikiran filsafat Al-Farabi.

a.   Rekonsiliasi Filsafat dan agama
      Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat yang sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Untuk mempertemukan filsafat Aristoteles dan Plato, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila menemukan pertentangan pikiran antara keduanya.
Dalam merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Al-Farabi menyatakan bahwa para filosof muslim meyakini Al-Qur’an dan Hadits adalah benar, sementara itu para filosof juga benar. Kebenaran tidak boleh lebih dari satu, karena itu ia tegaskan bahwa antara keduanya tidak bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari akal aktif, hanya cara memperolehnya saja yang berbeda. Bagi filosof perantaranya adalah akal aktif mustafad, sedangkan dalam agama perantaranya adalah wahyu yang disampaikan kepada nabi-nabi. Menurut Al-Farabi, kalaupun ada pertentangan, itu hanya dari segi lahirnya yang tidak menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memikirkan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu tidaklah berbeda kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan oleh para filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. (Zar. 2009: 68-70).

b.   Ketuhanan
Dalam pembahasan tentang ketuhanan, Al-Farabi mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, yakni Al-Maujud Al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dangan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Sementara itu untuk membuktikan adanya Allah, ia mengemukakan dalil Wajib Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud. (Zar. 2009: 70).  
Wajibul Wujud adalah wajib yang nyata dengan sendirinya (Wajibul Wujud li-Dzatihi). Ia adalah Wujud Yang Sempurna, adaNya tidak memerlukan sebab dan adaNya tidak karena yang lain. Jika Wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahialan, karena jika Ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan pernah ada. Ia adalah sebab pertama bagi semua yang ada. Wajib Al-Wujud inilah yang disebut Allah (Tuhan).
Adapun mumkin al-wujud adalah wujud yang nyata karena lainnya(wajibul wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa juga tidak wujud, atau dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mumkin. Akan tetapi karena matahari telah wujud, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena wujudnya matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya Sebab Yang Pertama (Allah), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yag nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri. (Hanafi. 1996: 90).
Tentang sifat Allah, Al-Farabi sejalan dengan Mu’tazilah, yaki sifat Allah tidak berbeda dengan dzatNya. Al-Farabi berusaha menunjukkan keesaan Allah dan ketunggalannya, dan menurutnya sifat-sifat Allah adalah dzatNya sendiri. Tentang Asma’ul Husna, menurut Al-Farabi, kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita mau, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzatNya. (zar. 2009: 72-74).
Pandangan Al-Farabi mengenai Tuhan (Allah), sebagaimana yang telah disebutkan diambil dari filsafat aristoteles tentang metafisika dan dari ajaran-ajaran Islam juga Platonisme. Tuhan yang digambarkan Al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari makhlukNya dan Dia tidak bisa dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta penglaman-pengalaman tasawwuf (pengalaman batin). Pandangan tersebut menjadi pembicaraan ramai antara golongan-golongan Islam, dan menyebabkan golongan-golongan fiqih serta golongan-golongan hadits menentang filsafat dan filosof-filosof, karena Tuhan yang digambarkan oleh Qur’an sebenarnya dekat sekali dengan makhlukNya, mengetahui emua perbuatan dan keadaan mereka dan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh filosof-filosof.
Teori Al-Farabi yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya pula, yakni tidak menjadikan alam sebagai obyek pemikiranNya, diambil dari Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan pada anggapan bahwa alam telalu rendah tingkatannya untuk dijadikan obyek pemikiran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Allah hanya memikirkan DzatNya yang menjadi sebab bagi wujudnya alam ini. Jadi pemikiran Allah terhadap alam ini tidak langsung, melainkan cukup melalui DzatNya, yakni dalam kedudukanNya sebagai sebab adanya alam beserta segala peristiwanya. Pendapat Al-Farabi tersebut menjadi dasae filsafat Ibnu Rusyd dan ternyata berpengaaruh luas di kalangan dunia pikir Islam. (Hanafi. 1996: 92).

c.   Emanasi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang Wajib Al-Wujud atau Dzat yang mesti adanya, yakni Allah. Teori Emanasi disebut juga dengan”teori urut-urutan”. (Hanafi. 1996: 92).
Al-Farabi menguraikan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan (Allah), karena Allah mengetahui dzatNya dan mengetahui bahwa Dia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi ilmuNya menjadi menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya. Bagi Allah cukup dengan mengetahui dzatNya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian maka keluarlah alam (makhluk) dari Allah terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Allah, karena Allah tidak membutuhkannya. Alam tersebut tidak merupakan tujuan bagi Allah dan wujudNya bukan karena selainNya.
Karena Allah itu Esa, maka yang keluar dari padaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Allah terhadap dzatNya yang satu. Kalau apa yang keluar dari dzat Allah itu berbilang, maka berarti dzat Allah itupun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tesebut ialah karena dalam pemikiran Allah dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Wujud pertama yang keluar dari Allah tersebut disebut Akal Pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri, yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, yaitu wujud yang nyata dan terjadi karena adanya Allah, sebagai Dzat Yang Menjadikan. Jadi meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal Pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Allah, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran Akal Pertama sebagai wujud yang mumkin, maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh ( al-sama al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua obyek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu benda langit dan jiwanya.
Dari Akal kedua, timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintag tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwanya,dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (Al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (Asy-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (Az-Zuharah) beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian dari satu akal keluarlah satu akal pula dan satu planet beserta jiwanya. Dari Akal Kesepuluh, sesuai dengan dua seginya, yaitu wajib al-wujud karena Allah, maka keluarlah manusia beserta jiwanya dan dari segi dirinya yang merupakan wujud al-mumkin maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit. (Hanafi. 1996: 93-94). Karena Akal Kesepuluh sudah lemah, maka tidak dapat lagi mengeluarkan akal sejenisnya dan hanya dapat menghasilkan bumi,roh-roh dan materi pertamayang menjadi dasar keempat unsur pokok yaitu, air, udara, api dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (Akal Aktif) atau Wahib Al-Shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan bumi. (Zar. 2009: 75-76).
Struktur emanasi Al-Farabi ini dipengaruhi oleh adanya temuan Ilmu Pengetahuan (saintis) saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, ada sepuluh akal dan setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. (Zar. 2009: 78). Andai kata Al-Farabi hidup di zaman sekarang, betapa banyak akal yang dia butuhkan untuk mendukung teorinya, bahkan dia akan membutuhkan akal dalam jumlah yang tak terhingga karena sesuai dengan temuan saintis modern jumlah planaet juga tak terhingga.

d.   Kenabian
      Filsafat keabian Al-Farabi dilatar belakangi oleh pengingkaran kenabian yang dilakukan oleh Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Ibnu Al-Rawandi dalam bukunya Al-Zamarudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW khususnya, mengkritik ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak mu’jizat-mu’jizat keseluruhannya. (Hanafi. 1996: 103). Kritik Al-Razi yang berkebangsaan Yahudi ini dapat didiskripsikan sebagai berikut:
1)   Nabi sebenarnya tidak dibutuhkan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan akal dan dengan akal itu manusia dapat mengetahui Tuhan bserta segala nikmatnya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima perintah dan menjauhi larangannya.
2)   Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.
3)   Mukjizat hanya cerita khayal yang menyesatkan manusia. Siapa yang menerima batu bisa bertasbih dan serigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu ummat Islam dalam perang Badar, mengapa dalam perang uhud tidak?
4) Al-Qur’an bukan mu’jizat dan bukan perkara yang luar biasa. Orang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan tidak mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah yang paling fasahah di kalangan orang Arab.
            Justru itu, dari pada membaca Al-Qur’an, lebih berguna membaca filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, buku Astronomi, logika dan obat-obatan.
            Adapun Al-Razi, seorang dokter dan juga tokoh filsafat juga tidak kuranag bahayanya karena diamenulis dua buku yang berjudul, Makhariq Al-Anbiya aw Hiya Al-Mutanabbi-in (Mainan Nabi-nabi atau Tipu Daya Orang-orang yang Mengaku Menjadi Nabi) dan Naqdl Al-Adyan aw fi Al-Nubuwwat (Menentang Agama-Agama atau Tentang Kenabian). (Hanafi. 1996: 103).
            Dalam suasana yang demikian ini Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut, apa lagi keduanya sezaman dengannya. Dialah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada lagi penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat kenabian ini didasarkan pada psikologi  dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi ialah mempunyai daya imajinasi yang sangat kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal Kesepuluh) yang menurut penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal Kesepuluh.
Seorang nabi dianugerahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Akal Kesepuluh. Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan diberi nama hads. Tidak ada akal yang lebih kuat daripada akal yang demikian ini, dan hanya nabi-nabi yang memiliki akal seperti itu. Sementara itu filosof dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan) yang lebih rendah dari akal nabi yang mempunyai akal materiil atau hads. Oleh karena itu setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof adalah nabi. Filosof tidak bisa menjadi nabi atau kenabian itu tidak bisa diusahakan, karena nabi itu selamanya adalah tetap manusia pilihan Allah. (Zar. 2009: 79-81).
Keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan penafsirannya secara ilmiah dapat dikatakan tiada duanya, terutama di dunia filsafat Islam.

e.   Negara Utama
Melalui bukunya Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, Al-Farabi membagi negara atau pemerintahan menjadi Negara (Kota) Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah), Negara Jahil (Al-Madinah Al-Jahilah), Negara Fasiq (Al-Madinah Al-Fasiqah), dan Negara Berubah (Al-Madinah Al-Mutabadilah). Dalam hal ini bahasan Al-Farabi lebih terfous pada Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Negara Utama sebagai suatu masyarakat yang sempurna (Al-Mujtami’ Al-Kamilah), dalam arti masyarakat yang sudah lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan oleh Al-Farabi sebagai organisme tubuh manusia dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh bekerja sesuai dengan fungsinya, apabila salah satu organ tubuh sakit, maka organ yang lain ikut merasakan penderitaannya dan akan menjaganya. Masyarakat Negara Utama yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu dan saling melengkapi. Masing-masing mereka bekerja sesuai dengan kemampuan dan spesialisasinya. Fungsi kepala negara serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, dan keselarasan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, ia harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, seperti bertubuh sehat,berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai wahyu. Oleh karena itu, yang paling ideal sebagai kepalaa neara adalah nabi atau rasul atau filosof. Tugas kepala negara selain mengatur negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat kepala negara yang ideal ini, pimpinan negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki kepala negara yang ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam beberapa orang, maka negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat. Dari sini terlihat bahwa Al-Faraby menepis bentuk negara kapitalisme dan sosialisme komunis. (Zar. 2009: 83-85).
Keunggulan filsafat pemerintahan Al-Faraby ini, terletak pada tujuan pemerintahan yang hendak dicapai, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Peranan kepala negara sangat menentukan, dia tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara negara dalam urusan material rakyatnya, tetapi juga berfungsi sebagai pendidik, pengajar dan pemimpin spiritual.

f.    Filsafat Jiwa
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan jasad dan roh merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa kepada binasanya jiwa. Jiwa manusia berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.   Daya Al-Muharrikat (gerak), yang mendorong untuk makan, memelihara, dan bergerak.
b.   Daya Al-Mudrikat (mengetahui), yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.   Daya Al-Nathiqat (berfikir), mendorong untuk berfikir secara teoritis dan praktis.
      Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat sebagai berikut:
-          Akal Potensial (Al-Hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi berfikir dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya
-          Akal Aktual (Al-‘Aql bi Al-Fi’l), akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk aktual.
-          Akal Mustafad (Al-‘Aql Al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh. (Nasution. 1973: 74)
Menurut Al-Farabi jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintahNya, ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sedangkan jiwa yang tidak kenal Allah sama sekali dan tidak pula pernah melakukan perintah Allah, maka ia akan lenyap bagaikan jiwa hewan. (Zar. 2009: 74).

g.   Akal
Menurut Al-Farabi akal ada tiga jenis yaitu, Allah sebagai akal, akal dalam filsafat emanasi, dan akal yang terdapat pada diri manusia. Allah sebagai akal dan akal-akal dalam filsafat emanasi tidak mempunyai fisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaan yag sabgat tajam. Allah sebagai Akal adalah Pencipta dan Esa semutlak-mutlaknya, Maha Sempurna dan tidak mengandung pluralitas.
Adapun akal-akal dalam filsafat emanasi terdiri dari sepuluh akal dan masing-masing akal mengurus satu planet termasuk bumi, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Akal yang terdapat dalam diri manusia ialah akal sebagi daya berfikir.akal ini juga tidak mempunyai bisik tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat, yang terdiri dari Akal Potensial, Akal Aktual dan Akal Mustafad. Akal yang disebut terakhir inilah yang dimiliki oleh filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui akal kesepuluh (Akal Fa’al). (Zar. 2009: 88-90).

3.   Ibnu Sina
Menurut penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah (980 M), tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), dimana ayahnya hidup dalam berbagai kebudayaan, tingal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu pindah ke Bukhara, si pemuda (Abu ‘Ali Al-Husain Ibnu ‘Abd Allah Ibnu Hasan Ibnu ‘Ali Ibnu Sina / Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam hal membaca, menulis, aritmatika/yurisprudensi, dan logika. Diantara guru-gurunya hanya Abu ‘Abdullah Al-Natili dan Isma’il sang Zahid yang disebut namanya. Ia menyebut seorang penjual makanan yang kelihatannya ahli dalam bidang aritmatika India dan juga seorang penganjur Isma’illiyah pernah mengunjungi ayahnya yang telah menggolkan tujuan-tujuan Isma’illiyah. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat telah berkembang sejak ia menyimak percakapan mereka, tetapi studi sistematiknya tentang logika, filsafat da kedokteran di mulai beberapa saat kemudian.
Perubahan yang tidak diduga-duga dalam kariernya timbul sebagai hasil perkenalannya denga sultan Samani dari Bukhara, Nuh bin Mansur yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Perkenalan ini mengakibatkan ia dapat berhubungan dengan beberapa pangeran dan wazi-wazir, yang mengangkatnya sebagai dokter istana atau aide. Ia pindah dari istana Samani ke istana sultan Buwayhid kemudia ke Hamadan. Selama persanabatannya dengan pangeran-pangeran Buwayhid Ibnu Sina tidak pernah lepas dari belenggu penderitaan dan kesengsaraan. Nasibnya sangat tergantung pada keadaan yang menyenangkan atau kesehatan yang buruk dari para pelindunggnya, dan juga pada suka cita tentara-tentara mereka. Kesehatannya sendiri akhirnya terganggu akibat terlalu gemar pada minuman dan wanita. Setelah berulang kali usaha dilakukan untuk memelihara dirinya dari rasa mulas (colic), namun dokter yang paling ahli pada masa itu, akhirnya tak berhasil, sehingga pada tahun 1037 M ia meninggal dunia pada usia 58 tahun. (Fakhry. 1987: 191-193).
Walaupun sibuk bekerja dalam pemerintahan, Ibnu Sina tetaplah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga tidak sedikit karya tulis yang sangat besar pengaruhnya yang ditinggalkan kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun dunia timur. Diantara karya-karyanya yang terpenting adalah:
a.   Al-Syifa’,berisikan uraian filsafat yang terdiri atas empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
b.   Al-Najat, berisi ringkasan dari kitab Al-Syifa. karya tulis ini ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
c.   Al-Qanun fi Al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan jenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d.  Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.

Adapun pokok-pokok pikiran filsafat Ibnu Sina antara lain sebagai berikut:
a.  At-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat.
Seperti halnya Al-Farabi Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan antara filsafat dan agama. Menurut Ibnu Sina nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama yaitu dari malaikat jibril yang disebut juga dengan Akal Kesepuluh, hanya saja cara memperolehnya yang berbeda. Nabi memeperoleh melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat) sedangkan filosof melalui akal mustafad. Akal materiil yang di anugerahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihanNya (nabi-nabi) memiliki daya yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan akal mustafad yang diperoleh para filosof melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, sedangkan pengetahuan yang diperoleh filosof disebut ilham, tetapi keduanya tidak bertentangan. (Nasution. 1983: 18,84). Ibnu Sina juga menegaskan bahwa nabi adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya menjadi nabi, termasuk para filosof yang mempunyai kekuatan intelektual yang tinggi. Dalam merekonsiliasikan antara filsafat dan agama Ibnu Sina juga menggunakan takwil. Kebenaran yang disampaikan nabi seperti adanya hari akhirat dan lain-lain dapat diterima dan dibenarkan manusia baik secara rasional maupun secara syar’i. (Zar. 2009: 95-96).

b.      Ketuhanan
Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud, terkesan bahwa Ibnu Sina menduplikat Al-Farabi. Akan tetapi dalam filsafat wujud, bahwa segala yang ada dibagi menjadi tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
1) Wajib Al-Wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud tetapi ia wajib dan mesti berwujud selamanya.
2) Mumkin Al-Wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud.
3)      Mumtani’ Al-Wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
Untuk membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhlukNya, tetapi cukup dengan dalil adanya Wujud Pertama, yakni Wajib Al-Wujud. Jagad raya ini Mumkin Al-Wujud yang memerlukan sesuatu sebab (‘Illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari dzatnya sendiri. Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak memerlukan pada perenungan selain terhadap Wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujudNya dengan salah satu makhlukNya. (Zar. 2009: 96-98)

c.   Emanasi
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal mengurusi sembilan planet dan Akal Kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya (Al-Farabi), bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya (Zar. 2009: 102-103)

d.   Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa yang lain dan segala apa yang terdapat dibawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa tebagi pada dua bagian berikut:
1)      Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
a)   Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya, makan, tumbuh, dan berkembang biak.
b) Jiwa binatang mempunyai dua daya yaitu, gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya menangkap (al-mudrikat) tebagi menjadi dua bagian:
(1)  Menangkap dari luar (al-mudrikat min al-kharij) dengan panca indra
(2) Menagkap dari dalam (al-mudrikat min al-dakhil) dengan indra-indra batin (al-hawas al-bathinat) yang terdiri atas lima indra berikut:
(a) Indra bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima segala yang ditangkap oleh indra luar
(b) Indra al-khayyal yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama
(c) Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal
(d) Indra wahniyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala
(e) Indra Pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
(3) Jiwa manusia, yang disebut juga al-nafs al-nathiqat mempunyai dua daya: praktis (al-amilat) dan teoretis (al-alimat). Daya praktis berhubungan dengan jasad sedangkan daya teoretis berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya teoretis mempunyai empat tingkatan sebagai berikut:
(a) Akal materiil (al-‘aql al hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit
(b) Akal al-malaqat (al-‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
(c) Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak
(d) Akal mustafad (al-‘aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sangup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal Akal Aktif.

2)   Metafisika membicarakan tentang hal-hal berikut
a)   Wujud Jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa , Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut.
(1)  Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua jenis:
(a)  gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar
(b) Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan.
(2)  Konsep aku dan Fenomena Kesatuan Psikologis
Dalam masalah psikologi, terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
(3)  Dalil Kontinuitas (al-istimrar)
Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian sedangkan jiwa manusia bersifat kontinu (istimrar) tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa yang kita pakai sejak lahir dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan.
(4)  Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Diandaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wjud yang sempurna, kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup. Dia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya terpisah-pisah sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada disaat itu ia mengkhayalkan adanya tangan kaki dan organ jasad lainnya tetapi semua organ jasad tersebut dikhayalkan bukan bagian dari dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikian ini dalil-dalil yang dikemukakan ibnu sina sebagai bukti tentang adanya jiwa.


b)   Hakikat Jiwa
Ibnu Sina mendiskripsikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa adalah substansi materi, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh).

c)   Hubungan Jiwa dengan Jasad
Antara jiwa dan jasad keduanya saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya.

d)   Kekekalan Jiwa
Jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang akan hancur bersamaan dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi kekalnya ini dikekalkan oleh Allah. Jadi jiwa adalah baharu (al-huduts) karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir). (Zar. 2009: 104-112).

F.   Kesimpulan
Manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri. Fenomena alam yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia menimbulkan keheranan dan berbagai pertanyaan. Dengan kekuatan akalnya manusia terus berusaha mencari jawaban tentang segala sesuatu atau kekuatan yang ada dibalik peristiwa alam yang serba misterius tersebut. Usaha manusia untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang ditimbulkan oleh rasa heran itu kemudian mendorongnya untuk menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan logis dalam fakta-fakta untuk mengetahui hakikat segala sesuatu. Dengan kata lain, karena hal-hal sebagaimana tersebut, maka terdoronglah manusia untuk melakukan kegiatan filsafat.
Penggunaan kata Philosophia (filsafat), yang berarti cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan untuk yang pertama kalinya, seiring dengan pertumbuhan filsafat zaman Yunani kuno (± 600 SM). Dalam sejarah filsafat Yunani kuno (± 600 SM – 200 M), terdapat tiga periode yaitu; periode awal, periode keemasan dan periode Hellenitas dan Romawi. Periode awal ditandai dengan munculnya para filosof seperti, Thales, Anaximenes, Anaximandros dan lain-lain. Adapun periode keemasan juga ditandai munculnya tiga nama besar, yakni Plato, Aristoteles dan Sokrates yang karya-karya mereka masih terus dibicarakan orang sampai sekarang ini. Kecuali tiga nama besar tersebut  masih ada banyak lagi deretan nama-nama filosof yang muncul pada masa ini. Masa berikutnya adalah masa Hellenitas dan Romawi yang tidak dapat dilepaskan dari peran raja Alexander Agung. Raja yang agung ini berhasil mendirikan kerajaan besar yang berkuasa tidak hanya di Yunani, tetapi juga di daerah-daerah sebelah timurnya. Pada masa itu kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supra nasional yang disebut dengan Hellenitas yang berarti, berbahasa Yunani atau menjadikan Yunani.
Persinggungan dunia Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani didahului oleh kontak langsung dunia Arab dengan peradaban Yunani sebelum Islam melalui Siria, Mesopotamia dan Mesir. Hal ini terjadi ketika Alexander Agung menakhlukkan daerah-daerah tersebut. Raja Agung ini tidak hanya menakhlukkan, tetapi juga membawa misi untuk menanamkan budaya Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya.
Sementara itu Islam semenjak kelahirannya telah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap Ilmu pengetahuan dan termasuk juga filsafat.  Masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam tradisi keilmuan Islam semakin tampak jelas setelah penakhlukan Mesir pada tahun 641 M. Pada masa Daulah Umawiyyah, pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani sedah tampak jelas, namun belum begitu populer. Hal ini dikarenakan pada masa itu, kecuali masih sibuk dengan urusan penakhlukan dan perluasan wilayah, juga karena kegiatan kaum muslimin masih banyak mengacu kepada kebudayaan Arab.
Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam mencapai keemasannya pada masa Daulah Abbasiyyah, bertepatan dengan dicapainya Zaman kejayaan Islam. Pada masa ini banyak dilakukan kegiatan penerjemahan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, yang pada gilirannya hal ini banyak melahirkan filosof dan ilmuwan Islam sehingga peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Selama berabad-abad peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya yang cemerlang, di mana pada saat yang sama wilayah yang jauh dari kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan.
Jatuhnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, tidak saja meruntuhkan Daulah Abbasiyyah yang berati kemunduran politik secara drastis, tetapi juga mengawali kemunduran peradaban Islam. Perkembangan selanjutnya, setelah melewati periode tiga kerajaan besar, yakni Syafawi, Mughal dan Turki Usmani, menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar mengalami kemerosotan secara universal, dan ummat Islam menjadi bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat. Penyebab utama dari kemunduran ini antara lain adalah runtuhnya tradisi keilmuan yang terjadi di kalangan ummat Islam pada masa itu. Dengan mencermati kilasan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban di dunia Islam, terlihat adanya korelasi yang sangat jelas antara perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan jatuh bangunnya peradaban Islam. Kemajuan dan kemunduran ummat atau peradaban Islam tampak berkaitan langsung dengan kemajuan dan kemunduran filsafat dan ilmu pengetahuan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa, filsafat merupakan aspek peradaban Islam yang sangat penting.
Kejayaan Islam di masa Daulah Abbasiyyah ditopang oleh kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh filsafat yang bermunculan pada masa itu. Terlepas dari perbedaan pendapat dan pertentangan yang terjadi di antara mereka, kemunculan tokoh-tokoh filsafat mulai dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya telah mengiringi kejayaan peradaban Islam hingga sampai ke puncaknya.




DAFTAR REFERENSI

-          Al-Ahwani, Ahmad, Fuad. 1997. Filsafat Islam. Diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.  
-          Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilamu. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
-          Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
-          Boy, Pradana. 2003. Filsafat Islam. Malang: UMM Press.
-          Fakhry, Majid. 1987. Sejarah Filsafat Islam. Diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Karanegara. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
-          Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
-          Hassan, Fuad. 1989. Berkenalan dengan Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
-          Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-          Majid, Nurkholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta Selatan: Paramadina.
-          Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Misticisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
-          Nasution, Harun. 1985. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.
-          Nasution, Harun. 1991. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
-          Qadir, C.A. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Alih bahasa Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.  
-          Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
-          Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika  Aditama.
-          Zar, Sirajuddin. 2009. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar