A. PENDAHULUAN
Dalam arti yang luas, sejarah pendidikan Islam
sebenarnya telah dimulai bersamaan dengan kehadiran Islam itu sendiri. Tentu
saja pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan itu belum terselenggara
secara sistematis seperti halnya sekarang ini. Pendidikan yang berlangsung pada
masa itu bersifat informal terkait dengan upaya-upaya dakwah Islam, penyebaran
dan penanaman aqidah, serta pengajaran ibadah.
Berikut ini akan dikemukakan secara singkat
cuplikan-cuplikan sejarah sosial pendidikan Islam dari Bayt al-Hikmah di
Baghdad hingga madrasah dan pesantren di Indonesia.
B. DARI BAYT AL-HIKMAH HINGGA MADRASAH DAN PESANTREN
1. Bayt al-Hikmah di Baghdad
Selain
dikenal sebagai zaman kejayaan Islam, periode Abbasiyyah dapat juga
dikatakan sebagai masa kebangkitan sekaligus masa keemasan bagi filsafat dan
ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ciri-ciri pendidikan pada masa kejayaan Islam
ini antara lain ditandai dengan berkembangnya ilmu ilmu aqliyah
(filsafat), berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan berkembangnya
pandangan dan konsepsi tentang pendidikan.
Masa berkuasanya bani Abbasiyyah
ini juga dikenal sebagai zaman penterjemahan, di mana banyak buku-buku
berbahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan mencapai
masa keemasan pada masa khalifah Al-Makmun (813-833 M). Beliau termasuk
intelektual yang sangat menggandrungi ilmu pengetahuan dan filsafat. Beliau
mendirikan akademi “Bayt al-Hikmah”
yang dipumpin oleh Hunain Ibnu Ishaq, seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani
dibantu oleh anaknya Ishaq Ibnu Hunain, Sabit Ibnu Qurra, Qusta Ibnu Luqas,
Hudaibah Ibnu Al-Hasni, Abu Bishsr Matta Ibnu Yunus, Al-Kindi dan lain-lain.
Akademi ini tidak hanya dipakai sebagai tempat penerjemahan, tetapi juga
dipakai sebagai pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Di luar
Bagdad; kota Marwa (Persia Tengah), Jundisapur
dan Harran juga melakukan kegiatan penerjemahan.
2. Al-Azhar
pada masa Fatimiyyah dan Ayyubiyyah di Mesir
Nama
al-Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fatimiyyah berkuasa di
Mesir. Pada tahun 359 H/970M khalifah al-Mu’idz li al-Diin Allah (341-365H/953-957M)
memerintahkan panglima Jauhar al-Katib al-Saqilli agar meletakkan
batu pertama bagi pembangunan masjid jami’ al-Azhar. Masjid ini merupakan
masjid pertama di Kairo yang merupakan usaha dari dinasti Fatimiyyah
untuk menyebarkan faham Syi’ah Ismailiyyah. Di akhir pemerintahan al-Mu’idz,
masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas, selanjutnya terus berkembang
menjadi sebuah universitas yang terkenal hingga sekarang ini.
Ketika
kekuasaan jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi, yang kemudian membangun
dinasti Ayyubiyyah, al-Azhar digunakan untuk penyebaran faham sunni. Beberapa
kebijakan dan peristiwa penting terkait dengan al-Azhar yang terjadi pada masa Ayyubiyyah
ini antara lain; Pembekuan kegiatan khuthbah yang berlangsung selama hampir ahan100
tahun yakni sejak 567 H/1171M hingga 665H/1266M; Renovasi al-Azhar oleh Amir
Edmir dan sultan Brebes; Berkembangnya al-Azhar menjadi pusat studi
Islam serta menjadi kiblat para ulama, ahli fiqih, dan mahasiswa dari berbagai
belahan dunia.
3. Madrasah di Makkah
pada Periode Pertengahan
Kebangkitan madrasah-madrasah
di Mekkah sangat erat kaitannya dengan beberapa faktor penting yang tidak hanya
bersifat keagamaan, tetapi juga politik, ekonomi dan sosial. Pelucutan dinasti Abbasiyyah
sejak abad ke-9 mengakibatkan situasi politik di Haramain, khususnya di Hijaz
memburuk secara drastis. Pada awal abad ke-10 kaum Syi’iy muncul ke
panggung politik dan menguasai hampir seluruh jazirah Timur Tengah. Fungsi
Haramain sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan. Pendidikan
semakin terbatas pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saja. Lebih jauh umlah
penuntut ilmu kelihatan menurun drastis. Antusiasme jamaah haji non-Hijazy
untuk tinggal lebih lama di tanah suci seusai musim haji semakin berkurang.
Situasi mulai berubah menjelang
abad ke-11 ketika kaum Sunny meraih kembali kontrol politik atas
kebanyakan wilayah Timur. Para ulama Sunni
Hijaz yang mengembara ke berbagai daerah selama masa sulit, terdorong untuk
kembali ke negeri asalnya dan mulai membangun pendidikan di tanah suci tersebut.
Madrasah-madrasah yang berdiri pada masa berikutnya selain sebagai sarana untuk
mentransmisikan khazanah keilmuan Islam, juga sebagai benteng kaum Sunny
dari penyebaran paham dan doktrin Syi’ah.
Madrasah al-Arsufy
adalah madrasah paling tua yang berdiri di Makkah kira-kira pada tahun
1175-1176 M. Sesudah itu banyak madrasah-madrasah yang bermunculan di Makkah
antara lain; Madrasah Amir al-Zanjili (1183-1184 M), Madrasah Muzaffar
al-Din (1208-1209 M), Madrasah Malik al-Mansur (1243-1244 M),
Madrasah Arghun Shah al-Nasiri (1320-1321 M), Madrasah Malik
Al-Mujahid (1338-1339 M), Madrasah Gulbargiyya (1427-1428 M),
Madrasah Utaifiyyah (1456-1457 M), Madrasah Sultan Cambay (1461-1462 M),
Madrasah Sultan Qa’itbay (1480 M), dan masih banyak lagi yang lainnya.
4. Pertumbuhan
dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
Secara Historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
di Indonesia
terkait erat dengan kegiatan da’wah Islamiyah. Dengan kata lain, tumbuh dan
berkembangnya pendidikan Islam di indonesia, seiring dengan masuknya
Islam di Indonesia. Bermula dari pendidikan rumahan, surau, langgar, masjid di
bawah asuhan para syaikh, ustadz, kiai, kemudian berkembang menjadi pesantren
dan madrasah. Melalui pendidikan seperti inilah masyarakat Indonesia memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam harus bersaing
dengan pendidikan sokolah model Eropa yang diterapkan oleh pemerintah
penjajahan Belanda yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama. Hal ini pula
yang melatarbelakangi timbulnya gerakan pembaharuan di Indonesia sekaligus
melatarbelakangi timbulnya madrasah-madrasah modern. Intimidasi dan
diskriminasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak menyurutkan langkah
maju pendidikan Islam di Indonesia. Seiring dengan dinamika dan perkembangan
zaman Madrasah dan Pesantren sebagai wujud nyata dari pendidikan Islam di
Indonesia terus melakukan penyesuaian-penyesuaian hingga mencapai keadaan
seperti sekarang ini.
5. Perguruan Sumatera Thawalib dan Pengaruhnya terhadap Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
sebenarnya telah dimulai menjelang pecahnya Perang Padri terkait dengan
kepulangan tiga orang tokoh dari menunaikan ibadah haji di Makkah. Tiga orang
tokoh dari Sumatera Barat tersebut adalah, Hajik Sumanik, Haji Miskin, dan Haji
Piobang. Gerakan Pembaharuan pada masa ini bersifat sangat radikal, yang mirip
dengan model gerakan pembaharuan kaum wahabi di Makkah. Sebagai akibatnya
gerakan ini akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda
yang bekerja sama dengan kaum adat.
Setelah melampaui kurun waktu lebih kurang tujuh puluh
tahun, gelombang gerakan pembaharuan ini muncul kembali. Muncul kembalinya
gerakan pembaharuan ini tidak terlepas dari peran Syekh Ahmd Khatib
al-Minangkabauwi (1852-1915), seorang ulama besar asal Sumatra Barat yang
sangat anti adat, yang menjadi imam madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram,
Mekah. Selain yang berasal dari Sumatra Barat, banyak pula murid-murid beliau
yang setelah kepulangannya ke tanah air (Indonesia) tampil sebagai ulama-ulama
besar dan tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam, di antaranya K.H. Hasyim
As’ari dan K.H. Ahmad Dahlan di Jawa.
Dalam perjalanannya, Sumatra Thawalib pernah berjaya
sebagai organisasi keagamaan (Islam) besar yang sangat berpengaruh dan dapat
mewarnai berbagai bidang kehidupan, seperti
politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kepemudaan, dan sebagainya.
Sekolah-sekolah Thawalib tampil sebagai lembaga pendidikan yang paling
berpengaruh di Sumatra Barat. Sumatra Thawalib berhasil merubah pengajian
al-Qur’an dengan metode halaqah di surau-surau menjadi sekolah agama (madrasah)
yang modern, berkelas, menerapkan metode pembelajaran yang modern, menambahkan
mata pelajaran umum di samping mata pelajaran keagamaan (ke-Islaman).
Sekolah-sekolah Thawalib tidak hanya tersebar merata di sluruh Sumatra Barat,
tetapi juga keluar sampai ke Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sumbangan Sumatra Thawalib sebagai perguruan maupun
organisasi sangat besar terhadap pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
terutama pembaharuan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari peran yang pernah
dimainkannya dalam berbagai bidang kehidupan. Namun demikian keterlibatan dalam
dunia politik berujung pada pembubaran Sumatra Thawalib sebagai organisasi.
Sekalipun tidak sampai membubarkan Sumatra Thawalib sebagai perguruan, hal ini
sangat berpengaruh terhadap kehidupan sekolah-sekolah Thawalib yang
berangsur-angsur mengalami kemunduran bahkan pada akhirnya banyak
sekolah-sekolah Thawalib yang terpaksa harus ditutup dan sangat sedikit sekolah
Thawalib yang dapat bertahan hidup.
6. Pesantren dan Madrasah di Tengah Modernisasi di Indonesia
Ketangguhan pesantren dan Madrasah sebagai pengawal
moral bangsa telah teruji semenjak kelahirannya hingga sekarang. Pesantren yang
terlahir sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam terus bergerak maju dan
berkembang seiring dengan dinamika dan perubahan serta perkembangan zaman.
Kelahiran madrasah di masa lampau, sebagai respons terhadap kehadiran sekolah
sekuler yang dihadirkan oleh pemerintah Hindia Belanda merupakan salah satu
bukti kedinamisan lembaga pendidikan Islam tersebut. Sungguh amat disayangkan
bahwa setelah Indonesia
merdeka pesantren dan madrasah tidak menjadi pilihan penyelenggara negara pada
waktu itu, tetapi justru Pendidikan sekular warisan pemerintah Hindia Belanda
yang menjadi pilihan.
Segala bentuk diskriminasi bahkan intimidasi di masa
lampau tidak menyurutkan semangat dan tidak dapat menghalangi gerak maju
madrasah dan pesantren sebagai wahana pendidikan Islam di Indonesia. Di
tengah-tengah kehidupan modern seperti sekarang ini, pesantren dan madrasah
tidak hanya melaksanakan fungsinya dalam transformasi nilai-nilai dan moral
keagamaan (Islam), tetapi dengan segala kelenturannya telah pula mampu
melaksanakan fungsinya sebagai agen perubahan.
Tanpa meninggalkan fungsi tradisionalnya sebagai
pengawal moral bangsa, pesantren dan madrasah kini tengah berusaha untuk
menjawab tantangan modernitas dengan menampilkan model pendidikan integralistik
yang antara lain bercirikan sebagai berikut:
a. Pendidikan
yang berorientasi rabbaniyyah (ke-Tuhan-an), insaniyyah
(kemanusiaan), dan ‘alamiyyah (kealaman).
b. Pendidikan
humanistik, yang berorientasi pada manusia sebagai makhluk Allah yang harus
berkembang sesuai dengan fitrahnya
c. Pendidikan
pragmatik, yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang harus peka
terhadap masalah-masalah kehidupan sosial dan alam sekitarnya
d. Pendidikan
yang berakar pada budaya, yang tidak melupakan akar-akar sejarah maupun budaya
etnisnya
7. Pesantren Kelompok Tradisionalis dan Islamis di Indonesia
Yang dimaksud dengan pesantren kelompok tradisionalis
dan kelompok Islamis di sini bukanlah tipologi pesantren tradisional (salaf)
dan pesantren modern (khalaf). Ungkapan yang lebih mendekati kedua
istilah tersebut ialah, kelompok tradisionalis identik dengan kelompok Islam moderat,
sedangkan kelompok Islamis yang dimaksudkan adalah kelompok Islam garis keras
(radikal).
Mengemukanya pesantren kelompok Islamis (radikal) ini
tidak terlepas dari bangkitnya gerakan salafi di Indonesia. Komunitas ini merupakan
bagian dari mereka yang menginginkan ditegakkannya syari’at Islam di Indonesia
bahkan menginginkan berdirinya negara Islam. Mereka meyakini bahwa dengan
ditegakkannya syari’at Islam, maka seluruh persoalan bangsa akan dapat
terselesaikan dengan baik.
Dalam aktivitas kependidikannya pesantren kelompok
Islamis ini menerapkan indoktrinasi ideologis kepada para santrinya. Adapun
doktrin ideologis yang ditanamkan kepada para santri tersebut ialah:
a. Segala
aktivitas harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah
b. Tauhid
murni, bersih dari bid’ah, takhayyul, dan khurafat
c. Berhaluan
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
d. Anti
Hizbiyyah (kepartaian)
e. Anti
Barat
8. Madrasah/Pesantren dalam Gerakan Salafi di Indonesia
Fenomena kebangkitan gerakan salafi di Indonesia dilatarbelakangi oleh
adanya beberapa peristiwa sosial politik yang terjadi setelah keruntuhan rezim
Orde Baru. Tragedi pembantaian terhadap ummat Islam yang terjadi di Poso dan Ambon merupakan bagian dari pemicu kemunculan gerakan
salafi tersebut, terutama bagi gerakan radikalisme Islam di Indonesia. Di
samping berbagai persoalan domestik, kemunculan gerakan ini juga dipicu adanya
konstelasi politik internasional yang dinilai sangat memojokkan kehidupan
sosial politik ummat Islam.
Pasca keruntuhan Orde Baru, terbukanya keran demokrasi
pada Era Reformasi yang memberikan ruang gerak dan kebebasan, berpengaruh besar
terhadap perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk perkembangan Islam. Pada
situasi sosial politik yang sedemikian itulah gerakan salafi muncul, bangkit,
dan berkembang di Indonesia
untuk memperjuangkan tegaknya Syai’at Islam. Pada perkembangan selanjutnya,
gerakan salafi ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori sebagai berikut:
a. Salafi
Jihad, yakni jenis gerakan salafi yang paling radikal, yang memfokuskan
perjuangannya pada gerakan jihad secara fisik (qital) dan bertujuan
menegakkan Khilafah al-Islamiyyah
b. Salafi
Politik (Gerakan), yakni gerakan salafi yang ingin memperjuangkan tegaknya
syari’at Islam melalui jalur pergerakan/politik
c. Salafi
Da’wah, yakni gerakan salafi anti politik yang mengkhususkan diri pada
aktivitas dakwah Islam dengan metode-metode khusus yang mereka yakini.
Masing-masing kelompok gerakan salafi tersebut berdiri
sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Kecuali itu, kelompok-kelompok tersebut juga membina dan membangun pesantren-pesantren
yang tentu saja dengan ciri khas yang sesuai dengan faham mereka masing-masing.
Institusi pendidikan yang mereka bangun pada umumnya bersifat non formal dengan
kurikulum tersendiri, berciri khusus, dan tidak mengikuti kurikulum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
9. Pesantren dan Politik di Malaysia
Semasa penjajahan Inggris, pemerintah kerajaan Inggris
menerapkan kebijakan laissezfaire di Malaysia, yakni membiarkan
tiap-tiap sistem pendidikan berkembang menurut haluannya masing-masing. Kala itu,
terdapat empat macam model pendidikan yang berkembang, Sekolah Tamil (India),
sekolah cina, sekolah Inggris, dan sekolah Melayu. Sekolah Melayu inilah yang
mirip dengan model pesantren di Indonesia,
dibiayai dan diusahakan secara perorangan (swasta).
Sekolah Melayu/pesantren selain melakukan aktivitas
pendidikan Islam juga melakukan aktivitas dakwah Islam (Islamisasi) di Malaysia.
Gerakan-gerakan tarekat juga ikut menyuburkan revitalisasi Islam di Malaysia.
Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan Islam yang dilembagakan seperti
halnya al-Arqam telah berhasil mengangkat simbul-simbul kehadiran Islam di
Malaysia.
Sekolah-sekolah Melayu (pesantren) memainkan peran yang
sangat besar dalam proses Islamisasi di Malaysia. Kegiatan Islamisasi (dakwah
Islam) di Malaysia
ini lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat substantif dari pada
menonjolkan simbul, sehingga prinsip-prinsip Islam itu dapat diterima dengan
mudah tidak hanya oleh kalangan muslim tetapi juga yang bukan muslim sekalipun.
Unsur-unsur Islam dalam budaya Melayu menjadi dominan dalam segala bidang
kehidupan. Secara konstitusional Islam telah menjadi agama resmi di Malaysia,
sekalipun demikian praktek agama-agama lain juga di jamin oleh undang-undang.
Memang Islam sebagai agama resmi dalam negara-negara Melayu tradisional telah
menjadi hak paten yang tak dapat diganggu gugat, dan hal ini terus berlangsung
hingga Malaysia
menjadi negara Modern.
Secara politis peranan Islam menjadi semakin penting
ketika pada tahun 1982 Mahatir Muhammad menjalankan penanaman nilai-nilai Islam
dalam tubuh pemerintahan dan birokrasi. Proses Islamisasi Malaysia juga semakin kokoh dengan dilantiknya
Datuk Seri Abdullah Badawi sebagai perdana menteri ke lima negeri jiran ini. Badawi yang membawa
image ulama dengan mudah meneruskan proses Islamisasi yang telah dijalankan
sebelumnya.
C. KESIMPULAN
Ditinjau dari perspektif sosio historis, pendidikan
Islam merupakan model pendidikan yang fleksibel dan memiliki kelenturan serta
keluasan pandangan. Harus diakui bahwa pada awalnya pendidikan Islam telah
mencapai kemajuan lebih dulu dari dunia Barat, namun keadaan kini telah berubah
(terbalik). Dunia pendidikan Islam kini telah jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan kemajuan yang telah dicapai dunia pendidikan Barat yang secara duniawi
tampak lebih mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan perubahan. Mengapa
demikian? Inilah persoalan yang harus dijawab. Umat Islam kini harus berusaha
mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat, dan untuk itu dapat dimulai dari membenahi
dunia pendidikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar