A. Pendahuluan
Dalam kurun
waktu kurang lebih lima
abad setelah masa keemasannya, Islam kemudian mengalami masa kejumudan yang
sangat memprihatinkan. Selain ketertinggalan dalam aspek peradaban, ajaran
Islam juga telah tercemar oleh ajaran-ajaran ritual yang penuh bid’ah dan
kesyirikan. Hal inilah yang mendorong Ibnu Taimiyah – yakni seorang mujtahid
terbesar pada masanya – untuk membendung kemunduran Islam dengan
pikiran-pikiran pembaharuannya yang oleh sementara orang dianggap radikal. Ia
berusaha menyadarkan umat Islam yang melakukan penyelewengan aqidah dan mereka
yang melakukan ibadah yang keliru.
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah ini pada masa
berikutnya telah menginspirasi Muhammad bin Abdul Wahhab untuk melakukan
pembaharuan besar-besaran di tanah Arab. Ia mengutuk penyembahan terhadap
orang-orang suci dan menganggap semua amalan sufi adalah sesat dan menyeleweng
dari ajaran Islam. Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya memberangus
semmua tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral yang disaksikannya di
sekitar Arabia pada waktu itu. gerakannya
memfokuskan perjuangannya pada ajaran tauhid dan berusaha keras untuk membersihkan
aqidah Islam dari segala unsur yang menodainya.
Ajaran Wahhabi
ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh berikutnya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani. Di
samping giat mengajarkan paham keagamaan seperti yang disampaikan oleh Muhammad
bin Abdul Wahab, ia juga berusaha keras menyadarkan dunia
Islam dari kemunduran, keterbelakangan dan kelemahannya. Ia berjuang dengan
sekuat tenaga untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, mempersatukan seluruh
dunia Islam dibawah kitab suci al-Qur’an. Jamaluddin berpendapat bahwa kaum
muslimin mengalami kemunduran karena mereka tidak lagi berpegang teguh pada
tali Allah dan karena mereka memuja hal-hal yang datang dari luar ajaran Islam
yang justru bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri. Dari sini jelas bahwa
yang diperjuangkan Jamaluddin tidak hanya kemurnian aqidah Islam, tetapi juga
bersatunya umat Islam untuk memerdekakan diri dan agamanya dari hegemoni bangsa
Barat yang selama berabad-abad menjajah negeri-negeri Islam.
Jamaluddin
tidaklah sendirian, ia memiliki murid yang juga seorang reformis di abad
modern, yaitu Muhammad Abduh. Berbeda dengan gurunya yang mengutamakan
perjuangan politik untuk mencapai tujuan gerakannya, Abduh lebih mengutamakan
perjuangan pembaharuannya melalui bidang pendidikan. Ia memiliki murid bernama
Rasyid Ridha yang kemudian melanjutkan cita-cita Jamaluddin dan Abduh.
Tokoh-tokoh pembaharu inilah yang kemudian mengubah Mesir dan pusat
negeri-negeri Islam memperbaharui buku-buku dan metode pengajaran Islam,
memajukan ilmu pengetahuan dan kesenian serta merangsang umat Islam untuk
berlomba dengan bangsa lain dalam usaha mencapai kemajuan.
Paham dan
gerakan pembaharuan tersebut, melalui jalur perhajian dan pengiriman
pemuda-pemuda Islam yang belajar ke Mekkah dan Mesir telah bergema ke seluruh
pelosok dunia Islam, termasuk Indonesia.
Majalah-majalah seperti al-Manar, al-Wutsqa dan majalah lainnya seperti
al-Siyasah, al-Liwa dan al-Adl telah sampai ke tangan para pemuda Islam di
Indonesia dan cukup berpengaruh dalam membangun semangat pembaharuan pemikiran
Islam dan membentuk masyarakat Islam modern di negeri ini.
Sejarah
mencatat ada tiga orang haji di Sumatra Barat yang setelah kepulangannya dari
ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah, kemudian mereka melakukan pembaharuan
besar-besaran di kampung halamannya. Mereka adalah Haji Sumanik, Haji Piobang
dan Haji Miskin. Namun gerakan mereka akhirnya dapat diakhiri dengan kekalahan
kaum paderi melawan kaum adat yang didukung oleh penjajah Belanda. Pada masa
berikutnya muncullah seorang ulama besar yang anti adat, yaitu syeikh Ahmad
Khatib yang menetap di Mekkah dan mejadi syeikh besar disana. Di Mekkah ia
menghabiskan tenaganya untuk mendidik para pemuda Islam dari Indonesia, khususnya
dari Sumatra Barat dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan modern sebagaimana
yang diajarkan oleh Jamaluddin dan Abduh kepada murid-muridnya.
Sepulangnya ke
tanah air, sejak tahun 1915 para pemuda Sunatra Barat tersebut membentuk suatu
kelompok belajar. Hal ini terjadi di beberapa kota dengan nama-nama yang berbeda. Akhirnya
kelompok-kelompok tersebut melebur menjadi satu dengan nama Sumatra Thuwailib,
yang seterusnya dikenal dengan Sumatra Thawalib.
Sumatra
Thawalib lahir di pusat Ranah Minang. Ia mengawali dirinya sebagai perkumpulan
pelajar agama Sumatra. Kadang-kadang ia
menampakkan diri sebagai perkumpulan guru muda agama Islam. Dalam berhadapan
dengan kolonialisme dan imperialisme, wujud Sumatra Thawalib adalah sebagai
lembaga penentang yang sangat keras. Masyarakat Sumatra Barat dirangsang
menerima kehadiran Sumatra Thawalib sehingga pada waktu yang sangat singkat
Sumatra Thawalib telah merata di seluruh Minangkabau.
Arti Sumatra
Thawalib bagi umat Islam memang penting, khususnya di Sumatra Barat. Banyak
tulisan sudah menyinggungnya, baik secara sepintas lalu, maupun yang sudah agak
mendalam. Namun tulisan-tulisan itu ternyata baru mengungkapkan aspek-aspek
atau bagian-bagian tertentu dari Sumatra Thawalib. Masih ada banyak persoalan
dan masalah penting yang masih belum terjawab secara konkrit. Apa sesungguhnya
Sumatra Thawalib dan mengapa ia bangkit di Sumatra Barat, apa tujuan dan
programnya, bagaimana wujud Sumatra Thawalib sebagai perguruan, bagaimana
mereka menghadapi kaum adat, mengapa mereka melibatkan diri ke dalam kancah
politik, dan mengapa Sumatra Thawalib mundur dan akhirnya mati?
Sederetan
pertanyaan itulah yang kemudian dicoba ditemukan jawabannya dalam pembahasan
makalah ini.
B. Perguruan Sumatra
Thawalib
1. Sejarah Berdirinya
Awal mula
sejarah berdirinya Sumatra Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau
dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Surau sejak dulu dikenal
sebagai tempat mengaji yang sangat banyak terdapat di daerah ini.
Pendidikan
surau sangat berbeda dengan pendidikan sekolah umum, karena pendidikan surau
tidak diasuh berdasarkan sistem dam metode pendidikan. Surau diasuh oleh
seorang atau beberapa prang guru yang disebut dengan tuangku.
Masing-masing tuangku memiliki kelebihan yang berbeda dalam ilmu agama. Ada ynag ahli dalam
bidang tafsir hadis, ada yang ahli tentang nahwu sharaf, ada juga yang ahli
dalam masalah fiqih, serta ada yang membidangi ilmu tasawuf. Maka seringkali
seorang murid berpindah-pindah mengaji Dri satu tuangku ke tuangku yang lain,
dari satu surau ke surau yang lain.
Surau jembatan
besi Padang Panjang adalah awal pangkal berdirinya perguruan Sumatra Thawalib.
Pada waktu daerah Padang Panjang masih berupa semak belukar sawah dan ladang,
di sini telah terdapat beberapa surau, terutama di daerah-daerah yang padat
penduduknya seperti Batipuh dan Sepuluh Koto. Surau-surau ini menjadi tempat
menuntut ilmu-ilmu agama dengan corak tradisional. Para
sejarawan mengatakan bahwa pengajian di surau jembatan besi sudah berjalan lama
sebelum tahun 1900. Tuangku yang pertama adalah syeikh Abdullah.[1] Sistem yang
dipakai sama dengan sistem pengajian yang terdapat di surau-suaru lainnya,
yaitu sistem halaqah. Mahmud Yunus mengatakan bahwa surau ini didirikan oleh
Haji Rasul pada tahun 1914. Abdullah Ahmad kembali dari Mekkah pada tahun 1899.
Setibanya di kampung Padang Panjang ia langsung mengajar di surau jembatan
besi. Ini berarti bahwa surau ini sudah berdiri waktu itu. namun menurut Hamka
surau ini adalam milik Abdullah Ahmad, yang dibantu oleh Haji Rasul telah
memberi pengajaran agama di surau ini semenjak tahun 1904, sepulang mereka dari
Mekkah. Sebenarnya untuk menyebut tahun mana yang paling tepat sebagai
berdirinya surau ini memang cukup sulit.[2]
Dalam
mengelola pengajian dan pembelajaran di suaru jembatann besi, Abdullah Ahmad
juga di bantu oleh syeikh Abdul Latif dan Syeikh Daud Rasyidi. Sewaktu Abdullah
Ahmad meninggalkan Padang Panjang menuju Padang untuk mendirikan Adabiah
School, kedudukannya sebagai penaggung jawab dan guru mengaji di surau ini
diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Daud Rasyidi. Padang Panjang ketika itu
sudah ramai dikunjungi jamaah dan para penuntut ilmu.
Pada tahun
1906 Haji Abdul Karim Amrullah - atau terkenal dengan Haji Rasul – pulang dari
Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar mengaji di suraunya di Maninjau,
kampung halamannya. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau berguru
kepada Haji Rasul. Selama hampir dari dua tahun ia bolak-balik antara Padang
Panjang dan Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan
dan pimpinan surau jembatan besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif
Rasyidi sampai akhir hayatnya.
Sementara itu
Haji Rasul sendiri diminta oleh Abdullah Ahmad untuk membantu memajukan
pengajian surau jembatan besi dengan cara berulang-ulang ke Padang Panjang dari
Maninjau. Walaupun kesibukannya sangat padat, karena disampung mengajar
mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaan kaum adat, namun permintaan
rekannya di atas dipenuhinya juga. Bersama-sama dengan Abdul Latif Rasyidi,
pengajian surau jembatan besi semakin ditingkatkan. Sewaktu Haji Abdul Latif
meninggal dunia, seluruh umat Islam Padang Panjang sepakat untuk meminta Haji
Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin surau jembatan besi. Atas restu
Abdullah Ahmad, harapan masyarakat ini dikabulkannya dan sejak 1912, ia menetap
di Padang Panjang, sekaligus menjadi pemimpin tunggal surau jembatan besi. Setelah
Haji Rasul menetap di Padang Panjang, maka bertambah ramailah jamaah dan
anak-anak yang datang dari seluruh Sumatra Barat untuk mengaji di surau ini. Dalam
beberapa tahun saja setelah itu surau jembatan besi sudah menjadi pusat
pengajian besar.
Di sisi lain
kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan keagamaan sedangg mengalami
perubahan-perubahan pula. Pemikiran ke arah berorganisasi semakin berkembang.
Perjuang dan pergerakan nasional mulai gencar dikumandangkan. Munculnya
berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan terutama di Jawa turut
mempengaruhi cara berpikir masyarakat di seluruh nusantara, termasuk di Sumatra
Barat.
Keadaan
tersebut merangsang masyarakat surau berlomba-lomba mendirikan organisasi agar
tidak dikatakan ketinggalan zaman. Di desa Parambek di Bukittinggi, pada tahun
1908 Ibrahim Musa mendirikan sebuah surau yang kemudian dikenal dengan nama
Surau Parambek. Waktu itu Ibrahim Musa baru saja kembali dari menunaikan ibadah
haji dan belajar di Mekkah. Surau ini
cepat terkenal karena Ibrahim Musa yang menjadi gurunya sendiri dianggap telah
memiliki ilmu yang luas tentang Islam, seperti halnya Haji Rasul di jembatan
besi Padang Panjang.
Secara
singkat, Perguruan Sumatra Thawalib berdiri akibat dari penyatuan dua surau
besar ini, yakni suaru jembatan besi dan surau Parambek. Hal itu didahului oleh
pertukaran pikiran antara Sumatra Thawailib Padang Panjang dengan Sumatra
Thawailib Parambek, baik antara pengurus dan pengasuhnya, maupun antara Haji
Rasul dann Ibrahim Musa. Maka terdapatlah kesepakatan untu membentuk satu
organisasi bersama.
Bertempat di
surau Haji Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi, diadakan pertemuan resmi untuk
membicarakan pembentukan organisasi yang dimaksud. Dalam pertemuan itu hadir
wakil kedua organisasi, didampingi guru utama mereka masing-masing dan disertai
pula oleh syeikh Jamil Jambekm sendiri. Pertemuan itu menghasilkan keputusan
untuk mendirikan suatu organisasi bersama, namun belum konkrit wujudnya. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan
berikutnya hingga menghasilkan kesepakatan untuk mengabungkan antara surau
jembatan besi dengan surau Parambek dengan nama Sumatra Thawalib. Menurut
Taufiq Abdullah peristiwa ini terjadi pada tanggal 15 Pebruari 1919 atau 1920.[3]
Sumatra
Thawalib pertama kali diketuai oleh Haji Jalaluddin Thaib, atau Hasyim Al-Husni
menurut Hamka. Karena setelah satu tahun Hasyim jadi ketua, barulah digantikan
oleh Haji Jalaluddin Thaib yang berkedudukan di Padang Panjang.[4] Demikian
Sumatra Thawalib lahir sebagai satu organisasi tempat seluruh pelajar suaru
jembatan besi Padang Panjang dan surau Parambek Bukittinggi bersatu dan
memadukan aktifitas mereka yang sebelumnya digiatkan melalui organisasi lokal
masing-masing. Kelahiran Sumatra
Thawalib yang pertama diikuti oleh Sumatra Thawalib-Sumatra Thawalib dari
surau-surau lainnya di berbagai daerah,
baik yang berada di Sumatra maupun diluarnya,
sampai ke Aceh dan Bengkulen.
Adapun tujuan
dan program Perguruan Sumatra Thawalib adalah memburu kemajuan untuk merebut
hak kemanusiaan yang membawa kepada kesentosaan dan kemuliaan dalam pergaulan
hidup bersama. Ia mempererat persatuan, mencari perdamaian untuk membela Islam
dan membina budi pekerti. Ia berusaha mencerdaskan umat Islam dengan cara
memperluas dan memajukan ilmu pengetahuan lewat perbaikan sistem dan metode
pendidikan dan pengajaran, memperpendek masa belajar, mempertinggi derajat
pelajaran agama, mengatur guru-guru berdasarkan keahlian, menyusun pendidikan
berkelas, menata organisasi dan administrasi pendidikan dan sebagainya.
Ringkasnya, ia berusaha memperbaharui pandangan-pandangan dan tatanan hidup
umat dan masyarakat Islam Sumatra Barat menuju berdirinya Islam yang sempurna
di tanah air ini.[5]
2. Sumatra
Thawalib Sebagai Perguruan
Menjelang akhir
abad ke-19, pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah umum, baik
untuk anak-anak keturunan eropa maupun untuk anak-anak pribumi. Pada masa itu –
meskipun tidak banyak – sekolah-sekolah umum Belanda yang menerima anak-anak
pribumi mendidik mereka dengan kurikulum dan sistem pendidikan modern yang
tidak diajarkan di dalamnya pelajaran agama. Sehingga hasil pendidikan sekolah
umum Belanda tumbuh menjari sosok yang menjunjung tinggi rasionalitas dan
cenderung berpikir liberal. sistem pendidikan ini tidak menghargai ulama, dan
mereka menjauhkan diri dari ulama.[6]
Hal ini
mendorong Sumatra Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih
jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai peengajian
surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam. Maka
lahirlah Thawalib
School atau Perguruan
Thawalib di berbagai daerah di Sumatra Barat. Mereka memiliki tujuan, ide dan
corak yang sama, yaitu menandingi sekolah umum, emmbendung pengaruh Kristen,
dan melahirkan cerdik pandai muslim untuk kemajuan Islam dan umatnya.
Ada beberapa Perguruan
Thawalib yang muncul di Sumatra Barat pada awal abad ke-20, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Perguruan Thawalib Padang Panjang
Perubahan
surau menjadi sekolah berkelas diawali surau jembatan besi Padang Panjang di
bawah pimpinan Syeikh Abdul Karim Amrullah dan menamakan sekolahnya dengan
Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang sebab itulah surau ini
diakui sebagai perintis Perguruan Thawalib di Sumatra Barat. Perguruan ini
selain menerapkan sistem pendidikan modern yang mengajarkan ilmu-ilmu agama sekaligus
ilmu-ilmu umum guna mencetak ulama yang cendikiawan, juga berhasil menerbitkan
majalah Al-Munir, yang berisi pemikiran-pemikiran pembaharuan, dan
majalah tersebut dianggap sebagai yang pertama di Indonesia.[7]
b. Perguruan Thawalib Parabek
ini adalah
perguruan Sumatra Thawalib yang kedua yang didirikan. Perguruan ini sangat erat
hubungannya dengan tokoh pendirinya, Ibrahim Musa Parambek. Ia lahir pada
tanggal 12 syawal 1301 H di desa Parambek Bukittinggi. Pendidikan pertamanya
diterimanya darii ayahh ibunya yang mengajarkan mengaji atau membaca al-Qur’an.
Setelah tumbuh dewasa ia berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah bersama
kakaknya Abdul Malik. Di Mekkah ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabaui. Sepulangnya dari Mekkah ia mendirikan surau yang ia bina
selama enam tahun.
Namun secara
berangsur-angsur pengajian ini mengadakan perubahan sistem sesuai dengan perkembangan
dan pertumbuhan pelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Padang Panjang.
Akhirnya sistem suaru sama sekali ditinggalkan, diganti dengan sistem sekolah.
Halaqah bergamti dengan kelas dan nama Perguruan Sumatra Thawalib ditetapkan
secara resmi oleh Ibrahim Musa pada tanggal 21 september 1921, dengan
mengkordinasi dan memimpin beberapa sekolah agama di daerah-daerah sekitarnya.[8]
c. Perguruan Thawalib Padang Japang
Padang Japang
merupakan nama sebuah desa yang berada di daerah Suliki, Payakumbuh. Daerah ini
menjadi sangat terkenal karena berhasil melahirkan Sumatra Thawalib, mengikuti
jembatan besi dan Parambek, baik sistem pendidikannya maupun cita-cita dan
tujuan yang ingin dicapainya. Sumatra Thawalib Padang Japang lahir dari
pengajian surau juga, yaitu surau Syeikh Abbas Abdullah (1883-1957) yang
didirikannya pada tahun 1906. Syeikh Abbas Abdullah adalah putra Syeikh
Abdullah, seorang ulama yang giat bergerak di zaman Padri. Pendidikan dasarnya
di dapat dari surau juga sebagaimana kebanyakan rekan seangkatannya. Dalam usia
13 tahun ia pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan bermukim disana selama
kurang lebih 8 tahun. Ia belajar Islam pada ulama-ulama Minang yang berada di
Mekkah, terutama pada Syeikh Ahmad Khatib. Setelah kembali dari Mekkah ia mulai
mendirikan surau dan mengajar di Padang Japang yang pada awalnya bermula dari
tingkat pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, menurut sistem lama.
Setelah sekitar 15 tahun membina pengajian
ini, beliau pun berusaha mengubah pengajian di suraunya dan mengikuti jejak
Haji Rasul dan Haji Ibrahim Musa, mendirikan Sumatra Thawalib dan mengubah
pengajian suraunya menjadi perguruan Sumatra Thawalib dengan sistem kelas
menurut pola yang berlaku di jembatan besi Padang Panjang dan Parambek
Bukittinggi, yaitu pada tahun 1919.[9]
d. Perguruan Sumatra Thawalib Sungayang
Sungayang merupakan
sebuah desa yang terletak 6 km di luar kota
Batu Sangkar. Sebagaimana daerah lainnya, Sungayang menjadi terkenal ke seluruh
Sumatra Barat karena di sini terdapat satu surau yang menjadi pusat pengajian
yang melahirkan Sumatra Thawalib, yaitu Surau Sungayang. Sejak tahun 1913
sistem pengajian surau di sini mulai diperbaiki. Sistem pengajian berhalaqah
mulai dibagi menjadi dua, yaitu pengajian
al-Qur’an dan pengajian kitab. Perubahan ini dipelopori oleh Muhamamd
Thaib Umar Sungayang. Beliau adalah putra seorang ulama tarekat Naksabandiyah
yang terkenal pada masa itu, yaitu Umar bin Abdul Kadir. Pendidikan
tertingginya diperoleh di Mekkah. Selama 5 tahun ia bermukim di tanah suci ini
dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib.
Karirnya
dimulai dengan mendirikan pengajian surau pada tahun 1897. Namun akhirnya
kegiatan di surau ia tinggalkan dan ia serahkan kepada orang lain, sementara ia
sendiri mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Madras School.
Rupanya sekolah ini tidak banyak peminatnya, sehingga pada tahun 1913 terpaksa
ditutup, karena kekurangan siswa.[10] Namun sekolah
ini kemudian dihidupkan kembali oleh Mahmud Yunus mulai tahun 1918 bersama
Muhammad Ilyas, salah seorang murid Thaib Umar. Sekolah ini kemudian dirubah
namanya dengan al-Hidayah al-Islamiyah. Sumatra Thawalib Batusangkar
tidak menamakan perguruannya seperti yang di Padang Panjang, Parambek dan
Padang Japang. Akan tetapi perguruan ini sama dan sejenis dengan Thawalib.
Dalam beberapa hal, langkahya kelihatan lebih maju daripada yang lain. Misalnya
mereka menerbitkan dua majalah dibawah asuhan Mahmud Yunus dan Ismail Laut.
Majalah al-Basyir terbit pada bulan Pebruari 1920, sedangkan majalah Nur
al-Yakin terbit pada tahun 1928. Pimpinanya adalah Haji Aminullah, Lantai
Batu, Batusangkar, dan administrasinya dipegang oleh Harun Ar-Rasyid.[11]
e. Perguruan Sumatra Thawalib Payakumbuh
Sama dengan
Sumatra Thawalib Sungayang, Sumatra Thawalib Payakumbuh mendirikan sekolah yang
namanya bikan perguruan Thawalib tetapi Mursyidah School.
Sekolah ini didirikan di Batang Tabit Sungai Kamuning, Payakumbuh. Sekolah yang
dipimpin oleh Angku Mudo Karung Sicincin sebagai guru kepala dan Haji Abbas
Abdullah Padang Japang sebagai pemimpin umumnya ini memiliki asrama yang cukup
baik. Namun sekolah ini kurang bisa berkembang dan bersaing pada masa-masa
berikutnya.
f. Perguruan Sumatra
Thawalib Maninjau
Menjelang
akhir abad ke-19, Syeikh Abdussalam berhasil membentuk pengajian yang
memperoleh cukup banyak pengikut sehingga pada tahun 1905-an ia sempat
membangun gedung pendidikan dan masjid. Usahanya dilanjutkan oleh
murid-muridnya seperti Haji Rasul, Syeikh Salim dan Tuangku Salim Bayur.
Merekalah yang merintis perubahan sistem surau di Manijau menjadi sebuah
sekolah yang bernama Rasyidiyah School. Sekitar tahun 1915 sekolah ini
berhasil menarik 500 orang murid, jauh lebih besar daripada yang diperoleh
sekolah pemerintah yang mengajarkan ilmu umum semata, sedangkan Rasyidah
mengajarkan ilmu agama 100%.
Namun
perguruan Thawalib ini hanya mampu bertahan sampai pada masa Permi. Karena para
pengasuhnya yang radikal dan keras dalam menentang penjajah banyak yang
terlibat dalam aktivitas politik. Di antara mereka ada yang ditangkap dan
dibuang seperti Oedin Rahmani, Duski Samad, Sabilal Rasad, dan banyak yang
dilarang mengajar oleh pemerintah kolonial. Akibatnya tidak ada yang mengurusi
sekolah, dan sekolah tersebut pun akhirnya bubar perlahan-lahan.
g. Perguruan Sumatra Thawalib Bukittinggi
Perguruan ini
lahir akibat pertentangan antara Emran Jamil (sebagai murid) dan Ibrahim Musa
(sebagai gurunya). Pada tahun 1929 Emran Jamil mengsulkan kepada Syeikh Ibrahim
Musa agar tiga kelas tertinggi dari Thawalib
School dipindahkan ke kota Bukittinggi, agar lebig bisa
dikembangkan dengan memperbesar volume ilmu-ilmu umum yang dimasukkan ke dalam
kurikulumnya. Usul ini tidak disetujui oleh Syeikh Ibrahim dan beberapa guru
pendampingnya, karena dikhawatirkan kalau itu dilaksanakan, makaThawalib akan
mengalami kemunduran.
Emran Jamil
dan beberapa rekannya kemudian meninggalkan Parambek dan mendirikan sekolah
sendiri di Bukittinggi yang bernama Thawalib Bukittinggi. Namun sekolah ini
tidak mampu bertahan lama setelah pimpinanya, Emran Jamil larut dalam kegiatan
politik yang dipelopori Permi.
h. Perguruan Sumatra Thawalib Pariaman
Pendirinya
adalah Sutan Darap (1888-1942), beliau termasuk salah satu murid Syeikh Ahmad
Khatib, adalah keturunan orang biasa, karena di Periaman memang tidak ada kelas
feodal atau bangsawan. Pendidikan yang dilalui Sutan Darap sama dengan
pendidikan kebanyakan anak-anak pribumi lainnya pada wakti itu, yaitu mengaji
di surau. Setelah mengaji di kampung, beliau menunaikan ibadah haji dan
bermukim di Mekkah. Pada waktu bermukim di Mekkah itulah beliau sempat berguru
pada Syeikh Ahmad Khatib. Sekembalinya dari Mekkah ia mendirikan surau Tepi
Air. Pada tahun 1920, didirikanlah Diniyah School Thawalib Surau Tepi Air. Sutan
Darap mengembangkan kurikulum yang terdiri dari 50% ilmu agama Islam dan 50% nya
lagi ilmu umum.
Anak Datuk
Batuah Padang Panjang pernah berbondong-bondong pindah ke Diniyah School
ini sewaktu suhu politik semakin panas di perguruan Thawalib Padang Panjang.
Hal ini karena Sutan Darap bersikap pasif dalam bidang politik, namun teliti,
luwes, berani dan kritis. Perkembangan perguruan ini hanya sampai pada waktu
Permi. Setelah ketiadaan tenaga pengajar karena situasi politik yang dihadapi
umat Islam menguras banyak tenaga kaum cendikiawan dan para ulama, akhirnya
madrasah ini ditutup setelah pendirinya wafat.[12]
i. Perguruan Sumatra Thawalib
yang Lainnya
Selain
perguruan-perguruan yang disebut di atas, masih terdapat beberapa perguruan
Sumatra Thawalib yang lainnya, yaitu perguruan Thawalib Tanjung Limau yang
didirikan oleh Haji Mukhtar pada tahun 1923, perguruan Thawalib Kubang Putih
yang didirikan oleh Buya Labay Khatib pada tahun 1924, dan perguruan Thawalib
Padusunan Pariaman yang didirikan oleh Engku Bukhari Haji Rahman pada tahun
1928. Ketiga perguruan Thawalib ini memiliki kesamaan dalam metode pengajaran
dan kurikulum yang diterapkannya. Sedangkan tujuan mereka sama dengan tujuan
perguruan-perguruan Sumatra Thawalib yang lain, yaitu mengusahakan dan
memajukan pendidikan yang mampu menjawab tantangan perkembangan zaman, sehingga
umat Islam mempu mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat sebagaimana yang
diajarkan oleh agama Islam.[13]
3. Pemikiran Sumatra
Thawalib dalam Bidang Adat, Tarekat dan Syari’at
a. Pandangan Thawalib
Terhadap Adat
Sebelumnya
perlu diketahui bahwa selain banyak hukum adat Minangkabau yang tidak sejalan
dengan syari’at Islam, juga adanya campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang
selalu membela kepentingan kaum adat manakala terjadi pertentangan hukum antara
hukum yang dianut umat Islam dengan hukum yang dianut kaum adat. Hal ini
memaksa umat Ismadam para ulama Thawalib untuk bersikap moderat, tidak seperti
sikap guru mereka di Mekkah, Syeikh Ahmad Khatib yang sangat keras menentang
hukum adat.
Telah
dijelaskan bahwa banyak hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam di
Minang. Misalnya harta pusaka harus diwariskan kepada kemenakan, bukan kepada
anak, dan tidak boleh jatuh kepada suku lain di luar suku orang yang meninggal.
Adat juga melarang seorang laki-laki menikah dengan wanita dalam satu suku.
Pernikahan harus ditentukan oleh orang tua anak, meskipun anak tidak mau,
pernikahann harus tetap dilaksanakan. Suami tidak diwajibkan membangun rumah
dan tinggal bersama istrinya, suami hanya boleh datang kepada istrinya pada
waktu malam untuk sekedar menafkahinya, lahir dan batin. Setelah itu suami
pulang lagi ke orang tuanya.
Ini adalah
sebagian kecil dari gambaran hukm-hukum adat yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Syeikh Ahmad Khatib mengkritik dengan keras dalam bukunya al-Da’i
al-Masmu’ pada tahun 1891. Dalam buku ini dia terangkan bahaya dan dosa orang
yang menyalahi syara’ berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Pandangan
Ahmad Khatib pada dasarnya diterima oleh para ulama Thawalib, hanya saja mereka
memperlunak pandangan keras tersebut. Bahkan menurut Abdullah Ahmad, tidak
seluruh adat Minagkabau harus dibantah, hanya adat jahiliyah saja yang harus
dihapus, yaitu adat yang tidak sejalan dengan ketentuan syara’.[14]
Senada dengan
Abdullah Ahmad, Haji Rasul juga berpendapat bahwa tidak semua adat bertentangan
dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak anti adat, karena umat Islam tidak
mungkin dapat melepaskan diri dari ikatan adat di negerinya. Ia tidak setuju
dengan adat jahiliyah dan cara pembela adat membesar-besarkan serta
mengkeramatkan mereka yang dianggap sebagai penyusun adat alam Minangkabau. Yang
sangat keras menentang adat adalah Muhammad Thaib Umar, pengasuh Thawalib
Sungayang. Namun karena pertentangan batin yang dahsyat setelah ia
habis-habisan menentang adat yang dianggap jahiliyah itu, menyebabkan ia
tertekan dan meninggal dalam usia yang masih relatif muda, yaitu 47 tahun, pada
tahun 1920. Pada intinya para ulama Thawalib sepakat – selain beberapa saja
seperti Thaib Umar dan Haji Zainal Abidin - bahwa adat yang baik (yang sejalan dengan ajaran
Islam) hendaknya dipertahankan, dan adat jahiliyah harus dimusnahkan.[15]
b. Pandangan Thawalib
Terhadap Tarekat
Di daerah
Sumatra Barat ada dua aliran tarekat besar yang berkembang, yaitu tareka
Syatariyah dan tarekat Naqsabandiyah. Banyak orang yang menganggap bahwa Syeikh
tarekat memiliki ketinggian ilmu dan dapat mengetahui hal-hal yang gaib yang
tidak dapat dijangkau orang biasa. Sehingga mereka mensakralkan guru-guru
tarekat itu ketika masih hidup dan mengkeramatkan Syeikh-syeikh tarekat mereka
ketika sudah meninggal.
Adapun sikap
para ulama Thawalib terhadap ajaran tarekat adalah menentang keras cara-cara
ritual beserta pikiran-pikiran mereka. Penentangan ini tentu saja berawal dari
pendapat guru mereka di Mekkah, yaitu Syeikh Ahmad Khatib yang berpendapat
ajaran dan amalan suluk bukan berasal dari Nabi saw, sahabat maupun tabi’in.
mengenai rabithah adalah bid’ah, karena tidak berasal dari Nabi. Silsilah
guru-guru dan syeikh-syeikh tarekat yang dikatakan sampai kepada Nabi adalah
palsu. Larangan makan daging bertentangan dengan ajaran Islam karena berlawanan
dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Setelah Syeikh
Ahmad Khatib, kecaman terhadap ajaran tarekat kemudian diteruskan oleh para
ulama Thawalib. Di antara yang mengecam adalah Haji Rasul, Khatib Ali dengan
bukunya Burhanul-Haq, dan Syeikh Jamil Jambek yang menulis buku Penerangan
tentang Asal-Usul Tarekat al-Naqsabandiyah dan Segala yang Berhubungan
dengannya. Akibat koreksi total terhadap tarekat dilakukan oleh para ulama
Thawalib ini, menyebabkan tarekat mengalami kemunduran dalam perkembangannya
pada masa-masa berikutnya.[16]
c. Pembaharuan Dalam
Bidang Syari’ah
Para ulama perguruan Tawalib umumnya berpendapat bahwa segala
pekerjaan yang berupa ibadah, apabila tidak diperbuat, disuruhh atau ditetapkan
Nabi saw maka bukanlah ibadah, tetapi bid’ah yang keji dan harus dijauhi. Mereka
juga mengajurkan untuk beijtihad dan menentang pendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Mereka menentang taqlid, karena tidak sejalan dengan ajaran
imam madzhab yang mereka anut, yaitu Imam Syafi’i. selain itu para ulama
Thawalib yang pernah belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah kebanyakan
mereka berpikiran modern dan menginginkan tajdid, terutama dalam masalah aqidah
dan syari’ah. Penbaharuan dalam bidang syari’ah misalnya apa yang dilakukan
oleh Syeikh Thahir Jalaluddin bersama Syeikh Muhammad Jamil Jambek yang
mengembangkan pemahaman memulai ibadah puasa Ramadhan dan berhari raya
berdasarkan hisab, karena kedua orang ini masyhur sebagai ahli ilmu falak.
Begitu juga dengan
Haji Rasul yang giat menulis buku-buku yang menyerukan kepada umat Islam untuk
melakukan gerakan pemurnian aqidah dan syari’at Islam dari khurafat dan bid’ah
yang menjadi kesenangan dan kebiasaan kaum tarekat, kemudian dibasminya adat
jahiliyah Minangkabau, diperanginya taqlid dan pikiran agama yang membeku, dan
menyerukan agar umat Islam memiliki semangat yang besar untuk berijtihad.
Haji Rasul dan
para ulama Thawalib lainnya seperti Muhammad Isa dan Ahmad Syukur, mereka
menentang keras paham Ahmadiyah yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1925. Dia
berhasil membantah kebenaran ajaran Ahmadiyah dengan sangat meyakinkan,
sehingga kelancaran dan kelekuasaan perkembangannya di Indonesia dapat
dibendung. Satu-persatu dari kepercayaan pokok Ahmadiyah diuraikan dari
berbagai segi dan dengan itu dia sampai pada satu kesimpulan bahwa tidak ada
dari dakwaan Ahmadiyah yang benar, semuanya palsu.[17]
4. Aktivitas Sumatra Thawalib dalam Bidang Sosial Politik
Perguruan
Sumatra Thawalib acapkali bersentuhan dan bahkan terlibat dalam kegiatan
politik praktis. Misalnya ketika paham komunis masuk ke Sumatra Thawalib Padang
Panjang melalui seorang guru seniornya bernama Datuk Batuah yang jiga murid
dari Haji Rasul. Sejak Padang Panjang mulai menjadi pusat gerakan komunis Islam
untuk Sumatra Barat, sejak itu pulalah propaganda komunis menjalar ke
Thawalib-thawalib lainnya dengan mudah. Karena ajaran Islam sangat menentang
penjajahan, sedangkan ajaran-ajaran komunis yang sebenarnya tidak ditampakkan
oleh para propagandisnya kecuali yang berhubungan dengan anti kolonialisme,
anti penjajahan dan anti kepitalisme. Haji Rasul dan rekan-rekannya seperti
Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Ibrahim Musa Parambek, Abdullah Ahmad dan lainnya
sepakat untuk membersihkan pengaruh komunis di tubuh perguruan Thawalib. Karena
ketika itu banyak murid-murid Thawalib yang terlibat menjadi anggota dan
aktivis gerakan komunis.[18]
Berkat peranan
para murid Thawalib dari generasi muda yang sangat militan itu tindakan komunis
semakin kuat dan berani kepada pemerintah. Hingga akhirnya pemerintah menindak
tegas para pengikut komunis dengan usaha penangkapan, penahanan, penghkuman dan
pembuangan dilakukan terus-menerus hingga tahun 1926. Tidak sedikit mereka yang
terkena tindakan pembersihan ini dan sebagian dari mereka berasal dari Thawalib.
Selain
bersentuhan denngan kaum komunis, murid-murid Sumatra Thawalib juga banyak yang
menjadi kader-kader militan Muhammadiyah. Poin yang paling penting dari
persentuhan perguruan Sumatra Thawalib ini adalah tampaknya peran perguruan
Thawalib dalam mengubah dua model organisasi nasional tersebut, yaitu komunis
dan Muhammadiyah. Komunis diubahnya dari partai nasional yang anti agama
menjadi komunis bermantel agama Islam dan Muhammadiyah yang anti politik
menjadi Muhammadiyah yang berpolitik. Muhammadiyah masuk Sumatra Barat
bertepatan waktunya dengan orang-orang Sumatra Thawalib yang sedang kepayahan
menghadapi tindakan keras pemerintah terhadap komunis mereka sponsori, maka
Muhammadiyah dijadikan tempat baru untuk bergerak. Namun bagaimanapun juga,
keterlibatan timbal balik antara Muhammadiyah “Minang” dengan Sumatra
Thawalib berjalan terus, karena Muhammadiyah adalah kaum muda dan kaum muda
Sumatra Barat akhirnya kembali ke Muhammadiyah.[19]
Sejarah juga
mencatat bahwa Sumatra Thawalib juga pernah memberikan dukungannya kepara PSII.
Namun demikian dukungan yang mereka berikan kepada PSII tidak sebesar dukungan
yang mereka berikan kepada Komunis dan Muhammadiyah. Namun kebanyakan
murid-murid Thawalib aktif dalam gerakan PERMI yang merupakan satu-satunya
partai olitik Islam yang berpusat di Sumatra Barat.[20]
Untuk
mengobarkan semangat juangnya, PERMI mengibarkan semangat jangnya bersamaan
dengan semangat membela Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat
Sumatra Barat. Pada tahun pertama kelahirannya, ia masih menetapkan dirinya
sebagai organisasi sosial-keagamaan. Baru setelah ia mengadakan kongresnya yang
kedua di Padang
pada bulan Nopember 1931, ia memproklamirkan diri sebagai partai politik yang
radikal.
Salah satu perjuangannya
adalah menolak ordonansi pemerintah terhadap sekolah swasta (termasuk
sekolah-sekolah Sumatra Thawalib). Karena ordonansi tersebut dianggap anti
sekolah agama. Sebenarnya penolakan itu datangnya dari lembaga-lembaga
pendidikan swasta agama, dan PERMI sebagai pelopornya.
Akhir dari
gerakan ini adalah ditangkap dan diasingkannya para pemimpin PERMI dan siapapun
yang terlibat di dalam gerakan tersebut. Tangan besi pemerintah kolonial dengan
gagah perkasa menumpas paham dan gerakan ini hingga selama-lamanya.[21]
5. Berakhirnya Perguruan Sumatra Thawalib
Berakhirnya
gerakan PERMI memiliki dampak yang sangat serius bagi keberlangsungan hidup
perguruan Thawalib di Sumatra Barat, baik sebagai organisasi maupun sebagai
sebuah perguruan Islam. Thawalib sebagai organisasi sudah tamat riwayatnya
bersamaan dengan bubarnya PERMI. Hilangnya alat perjuangan yang menjadi
kebanggaan rakyat Sumatra Barat yang sangat dibenci oleh pemerintah kolonial
Belanda ini tidak berarti hilang pula segala-galanya. Karena Sumatra Thawalib
sebagai perguruan tetap berjalan dan menjalankan fungsinya sebagai sumber
keilmuan Islam.
Memang tidak
semua perguruan Thawalib dapat bertahan pasca pembubaran PERMI, hanya beberapa
saja seperti Thawalib Padang Panjang dan Thawalib Parembek dan beberapa
perguruan lainnya yang nasibnya jauh lebih mengenaskan daripada dua Thawalib
sebelumya. Hal ini disebabkan karena para pemimpinnya banyak yang meninggalkan
perguruan. Lebih-lebih umat Islam dan rakyat Sumatra Barat pada umunya sejak
masuknya Jepang, mereka serba mengalami kekurangan, kekurangan guru, kekurangan
murid, kekurangan biaya dan kekurangan semangat. Pada masa Jepang kegiatan
belajar-mengajar si Sumatra Thawalib sangat terganggu akibat kesulitan hidup
dan ketidaktenagna masyarakat karena hak-hak mereka diperkosa Jepang.
Gedung-gedung sekolah banyak yang dipakai Jepang untuk gudang atau penampung
pemuda-pemuda wajib militer. Inilah keadaan perguruan Sumatra Thawalib secara
keseluruhan hingga masa-masa berikutnya, bahkan semakin parahnya hingga banyak
yang terpaksa ditutup.[22]
C. Pengaruhnya Terhadap
Pembaharuan Pemikiran di Indonesia
Sumatra
Thawalib pada awalnya adalah sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh anak-anak
yang mengaji di surau, bukan sebagai sekolah, bukan pula sebagai organisasi guru-gru
muda, melainkan sebagai organisasi pembaharuan pemikiran Islam. Sumatra
Thawalib lahir menjadi pertanda bahwa masyarakat Islam Sumatra Barat telah
memasuki era baru, yaitu era modern. Karena ia menjadi pelopor yang melancarkan
gerakan modernisasi atau pembaharuan dalam berbagai bidang dan merumuskan
tujuan yang jelas dan merancang program yang lengkap dalam bidang-bidang
berikut:
1. Bidang Pendidikan
Dalam bidang
ini Sumatra Thawalib telah melahirkan lembaga pendidikan yang sangat penting
dan paling berpengaruh di Minangkabau. Ia berhasil mendirikan
perguruan-perguruan atau sekolah-sekolah yang umumnya dinamakan Perguruan
Sumatra Thawalib atau nama lainnya yang mengubah pengajian surau menjadi
sekolah-sekolah yang berkelas, dengan memakai metode penggabungan kurikulum pelajaran
umum dan agama, memakai buku-buku baik yang ditulis guru-guru mereka maupun
kitab-kitab dari luar.
2. Bidang Agama
Sumatra
Thawalib terbukti telah menjadi pelopor pembaharuan dan pemurnian Islam di
Sumatra Barat pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Ini
terbukti begitu banyaknya tokoh-tokoh lulusah Sumatra Thawalib yang berkiprah
di kancah politik dan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki
corak pembaharu seperti Muhammadiyah. Hal ini sekaligus membuktikan kebenaran
asulsi yang mengatakan bahwa para penggerak Sumatra Thawalib berusaha
meneruskan gerakan penggerak-penggerak Padri yang dahulu ditumpas oleh
pemerintah kolonial.
Mereka tidak
henti-hentinya meneruskan apa yang dikumandangkan oleh Jamaluddin dan Muhammad
Abduh kepada umat Islam untuk tidak taklid, tidak fanatik terhadap madzhab dan
membuka kembali lebar-lebar pintu ijtihad. Ini adalah ciri utama gerakan
pembaharuan di seluruh dunia.
3. Bidang Ekonomi
Dalam bidang
ini Sumatra Thawalib berhasil mengatur dan memajukan serta menyusun organisasi
perusahaan rakyat dalam bentuk koperasi, menimbulkan semangat kerja mesyarakat
untuk mencapai kemandirian dan merdeka dalam bidang ini.
4. Bidang Kewanitaan dan
kepemudaan
Perguruan
Thawalib juga mendukung dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
kaum wanita untuk memperoleh emansipasinya. Mereka juga memprogramkan pembinaan
pemuda melalui olah raga, kesenian dan kepanduan.
5. Bidang Politik
Sumatra
Thawalib juag terlibat dalam bidang politik sejak semula, kegiatan politik
mereka disalurkan melalui politik komunis. Kemudian setelah komunis diberangus
pemerintah kolonial, mereka berpindah ke Muhammadiyah dan berpolitik di
dalamnya. Sumatra Thawalib juga menyokong gerakan politik lainnya, yaitu PSII.
Satu hal yang menjadi ciri perpolitikan Sumatra Thawalib, yaitu cara mereka
yang radikal dalam menentang penjajahan. Namun pusat perjuangan mereka yang
paling vital adalah sekolah-sekolah itu sendiri yang mereka gunakan untuk
menyebarluaskan pengaruh dan ajaran politik radikal itu.
Kontribusi
Sumatra Thawalib yang begitu besar terhadap rakyat membuat ajaran-ajaran mereka
terus hidup melalui lulusan-lulusan mereka yang menjadi pemimpin bangsa, yang
kemudian turut mewarnai pembaharuan bangsa dalam bidang pendidikan, agama, politik
dan sebagainya.
D. Kesimpulan
Sebagai
organisasi dan sekaligus sebagai perguruan, Sumatra Thawalib mempunyai
cita-cita untuk mengusahakan dan memajukan segala macam ilmu pengetahuan dan
pekerjaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kemajuan dunia dan akhirat
menurut ajaran Islam. Dan itulah yang mereka perjuangkan dengan melakukan
pembaharuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Minangkabau.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufiq. School
and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatra.
New York: Cornell University,
1971.
Daya, Burhanuddin. Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya, 1995.
Encyclopedie van
Nederlandsch Indie, N.V. Brill, Leiden,
Jilid 3.
Hamka, Ayahku. Jakarta: Umminda, 1982.
---------. Kenang-kenangan
Hidup. Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Noer, Deliar. The
Modernist Muslim Movement in Indonesia.
London: Oxford University
Press, 1973.
Palimokayo, H.M D. Datuk. Sejarah
Perguruan Thawalib Padang
Panjang. Padang: Yayasan Thawalib Padang Panjang, 1970.
Yunus, Mahmud. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Al-Hidayah, 1971.
---------------------. Sejarah
Islam di Minangkabau. Jakarta:
Al-Hidayah, 1971.
[1] H.M D. Datuk Palimokayo. Sejarah
Perguruan Thawalib Padang
Panjang. (Padang: Yayasan Thawalib Padang Panjang, 1970). h. 73.
[2] Burhanuddin Daya. Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib. (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya, 1995). h. 82.
[3] Ibid. h.91.
[4] Deliar Noer. The Modernist Muslim Movement in Indonesia. (London:
Oxford University Press, 1973). h.47.
[5] Burhanuddin. Op.Cit. h.95-96.
[6] Encyclopedie van Nederlandsch Indie, N.V. Brill, Leiden, Jilid 3. h.93.
[7] Taufiq Abdullah. School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatra. (New York: Cornell University, 1971).
h.10.
[8] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
(Jakarta: Al-Hidayah, 1971). h. 62.
[9] Burhanuddin. Op.Cit. h.132-133.
[10] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan, Op.Cit. h.73.
[11] Mahmud Yunus. Sejarah Islam di Minangkabau. (Jakarta:
Al-Hidayah, 1971). h.39-40.
[12] Burhanuddin. Op.Cit. h.142-144.
[13] Ibid. h.144-152.
[14] Deliar Noer. The Modernist Muslim, Op.Cit. h.33.
[15] Hamka. Kenang-kenangan Hidup. (Jakarta: Bulan Bintang,
1974). h.63.
[16] Burhanuddin. Op.Cit. h.193-198.
[17] Penjelasan mengenai pembaharuan di bidang syari’ah secara
besar-besaran dapat dilihat pada karya Hamka, Ayahku. (Jakarta: Umminda,
1982).
[18] Burhanuddin. Op.Cit. h.245-253.
[19] Ibid.h.254.
[20] Ibid. h.259.
[21] Ibid. h.283-306.
[22] Ibid. h.331. lihat juga Hamka, Ayahku. Op.Cit. h.190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar