Minggu, 02 Juni 2013

SUMATERA THAWALIB DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA



A. Pendahuluan
Dalam kurun waktu kurang lebih lima abad setelah masa keemasannya, Islam kemudian mengalami masa kejumudan yang sangat memprihatinkan. Selain ketertinggalan dalam aspek peradaban, ajaran Islam juga telah tercemar oleh ajaran-ajaran ritual yang penuh bid’ah dan kesyirikan. Hal inilah yang mendorong Ibnu Taimiyah – yakni seorang mujtahid terbesar pada masanya – untuk membendung kemunduran Islam dengan pikiran-pikiran pembaharuannya yang oleh sementara orang dianggap radikal. Ia berusaha menyadarkan umat Islam yang melakukan penyelewengan aqidah dan mereka yang melakukan ibadah yang keliru.
 Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah ini pada masa berikutnya telah menginspirasi Muhammad bin Abdul Wahhab untuk melakukan pembaharuan besar-besaran di tanah Arab. Ia mengutuk penyembahan terhadap orang-orang suci dan menganggap semua amalan sufi adalah sesat dan menyeleweng dari ajaran Islam. Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya memberangus semmua tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral yang disaksikannya di sekitar Arabia pada waktu itu. gerakannya memfokuskan perjuangannya pada ajaran tauhid dan berusaha keras untuk membersihkan aqidah Islam dari segala unsur yang menodainya.
Ajaran Wahhabi ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh berikutnya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani. Di samping giat mengajarkan paham keagamaan seperti yang disampaikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ia juga berusaha keras menyadarkan dunia Islam dari kemunduran, keterbelakangan dan kelemahannya. Ia berjuang dengan sekuat tenaga untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, mempersatukan seluruh dunia Islam dibawah kitab suci al-Qur’an. Jamaluddin berpendapat bahwa kaum muslimin mengalami kemunduran karena mereka tidak lagi berpegang teguh pada tali Allah dan karena mereka memuja hal-hal yang datang dari luar ajaran Islam yang justru bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri. Dari sini jelas bahwa yang diperjuangkan Jamaluddin tidak hanya kemurnian aqidah Islam, tetapi juga bersatunya umat Islam untuk memerdekakan diri dan agamanya dari hegemoni bangsa Barat yang selama berabad-abad menjajah negeri-negeri Islam.
Jamaluddin tidaklah sendirian, ia memiliki murid yang juga seorang reformis di abad modern, yaitu Muhammad Abduh. Berbeda dengan gurunya yang mengutamakan perjuangan politik untuk mencapai tujuan gerakannya, Abduh lebih mengutamakan perjuangan pembaharuannya melalui bidang pendidikan. Ia memiliki murid bernama Rasyid Ridha yang kemudian melanjutkan cita-cita Jamaluddin dan Abduh. Tokoh-tokoh pembaharu inilah yang kemudian mengubah Mesir dan pusat negeri-negeri Islam memperbaharui buku-buku dan metode pengajaran Islam, memajukan ilmu pengetahuan dan kesenian serta merangsang umat Islam untuk berlomba dengan bangsa lain dalam usaha mencapai kemajuan.
Paham dan gerakan pembaharuan tersebut, melalui jalur perhajian dan pengiriman pemuda-pemuda Islam yang belajar ke Mekkah dan Mesir telah bergema ke seluruh pelosok dunia Islam, termasuk Indonesia. Majalah-majalah seperti al-Manar, al-Wutsqa dan majalah lainnya seperti al-Siyasah, al-Liwa dan al-Adl telah sampai ke tangan para pemuda Islam di Indonesia dan cukup berpengaruh dalam membangun semangat pembaharuan pemikiran Islam dan membentuk masyarakat Islam modern di negeri ini.
Sejarah mencatat ada tiga orang haji di Sumatra Barat yang setelah kepulangannya dari ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah, kemudian mereka melakukan pembaharuan besar-besaran di kampung halamannya. Mereka adalah Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Namun gerakan mereka akhirnya dapat diakhiri dengan kekalahan kaum paderi melawan kaum adat yang didukung oleh penjajah Belanda. Pada masa berikutnya muncullah seorang ulama besar yang anti adat, yaitu syeikh Ahmad Khatib yang menetap di Mekkah dan mejadi syeikh besar disana. Di Mekkah ia menghabiskan tenaganya untuk mendidik para pemuda Islam dari Indonesia, khususnya dari Sumatra Barat dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan modern sebagaimana yang diajarkan oleh Jamaluddin dan Abduh kepada murid-muridnya.
Sepulangnya ke tanah air, sejak tahun 1915 para pemuda Sunatra Barat tersebut membentuk suatu kelompok belajar. Hal ini terjadi di beberapa kota dengan nama-nama yang berbeda. Akhirnya kelompok-kelompok tersebut melebur menjadi satu dengan nama Sumatra Thuwailib, yang seterusnya dikenal dengan Sumatra Thawalib.
Sumatra Thawalib lahir di pusat Ranah Minang. Ia mengawali dirinya sebagai perkumpulan pelajar agama Sumatra. Kadang-kadang ia menampakkan diri sebagai perkumpulan guru muda agama Islam. Dalam berhadapan dengan kolonialisme dan imperialisme, wujud Sumatra Thawalib adalah sebagai lembaga penentang yang sangat keras. Masyarakat Sumatra Barat dirangsang menerima kehadiran Sumatra Thawalib sehingga pada waktu yang sangat singkat Sumatra Thawalib telah merata di seluruh Minangkabau.
Arti Sumatra Thawalib bagi umat Islam memang penting, khususnya di Sumatra Barat. Banyak tulisan sudah menyinggungnya, baik secara sepintas lalu, maupun yang sudah agak mendalam. Namun tulisan-tulisan itu ternyata baru mengungkapkan aspek-aspek atau bagian-bagian tertentu dari Sumatra Thawalib. Masih ada banyak persoalan dan masalah penting yang masih belum terjawab secara konkrit. Apa sesungguhnya Sumatra Thawalib dan mengapa ia bangkit di Sumatra Barat, apa tujuan dan programnya, bagaimana wujud Sumatra Thawalib sebagai perguruan, bagaimana mereka menghadapi kaum adat, mengapa mereka melibatkan diri ke dalam kancah politik, dan mengapa Sumatra Thawalib mundur dan akhirnya mati?
Sederetan pertanyaan itulah yang kemudian dicoba ditemukan jawabannya dalam pembahasan makalah ini.
B. Perguruan Sumatra Thawalib
1. Sejarah Berdirinya
Awal mula sejarah berdirinya Sumatra Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Surau sejak dulu dikenal sebagai tempat mengaji yang sangat banyak terdapat di daerah ini.
Pendidikan surau sangat berbeda dengan pendidikan sekolah umum, karena pendidikan surau tidak diasuh berdasarkan sistem dam metode pendidikan. Surau diasuh oleh seorang atau beberapa prang guru yang disebut dengan tuangku. Masing-masing tuangku memiliki kelebihan yang berbeda dalam ilmu agama. Ada ynag ahli dalam bidang tafsir hadis, ada yang ahli tentang nahwu sharaf, ada juga yang ahli dalam masalah fiqih, serta ada yang membidangi ilmu tasawuf. Maka seringkali seorang murid berpindah-pindah mengaji Dri satu tuangku ke tuangku yang lain, dari satu surau ke surau yang lain.
Surau jembatan besi Padang Panjang adalah awal pangkal berdirinya perguruan Sumatra Thawalib. Pada waktu daerah Padang Panjang masih berupa semak belukar sawah dan ladang, di sini telah terdapat beberapa surau, terutama di daerah-daerah yang padat penduduknya seperti Batipuh dan Sepuluh Koto. Surau-surau ini menjadi tempat menuntut ilmu-ilmu agama dengan corak tradisional. Para sejarawan mengatakan bahwa pengajian di surau jembatan besi sudah berjalan lama sebelum tahun 1900. Tuangku yang pertama adalah syeikh Abdullah.[1] Sistem yang dipakai sama dengan sistem pengajian yang terdapat di surau-suaru lainnya, yaitu sistem halaqah. Mahmud Yunus mengatakan bahwa surau ini didirikan oleh Haji Rasul pada tahun 1914. Abdullah Ahmad kembali dari Mekkah pada tahun 1899. Setibanya di kampung Padang Panjang ia langsung mengajar di surau jembatan besi. Ini berarti bahwa surau ini sudah berdiri waktu itu. namun menurut Hamka surau ini adalam milik Abdullah Ahmad, yang dibantu oleh Haji Rasul telah memberi pengajaran agama di surau ini semenjak tahun 1904, sepulang mereka dari Mekkah. Sebenarnya untuk menyebut tahun mana yang paling tepat sebagai berdirinya surau ini memang cukup sulit.[2]
Dalam mengelola pengajian dan pembelajaran di suaru jembatann besi, Abdullah Ahmad juga di bantu oleh syeikh Abdul Latif dan Syeikh Daud Rasyidi. Sewaktu Abdullah Ahmad meninggalkan Padang Panjang menuju Padang untuk mendirikan Adabiah School, kedudukannya sebagai penaggung jawab dan guru mengaji di surau ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Daud Rasyidi. Padang Panjang ketika itu sudah ramai dikunjungi jamaah dan para penuntut ilmu.
Pada tahun 1906 Haji Abdul Karim Amrullah - atau terkenal dengan Haji Rasul – pulang dari Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar mengaji di suraunya di Maninjau, kampung halamannya. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau berguru kepada Haji Rasul. Selama hampir dari dua tahun ia bolak-balik antara Padang Panjang dan Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan dan pimpinan surau jembatan besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif Rasyidi sampai akhir hayatnya.
Sementara itu Haji Rasul sendiri diminta oleh Abdullah Ahmad untuk membantu memajukan pengajian surau jembatan besi dengan cara berulang-ulang ke Padang Panjang dari Maninjau. Walaupun kesibukannya sangat padat, karena disampung mengajar mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaan kaum adat, namun permintaan rekannya di atas dipenuhinya juga. Bersama-sama dengan Abdul Latif Rasyidi, pengajian surau jembatan besi semakin ditingkatkan. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh umat Islam Padang Panjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin surau jembatan besi. Atas restu Abdullah Ahmad, harapan masyarakat ini dikabulkannya dan sejak 1912, ia menetap di Padang Panjang, sekaligus menjadi pemimpin tunggal surau jembatan besi. Setelah Haji Rasul menetap di Padang Panjang, maka bertambah ramailah jamaah dan anak-anak yang datang dari seluruh Sumatra Barat untuk mengaji di surau ini. Dalam beberapa tahun saja setelah itu surau jembatan besi sudah menjadi pusat pengajian besar.
Di sisi lain kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan keagamaan sedangg mengalami perubahan-perubahan pula. Pemikiran ke arah berorganisasi semakin berkembang. Perjuang dan pergerakan nasional mulai gencar dikumandangkan. Munculnya berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan terutama di Jawa turut mempengaruhi cara berpikir masyarakat di seluruh nusantara, termasuk di Sumatra Barat.
Keadaan tersebut merangsang masyarakat surau berlomba-lomba mendirikan organisasi agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Di desa Parambek di Bukittinggi, pada tahun 1908 Ibrahim Musa mendirikan sebuah surau yang kemudian dikenal dengan nama Surau Parambek. Waktu itu Ibrahim Musa baru saja kembali dari menunaikan ibadah haji dan belajar  di Mekkah. Surau ini cepat terkenal karena Ibrahim Musa yang menjadi gurunya sendiri dianggap telah memiliki ilmu yang luas tentang Islam, seperti halnya Haji Rasul di jembatan besi Padang Panjang.
Secara singkat, Perguruan Sumatra Thawalib berdiri akibat dari penyatuan dua surau besar ini, yakni suaru jembatan besi dan surau Parambek. Hal itu didahului oleh pertukaran pikiran antara Sumatra Thawailib Padang Panjang dengan Sumatra Thawailib Parambek, baik antara pengurus dan pengasuhnya, maupun antara Haji Rasul dann Ibrahim Musa. Maka terdapatlah kesepakatan untu membentuk satu organisasi bersama.
Bertempat di surau Haji Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi, diadakan pertemuan resmi untuk membicarakan pembentukan organisasi yang dimaksud. Dalam pertemuan itu hadir wakil kedua organisasi, didampingi guru utama mereka masing-masing dan disertai pula oleh syeikh Jamil Jambekm sendiri. Pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk mendirikan suatu organisasi bersama, namun belum konkrit wujudnya.  Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya hingga menghasilkan kesepakatan untuk mengabungkan antara surau jembatan besi dengan surau Parambek dengan nama Sumatra Thawalib. Menurut Taufiq Abdullah peristiwa ini terjadi pada tanggal 15 Pebruari 1919 atau 1920.[3]
Sumatra Thawalib pertama kali diketuai oleh Haji Jalaluddin Thaib, atau Hasyim Al-Husni menurut Hamka. Karena setelah satu tahun Hasyim jadi ketua, barulah digantikan oleh Haji Jalaluddin Thaib yang berkedudukan di Padang Panjang.[4] Demikian Sumatra Thawalib lahir sebagai satu organisasi tempat seluruh pelajar suaru jembatan besi Padang Panjang dan surau Parambek Bukittinggi bersatu dan memadukan aktifitas mereka yang sebelumnya digiatkan melalui organisasi lokal masing-masing.  Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama diikuti oleh Sumatra Thawalib-Sumatra Thawalib dari surau-surau  lainnya di berbagai daerah, baik yang berada di Sumatra maupun diluarnya, sampai ke Aceh dan Bengkulen.
Adapun tujuan dan program Perguruan Sumatra Thawalib adalah memburu kemajuan untuk merebut hak kemanusiaan yang membawa kepada kesentosaan dan kemuliaan dalam pergaulan hidup bersama. Ia mempererat persatuan, mencari perdamaian untuk membela Islam dan membina budi pekerti. Ia berusaha mencerdaskan umat Islam dengan cara memperluas dan memajukan ilmu pengetahuan lewat perbaikan sistem dan metode pendidikan dan pengajaran, memperpendek masa belajar, mempertinggi derajat pelajaran agama, mengatur guru-guru berdasarkan keahlian, menyusun pendidikan berkelas, menata organisasi dan administrasi pendidikan dan sebagainya. Ringkasnya, ia berusaha memperbaharui pandangan-pandangan dan tatanan hidup umat dan masyarakat Islam Sumatra Barat menuju berdirinya Islam yang sempurna di tanah air ini.[5]
2. Sumatra Thawalib Sebagai Perguruan
Menjelang akhir abad ke-19, pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah umum, baik untuk anak-anak keturunan eropa maupun untuk anak-anak pribumi. Pada masa itu – meskipun tidak banyak – sekolah-sekolah umum Belanda yang menerima anak-anak pribumi mendidik mereka dengan kurikulum dan sistem pendidikan modern yang tidak diajarkan di dalamnya pelajaran agama. Sehingga hasil pendidikan sekolah umum Belanda tumbuh menjari sosok yang menjunjung tinggi rasionalitas dan cenderung berpikir liberal. sistem pendidikan ini tidak menghargai ulama, dan mereka menjauhkan diri dari ulama.[6]
Hal ini mendorong Sumatra Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai peengajian surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam. Maka lahirlah Thawalib School atau Perguruan Thawalib di berbagai daerah di Sumatra Barat. Mereka memiliki tujuan, ide dan corak yang sama, yaitu menandingi sekolah umum, emmbendung pengaruh Kristen, dan melahirkan cerdik pandai muslim untuk kemajuan Islam dan umatnya.
Ada beberapa Perguruan Thawalib yang muncul di Sumatra Barat pada awal abad ke-20, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perguruan Thawalib Padang Panjang
Perubahan surau menjadi sekolah berkelas diawali surau jembatan besi Padang Panjang di bawah pimpinan Syeikh Abdul Karim Amrullah dan menamakan sekolahnya dengan Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang sebab itulah surau ini diakui sebagai perintis Perguruan Thawalib di Sumatra Barat. Perguruan ini selain menerapkan sistem pendidikan modern yang mengajarkan ilmu-ilmu agama sekaligus ilmu-ilmu umum guna mencetak ulama yang cendikiawan, juga berhasil menerbitkan majalah Al-Munir, yang berisi pemikiran-pemikiran pembaharuan, dan majalah tersebut dianggap sebagai yang pertama di Indonesia.[7]
b. Perguruan Thawalib Parabek
ini adalah perguruan Sumatra Thawalib yang kedua yang didirikan. Perguruan ini sangat erat hubungannya dengan tokoh pendirinya, Ibrahim Musa Parambek. Ia lahir pada tanggal 12 syawal 1301 H di desa Parambek Bukittinggi. Pendidikan pertamanya diterimanya darii ayahh ibunya yang mengajarkan mengaji atau membaca al-Qur’an. Setelah tumbuh dewasa ia berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah bersama kakaknya Abdul Malik. Di Mekkah ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabaui. Sepulangnya dari Mekkah ia mendirikan surau yang ia bina selama enam tahun.
Namun secara berangsur-angsur pengajian ini mengadakan perubahan sistem sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan pelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Padang Panjang. Akhirnya sistem suaru sama sekali ditinggalkan, diganti dengan sistem sekolah. Halaqah bergamti dengan kelas dan nama Perguruan Sumatra Thawalib ditetapkan secara resmi oleh Ibrahim Musa pada tanggal 21 september 1921, dengan mengkordinasi dan memimpin beberapa sekolah agama di daerah-daerah sekitarnya.[8]
c. Perguruan Thawalib Padang Japang
Padang Japang merupakan nama sebuah desa yang berada di daerah Suliki, Payakumbuh. Daerah ini menjadi sangat terkenal karena berhasil melahirkan Sumatra Thawalib, mengikuti jembatan besi dan Parambek, baik sistem pendidikannya maupun cita-cita dan tujuan yang ingin dicapainya. Sumatra Thawalib Padang Japang lahir dari pengajian surau juga, yaitu surau Syeikh Abbas Abdullah (1883-1957) yang didirikannya pada tahun 1906. Syeikh Abbas Abdullah adalah putra Syeikh Abdullah, seorang ulama yang giat bergerak di zaman Padri. Pendidikan dasarnya di dapat dari surau juga sebagaimana kebanyakan rekan seangkatannya. Dalam usia 13 tahun ia pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan bermukim disana selama kurang lebih 8 tahun. Ia belajar Islam pada ulama-ulama Minang yang berada di Mekkah, terutama pada Syeikh Ahmad Khatib.  Setelah kembali dari Mekkah ia mulai mendirikan surau dan mengajar di Padang Japang yang pada awalnya bermula dari tingkat pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, menurut sistem lama.
 Setelah sekitar 15 tahun membina pengajian ini, beliau pun berusaha mengubah pengajian di suraunya dan mengikuti jejak Haji Rasul dan Haji Ibrahim Musa, mendirikan Sumatra Thawalib dan mengubah pengajian suraunya menjadi perguruan Sumatra Thawalib dengan sistem kelas menurut pola yang berlaku di jembatan besi Padang Panjang dan Parambek Bukittinggi, yaitu pada tahun 1919.[9]
d. Perguruan Sumatra Thawalib Sungayang
Sungayang merupakan sebuah desa yang terletak 6 km di luar kota Batu Sangkar. Sebagaimana daerah lainnya, Sungayang menjadi terkenal ke seluruh Sumatra Barat karena di sini terdapat satu surau yang menjadi pusat pengajian yang melahirkan Sumatra Thawalib, yaitu Surau Sungayang. Sejak tahun 1913 sistem pengajian surau di sini mulai diperbaiki. Sistem pengajian berhalaqah mulai dibagi menjadi dua, yaitu pengajian  al-Qur’an dan pengajian kitab. Perubahan ini dipelopori oleh Muhamamd Thaib Umar Sungayang. Beliau adalah putra seorang ulama tarekat Naksabandiyah yang terkenal pada masa itu, yaitu Umar bin Abdul Kadir. Pendidikan tertingginya diperoleh di Mekkah. Selama 5 tahun ia bermukim di tanah suci ini dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib.
Karirnya dimulai dengan mendirikan pengajian surau pada tahun 1897. Namun akhirnya kegiatan di surau ia tinggalkan dan ia serahkan kepada orang lain, sementara ia sendiri mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Madras School. Rupanya sekolah ini tidak banyak peminatnya, sehingga pada tahun 1913 terpaksa ditutup, karena kekurangan siswa.[10] Namun sekolah ini kemudian dihidupkan kembali oleh Mahmud Yunus mulai tahun 1918 bersama Muhammad Ilyas, salah seorang murid Thaib Umar. Sekolah ini kemudian dirubah namanya dengan al-Hidayah al-Islamiyah. Sumatra Thawalib Batusangkar tidak menamakan perguruannya seperti yang di Padang Panjang, Parambek dan Padang Japang. Akan tetapi perguruan ini sama dan sejenis dengan Thawalib. Dalam beberapa hal, langkahya kelihatan lebih maju daripada yang lain. Misalnya mereka menerbitkan dua majalah dibawah asuhan Mahmud Yunus dan Ismail Laut. Majalah al-Basyir terbit pada bulan Pebruari 1920, sedangkan majalah Nur al-Yakin terbit pada tahun 1928. Pimpinanya adalah Haji Aminullah, Lantai Batu, Batusangkar, dan administrasinya dipegang oleh Harun Ar-Rasyid.[11]
e. Perguruan Sumatra Thawalib Payakumbuh
Sama dengan Sumatra Thawalib Sungayang, Sumatra Thawalib Payakumbuh mendirikan sekolah yang namanya bikan perguruan Thawalib tetapi Mursyidah School. Sekolah ini didirikan di Batang Tabit Sungai Kamuning, Payakumbuh. Sekolah yang dipimpin oleh Angku Mudo Karung Sicincin sebagai guru kepala dan Haji Abbas Abdullah Padang Japang sebagai pemimpin umumnya ini memiliki asrama yang cukup baik. Namun sekolah ini kurang bisa berkembang dan bersaing pada masa-masa berikutnya.
f.  Perguruan Sumatra Thawalib Maninjau
Menjelang akhir abad ke-19, Syeikh Abdussalam berhasil membentuk pengajian yang memperoleh cukup banyak pengikut sehingga pada tahun 1905-an ia sempat membangun gedung pendidikan dan masjid. Usahanya dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti Haji Rasul, Syeikh Salim dan Tuangku Salim Bayur. Merekalah yang merintis perubahan sistem surau di Manijau menjadi sebuah sekolah yang bernama Rasyidiyah School. Sekitar tahun 1915 sekolah ini berhasil menarik 500 orang murid, jauh lebih besar daripada yang diperoleh sekolah pemerintah yang mengajarkan ilmu umum semata, sedangkan Rasyidah mengajarkan ilmu agama 100%.
Namun perguruan Thawalib ini hanya mampu bertahan sampai pada masa Permi. Karena para pengasuhnya yang radikal dan keras dalam menentang penjajah banyak yang terlibat dalam aktivitas politik. Di antara mereka ada yang ditangkap dan dibuang seperti Oedin Rahmani, Duski Samad, Sabilal Rasad, dan banyak yang dilarang mengajar oleh pemerintah kolonial. Akibatnya tidak ada yang mengurusi sekolah, dan sekolah tersebut pun akhirnya bubar perlahan-lahan.
g. Perguruan Sumatra Thawalib Bukittinggi
Perguruan ini lahir akibat pertentangan antara Emran Jamil (sebagai murid) dan Ibrahim Musa (sebagai gurunya). Pada tahun 1929 Emran Jamil mengsulkan kepada Syeikh Ibrahim Musa agar tiga kelas tertinggi dari Thawalib School dipindahkan ke kota Bukittinggi, agar lebig bisa dikembangkan dengan memperbesar volume ilmu-ilmu umum yang dimasukkan ke dalam kurikulumnya. Usul ini tidak disetujui oleh Syeikh Ibrahim dan beberapa guru pendampingnya, karena dikhawatirkan kalau itu dilaksanakan, makaThawalib akan mengalami kemunduran.
Emran Jamil dan beberapa rekannya kemudian meninggalkan Parambek dan mendirikan sekolah sendiri di Bukittinggi yang bernama Thawalib Bukittinggi. Namun sekolah ini tidak mampu bertahan lama setelah pimpinanya, Emran Jamil larut dalam kegiatan politik yang dipelopori Permi.
h. Perguruan Sumatra Thawalib Pariaman
Pendirinya adalah Sutan Darap (1888-1942), beliau termasuk salah satu murid Syeikh Ahmad Khatib, adalah keturunan orang biasa, karena di Periaman memang tidak ada kelas feodal atau bangsawan. Pendidikan yang dilalui Sutan Darap sama dengan pendidikan kebanyakan anak-anak pribumi lainnya pada wakti itu, yaitu mengaji di surau. Setelah mengaji di kampung, beliau menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekkah. Pada waktu bermukim di Mekkah itulah beliau sempat berguru pada Syeikh Ahmad Khatib. Sekembalinya dari Mekkah ia mendirikan surau Tepi Air. Pada tahun 1920, didirikanlah Diniyah School Thawalib Surau Tepi Air. Sutan Darap mengembangkan kurikulum yang terdiri dari 50% ilmu agama Islam dan 50% nya lagi ilmu umum.
Anak Datuk Batuah Padang Panjang pernah berbondong-bondong pindah ke Diniyah School ini sewaktu suhu politik semakin panas di perguruan Thawalib Padang Panjang. Hal ini karena Sutan Darap bersikap pasif dalam bidang politik, namun teliti, luwes, berani dan kritis. Perkembangan perguruan ini hanya sampai pada waktu Permi. Setelah ketiadaan tenaga pengajar karena situasi politik yang dihadapi umat Islam menguras banyak tenaga kaum cendikiawan dan para ulama, akhirnya madrasah ini ditutup setelah pendirinya wafat.[12]   
i. Perguruan Sumatra Thawalib yang Lainnya
Selain perguruan-perguruan yang disebut di atas, masih terdapat beberapa perguruan Sumatra Thawalib yang lainnya, yaitu perguruan Thawalib Tanjung Limau yang didirikan oleh Haji Mukhtar pada tahun 1923, perguruan Thawalib Kubang Putih yang didirikan oleh Buya Labay Khatib pada tahun 1924, dan perguruan Thawalib Padusunan Pariaman yang didirikan oleh Engku Bukhari Haji Rahman pada tahun 1928. Ketiga perguruan Thawalib ini memiliki kesamaan dalam metode pengajaran dan kurikulum yang diterapkannya. Sedangkan tujuan mereka sama dengan tujuan perguruan-perguruan Sumatra Thawalib yang lain, yaitu mengusahakan dan memajukan pendidikan yang mampu menjawab tantangan perkembangan zaman, sehingga umat Islam mempu mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam.[13]
3. Pemikiran Sumatra Thawalib dalam Bidang Adat, Tarekat dan Syari’at
a. Pandangan Thawalib Terhadap Adat
Sebelumnya perlu diketahui bahwa selain banyak hukum adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan syari’at Islam, juga adanya campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang selalu membela kepentingan kaum adat manakala terjadi pertentangan hukum antara hukum yang dianut umat Islam dengan hukum yang dianut kaum adat. Hal ini memaksa umat Ismadam para ulama Thawalib untuk bersikap moderat, tidak seperti sikap guru mereka di Mekkah, Syeikh Ahmad Khatib yang sangat keras menentang hukum adat.
Telah dijelaskan bahwa banyak hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam di Minang. Misalnya harta pusaka harus diwariskan kepada kemenakan, bukan kepada anak, dan tidak boleh jatuh kepada suku lain di luar suku orang yang meninggal. Adat juga melarang seorang laki-laki menikah dengan wanita dalam satu suku. Pernikahan harus ditentukan oleh orang tua anak, meskipun anak tidak mau, pernikahann harus tetap dilaksanakan. Suami tidak diwajibkan membangun rumah dan tinggal bersama istrinya, suami hanya boleh datang kepada istrinya pada waktu malam untuk sekedar menafkahinya, lahir dan batin. Setelah itu suami pulang lagi ke orang tuanya.
Ini adalah sebagian kecil dari gambaran hukm-hukum adat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Syeikh Ahmad Khatib mengkritik dengan keras dalam bukunya al-Da’i al-Masmu’ pada tahun 1891. Dalam buku ini dia terangkan bahaya dan dosa orang yang menyalahi syara’ berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Pandangan Ahmad Khatib pada dasarnya diterima oleh para ulama Thawalib, hanya saja mereka memperlunak pandangan keras tersebut. Bahkan menurut Abdullah Ahmad, tidak seluruh adat Minagkabau harus dibantah, hanya adat jahiliyah saja yang harus dihapus, yaitu adat yang tidak sejalan dengan ketentuan syara’.[14]
Senada dengan Abdullah Ahmad, Haji Rasul juga berpendapat bahwa tidak semua adat bertentangan dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak anti adat, karena umat Islam tidak mungkin dapat melepaskan diri dari ikatan adat di negerinya. Ia tidak setuju dengan adat jahiliyah dan cara pembela adat membesar-besarkan serta mengkeramatkan mereka yang dianggap sebagai penyusun adat alam Minangkabau. Yang sangat keras menentang adat adalah Muhammad Thaib Umar, pengasuh Thawalib Sungayang. Namun karena pertentangan batin yang dahsyat setelah ia habis-habisan menentang adat yang dianggap jahiliyah itu, menyebabkan ia tertekan dan meninggal dalam usia yang masih relatif muda, yaitu 47 tahun, pada tahun 1920. Pada intinya para ulama Thawalib sepakat – selain beberapa saja seperti Thaib Umar dan Haji Zainal Abidin -  bahwa adat yang baik (yang sejalan dengan ajaran Islam) hendaknya dipertahankan, dan adat jahiliyah harus dimusnahkan.[15]  
b. Pandangan Thawalib Terhadap Tarekat
Di daerah Sumatra Barat ada dua aliran tarekat besar yang berkembang, yaitu tareka Syatariyah dan tarekat Naqsabandiyah. Banyak orang yang menganggap bahwa Syeikh tarekat memiliki ketinggian ilmu dan dapat mengetahui hal-hal yang gaib yang tidak dapat dijangkau orang biasa. Sehingga mereka mensakralkan guru-guru tarekat itu ketika masih hidup dan mengkeramatkan Syeikh-syeikh tarekat mereka ketika sudah meninggal.
Adapun sikap para ulama Thawalib terhadap ajaran tarekat adalah menentang keras cara-cara ritual beserta pikiran-pikiran mereka. Penentangan ini tentu saja berawal dari pendapat guru mereka di Mekkah, yaitu Syeikh Ahmad Khatib yang berpendapat ajaran dan amalan suluk bukan berasal dari Nabi saw, sahabat maupun tabi’in. mengenai rabithah adalah bid’ah, karena tidak berasal dari Nabi. Silsilah guru-guru dan syeikh-syeikh tarekat yang dikatakan sampai kepada Nabi adalah palsu. Larangan makan daging bertentangan dengan ajaran Islam karena berlawanan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Setelah Syeikh Ahmad Khatib, kecaman terhadap ajaran tarekat kemudian diteruskan oleh para ulama Thawalib. Di antara yang mengecam adalah Haji Rasul, Khatib Ali dengan bukunya Burhanul-Haq, dan Syeikh Jamil Jambek yang menulis buku Penerangan tentang Asal-Usul Tarekat al-Naqsabandiyah dan Segala yang Berhubungan dengannya. Akibat koreksi total terhadap tarekat dilakukan oleh para ulama Thawalib ini, menyebabkan tarekat mengalami kemunduran dalam perkembangannya pada masa-masa berikutnya.[16] 
c. Pembaharuan Dalam Bidang Syari’ah
Para ulama perguruan Tawalib umumnya berpendapat bahwa segala pekerjaan yang berupa ibadah, apabila tidak diperbuat, disuruhh atau ditetapkan Nabi saw maka bukanlah ibadah, tetapi bid’ah yang keji dan harus dijauhi. Mereka juga mengajurkan untuk beijtihad dan menentang pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menentang taqlid, karena tidak sejalan dengan ajaran imam madzhab yang mereka anut, yaitu Imam Syafi’i. selain itu para ulama Thawalib yang pernah belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah kebanyakan mereka berpikiran modern dan menginginkan tajdid, terutama dalam masalah aqidah dan syari’ah. Penbaharuan dalam bidang syari’ah misalnya apa yang dilakukan oleh Syeikh Thahir Jalaluddin bersama Syeikh Muhammad Jamil Jambek yang mengembangkan pemahaman memulai ibadah puasa Ramadhan dan berhari raya berdasarkan hisab, karena kedua orang ini masyhur sebagai ahli ilmu falak.
Begitu juga dengan Haji Rasul yang giat menulis buku-buku yang menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan gerakan pemurnian aqidah dan syari’at Islam dari khurafat dan bid’ah yang menjadi kesenangan dan kebiasaan kaum tarekat, kemudian dibasminya adat jahiliyah Minangkabau, diperanginya taqlid dan pikiran agama yang membeku, dan menyerukan agar umat Islam memiliki semangat yang besar untuk berijtihad.
Haji Rasul dan para ulama Thawalib lainnya seperti Muhammad Isa dan Ahmad Syukur, mereka menentang keras paham Ahmadiyah yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1925. Dia berhasil membantah kebenaran ajaran Ahmadiyah dengan sangat meyakinkan, sehingga kelancaran dan kelekuasaan perkembangannya di Indonesia dapat dibendung. Satu-persatu dari kepercayaan pokok Ahmadiyah diuraikan dari berbagai segi dan dengan itu dia sampai pada satu kesimpulan bahwa tidak ada dari dakwaan Ahmadiyah yang benar, semuanya palsu.[17]  
4. Aktivitas Sumatra Thawalib dalam Bidang Sosial Politik
Perguruan Sumatra Thawalib acapkali bersentuhan dan bahkan terlibat dalam kegiatan politik praktis. Misalnya ketika paham komunis masuk ke Sumatra Thawalib Padang Panjang melalui seorang guru seniornya bernama Datuk Batuah yang jiga murid dari Haji Rasul. Sejak Padang Panjang mulai menjadi pusat gerakan komunis Islam untuk Sumatra Barat, sejak itu pulalah propaganda komunis menjalar ke Thawalib-thawalib lainnya dengan mudah. Karena ajaran Islam sangat menentang penjajahan, sedangkan ajaran-ajaran komunis yang sebenarnya tidak ditampakkan oleh para propagandisnya kecuali yang berhubungan dengan anti kolonialisme, anti penjajahan dan anti kepitalisme. Haji Rasul dan rekan-rekannya seperti Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Ibrahim Musa Parambek, Abdullah Ahmad dan lainnya sepakat untuk membersihkan pengaruh komunis di tubuh perguruan Thawalib. Karena ketika itu banyak murid-murid Thawalib yang terlibat menjadi anggota dan aktivis gerakan komunis.[18]
Berkat peranan para murid Thawalib dari generasi muda yang sangat militan itu tindakan komunis semakin kuat dan berani kepada pemerintah. Hingga akhirnya pemerintah menindak tegas para pengikut komunis dengan usaha penangkapan, penahanan, penghkuman dan pembuangan dilakukan terus-menerus hingga tahun 1926. Tidak sedikit mereka yang terkena tindakan pembersihan ini dan sebagian dari mereka berasal dari Thawalib.
Selain bersentuhan denngan kaum komunis, murid-murid Sumatra Thawalib juga banyak yang menjadi kader-kader militan Muhammadiyah. Poin yang paling penting dari persentuhan perguruan Sumatra Thawalib ini adalah tampaknya peran perguruan Thawalib dalam mengubah dua model organisasi nasional tersebut, yaitu komunis dan Muhammadiyah. Komunis diubahnya dari partai nasional yang anti agama menjadi komunis bermantel agama Islam dan Muhammadiyah yang anti politik menjadi Muhammadiyah yang berpolitik. Muhammadiyah masuk Sumatra Barat bertepatan waktunya dengan orang-orang Sumatra Thawalib yang sedang kepayahan menghadapi tindakan keras pemerintah terhadap komunis mereka sponsori, maka Muhammadiyah dijadikan tempat baru untuk bergerak. Namun bagaimanapun juga, keterlibatan timbal balik antara Muhammadiyah “Minang” dengan Sumatra Thawalib berjalan terus, karena Muhammadiyah adalah kaum muda dan kaum muda Sumatra Barat akhirnya kembali ke Muhammadiyah.[19]
Sejarah juga mencatat bahwa Sumatra Thawalib juga pernah memberikan dukungannya kepara PSII. Namun demikian dukungan yang mereka berikan kepada PSII tidak sebesar dukungan yang mereka berikan kepada Komunis dan Muhammadiyah. Namun kebanyakan murid-murid Thawalib aktif dalam gerakan PERMI yang merupakan satu-satunya partai olitik Islam yang berpusat di Sumatra Barat.[20]
Untuk mengobarkan semangat juangnya, PERMI mengibarkan semangat jangnya bersamaan dengan semangat membela Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Sumatra Barat. Pada tahun pertama kelahirannya, ia masih menetapkan dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan. Baru setelah ia mengadakan kongresnya yang kedua di Padang pada bulan Nopember 1931, ia memproklamirkan diri sebagai partai politik yang radikal.
Salah satu perjuangannya adalah menolak ordonansi pemerintah terhadap sekolah swasta (termasuk sekolah-sekolah Sumatra Thawalib). Karena ordonansi tersebut dianggap anti sekolah agama. Sebenarnya penolakan itu datangnya dari lembaga-lembaga pendidikan swasta agama, dan PERMI sebagai pelopornya.
Akhir dari gerakan ini adalah ditangkap dan diasingkannya para pemimpin PERMI dan siapapun yang terlibat di dalam gerakan tersebut. Tangan besi pemerintah kolonial dengan gagah perkasa menumpas paham dan gerakan ini hingga selama-lamanya.[21]   
5. Berakhirnya Perguruan Sumatra Thawalib
Berakhirnya gerakan PERMI memiliki dampak yang sangat serius bagi keberlangsungan hidup perguruan Thawalib di Sumatra Barat, baik sebagai organisasi maupun sebagai sebuah perguruan Islam. Thawalib sebagai organisasi sudah tamat riwayatnya bersamaan dengan bubarnya PERMI. Hilangnya alat perjuangan yang menjadi kebanggaan rakyat Sumatra Barat yang sangat dibenci oleh pemerintah kolonial Belanda ini tidak berarti hilang pula segala-galanya. Karena Sumatra Thawalib sebagai perguruan tetap berjalan dan menjalankan fungsinya sebagai sumber keilmuan Islam.
Memang tidak semua perguruan Thawalib dapat bertahan pasca pembubaran PERMI, hanya beberapa saja seperti Thawalib Padang Panjang dan Thawalib Parembek dan beberapa perguruan lainnya yang nasibnya jauh lebih mengenaskan daripada dua Thawalib sebelumya. Hal ini disebabkan karena para pemimpinnya banyak yang meninggalkan perguruan. Lebih-lebih umat Islam dan rakyat Sumatra Barat pada umunya sejak masuknya Jepang, mereka serba mengalami kekurangan, kekurangan guru, kekurangan murid, kekurangan biaya dan kekurangan semangat. Pada masa Jepang kegiatan belajar-mengajar si Sumatra Thawalib sangat terganggu akibat kesulitan hidup dan ketidaktenagna masyarakat karena hak-hak mereka diperkosa Jepang. Gedung-gedung sekolah banyak yang dipakai Jepang untuk gudang atau penampung pemuda-pemuda wajib militer. Inilah keadaan perguruan Sumatra Thawalib secara keseluruhan hingga masa-masa berikutnya, bahkan semakin parahnya hingga banyak yang terpaksa ditutup.[22]
C. Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan Pemikiran di Indonesia
Sumatra Thawalib pada awalnya adalah sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh anak-anak yang mengaji di surau, bukan sebagai sekolah, bukan pula sebagai organisasi guru-gru muda, melainkan sebagai organisasi pembaharuan pemikiran Islam. Sumatra Thawalib lahir menjadi pertanda bahwa masyarakat Islam Sumatra Barat telah memasuki era baru, yaitu era modern. Karena ia menjadi pelopor yang melancarkan gerakan modernisasi atau pembaharuan dalam berbagai bidang dan merumuskan tujuan yang jelas dan merancang program yang lengkap dalam bidang-bidang berikut:
1. Bidang Pendidikan
Dalam bidang ini Sumatra Thawalib telah melahirkan lembaga pendidikan yang sangat penting dan paling berpengaruh di Minangkabau. Ia berhasil mendirikan perguruan-perguruan atau sekolah-sekolah yang umumnya dinamakan Perguruan Sumatra Thawalib atau nama lainnya yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah-sekolah yang berkelas, dengan memakai metode penggabungan kurikulum pelajaran umum dan agama, memakai buku-buku baik yang ditulis guru-guru mereka maupun kitab-kitab dari luar.  
2. Bidang Agama
Sumatra Thawalib terbukti telah menjadi pelopor pembaharuan dan pemurnian Islam di Sumatra Barat pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Ini terbukti begitu banyaknya tokoh-tokoh lulusah Sumatra Thawalib yang berkiprah di kancah politik dan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki corak pembaharu seperti Muhammadiyah. Hal ini sekaligus membuktikan kebenaran asulsi yang mengatakan bahwa para penggerak Sumatra Thawalib berusaha meneruskan gerakan penggerak-penggerak Padri yang dahulu ditumpas oleh pemerintah kolonial.
Mereka tidak henti-hentinya meneruskan apa yang dikumandangkan oleh Jamaluddin dan Muhammad Abduh kepada umat Islam untuk tidak taklid, tidak fanatik terhadap madzhab dan membuka kembali lebar-lebar pintu ijtihad. Ini adalah ciri utama gerakan pembaharuan di seluruh dunia.
3. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ini Sumatra Thawalib berhasil mengatur dan memajukan serta menyusun organisasi perusahaan rakyat dalam bentuk koperasi, menimbulkan semangat kerja mesyarakat untuk mencapai kemandirian dan merdeka dalam bidang ini.
4. Bidang Kewanitaan dan kepemudaan
Perguruan Thawalib juga mendukung dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk memperoleh emansipasinya. Mereka juga memprogramkan pembinaan pemuda melalui olah raga, kesenian dan kepanduan. 
5. Bidang Politik
Sumatra Thawalib juag terlibat dalam bidang politik sejak semula, kegiatan politik mereka disalurkan melalui politik komunis. Kemudian setelah komunis diberangus pemerintah kolonial, mereka berpindah ke Muhammadiyah dan berpolitik di dalamnya. Sumatra Thawalib juga menyokong gerakan politik lainnya, yaitu PSII. Satu hal yang menjadi ciri perpolitikan Sumatra Thawalib, yaitu cara mereka yang radikal dalam menentang penjajahan. Namun pusat perjuangan mereka yang paling vital adalah sekolah-sekolah itu sendiri yang mereka gunakan untuk menyebarluaskan pengaruh dan ajaran politik radikal itu.
Kontribusi Sumatra Thawalib yang begitu besar terhadap rakyat membuat ajaran-ajaran mereka terus hidup melalui lulusan-lulusan mereka yang menjadi pemimpin bangsa, yang kemudian turut mewarnai pembaharuan bangsa dalam bidang pendidikan, agama, politik dan sebagainya. 
D. Kesimpulan
Sebagai organisasi dan sekaligus sebagai perguruan, Sumatra Thawalib mempunyai cita-cita untuk mengusahakan dan memajukan segala macam ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kemajuan dunia dan akhirat menurut ajaran Islam. Dan itulah yang mereka perjuangkan dengan melakukan pembaharuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Minangkabau.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq. School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatra. New York: Cornell University, 1971.
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1995.
Encyclopedie van Nederlandsch Indie, N.V. Brill, Leiden, Jilid 3.
Hamka, Ayahku. Jakarta: Umminda, 1982.
---------. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia. London: Oxford University Press, 1973.
Palimokayo, H.M D. Datuk. Sejarah Perguruan Thawalib Padang Panjang. Padang: Yayasan Thawalib Padang Panjang, 1970.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Al-Hidayah, 1971.
---------------------. Sejarah Islam di Minangkabau. Jakarta: Al-Hidayah, 1971.


[1]  H.M D. Datuk Palimokayo. Sejarah Perguruan Thawalib Padang Panjang. (Padang: Yayasan Thawalib Padang Panjang, 1970). h. 73.
[2]  Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1995). h. 82.
[3] Ibid. h.91.
[4] Deliar Noer. The Modernist Muslim Movement in Indonesia. (London: Oxford University Press, 1973). h.47.
[5] Burhanuddin. Op.Cit. h.95-96.
[6] Encyclopedie van Nederlandsch Indie, N.V. Brill, Leiden, Jilid 3. h.93.
[7] Taufiq Abdullah. School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatra. (New York: Cornell University, 1971). h.10.
[8] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Al-Hidayah, 1971). h. 62.
[9] Burhanuddin. Op.Cit. h.132-133.
[10] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan, Op.Cit. h.73.
[11] Mahmud Yunus. Sejarah Islam di Minangkabau. (Jakarta: Al-Hidayah, 1971). h.39-40.
[12] Burhanuddin. Op.Cit. h.142-144.
[13] Ibid. h.144-152.
[14] Deliar Noer. The Modernist Muslim, Op.Cit. h.33.
[15] Hamka. Kenang-kenangan Hidup. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974). h.63.
[16] Burhanuddin. Op.Cit. h.193-198.
[17] Penjelasan mengenai pembaharuan di bidang syari’ah secara besar-besaran dapat dilihat pada karya Hamka, Ayahku. (Jakarta: Umminda, 1982).
[18] Burhanuddin. Op.Cit. h.245-253.
[19] Ibid.h.254.
[20] Ibid. h.259.
[21] Ibid. h.283-306.
[22] Ibid. h.331. lihat juga Hamka, Ayahku. Op.Cit. h.190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar