A. PENDAHULUAN
Secara substansial maupun
historis, filsafatlah yang menjadi cikal bakal atau yang melatar belakangi
kelahiran ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui ketajaman
panca indera dan ketajaman akal manusia. Dalam proses perkembangannya, filsafat
dan ilmu pengetahuan tetap menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Kelahiran ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari peranan filsafat dan sebaliknya, perkembangan
ilmu pengetahuan semakin memperkuat keberadaan atau eksistensi filsafat.
Islam sangat menganjurkan
kepada pemeluknya untuk banyak berfikir (menggunakan akal), dan memperhatikan
apa yang ada di sekelilingnya (mengadakan penelitian), bahkan mencela
orang-orang yang malas berfikir (tidak mau menggunakan akalnya). Allah SWT
telah berfirman:
إنّ
فى خلق السّماوات و الأرض و اختلاف الّيل و النّهار لآيات لّأول الألباب (ال عمران ١٩٠)
“Sungguh
pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ’Imran
190)
Fakta sejarah juga telah membuktikan bahwa kemajuan dan
perkembangan peradaban Islam tidak terlepas dari pengaruh masuknya filsafat ke
dalam dunia Islam.
Makalah ini akan membahas tentang
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Karena luasnya
perbincangan mengenai filsafat dan ilmu pengetahuan, maka pembahasan pada
makalah ini akan dibatasi hanya pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. latar
belakang timbulnya kegiatan filsafat,
2. perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam,
3. tokoh-tokoh filsafat Islam dan pokok-pokok
pikirannya,
4. Filsafat sebagai
aspek peradaban Islam yang sangat penting.
B. PENGERTIAN
DAN LATAR BELAKANG TIMBULNYA KEGIATAN FILSAFAT
1. Pengertian
Filsafat
Secara
etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani; philosophia, yang terdiri dari dua
kata yaitu philo dan sophia. Philo berarti cinta dalam
arti luas, yakni keinginan dan sophia berati hikmat (kebijaksanaan) atau
kebenaran. Jadi secara etimologi, filasafat berarti cinta
kebijaksanaan atau kebenaran (Tafsir.1990: 8).
Pengertian
filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik
tekannya. Mohammad Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa filsafat tidak perlu
didefinisikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam
definisinya. Oleh karena itu biarkan saja orang meneliti filsafat terlebih
dahulu kemudian menyimpulkannya sendiri. (Tafsir.1990: 8).
Berdasarkan
telaah sejak zaman Yunani kuno sampai dengan sekarang, beberapa ahli filsafat
telah mendifinisikan bidang kajian ini. Misalnya, Plato menyatakan
filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni.
Murid Plato, Aristoteles mendifinisakan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran, seperti ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Descartes mendifinisikan
filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. (Wiramihardja. 2006: 11)
Al-Farabi
mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. (Tafsir.1990: 9)
Pengertian
filsafat menurut Fuad Hassan adalah, suatu ikhtiar untuk berfikir radikal;
radikal dalam arti radix-nya suatu gejala; dari akarnya sesuatu yang
hendak dipermasalahkan. Dan dengan jalan penjagaan yang radikal itu filsafat
berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang universal. (Hassan.1989:
10)
Harun
Nasution mengatakan bahwa, filsafat adalah berpikir menurut tata tertib
(logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan
sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan. (Nasution. 1991: 3)
2. Latar
Belakang Timbulnya Filsafat
Manusia
adalah makhluk yang selalu mempersoalkan segala sesuatu. Banyak hal yang ingin
diketahui manusia. Bermula dari keheranan, kemudian muncul
pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan jawaban, karena itu
timbullah usaha untuk mencari jawaban atas segala sesuatu yang
ditanyakannya. Dengan menemukan jawaban,
maka bertambahlah ilmunya. Semakin heran, semakin banyak pertanyaan, semakin
keras usahanya untuk mencari jawaban, dan semakin menemukan jawaban, maka
ilmunya akan semakin dalam dan semakin bertambah luas. Dengan bertambahnya ilmu,
semakin dalam dan semakin luas, maka seseorang akan semakin mampu menganalisis
masalah secara lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan
demikian seseorang akan mampu memahami lingkungannya kemudian dapat bertindak
dengan benar. Kebenaranlah yang akan membawa manusia kepada puncak kebahagiaan
hidupnya. (Wiramihardja. 2006: 4).
Karena
selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, maka
timbullah keheranan pada diri manusia terhadap alam, kemudian timbullah
pertanyaan-pertanyaan atas segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi di alam
ini. Masyarakat primitif hidup dalam
kesederhanaan dalam berbagai aspek, baik aspek materi maupun aspek kepercayaan.
Mereka hidup dengan bergantung kepada alam, namun alam ada kalanya tidak bersahabat
dengan mereka. Air yang mereka anggap sangat bermanfaat tiba-tiba mendatangkan
bencana, seperti banjir dan melongsorkan tanah. Tanah yang menjadi tempat
tumbuhnya berbagai tanaman yang menjadi sumber penghidupan mereka, tiba-tiba
bergoyang dan menghancurkan segalanya. Hal semacam inilah yang menimbulkan
kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia.
Kekuatan itu tidak tampak dan liar tetapi mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
manusia.
Dari
hal tersebut di atas, muncullah kepercayaan dinamisme bahwa setiap benda mempunyai kekuatan gaib
(misterius). Benda-benda tertentu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang sangat
besar, sehingga dipuja sebagai benda bertuah atau mempunyai kesaktian yang
dapat digunakan untuk melawan musuh, menyuburkan tanah, menyembuhkan penyakit
dan sebagainya.
Kemudian,
muncul pula kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa semua benda, baik yang
bernyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai jiwa atau roh. Jiwa atau roh
menurut kepercayaan masyarakat primitif mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa
senang dan susah. Jikalau roh sampai marah, maka akan membahayakan hidup
manusia. Oleh karena itu, manusia harus menjaga agar roh itu tidak marah dengan
mencari kerelaannya. Cara untuk merayu roh agar tidak marah yaitu dengan
memberi sesajian berupa makan atau dengan memberikan kurban.
Para ahli agama berpendapat bahwa dinamisme
lebih dulu muncul dari pada animisme. Dalam dinamisme belum ada
kepercayaan pada roh orang yang meninggal yang bisa menjalin persahabatan
dengan keluarga yang masih hidup. Kepercayaan demikian baru muncul dalam animisme.
Dengan demikian dinamisme muncul lebih dulu dari pada animisme,
lagi pula dinamisme lebih sederhana dari pada animisme. Dari animisme
kemudian meningkat menjadi politeisme. (Bakhtiar. 1997: 65)
Kepercayaan
kepada benda yang mempunyai kekuatan gaib (dinamisme), meningkat menjadi
kepercayaan kepada roh yang disebut animisme. Pada perkembangannya
animisme tidak berhenti pada anggapan bahwa semua benda mempunyai roh, tetapi
meningkat pada kepercayaan bahwa di antara benda-benda yang mempunyai roh itu
ada yang sangat kuat sehingga menimbulkan pengaruh pada alam. Benda yang
dianggap mempunyai kekuatan yang paling besar itulah yang dijadikan simbul
penyembahan dan peribadatan.
Roh
yang menjadi simbul penyembahan pada kepercayaan animisme itu akhirnya
diberi nama sesuai dengan fungsinya, seperti dewa api, dewa laut, dewa petir,
dewa hujan dan sebagainya. Dengan demikian dari kepercayaan animisme
meningkat menjadi politeisme yang mayakini adanya banyak dewa. Dewa-dewa
itulah yang mempunyai kekuatan besar dan yang mengendalikan alam ini sehingga
para dewa itu harus dipuja dan disembah.
Perkembangan
kepercayaan dari dinamisme menjadi animisme kemudian menjadi politeisme bahkan
akhirnya meningkat menjadi monoteisme, merupakan rentetan sejarah peradaban dan
pemikiran manusia dalam upayanya mencari jawaban atas keheranan dan
pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap kekuatan yang ada dibalik alam semesta
ini. Ketidakpuasan terhadap mitos-mitos yang dilandasi oleh kepercayaan-kepercayaan
dalam menjawab keheranan dan pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatar
belakangi timbunya filsafat. Manusia yang sudah tidak percaya lagi dengan
adanya mitos-mitos kemudian berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan
logis yang terdapat dalam fakta-fakta. Ilmu positif adalah ilmu yang diambil
dari data yang empiris, kemudian dihubungkan dengan pengertian umum yang
berasal dari akal. (Bakhtiar.1997:75)
C. FILASAFAT YUNANI KUNO
Orang-orang
Yunani pada awalnya sangat percaya kepada dongeng dan takhyul. Lama kelamaan,
terutama setelah mereka mampu membedakan yang riil dan yang ilusi, mereka mampu
keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah.
Inilah titik awal manusia menggunaka rasio untuk meneliti dan sekaligus
mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya. (Bakhtiar. 2009: 232). Filsafat
telah berhasil merubah pola pikir bangsa Yunani bahkan ummat manusia di dunia
dari pandangan mitosentris menjadi logosentris, yaitu pola pikir
yang semula mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam menjadi pola
pikir yang mengandalkan rasio. Anggapan yang semula, bahwa semua
kejadian di alam ini dipengaruhi atau merupakan aktivitas para dewa berubah
menjadi anggapan bahwa fenomena alam tersebut adalah aktivitas alam yang
terjadi secara kausalitas.
Untuk
menelusuri filsafat Yunani, perlu dijelaskan terlebih dahulu asal mula
penggunaan kata filsafat. Sekitar abad
IX sebelum masehi atau paling tidak thun 700 sebelum masehi, di Yunani sophia
diberi arti kebijaksanaan dan dapat juga berarti kecakapan. Kata Philisophia
mula-mula dipergunakan oleh Heraklitos (540-480 SM). Sementara ada pula yang
mengatakan bahwa yang menggunakan kata tersebut untuk pertama kalinya adalah
Pythagoras (580-500 SM). Namun pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang
mengatakan bahwa Herakitos yang pertama kali menggunakan istilah tersebut.
(Bakhtiar. 2009: 22). Pradana Boy dalam bukunya “Filsafat Islam”
mengatakan bahwa philosophos (filosof) sebagai suatu istilah tehnis
tidak digunakan pada seorangpun sebelum Socrates dan begitu juga sesudahnya.
Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada
zaman itu, bahkan Aristoteles juga tidak menggunakannya. Belakangan penggunaan
istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin meluas. (Boy.
2003: 28)
Pada
zaman Yunani kuno (600 SM – 200 M) terdapat tiga periode masa sejarah filsafat
yaitu, masa awal, masa keemasan, serta masa Helenitas dan Romawi.
(Wiramihardja. 2006: 46). Masa awal filsafat Yunani kuno ditandai dengan
tercatatnya tiga nama filosof yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales (± 624-546
SM), Anaximandros (± 610-540 SM), dan Anaximenes (± 538-480
SM). Selain ketiga nama tersebut ada beberapa nama dari daerah lain seperti,
Herakleitos (± 540-475 SM) dari Ephesos, Pythagoras (± 580-500
SM), dari Italia selatan, Parmenides (± 540-475 SM) dari Elea, Xenophanes (± 570-480 SM) dari Kolofon-Asia
Kecil, dan Demokritos (± 460-370 SM) dari Abdera.
Masa
keemasan filsafat Yunani kuno, ditandai dengan sejumlah nama besar yang sampai
ekarang tidak pernah dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk pemikir yang
berbeda pendapat sekalipun. Sejumlah nama besar itu antara lain adalah, Protagoras
(± 480-411
SM), Socrates (± 469-399 SM), Plato (±
427-347 SM), dan Aristoteles (± 384-322 SM).
Masa
Helenitas dan Romawi adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dari peranan
raja Alexander Agung. Raja ini telah mampu mendirikan negara besar yang tidak
sekedar meliputi seluruh Yunani, tetapi juga daerah-daerah di sebelah timurnya.
Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional. Kebudayaan Yunani ini
disebut “Kebudayaan Helenitas”. Helenisme berasal dari kata hellenizein yang
berarti berbahasa Yunani atau menjadikan Yunani. Dalam bidang kebudayaan,
selain akademia lykeion dibuka juga sekolah-sekolah baru dan yang
menjadi tekanan pembelajarannya adalah masalah etika, yaitu bagaimana sebaiknya
seseorang mengatur tingkah lakunya agar dapat hidup bahagia dalam kehidupan
bersama. Ada
sejumlah aliran pada masa ini seperti, stoisme, epikurisme, skeptisisme,
elektisisme dan neoplatonisme. (Wiramihardja. 2006: 46-51 ; Hadiwijono. 1980:
15-69).
Puncak
kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (±
384-322 SM). Filsafat Yunani yang rasional boleh dikatakan brakhir setelah
Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional itu masih
digunakan selama beberapa abad sesudahnya, sampai sebelum filsafat Yunani
benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan. Namun jelas setelah
periode ketiga filosof besar ( Socrates, Plato, Aristoteles), mutu filsafat
semakin merosot. Kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik pada masa
itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan
kecil setelah wafatnya Alexander Agung. Tepat pada ujung zaman Helenisme, yaitu
pada ujung sebelum Masehi, menjelang neoplatonisme, filsafat benar-benar
mengalami kemunduran. (Bakhtiar. 2009: 31-33).
D. PERKEMBANGAN
FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN DI DUNIA ISLAM
1. Persinggungan
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Yunani dengan Dunia Arab sebelum Islam
Dalam
rekaman sejarah terjadinya kontak antara ummat Islam dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani didahului oleh kontak langsung antara dunia Arab dan Yunani
sebelum Islam melalui daerah Siria, Mesopotamia,
dan Mesir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Yunani datang ke daerah-daerah ini
ketika penakhlukan oleh Alexander Agung ke timur pada abad ke empat ( 331 SM).
Alexander Agung mempersatukan orang-orang Yunani dan Persia dalam satu negara besar
dengan cara sebagai berikut:
a. Mengangkat
pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan Persia.
b. Mendorong
perkawinan campuran antara Yunani dan Persia, bahkan ia pernah menyelenggarakan
perkawinan massal 24 Jendral dan 10.000 prajuritnya dengan wanita-wanita Persia
di Susa.
c. Alexander
Agung sendiri kawin dengan Statira, putri Darius, raja Persia yang kalah perang.
d. Mendirikan
kota-kota dan pemukiman-pemukiman yang dihuni bersama oleh orang-orang Yunani
dan Persia.
(Nasution. 1985: 54) .
Sebuah catatan sejarah menyatakan, ketika
datang ke Timur Tengah pada abad keempat sebelum Masehi, Alexander Agung tidak
hanya membawa kaum militer, tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukan hanya
melakukan ekspansi daerah kekuasannya keluar Macedonia, tetapi juga menanamkan
kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu, ia adakan
pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya dengan penduduk setempat.
Dengan jalan demikian, maka berkembanglah filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani
di Timur Tengah dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariyah
di Mesir, Antokia di Suria, Selopsia serta Jundisapur di Irak dan Baktra
(sekarang Balkh)
di Iran. (Boy. 2003: 31). Di antara bekas-bekas pengaruh Hellenisme di
daerah-daerah ini ialah bahasa administrasi yang dipakai adalah bahasa Yunani,
bahkan di Mesir dan Suria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam di
kedua daerah ini hingga abad ke tujuh oleh Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan (685-705 M) diganti
dengan bahasa Arab
(Nasution. 1973: 8). Boleh dikatakan hal ini merupakan awal persentuhan
filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dengan dunia Arab, yang dapat pula
diartikan sebagai babak pendahuluan masuknya filsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani ke dunia Islam.
Sementara itu pada sisi lain, seperti telah diungkapkan
sejarah, telah terjadi pelenyapan semua akademi filsafat Yunani dan pengusiran
para filosofnya oleh kaisar Justianus dari Bizantium pada tahun 529 Masehi.
Menurut kaisar ini ajaran filsafat bertentangan dengan agama Masehi. Pada
umumnya para filosof Yunani lari ke Jundisapur dan dierima baik oleh maharaja Persia.
Kasus ini dapat diartikan bahwa kegiatan filsafat dan ilmu pengetahuan sudah
pindah dari Yunani (Barat) ke Jundisapur dan daerah-daerah lainnya di Timur.
(Zar. 2009: 34).
2. Perkembangan
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan pada Awal Islam hingga Daulah Amawiyyah
Sejak
awal kelahirannya Islam telah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap
ilmu pengetahuan bahkan juga filsafat. Kalau dilacak akar sejarahnya pandangan
Islam tentang pentingnya ilmu pengetahuan tumbuh bersamaan dengan munculnya
Islam itu sendiri. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
adalah perihal perihal membaca.
Allah SWT, telah berfirman :
إقرأ باسم ربّك الّذى خلق ـ خلقالإنسان من علق ـ إقرأ و
ربّك الأكرم ـ الّذى علّم بالقلم ـ علّم الإنسان ما لم
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(QS. Al-‘Alaq 1-5)
Dari
kata “Iqra’ ” ini, kemudian lahir berbagai makna seperti, menelaah,
mendalami, meneliti, membaca ayat yang tertulis (ayat Al-Qur’aniyyah) maupun
yang tidak tertulis (ayat al-kauniyyah), dan sebagainya. Tidak sedikit ayat
Al-Qur’an maupun hadits Rasululah SAW, yang mengemukakan tentang keutamaan ilmu
pengetahuan. Demikian pula halnya dengan filsafat atau cara berfikir filafati.
Hal ini antara lain dapat kita lihat pada kisah pencarian Tuhan yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT telah berfirman :
و كذالك نرى إبراهيم ملكوت السّماوات و الأرض و ليكون من
الموقنين ـ فلمّا جنّ عليه الّيل رءا كوكبا قال هاّا ربّى فلمّا أفل قال لا أحبّ
الآ فلين ـ فلمّا رءا القمر بازغا قال هاذا ربّى فلمّا أفل قال لئن لّم يهدى ربّى
لأكوننّ من القوم الضّآلّين ـ فلمّا رءا الشّس بازغة قال هاذا ربّى هاذا أكبر فلمّا
أفلت قال يا قوم إنّى بريء مّمّا تشركون ـ إنّى وجّهت وجهى للّذى فطر السّماوات و الأرض
حنيفا و ما أنا من المشركين (الأنعام ٧٥-٧٩)
75. Dan Demikianlah
Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di
langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang
yakin.
76. Ketika malam telah gelap, Dia melihat
sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala
bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang
tenggelam."
77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan
terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. (QS. Al-An’am 75-79)
Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu
kebudayaan yang asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain, yang
kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan pemahaman
filosofisnya. (Bakhtiar. 2009: 35). Satu hal yang mesti diingat bahwa sejak
zaman Nabi SAW dan Khulafa Al-Rasyidin pertumbuhan ilmu pengetahuan
berlangsung sangat pesat.
Tahapan penting berikutnya dalam proses perkembangan dan
tradisi keilmuan Islam adalah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam.
Ketika Mesir akhirnya takhluk kepada kekuasaan Arab tahun 641 M, Iskandariyah
tetap berkembang sebagai pusat filsafat kedokteran dan ilmu pengetahuan Yunani.
(Boy. 2003: 31). Interaksi intelektual orang-orang muslim dengan dunia
pemikiran Hellenik terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Syiria,
Mesopotamia, dan Jundisapur (Persia).
Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan
penterjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuno, yang kelak
didukung dan disponsori oleh para penguasa muslim (Majid. 2008: 219).
Pada masa berkuasanya Bani Umayyah, pengaruh filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani belum begitu kelihatan. Hal ini disebabkan masa ini adalah
masa di mana kaum muslimin masih disibukkan dengan persoalan penakhlukan dan
perluasan wilayah ke daerah-daerah sekitarnya. Selain dari itu, kegiatan kaum
muslimin masih banyak mengacu pada kebudayaan Arab. (Zar. 2009: 34).
Pasca fitnah al- kubra muncullah aliran-aliran teologis yang pada
dasarnya berkembang karena alasan politis. Pada
saat itu muncul aliran Syi’ah yang membela Ali, Khwarij
dan kelompok Muawyyah. Kemudian muncul pula dua orang tokoh besar yang tidak
mau terlibat dalam perdebatan teologis. Kedua tokoh besar itu adalah Abdullah Ibnu
Abbas yang mencurahkan perhatian pada ilmu tafsir dan Abdullah Ibnu Umar yang
mencurahkan perhatiannya pada ilmu hadits. Mereka inilah yang kemudian sering
disebut sebagai moyang golongan Sunni atau Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah. Dari
sinilah awal kajian Islam bidang teologi sudah dimulai, walaupun masih
berbentuk embrio. Kemudian sesudah itu, muncul pula aliran Jabariyah yang
dipelopori oleh Jahm Ibnu Shofwan dan Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil
Ibnu Atha’. Dari adanya pandangan yang
dikotomi antara keduanya, kemudian muncullah usaha untuk menengahi dengan menggunakan
argumen-argumen Hellenisme terutama filsafat Aristoteles yang dilakukan oleh
Abu Al-Hasan dan Al-Maturidi. (Bakhtiar. 2009: 38-39).
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa, sejak
kelahiran Islam dunia Arab telah mengalami perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan yang cukup pesat. Kemudian, masih dalam masa awal perkembangan
Islam ini pula, masuknya pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani sudah
dimulai. Kemajuan inilah yang kemudian hari membawa peradaban Islam kepada
puncak kejayaannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di
luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan.
Penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani juga sudah
dimulai pada masa Daulah Amawiyyah ini. Buku-buku yang diterjemahkan pada masa
ini adalah yang erat kaitannya dengan keperluan hidup praktis, seperti buku
kimia dan kedokteran. Penerjemahan pada masa ini antara lain disponsori oleh
khalifah Marwan Ibnu Al-Hakam, khalifah Khalid Ibnu Yazid dan khalifah Umar
Ibnu Abdu Al-‘Aziz. (Zar. 2009: 34-35). Buku ilmiah pertama yang diterjemahkan
oleh orang Arab adalah Ilmu Kedokteran pada masa khalifah Marwan Ibnu Al-Hakam
pada tahun 64-65 H. (Boy. 2003: 32)
3. Perkembangan
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyyah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penerjemahan buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani telah dimulai pada masa Daulah Amawiyyah.
Namun demikian, kegiatan penerjemahan dalam arti yang sebenarnya baru
dilaksanakan pada masa Daulah Abbasiyyah. Pada masa ini timbul gerakan
penerjemahan buku-buku filsafat maupun ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa
Arab atas dorongan para khalifah Bani Abbas, seperti khalifah Al-Mansur,
khalifah Harun Al-Rasyid, dan khalifah
Al-Makmun, sehingga zaman ini dikenal sebagai zaman penerjemahan.
Perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan pada zaman ini mampu menghantarkan peradaban
Islam sampai ke puncak kejayaannya. Kontribusi para ilmuwan Islam dalam
membangun peradaban pada masa ini sungguh sangat besar. Pemikiran Aristoteles,
Plato, Socrates dan lain-lain mungkin akan lenyap dari permukaan bumi jikalau
para ilmuwan muslim tidak menyelamatkannya melalui gerakan penerjemahan. Ali
Al-Thabari merupakan fisikawan termasyhur pada masa khalifah Al-Mutawakkil. Al-Razi dan Ibnu Sina,
selain pakar dalam ilmu kedokteran juga sebagai filsof besar dan fisikawan
termasyhur di dunia. Selama abad 12 sampai 17 Masehi kitab Ibnu Sina “Al-Qanun
fii Al-Thibb” merupakan kitab yang
paling lama dipakai dalam dunia kedokteran. Sementara itu karya Al-Razi yang
berjudul Al-Hawi dipandang sebagai buku induk dalam bidang medis.
Kegiatan
penterjemahan mencapai masa keemasan pada masa khalifah Al-Makmun. Beliau
termasuk intelektual yang sangat menggandrungi ilmu pengetahuan dan filsafat.
Beliau mendirikan akademi “Bait
Al-Hikmah” yang dipimpin
oleh Hunain Ibnu Ishaq, seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani dibantu oleh
anaknya Ishaq Ibnu Hunain, Sabit Ibnu Qurra, Qusta Ibnu Luqas, Hudaibah Ibnu
Al-Hasni, Abu Bishsr Matta Ibnu Yunus, Al-Kindi dan lain-lain. Akademi ini
tidak hanya dipakai sebagai tempat penerjemahan, tetapi juga dipakai sebagai
pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Di luar Bagdad; kota Marwa (Persia Tengah), Jundisapur dan Harran juga melakukan kegiatan penerjemahan. (Zar. 2009:
34-36).
Selain
dikenal sebagai zaman kejayaan Islam, periode Abbasiyyah ini dapat juga
dikatakan sebagai masa kebangkitan sekaligus masa keemasan bagi filsafat dan
ilmu pengetahuan di dunia Islam. Hal ini ditandai dengan kemunculan banyak
tokoh-tokoh filsafat dan ilmuwan Muslim seperti, Al-Farabi, Ibnu Rusyd,
Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Miskawaih dan sebagainya. Selain kemajuan di
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan eksakta seperti, matematika, biplogi,
kimia, dan lain-lain, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman dalam
bidang tafsir, hadits, fiqih, dan sebagainya.
Masih
terkait dengan era kejayaan keilmuan Islam, patut dicatat bahwa pada masa ini juga terjadi transformasi ilmu
dari dunia Islam ke dunia barat. Terjadinya transformasi budaya khususnya dari
dunia Islam ke dunia barat, paling tidak disebabkan dengan adanya dua alasan.
Alasan pertama adalah kontak pribadi. Setelah Arab menakhlukkan
Persia, Mesir dan Siria, terjadilah kontak antara orang-orang Kristen di timur
dengan orang-orang Islam dalam suasana toleransi agama yang besar.Terjadinya
kontak pribadi ini juga karena Bizantium secara geografis berdekatan dengan
dunia Islam. Dari sinilah kemudian gagasan-gagasan barat masuk ke dunia Islam
dan sebaiknya gagasan-gagasan Islam juga masuk ke dunia barat, khususnya
sesudah terjadinya perang salib. Alasan kedua, adanya kegiatan
penerjemahan setelah mereka (orang-orang barat) mengenal sebagian khazanah
kebudayaan Islam, mereka berusaha memperkaya pengetahuan dengan kegiatan
penerjemahan. (Bakhtiar. 2009: 40-46).
4. Runtuhnya Tradisi Keilmuan dalam Islam
Jatuhnya Bagdad akibat serangan tentara Mongol pada tahun
1258 M. bukan saja mengakhiri daulah Abbasiyyah, melainkan juga mengwali masa
kemunduran politik Islam secara drastis. Kondisi politik ummat Islam mulai
berkembang kembali setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu, kerajaan
Syafawi di Persia (1501-1736 M), Mughal di India (1526-1885 M) dan kerajaan Turki
Utsmani (1281-1924 M). Kehancuran Bagdad dan kemunduran politik Islam ini tentu
sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam.
Sekalipun demikian, walau tidak sehebat zaman keemasan (masa daulah
Abbasiyyah), pengaruh dan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam pada
masa ini masih kelihatan. Hal ini dapat dilihat dari masih eksisnya pengaruh
dan karya para filosof serta ilmuwan Islam yang muncul pada masa daulah
Abbasiyyah. Selain itu masih bermunculan para sarjana seperti Mir Damad (w.
1631 M), Baha’ Al-Din ‘Amili (w. 1621 M), Mir Abu Al-Qasim Fendereksi (w. 1640
M), Al-Syirazi (w. 1641 M) dan lain-lain. (Fakhry.1987: 418-419).
Selanjutnya,
menjelang abad 18 M, peradaban Islam benar-benar mengalami kemunduran secara universal.
Seperti diungkapkan oleh Lothrop Stoddart, bahwa menjelang abad 18 dunia Islam
telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang
tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa
dan merendahkan martabat ummatnya. Ia mengatakan bahwa, seandainya Muhammad
bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum
murtad dan musyrik. (Qadir. 2002: 34). Pernyataan Stoddart tersebut
menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan
Islam yang kemudian menjadikan ummat Islam sebagai bangsa yang terjajah oleh
bangsa-bangsa barat.
Sebab-sebab
runtuhnya tradisi keilmuan dalam Islam secara garis besar disebabkan oleh
hal-hal berikut :
a. Penyebab
pertama dan utama adalah kematian semangat ilmiah di kalangan ummat Islam
karena diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat
statis, sementara jiwa Islam adalah dinamis dan berkembang.
b. Persepsi yang keliru dalam menafsirkan pemikiran Al-Ghazali. Orang
umumnya mengecam pemikiran Al-Ghazali kerena ia menolak filsafat seperti yang
ia Tulis dalam “Tahafut Al-Falasifahnya.” Padahal ia sebenarnya
menawarkan sebuah metode yang ilmiah dan rasional, dan juga menekankan
pentingnya pengamatan dan analisis, serta sikap skeptis. Hal ini
misalnya yang ia tuang dalam karyanya yang berjudul “Al-Munqidz min
Al-dhalal.” Selain itu ummat Islam
juga tidak memperhatikan karya Ibnu Rusyd (Tahafut Al-Tahafudz), yang
membela Arestotelianisme dan mengecam kritik Al-Ghazali kepada filsafat.
Seandainya orang mau mluangkan waktunya untuk mengkaji karya Ibnu Rusyd itu,
barangkali kemerosotan rasional di kalangan ummat Islam tidak akan separah
sekarang ini.
c. Fiqih yang dikembangkan oleh ummat Islam, keempat sumbernya yang
utama adalah, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, merupakan sumber hukum yang
tetap. Karena sifatnya yang tetap itulah kaum muslimin harus menggunakan metode
deduktif untuk sampai kepadakeputusan mengenai masalah-masalah khusus. Pada
sa’at yang sama metode induktif kehilangan semangatnya. Di masa dekadensi,
kegiatan intelektual sedang mencapai titiknya yang terendah, tidaklah
mengherankan jika orang kemudian menjadi bersikap dogmatis dan taklid secara
membuta.
d. Kesulitan-kesulitan ijtihad dan mistisisme aksetik yang
menyebabkan kemunduran tradisi intelektual dan keilmuan di dunia Islam.
e. Kekhawatiran para penguasa, golongan elit feodal dan keagamaan
yang merasa takut akan kehilangan kekuasaan yang mutlak dan hak-hak istimewanya
untuk memperoleh pengaruh melalui pewarisan, jika pendidikan dan ilmu
pengetahuan tersebar luas di kalangan masyarakat. (Bakhtiar. 2009: 47-49).
E. FILOSOF
DAN FILSAFATNYA
Sekalipun perkembangan filsafat Islam
tidak terlepas dari pengaruh Hellnisme, akan tetapi filsafat Islam bukanlah
skedar pengalihan bahasa atau jiplakan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam
tumbuh dan berkembang di bawah naungan keagamaan yang tidak kurang ketelitian
dan kecematannya dalam menyelesaikan masalah bila dibandingkan dengan filsafat
Yunani. Para filosof muslim telah membicarakan masalah hakikat yang ada, dari
mana asalnya dan ke mana akhirnya, serta cara-cara mendapatkan hakikat
pengetahuan yang benar, dan menetapkan ukuran benar dan salah, baik dan buruk,
serta teori kebahagiaan, bahkan mereka telah mengembangkan dan menambahkan
hasil-hasil penyelidikan mereka sendiri dalam ilmu pengetahuan. Demikian juga dalam
masalah ketuhanan, mereka telah mengemukakan bukan sekedar adanya Allah, tetapi
juga sifat-sifat dan ke-EsaanNya, serta qadha’ dan qadar yang kesemuanya itu
tidak ada dalam filsafat Yunani.
Nurkholis Majid mengatakan bahwa,
mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Pasalnya semua pemikir muslim
meski terdapat variasi, mereka berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu
pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangaun teori kenabian, seperti yang
dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal ‘Itsbat Al-Nubuwwat’.
Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati,
suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan
sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para filosof muslim juga membahas
masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan
Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan
dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran
Islam, dan sedidikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme. (Majid. 2008:
226).
Untuk lebih jelasnya berikut ini
dikemukakan kutipan Prof. Dr. Sirajuddin Zar tentang pengertian filsafat Islam
dari beberapa ahli sebagai berikut :
1. Ibrahim Madkur;
Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman yang
meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. (Zar.
2009: 15)
2. Ahmad Fuad
Al-Ahwany; Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta
dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun
bersama lahirnya agama Islam. (Al-Ahwani. 1997: 7)
3. Muhammad ‘Athif
Al-Iraqy; Filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu
ushul fiqih, ilmu tasawwuf dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh
intelektual Islam. Pengertian secara khusus ialah pokok-pokok dan dasar-dasar
pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof muslim (Zar. 2009: 16).
Dengan demikian, kini menjadi lebih jelas
bahwasanya filsafat Islam bukanlah jiplakan filsafat Yunani atau Hellenisme,
dengan kata lain sekalipun karya para filosof muslim banyak merujuk kepada
filsafat Yunani tetapi tetapi mereka mempunyai ciri khas tersendiri (keislaman)
yang membedakan mereka dari para filosof dan filsafat Yunani. Banyak sekali
tokoh-tokoh yang muncul dari dunia Islam, terutama pada zaman kejayaan Islam di
bawah kepemimpinan Daulah Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M). Berikut ini akan
dikemukakan beberapa tokoh filsafat (filosof) muslim dan pokok-pokok pikirannya.
1.
Al-Kindi
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf
Ya’qub Ibnu Ishaq Al-Kindi. Tidak
dijumpai keterangan yang pasti mengenai tahun kelahiran maupun tahun wafatnya
Al-Kindi. Menurut Prof. Dr. Sirajuddin Zar, Al-Kindi dilahirkan di Kuffah
sekitar 185 H (801 M). (Zar. 2009: 37). Sementara itu menurut Majid Fakhry,
Al-Kindi dilahirkan menjelang akhir abad 8 M dalam masa kegubernuran ayahnya di
Iraq, dan wafat menurut beberapa perkiraan, pada tahun 866 M atau lebih sedikit
setelah itu. Pradana Boy dalam bukunya “Filsafat Islam” mengemukakan
pendapat beberapa ahli sejarah mengenai tahun kematian Al-Kindi yaitu, Louis Massignon mencatat tahun 246 H (860
M), C. Nallino 260 H (873 M), Mustafa Abd. Al-Raziq 252 H (866 M) dan Ya’qub
Al-Himawi menyebutkan bahwa Al-Kindi wafat setelah berusia 80 tahun atau lebih
sedikit. (Boy. 2003: 89).
Ada dua kisah menarik
mengenai Al-Kindi, pertama kisah kekikirannya yang sama terkenalnya dengan
kegeniusannya. Kedua kisah kepiawaiannya
tentang musik. Menurutnya rasa seni tidak hanya dimiliki oleh menusia tetapi
juga hewan. Dengan seni musik ia berhasil mengobati anak tetangganya yang
seorang pedagang kaya raya yang ditimpa penyakit saraf dan tiba-tiba lumpuh,
padahal tidak seorang dokterpun di Bagdad yang
berhasil menyembuhkannya. (Zar. 2009: 40-41).
Al-Kindi adalah penulis pertama filsafat
sistematik dalam Islam, dan juga salah seorang penyokong utama penerapan
rasional kepada teks-teks yang diwahyukan. Karya Al-Kindi sesungguhnya harus
diletakkan dalam arus utama pada
pemikiran-pemikiran teologis yang punya hubungan dengan kaum Mu’tazilah, para
penulis sejati teologi skolastik dalam Islam. (Fakhry. 1987: 112). Selain tu ia
juga termasuk seorang penulis yang kreatif
dan produktif. Banyak karya-karya yang telah dihasilkan Al-Kindi antara
lain, Fi Al-Filsafat Al-Ula, Kitab Al-Harsi ‘ala Ta’allum Al-Filsafat,
Risalat fi Ta’lif Al-Adad, Kummiyat Kutub Aristoteles, Fi Al-Nafs dan
lain-lain. (Zar. 2009: 42-43). Berikut ini adalah pokok-pokok pemikiran
filsafat Al-Kindi;
a. Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi adalah orang pertama
yang berusaha memperkenalkan filsafat ke dunia Islam. Menurutnya ummat Islam
tidak perlu malu menerima kebenaran, dari manapun datangnya. Mengakui kebenaran
tidak akan memerosotkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya. Ia
mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama atau antara
akal dan wahyu. Menurutnya di antara keduanya tidaklah bertentangan, karena
keduanya adalah ilmu tentang kebenaran, sedang kebenaran itu adalah satu (tidak
banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta
ilmu-ilmu yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat
dan menjauhkan dari apa-apa yang mendatangkan mudharat. Hal seperti ini juga di
bawa oleh para Rasul Allah, mereka juga menetapkan keesaan Allah dan memastikan
keutamaan yanag diridhainya. (Zar. 2009: 43-44). Menurut Al-Kindi kita harus
berterimakasih kepada para pendahulu yang telah memberikan ukuran kebenaran. Ia
mengutip apa yang dikatakan Aristoteles: “Kita harus berterimakasih kepada
para leluhur yang telah memberi kita sebuah ukuran kebenaran, seperti yang kita
lakukan kepada mereka yang datang kemudian, sejauh mereka menjadi sebab-sebab
wjudnya dan oleh karena itu menjadi sebab penemuan kita tentang kebenaran.”
(Fakhry. 1987: 115)
Dalam bukunya “Kummiyat
Kutub Aristoteles” Al-Kindi mengemukakan beberapa perbedaan antara filsafat
dan agama sebagai berikut:
1) Filsafat
adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berfikir, belajar, dan usaha-usaha
manusiawi. Sementara itu agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat
tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berfikir, dan usaha manusiawi,
melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan
menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
2) Jawaban
filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau
perenungan. Sementara itu agama(Al-Qur’an) jawabannya menunjukkan kepastian
(mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan.
3) Filsafat
menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode keimanan. (Zar.
2009: 48-49).
Jelaslah bahwa sebagai filosof
pertama di dunia Islam Al-Kindi telah melakukan usaha pemaduan antara filsafat
dan agama, akal dan wahyu. Dan dengan cara ini berati dia telah melempangkan
jalan bagi para filosof sesudahnya.
b. Filsafat Ketuhanan.
Tulisan Al-Kindi yang
membicarakan ketuhanan antara lain “Fi Al-Falsafat Al-Ula” dan “Fi
Wahdaniyat Allah wa Tanahi Jirm Al-‘Alam”. Dari tulisan-tulisan tersebut
dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran
Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinus. Allah
adalah wujud sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Dia mustahil
tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang
sempurna dan tidak didahului wujud lain. WujudNya tidak berakhir, sedang wujud
lain disebabkan wujudNya. Dia adalah Yang Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi
dan tak ada zat lain yang menyamainya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan
dan tidak dilahirkan.
Untuk membuktikan adanya
Allah, Al-Kindi mengajukan tiga argumen yaitu: baharunya alam, keanekaragaman
wujud, dan kerapian alam.
Untuk
jalan pertama, Al-Kindi menanyakan, apakah mungkin sesuatu
menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya bahwa hal
itu tidak mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini baru dan ada permulaan
waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu pasti ada yang menyebabkan
alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mngkin ada benda yang ada dengan
sendirinya, dan dengan demikian maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
Untuk jalan kedua,
Al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini, baik alam inderawi maupun alam lain
yang menyamainya, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, atau ada
keseragaman tanpa keanekaragaman. Kalau alam inderawi tergabung dalam
keanekaragaman dan keseragaman bersama-sama, maka hal ini bukan karena
kebetlan, melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi “sebab” bukanlah
alam itu sendiri, karena kalau alam itu sendiri yang menjadi sebabnya,
maka tidak ada habis-habisnya, dan demikian seterusnya, sedang sesuatu yang
tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu sabab tersebut
haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi, dan lebih dahulu
adanya, karena sebab harus ada sebelum ma’lulnya (akibatnya).
Untuk jalan ketiga,
yaitu jalan kerapian alam dan pemeliharaan Allah terhadapnya, maka Al-Kindi
mengatakan bahwa alam lahir tidak mugkin rapi dan teratur kecuali karena
adanya yang tidak tampak. Yang tidak
tampak tersebut hanya dapat diketaui melalui bekas-bekasNya dan kerapian yang
terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat tujuan” (illat
ghayyah) yang telah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya. (Hanafi. 1996:
77-78).
Bagi Al-Kindi Allah itu Esa.
Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah Yang Benar Pertama (Al-Haq
Al-Awwal), dan Yang Benar Tunggal (Al-Haq Al-Wahid). Pada penafian
Allah tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘ainah dan mahiyah,
tidak ‘ainah karena bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak
termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi (al-hayula)
dan bentuk (al-shurat). Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah
karena Allah tidak merupakan genus atau spesies. Pada penafiannya
terhadap ‘ainah dan mahiyah dari ke Maha Esaan Allah, Al-Kindi
memiliki pandangan yang mirip dengan Mu’tazilah yang menafikan sifat dari Zat
Allah. Akan tetapi ketika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan
ilmuNya dan ilmuNya adalah zatNya (‘alim bi ‘ilmihi wa ‘ilmuhu dzatuhu),
berkuasa dengan kekuasaanNya dan kekuasaanNya adalah zatNya (qadir
biqudratihi wa qudratihu dzatuhu) dan seterusnya, Al-Kindi meninggalkan
pandangan ini. Menurut Al-Kindi Allah itu hanya bisa dilukiskan dengan
kata-kata negatif; Allah tidak sama dengan ciptaanNya, Allah tidak berbentuk,
Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, dan Allah tidak berbagi. Dalam
mengesakan Allah Al-Kindi sangat menekankan ketidaksamaanNya dengan ciptaanNya.
(Zar. 2009: 51-52).
c. Filsafat Alam
Di dalam risalahnya yangberjudul “Al-Ibanat
‘an Al-Illat Al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn wa Al-Fasad”, pendapat Al-Kindi
sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang
aktual apabila terhimpun empat ‘illat yaitu; Al-Unshuriyyat
(materi benda), Al-Shuriyyat (bentuk benda), Al-Fa’ilat (pembuat
benda) dan At-Tamamiyyat (manfaat benda).
Tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemukakan
tiga argumen, yakni gerak, zman dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada
gerak, masa gerak menunjukkan adanya zaman, adanya gerk tentu mengharuskan
adanya benda. Mustahil ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan
berakhir.
Pada sisi yang lain, benda mempunyai tiga
dimensi yaitu, panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa
benda tersusun dan setiap yang tersusun tidak dapat dikatakan qadim.
Andai kata zaman itu qadim, seandainya
ditelusuri ke belakang tentu tidak akan ada akhirnya, karena tidak mempunyai
awal. Zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu tidak akan sampai
pada masa kini. Oleh karena itu, zaman yang sampai pada masa sekarang bukan
qadim, melainkan baharu.
Dengan denmikian Al-Kindi berkesimpulan
bahwa alam semesta ini pastilah terbatas, ia menolak dengan tegas pandangan
Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim.
Pandangan Al-Kindi tentang baharunya alam ini sama dengan pendapat kaum teolog
muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang datang sesudahnya
yang menyatakan alam ini qadim. (Zar. 2009: 54-58).
d. Filsafat Jiwa
Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menjelaskan
secara tegas tentang ruh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok
ajaran Islam telah menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat mengetahui hakikat
ruh, karena ruh itu urusan Allah dan bukan urusan manusia. (QS. Al-Israa’: 85).
Karena itu kaum fiosof muslim membahas jiwa berdasarkan filsafat jiwa Yunani,
kemudian diselaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles
yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua
unsur, materi dan bentuk. Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat kepada
pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan acciden, dan binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.
Namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari
alam idea.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa yang suci
akan dapat sampai pada alam kebenaran. Jiwa yang masih kotor harus mengalami
penyucian terlebih dulu. Mula-mula ia harus pergi kebulan dan membersihkan diri
di sana,
kemudian dilanjutkan ke merkuri, dan seterusnya naik setingkat demi setingkat,
sampai akhirnya jika sudah benar-benar
bersih akan dapat mencapai alam akal dalam lingkungan cahaya Allah dan melihat
Allah. (Zar. 2009: 58-63). Di sini terlihat bahwa Al-Kindi meyakini hukum
kekekalan jiwa sesuai dengan ajaran Islam, akan tetapi Al-Kindi tidak percaya
terhadap kekekalan hukuman terhadap jiwa.
2. Al-Farabi
Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Tarkhan Ibnu Auzalagh Al-Farabi, yang biasa disingkat dengan Al-Farabi,
dilahirkan di Wasij, distrik Farab, Turkistan
pada tahun 257 H/870M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan
Turki. Oleh karena itu terkadang dikatakan keturunan Persia dan terkadang dikatakan
keturunan Turki. Akan tetapi sesuai ajaran Islam yang mendasarkan keturunan
kepada pihak ayah, maka lebih tepatnya kalau ia disebut keturunan Persia.
(Zar. 2009: 65).
Ketika berumur 40 tahun, ia pergi ke Baghdad yang menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan dunia ketika itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada
Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen,
Abu Bisyr Matius Ibnu Yunus. Kemudian ia pindah ke Harran,yang
menjadi pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna Ibnu
Jailan. Akan tetapi tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat.
Selama di Baghdad
ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan
mengulas buku-buku filsafat. Karya tulis Al-Farabi antara lain; Al- Jami’
Bain Ra’yai Al-Hakimain, Tahshil Al-Sa’adat, Risalat fi Isbat
Al-MufarraqatAl-Siyasat Al-Madaniyyat dan lain-lain. Di antara muridnya
yang terkenal adalah Yahya Ibnu Adi, filosof
Kristen. (Zar. 2009: 65-68)
Karakter dan tingkah laku pribadinya diperlihatkan secara
tidak langsng dalam anekdot-anekdot mengenai persahabatannya dengan Pangeran
Hamdani Shaif Al-Daulah (918-967 M), seorang penyokong seni dan sastra
terkemuka, yang beribu kota di Aleppo. Ia dikatakan sangat menghormati
Al-Farabi, tetapi sempat dibikin gusar oleh pakaiannya yang aneh-aneh dan
kebiasaannya yang kurang sopan, dan juga kenyataan bahwa sekalipun ia terkenal
dengan kerendahan hati dan kesederhanaannya, sering juga bersandiwara sesuka
hati di hadapan pelindungnya. Namun persahabatan ini tidak berlangsung lama,
dan Al-Farabi yang melepaskan persekutuannya itu, tidak mengambil semua
keuntungan yang berlimpah dari kebaikan hati sang pangeran.(Fakhry. 1987: 163).
Al-Farabi menghembuskan nafas yang terkhir pada bulan Desember 950 M di
Damaskus dalam usia 80 tahun. (Zar.2009: 66). Berikut ini dikemukakan
pokok-pokok pikiran filsafat Al-Farabi.
a. Rekonsiliasi Filsafat dan agama
Al-Farabi
telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat yang sebelumnya,
seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena
itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan
filsafat. Untuk mempertemukan filsafat Aristoteles dan Plato, Al-Farabi
menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila
menemukan pertentangan pikiran antara keduanya.
Dalam merekonsiliasikan antara
filsafat dan agama, Al-Farabi menyatakan bahwa para filosof muslim meyakini
Al-Qur’an dan Hadits adalah benar, sementara itu para filosof juga benar.
Kebenaran tidak boleh lebih dari satu, karena itu ia tegaskan bahwa antara
keduanya tidak bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber
keduanya sama-sama dari akal aktif, hanya cara memperolehnya saja yang berbeda.
Bagi filosof perantaranya adalah akal aktif mustafad, sedangkan dalam agama
perantaranya adalah wahyu yang disampaikan kepada nabi-nabi. Menurut Al-Farabi,
kalaupun ada pertentangan, itu hanya dari segi lahirnya yang tidak menembus
batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan
tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memikirkan kebenaran dan
agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu tidaklah berbeda kebenaran
yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan oleh para
filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. (Zar. 2009: 68-70).
b. Ketuhanan
Dalam pembahasan tentang
ketuhanan, Al-Farabi mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme,
yakni Al-Maujud Al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi
segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dangan keesaan yang mutlak dalam
ajaran Islam. Sementara itu untuk membuktikan adanya Allah, ia mengemukakan
dalil Wajib Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud. (Zar. 2009: 70).
Wajibul Wujud adalah wajib yang nyata
dengan sendirinya (Wajibul Wujud li-Dzatihi). Ia adalah Wujud Yang
Sempurna, adaNya tidak memerlukan sebab dan adaNya tidak karena yang lain. Jika
Wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahialan, karena jika Ia tidak ada,
maka yang lainpun tidak akan pernah ada. Ia adalah sebab pertama bagi semua
yang ada. Wajib Al-Wujud inilah yang disebut Allah (Tuhan).
Adapun mumkin al-wujud
adalah wujud yang nyata karena lainnya(wajibul wujud lighairihi),
seperti wujud cahaya yang tidak akan ada sekiranya tidak ada matahari. Cahaya
itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa juga tidak wujud, atau dengan
kata lain cahaya adalah wujud yang mumkin. Akan tetapi karena matahari telah
wujud, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena wujudnya
matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya Sebab Yang
Pertama (Allah), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud
yag nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun panjangnya rangkaian wujud
yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya
sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada
dirinya sendiri. (Hanafi. 1996: 90).
Tentang sifat Allah, Al-Farabi
sejalan dengan Mu’tazilah, yaki sifat Allah tidak berbeda dengan dzatNya.
Al-Farabi berusaha menunjukkan keesaan Allah dan ketunggalannya, dan menurutnya
sifat-sifat Allah adalah dzatNya sendiri. Tentang Asma’ul Husna, menurut
Al-Farabi, kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita
mau, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat
Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzatNya. (zar. 2009: 72-74).
Pandangan Al-Farabi mengenai
Tuhan (Allah), sebagaimana yang telah disebutkan diambil dari filsafat
aristoteles tentang metafisika dan dari ajaran-ajaran Islam juga Platonisme.
Tuhan yang digambarkan Al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari makhlukNya dan Dia
tidak bisa dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta
penglaman-pengalaman tasawwuf (pengalaman batin). Pandangan tersebut menjadi
pembicaraan ramai antara golongan-golongan Islam, dan menyebabkan
golongan-golongan fiqih serta golongan-golongan hadits menentang filsafat dan
filosof-filosof, karena Tuhan yang digambarkan oleh Qur’an sebenarnya dekat
sekali dengan makhlukNya, mengetahui emua perbuatan dan keadaan mereka dan
mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh filosof-filosof.
Teori Al-Farabi yang
mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya pula,
yakni tidak menjadikan alam sebagai obyek pemikiranNya, diambil dari
Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan pada anggapan bahwa alam telalu
rendah tingkatannya untuk dijadikan obyek pemikiran Allah, Dzat Yang Maha
Sempurna dan Maha Agung. Allah hanya memikirkan DzatNya yang menjadi sebab bagi
wujudnya alam ini. Jadi pemikiran Allah terhadap alam ini tidak langsung,
melainkan cukup melalui DzatNya, yakni dalam kedudukanNya sebagai sebab adanya
alam beserta segala peristiwanya. Pendapat Al-Farabi tersebut menjadi dasae
filsafat Ibnu Rusyd dan ternyata berpengaaruh luas di kalangan dunia pikir
Islam. (Hanafi. 1996: 92).
c. Emanasi
Emanasi adalah teori tentang
keluarnya sesuatu yang wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang Wajib
Al-Wujud atau Dzat yang mesti adanya, yakni Allah. Teori Emanasi disebut
juga dengan”teori urut-urutan”. (Hanafi. 1996: 92).
Al-Farabi menguraikan bahwa
segala sesuatu keluar dari Tuhan (Allah), karena Allah mengetahui dzatNya dan
mengetahui bahwa Dia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi
ilmuNya menjadi menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya. Bagi Allah
cukup dengan mengetahui dzatNya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini
terwujud. Dengan demikian maka keluarlah alam (makhluk) dari Allah terjadi
tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata.
Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Allah,
karena Allah tidak membutuhkannya. Alam tersebut tidak merupakan tujuan bagi
Allah dan wujudNya bukan karena selainNya.
Karena Allah itu Esa, maka
yang keluar dari padaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul
karena pengetahuan (ilmu) Allah terhadap dzatNya yang satu. Kalau apa yang
keluar dari dzat Allah itu berbilang, maka berarti dzat Allah itupun berbilang
pula. Dasar adanya emanasi tesebut ialah karena dalam pemikiran Allah
dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam
alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah
kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Wujud pertama yang keluar dari
Allah tersebut disebut Akal Pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi
hakikatnya sendiri, yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, yaitu
wujud yang nyata dan terjadi karena adanya Allah, sebagai Dzat Yang Menjadikan.
Jadi meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat
bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya.
Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam
sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal Pertama,
dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Allah, dan
sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari
pemikiran Akal Pertama sebagai wujud yang mumkin, maka timbullah langit
pertama atau benda langit terjauh ( al-sama al-ula; al-falak al-a’la)
dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua obyek
pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin, keluarlah dua macam
makhluk tersebut, yaitu benda langit dan jiwanya.
Dari Akal kedua, timbullah
Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintag tetap (al-kawakib ats-tsabitah)
beserta jiwanya,dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal),
juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet
Yupiter (Al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal
Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam
keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (Asy-Syams) beserta jiwanya. Dari
Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (Az-Zuharah)
beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet
Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal
Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian dari satu akal keluarlah
satu akal pula dan satu planet beserta jiwanya. Dari Akal Kesepuluh, sesuai
dengan dua seginya, yaitu wajib al-wujud karena Allah, maka keluarlah
manusia beserta jiwanya dan dari segi dirinya yang merupakan wujud al-mumkin
maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit. (Hanafi.
1996: 93-94). Karena Akal Kesepuluh sudah lemah, maka tidak dapat lagi
mengeluarkan akal sejenisnya dan hanya dapat menghasilkan bumi,roh-roh dan
materi pertamayang menjadi dasar keempat unsur pokok yaitu, air, udara, api dan
tanah. Akal kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (Akal Aktif) atau Wahib
Al-Shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi
kehidupan bumi. (Zar. 2009: 75-76).
Struktur emanasi Al-Farabi ini
dipengaruhi oleh adanya temuan Ilmu Pengetahuan (saintis) saat itu,
yakni sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, ada sepuluh akal dan setiap
akal mengurusi satu planet termasuk bumi. (Zar. 2009: 78). Andai kata Al-Farabi
hidup di zaman sekarang, betapa banyak akal yang dia butuhkan untuk mendukung
teorinya, bahkan dia akan membutuhkan akal dalam jumlah yang tak terhingga
karena sesuai dengan temuan saintis modern jumlah planaet juga tak
terhingga.
d. Kenabian
Filsafat keabian Al-Farabi dilatar belakangi oleh pengingkaran
kenabian yang dilakukan oleh Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Ibnu Al-Rawandi dalam
bukunya Al-Zamarudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad
SAW khususnya, mengkritik ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak
mu’jizat-mu’jizat keseluruhannya. (Hanafi. 1996: 103). Kritik Al-Razi yang
berkebangsaan Yahudi ini dapat didiskripsikan sebagai berikut:
1) Nabi
sebenarnya tidak dibutuhkan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan akal dan
dengan akal itu manusia dapat mengetahui Tuhan bserta segala nikmatnya dan
dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima perintah dan menjauhi
larangannya.
2) Ajaran
agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah,
dan sa’i di bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.
3) Mukjizat
hanya cerita khayal yang menyesatkan manusia. Siapa yang menerima batu bisa
bertasbih dan serigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu ummat
Islam dalam perang Badar, mengapa dalam perang uhud tidak?
4) Al-Qur’an bukan mu’jizat dan bukan
perkara yang luar biasa. Orang non Arab jelas saja heran dengan balaghah
Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan tidak mengerti bahasa Arab dan
Muhammad adalah yang paling fasahah di kalangan orang Arab.
Justru itu,
dari pada membaca Al-Qur’an, lebih berguna membaca filsafat Epicurus, Plato,
Aristoteles, buku Astronomi, logika dan obat-obatan.
Adapun
Al-Razi, seorang dokter dan juga tokoh filsafat juga tidak kuranag bahayanya
karena diamenulis dua buku yang berjudul, Makhariq Al-Anbiya aw Hiya
Al-Mutanabbi-in (Mainan Nabi-nabi atau Tipu Daya Orang-orang yang Mengaku
Menjadi Nabi) dan Naqdl Al-Adyan aw fi Al-Nubuwwat (Menentang
Agama-Agama atau Tentang Kenabian). (Hanafi. 1996: 103).
Dalam
suasana yang demikian ini Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan
tersebut, apa lagi keduanya sezaman dengannya. Dialah filosof muslim pertama
yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada
lagi penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat kenabian ini
didasarkan pada psikologi dan metafisika
yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi ciri khas
seorang nabi ialah mempunyai daya imajinasi yang sangat kuat dan ketika
berhubungan dengan Akal Fa’al ia dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari
Allah melalui Akal Fa’al (Akal Kesepuluh) yang menurut penjelasan
Al-Farabi adalah Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomunikasi dengan Allah
melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal Kesepuluh.
Seorang nabi dianugerahi Allah
akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan dapat
mengadakan komunikasi langsung dengan Akal Kesepuluh. Akal ini mempunyai
kekuatan suci (qudsiyyat) dan diberi nama hads. Tidak ada akal
yang lebih kuat daripada akal yang demikian ini, dan hanya nabi-nabi yang
memiliki akal seperti itu. Sementara itu filosof dapat berhubungan dengan Akal
Fa’al melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad
(perolehan) yang lebih rendah dari akal nabi yang mempunyai akal materiil atau hads.
Oleh karena itu setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof adalah nabi.
Filosof tidak bisa menjadi nabi atau kenabian itu tidak bisa diusahakan, karena
nabi itu selamanya adalah tetap manusia pilihan Allah. (Zar. 2009: 79-81).
Keberhasilan Al-Farabi dalam
menjelaskan kenabian secara filosofis dan penafsirannya secara ilmiah dapat
dikatakan tiada duanya, terutama di dunia filsafat Islam.
e. Negara Utama
Melalui bukunya Ara’ Ahl
Al-Madinah Al-Fadhilah, Al-Farabi membagi negara atau pemerintahan menjadi
Negara (Kota) Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah), Negara Jahil (Al-Madinah
Al-Jahilah), Negara Fasiq (Al-Madinah Al-Fasiqah), dan Negara
Berubah (Al-Madinah Al-Mutabadilah). Dalam hal ini bahasan Al-Farabi
lebih terfous pada Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Negara Utama sebagai suatu
masyarakat yang sempurna (Al-Mujtami’ Al-Kamilah), dalam arti masyarakat
yang sudah lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan oleh Al-Farabi sebagai
organisme tubuh manusia dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh
bekerja sesuai dengan fungsinya, apabila salah satu organ tubuh sakit, maka
organ yang lain ikut merasakan penderitaannya dan akan menjaganya. Masyarakat
Negara Utama yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,
hidup saling membantu dan saling melengkapi. Masing-masing mereka bekerja
sesuai dengan kemampuan dan spesialisasinya. Fungsi kepala negara serupa dengan
fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber
seluruh aktivitas, sumber peraturan, dan keselarasan hidup dalam masyarakat.
Oleh karena itu, ia harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, seperti
bertubuh sehat,berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan
memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur
bumi, dan penyampai wahyu. Oleh karena itu, yang paling ideal sebagai kepalaa
neara adalah nabi atau rasul atau filosof. Tugas kepala negara selain mengatur
negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang
dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat kepala negara yang ideal ini, pimpinan
negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan
sifat-sifat yang dimiliki kepala negara yang ideal. Sekiranya sifat-sifat
dimaksud tidak terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam beberapa orang,
maka negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus
bersatu memimpin masyarakat. Dari sini terlihat bahwa Al-Faraby menepis bentuk
negara kapitalisme dan sosialisme komunis. (Zar. 2009: 83-85).
Keunggulan filsafat
pemerintahan Al-Faraby ini, terletak pada tujuan pemerintahan yang hendak
dicapai, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Peranan kepala negara sangat
menentukan, dia tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara negara dalam urusan
material rakyatnya, tetapi juga berfungsi sebagai pendidik, pengajar dan
pemimpin spiritual.
f. Filsafat Jiwa
Jiwa adalah jauhar rohani
sebagai form bagi jasad. Kesatuan jasad dan roh merupakan kesatuan secara accident,
artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya
jasad tidak membawa kepada binasanya jiwa. Jiwa manusia berasal dari alam Ilahi,
sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa manusia mempunyai
daya-daya sebagai berikut:
a. Daya Al-Muharrikat (gerak), yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan bergerak.
b. Daya Al-Mudrikat (mengetahui), yang mendorong untuk merasa
dan berimajinasi.
c. Daya Al-Nathiqat (berfikir), mendorong untuk
berfikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat sebagai berikut:
-
Akal Potensial (Al-Hayulany), ialah akal yang baru mempunyai
potensi berfikir dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari
materinya
-
Akal Aktual (Al-‘Aql bi Al-Fi’l), akal yang telah
dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi
telah dalam bentuk aktual.
-
Akal Mustafad (Al-‘Aql Al-Mustafad), akal yang telah
dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan
mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.
(Nasution. 1973: 74)
Menurut Al-Farabi jiwa yang
kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali
ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang
kenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintahNya, ia kembali ke
alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sedangkan jiwa
yang tidak kenal Allah sama sekali dan tidak pula pernah melakukan perintah
Allah, maka ia akan lenyap bagaikan jiwa hewan. (Zar. 2009: 74).
g. Akal
Menurut Al-Farabi akal ada tiga jenis
yaitu, Allah sebagai akal, akal dalam filsafat emanasi, dan akal yang
terdapat pada diri manusia. Allah sebagai akal dan akal-akal dalam filsafat emanasi
tidak mempunyai fisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun
antara keduanya terdapat perbedaan yag sabgat tajam. Allah sebagai Akal adalah
Pencipta dan Esa semutlak-mutlaknya, Maha Sempurna dan tidak mengandung
pluralitas.
Adapun akal-akal dalam filsafat emanasi
terdiri dari sepuluh akal dan masing-masing akal mengurus satu planet
termasuk bumi, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Akal yang terdapat dalam diri manusia
ialah akal sebagi daya berfikir.akal ini juga tidak mempunyai bisik tetapi
bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat, yang terdiri dari Akal
Potensial, Akal Aktual dan Akal Mustafad. Akal yang disebut terakhir inilah
yang dimiliki oleh filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah
ke alam materi melalui akal kesepuluh (Akal Fa’al). (Zar. 2009: 88-90).
3. Ibnu Sina
Menurut
penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah (980 M), tidak
jauh dari Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), dimana ayahnya hidup dalam
berbagai kebudayaan, tingal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian
keluarga itu pindah ke Bukhara, si pemuda (Abu ‘Ali Al-Husain Ibnu ‘Abd Allah
Ibnu Hasan Ibnu ‘Ali Ibnu Sina / Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam
hal membaca, menulis, aritmatika/yurisprudensi, dan logika. Diantara
guru-gurunya hanya Abu ‘Abdullah Al-Natili dan Isma’il sang Zahid yang
disebut namanya. Ia menyebut seorang penjual makanan yang kelihatannya ahli
dalam bidang aritmatika India
dan juga seorang penganjur Isma’illiyah pernah mengunjungi ayahnya yang telah
menggolkan tujuan-tujuan Isma’illiyah. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat telah
berkembang sejak ia menyimak percakapan mereka, tetapi studi sistematiknya
tentang logika, filsafat da kedokteran di mulai beberapa saat kemudian.
Perubahan yang
tidak diduga-duga dalam kariernya timbul sebagai hasil perkenalannya denga
sultan Samani dari Bukhara,
Nuh bin Mansur yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Perkenalan
ini mengakibatkan ia dapat berhubungan dengan beberapa pangeran dan wazi-wazir,
yang mengangkatnya sebagai dokter istana atau aide. Ia pindah dari
istana Samani ke istana sultan Buwayhid kemudia ke Hamadan. Selama persanabatannya dengan
pangeran-pangeran Buwayhid Ibnu Sina tidak pernah lepas dari belenggu
penderitaan dan kesengsaraan. Nasibnya sangat tergantung pada keadaan yang
menyenangkan atau kesehatan yang buruk dari para pelindunggnya, dan juga pada
suka cita tentara-tentara mereka. Kesehatannya sendiri akhirnya terganggu
akibat terlalu gemar pada minuman dan wanita. Setelah berulang kali usaha
dilakukan untuk memelihara dirinya dari rasa mulas (colic), namun dokter yang
paling ahli pada masa itu, akhirnya tak berhasil, sehingga pada tahun 1037 M ia
meninggal dunia pada usia 58 tahun. (Fakhry. 1987: 191-193).
Walaupun sibuk
bekerja dalam pemerintahan, Ibnu Sina tetaplah seorang penulis yang luar biasa
produktif sehingga tidak sedikit karya tulis yang sangat besar pengaruhnya yang
ditinggalkan kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun dunia
timur. Diantara karya-karyanya yang terpenting adalah:
a. Al-Syifa’,berisikan uraian filsafat yang terdiri
atas empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
b. Al-Najat, berisi ringkasan dari kitab Al-Syifa.
karya tulis ini ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin
mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
c. Al-Qanun fi Al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang
terbagi atas lima
kitab dalam berbagai ilmu dan jenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d. Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, isinya mengandung uraian
tentang logika dan hikmah.
Adapun pokok-pokok
pikiran filsafat Ibnu Sina antara lain sebagai berikut:
a. At-Tawfiq
(Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat.
Seperti
halnya Al-Farabi Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan antara filsafat dan
agama. Menurut Ibnu Sina nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang
sama yaitu dari malaikat jibril yang disebut juga dengan Akal Kesepuluh, hanya
saja cara memperolehnya yang berbeda. Nabi memeperoleh melalui akal materil
yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat) sedangkan filosof melalui
akal mustafad. Akal materiil yang di anugerahkan oleh Allah kepada
orang-orang pilihanNya (nabi-nabi) memiliki daya yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan akal mustafad yang diperoleh para filosof melalui
latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, sedangkan
pengetahuan yang diperoleh filosof disebut ilham, tetapi keduanya tidak
bertentangan. (Nasution. 1983: 18,84). Ibnu Sina juga menegaskan bahwa nabi
adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk
mengusahakan dirinya menjadi nabi, termasuk para filosof yang mempunyai
kekuatan intelektual yang tinggi. Dalam merekonsiliasikan antara filsafat dan
agama Ibnu Sina juga menggunakan takwil. Kebenaran yang disampaikan nabi
seperti adanya hari akhirat dan lain-lain dapat diterima dan dibenarkan manusia
baik secara rasional maupun secara syar’i. (Zar. 2009: 95-96).
b. Ketuhanan
Dalam
membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib Al-Wujud dan
Mumkin Al-Wujud, terkesan bahwa Ibnu Sina menduplikat Al-Farabi. Akan
tetapi dalam filsafat wujud, bahwa segala yang ada dibagi menjadi tiga
tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
1)
Wajib Al-Wujud, esensi
yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada,
kemudian berwujud tetapi ia wajib dan mesti berwujud selamanya.
2)
Mumkin Al-Wujud, esensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud.
3)
Mumtani’ Al-Wujud, esensi yang tidak dapat
mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos
yang ada.
Untuk
membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhlukNya,
tetapi cukup dengan dalil adanya Wujud Pertama, yakni Wajib Al-Wujud. Jagad
raya ini Mumkin Al-Wujud yang memerlukan sesuatu sebab (‘Illat) yang
mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari dzatnya sendiri.
Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak memerlukan pada
perenungan selain terhadap Wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian
wujudNya dengan salah satu makhlukNya. (Zar. 2009: 96-98)
c. Emanasi
Emanasi
Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal
mengurusi sembilan planet dan Akal Kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan
pendahulunya (Al-Farabi), bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai
penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan
planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama
adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang
bertugas mengatur bumi dan isinya (Zar. 2009: 102-103)
d. Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat
jiwa. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa yang lain dan segala apa yang terdapat
dibawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh secara garis besar pembahasan Ibnu
Sina tentang jiwa tebagi pada dua bagian berikut:
1) Fisika,
membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
a) Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya,
makan, tumbuh, dan berkembang biak.
b)
Jiwa binatang mempunyai dua daya yaitu, gerak (al-mutaharrikat) dan
menangkap (al-mudrikat). Daya menangkap (al-mudrikat) tebagi
menjadi dua bagian:
(1) Menangkap dari luar (al-mudrikat min
al-kharij) dengan panca indra
(2)
Menagkap dari dalam (al-mudrikat min al-dakhil) dengan indra-indra batin
(al-hawas al-bathinat) yang terdiri atas lima indra berikut:
(a)
Indra bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima segala yang
ditangkap oleh indra luar
(b)
Indra al-khayyal yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra
bersama
(c)
Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal
(d)
Indra wahniyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang
terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat
serigala
(e)
Indra Pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima oleh indra estimasi.
(3)
Jiwa manusia, yang disebut juga al-nafs al-nathiqat mempunyai dua daya:
praktis (al-amilat) dan teoretis (al-alimat). Daya praktis
berhubungan dengan jasad sedangkan daya teoretis berhubungan dengan hal-hal
abstrak. Daya teoretis mempunyai empat tingkatan sebagai berikut:
(a)
Akal materiil (al-‘aql al hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi
untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit
(b) Akal al-malaqat (al-‘aql bi
al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang
abstrak.
(c) Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l)
yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak
(d) Akal mustafad (al-‘aql al-mustafad)
yaitu akal yang telah sangup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya
upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal Akal Aktif.
2) Metafisika membicarakan tentang hal-hal
berikut
a) Wujud Jiwa
Dalam membuktikan
adanya jiwa , Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut.
(1) Dalil alam kejiwaan
Dalil ini
didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua
jenis:
(a) gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul
pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar
(b)
Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum
alam maupun yang berlawanan.
(2) Konsep aku dan Fenomena Kesatuan Psikologis
Dalam
masalah psikologi, terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya
suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Kekuatan yang menguasai dan
mengatur tersebut adalah jiwa.
(3) Dalil Kontinuitas (al-istimrar)
Jasad
manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian sedangkan jiwa manusia
bersifat kontinu (istimrar) tidak mengalami perubahan dan pergantian.
Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa yang kita pakai sejak lahir dan akan
berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan.
(4) Dalil manusia terbang atau manusia melayang di
udara
Diandaikan
ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wjud yang sempurna, kemudian
diletakkan di udara dengan mata tertutup. Dia tidak melihat apapun. Anggota
jasadnya terpisah-pisah sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi
demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada disaat itu ia mengkhayalkan adanya
tangan kaki dan organ jasad lainnya tetapi semua organ jasad tersebut
dikhayalkan bukan bagian dari dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya
melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikian
ini dalil-dalil yang dikemukakan ibnu sina sebagai bukti tentang adanya jiwa.
b) Hakikat Jiwa
Ibnu
Sina mendiskripsikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan
bahwa jiwa adalah substansi materi, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana
jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak
membawa pada hancurnya jiwa (roh).
c) Hubungan Jiwa dengan Jasad
Antara
jiwa dan jasad keduanya saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah
tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Jiwa
tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya.
d) Kekekalan Jiwa
Jiwa
manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang akan hancur bersamaan dengan
hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual yang akan
menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi kekalnya ini
dikekalkan oleh Allah. Jadi jiwa adalah baharu (al-huduts) karena
diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir). (Zar. 2009: 104-112).
F. Kesimpulan
Manusia selalu
berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri. Fenomena alam yang
berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia menimbulkan keheranan dan berbagai
pertanyaan. Dengan kekuatan akalnya manusia terus berusaha mencari jawaban
tentang segala sesuatu atau kekuatan yang ada dibalik peristiwa alam yang serba
misterius tersebut. Usaha manusia untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang
ditimbulkan oleh rasa heran itu kemudian mendorongnya untuk menemukan
hukum-hukum kesamaan dan urutan logis dalam fakta-fakta untuk mengetahui
hakikat segala sesuatu. Dengan kata lain, karena hal-hal sebagaimana tersebut,
maka terdoronglah manusia untuk melakukan kegiatan filsafat.
Penggunaan kata Philosophia
(filsafat), yang berarti cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan untuk yang
pertama kalinya, seiring dengan pertumbuhan filsafat zaman Yunani kuno (± 600
SM). Dalam sejarah filsafat Yunani kuno (± 600 SM – 200 M), terdapat
tiga periode yaitu; periode awal, periode keemasan dan periode Hellenitas dan
Romawi. Periode awal ditandai dengan munculnya para filosof seperti, Thales,
Anaximenes, Anaximandros dan lain-lain. Adapun periode keemasan juga ditandai
munculnya tiga nama besar, yakni Plato, Aristoteles dan Sokrates yang
karya-karya mereka masih terus dibicarakan orang sampai sekarang ini. Kecuali
tiga nama besar tersebut masih ada
banyak lagi deretan nama-nama filosof yang muncul pada masa ini. Masa
berikutnya adalah masa Hellenitas dan Romawi yang tidak dapat dilepaskan
dari peran raja Alexander Agung. Raja yang agung ini berhasil mendirikan
kerajaan besar yang berkuasa tidak hanya di Yunani, tetapi juga di
daerah-daerah sebelah timurnya. Pada masa itu kebudayaan Yunani menjadi
kebudayaan supra nasional yang disebut dengan Hellenitas yang berarti,
berbahasa Yunani atau menjadikan Yunani.
Persinggungan
dunia Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani didahului oleh kontak
langsung dunia Arab dengan peradaban Yunani sebelum Islam melalui Siria, Mesopotamia dan Mesir. Hal ini terjadi ketika Alexander
Agung menakhlukkan daerah-daerah tersebut. Raja Agung ini tidak hanya
menakhlukkan, tetapi juga membawa misi untuk menanamkan budaya Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya.
Sementara itu
Islam semenjak kelahirannya telah memberikan penghargaan yang begitu besar
terhadap Ilmu pengetahuan dan termasuk juga filsafat. Masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam
tradisi keilmuan Islam semakin tampak jelas setelah penakhlukan Mesir pada
tahun 641 M. Pada masa Daulah Umawiyyah, pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani sedah tampak jelas, namun belum begitu populer. Hal ini dikarenakan pada
masa itu, kecuali masih sibuk dengan urusan penakhlukan dan perluasan wilayah,
juga karena kegiatan kaum muslimin masih banyak mengacu kepada kebudayaan Arab.
Perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan Islam mencapai keemasannya pada masa Daulah
Abbasiyyah, bertepatan dengan dicapainya Zaman kejayaan Islam. Pada masa ini
banyak dilakukan kegiatan penerjemahan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke
dalam bahasa Arab, yang pada gilirannya hal ini banyak melahirkan filosof dan
ilmuwan Islam sehingga peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Selama
berabad-abad peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya yang cemerlang, di
mana pada saat yang sama wilayah yang jauh dari kekuasaan Islam masih berada
pada masa kegelapan.
Jatuhnya Baghdad
akibat serangan tentara Mongol, tidak saja meruntuhkan Daulah Abbasiyyah yang
berati kemunduran politik secara drastis, tetapi juga mengawali kemunduran
peradaban Islam. Perkembangan selanjutnya, setelah melewati periode tiga
kerajaan besar, yakni Syafawi, Mughal dan Turki Usmani, menjelang abad 18 M, peradaban
Islam benar-benar mengalami kemerosotan secara universal, dan ummat Islam
menjadi bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat. Penyebab utama
dari kemunduran ini antara lain adalah runtuhnya tradisi keilmuan yang terjadi
di kalangan ummat Islam pada masa itu. Dengan mencermati kilasan perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban di
dunia Islam, terlihat adanya korelasi yang sangat jelas antara perkembangan
filsafat, ilmu pengetahuan dan jatuh bangunnya peradaban Islam. Kemajuan dan
kemunduran ummat atau peradaban Islam tampak berkaitan langsung dengan kemajuan
dan kemunduran filsafat dan ilmu pengetahuan. Tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa, filsafat merupakan aspek peradaban Islam yang sangat penting.
Kejayaan Islam di
masa Daulah Abbasiyyah ditopang oleh kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan
yang ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh filsafat yang bermunculan pada masa
itu. Terlepas dari perbedaan pendapat dan pertentangan yang terjadi di antara
mereka, kemunculan tokoh-tokoh filsafat mulai dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya telah mengiringi kejayaan
peradaban Islam hingga sampai ke puncaknya.
DAFTAR REFERENSI
-
Al-Ahwani, Ahmad, Fuad. 1997. Filsafat
Islam. Diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
-
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilamu. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
-
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
-
Boy, Pradana. 2003. Filsafat Islam. Malang: UMM Press.
-
Fakhry, Majid. 1987. Sejarah Filsafat
Islam. Diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Karanegara. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya.
-
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
-
Hassan, Fuad. 1989. Berkenalan dengan
Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
-
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah
Filsafat Barat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
-
Majid, Nurkholis. 2008. Islam Doktrin
dan Peradaban. Jakarta
Selatan: Paramadina.
-
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Misticisme Dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
-
Nasution, Harun. 1985. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta:
Universitas Indonesia.
-
Nasution, Harun. 1991. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan
Bintang.
-
Qadir, C.A. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam.
Alih bahasa Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
-
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
-
Wiramihardja, Sutardjo A. 2006.
Pengantar Filsafat. Bandung:
PT. Refika Aditama.
-
Zar, Sirajuddin. 2009. Filsafat Islam.
Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar