Selasa, 15 Oktober 2013

DARI BAYT AL-HIKMAH DI BAGHDAD HINGGA MADRASAH DAN PESANTREN DI INDONESIA



A. PENDAHULUAN
Dalam arti yang luas, sejarah pendidikan Islam sebenarnya telah dimulai bersamaan dengan kehadiran Islam itu sendiri. Tentu saja pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan itu belum terselenggara secara sistematis seperti halnya sekarang ini. Pendidikan yang berlangsung pada masa itu bersifat informal terkait dengan upaya-upaya dakwah Islam, penyebaran dan penanaman aqidah, serta pengajaran ibadah.
Berikut ini akan dikemukakan secara singkat cuplikan-cuplikan sejarah sosial pendidikan Islam dari Bayt al-Hikmah di Baghdad hingga madrasah dan pesantren di Indonesia.



B.  DARI BAYT AL-HIKMAH HINGGA MADRASAH DAN PESANTREN

1.   Bayt al-Hikmah di Baghdad
Selain dikenal sebagai zaman kejayaan Islam, periode Abbasiyyah dapat juga dikatakan sebagai masa kebangkitan sekaligus masa keemasan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ciri-ciri pendidikan pada masa kejayaan Islam ini antara lain ditandai dengan berkembangnya ilmu ilmu aqliyah (filsafat), berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan berkembangnya pandangan dan konsepsi tentang pendidikan.
Masa berkuasanya bani Abbasiyyah ini juga dikenal sebagai zaman penterjemahan, di mana banyak buku-buku berbahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan mencapai masa keemasan pada masa khalifah Al-Makmun (813-833 M). Beliau termasuk intelektual yang sangat menggandrungi ilmu pengetahuan dan filsafat. Beliau mendirikan akademi  Bayt al-Hikmah” yang dipumpin oleh Hunain Ibnu Ishaq, seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani dibantu oleh anaknya Ishaq Ibnu Hunain, Sabit Ibnu Qurra, Qusta Ibnu Luqas, Hudaibah Ibnu Al-Hasni, Abu Bishsr Matta Ibnu Yunus, Al-Kindi dan lain-lain. Akademi ini tidak hanya dipakai sebagai tempat penerjemahan, tetapi juga dipakai sebagai pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Di luar Bagdad; kota Marwa (Persia Tengah), Jundisapur dan Harran juga melakukan kegiatan penerjemahan.

2.   Al-Azhar pada masa Fatimiyyah dan Ayyubiyyah di Mesir
Nama al-Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fatimiyyah berkuasa di Mesir. Pada tahun 359 H/970M khalifah al-Mu’idz li al-Diin Allah (341-365H/953-957M) memerintahkan panglima Jauhar al-Katib al-Saqilli agar meletakkan batu pertama bagi pembangunan masjid jami’ al-Azhar. Masjid ini merupakan masjid pertama di Kairo yang merupakan usaha dari dinasti Fatimiyyah untuk menyebarkan faham Syi’ah Ismailiyyah. Di akhir pemerintahan al-Mu’idz, masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas, selanjutnya terus berkembang menjadi sebuah universitas yang terkenal hingga sekarang ini.
Ketika kekuasaan jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi, yang kemudian membangun dinasti Ayyubiyyah, al-Azhar digunakan untuk penyebaran faham sunni. Beberapa kebijakan dan peristiwa penting terkait dengan al-Azhar yang terjadi pada masa Ayyubiyyah ini antara lain; Pembekuan kegiatan khuthbah yang berlangsung selama hampir ahan100 tahun yakni sejak 567 H/1171M hingga 665H/1266M; Renovasi al-Azhar oleh Amir Edmir dan sultan Brebes; Berkembangnya al-Azhar menjadi pusat studi Islam serta menjadi kiblat para ulama, ahli fiqih, dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia.

3. Madrasah di Makkah pada Periode Pertengahan  
Kebangkitan madrasah-madrasah di Mekkah sangat erat kaitannya dengan beberapa faktor penting yang tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga politik, ekonomi dan sosial. Pelucutan dinasti Abbasiyyah sejak abad ke-9 mengakibatkan situasi politik di Haramain, khususnya di Hijaz memburuk secara drastis. Pada awal abad ke-10 kaum Syi’iy muncul ke panggung politik dan menguasai hampir seluruh jazirah Timur Tengah. Fungsi Haramain sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan. Pendidikan semakin terbatas pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saja. Lebih jauh umlah penuntut ilmu kelihatan menurun drastis. Antusiasme jamaah haji non-Hijazy untuk tinggal lebih lama di tanah suci seusai musim haji semakin berkurang.
Situasi mulai berubah menjelang abad ke-11 ketika kaum Sunny meraih kembali kontrol politik atas kebanyakan wilayah Timur. Para ulama Sunni Hijaz yang mengembara ke berbagai daerah selama masa sulit, terdorong untuk kembali ke negeri asalnya dan mulai membangun pendidikan di tanah suci tersebut. Madrasah-madrasah yang berdiri pada masa berikutnya selain sebagai sarana untuk mentransmisikan khazanah keilmuan Islam, juga sebagai benteng kaum Sunny dari penyebaran paham dan doktrin Syi’ah. 
Madrasah al-Arsufy adalah madrasah paling tua yang berdiri di Makkah kira-kira pada tahun 1175-1176 M. Sesudah itu banyak madrasah-madrasah yang bermunculan di Makkah antara lain; Madrasah Amir al-Zanjili (1183-1184 M), Madrasah Muzaffar al-Din (1208-1209 M), Madrasah Malik al-Mansur (1243-1244 M), Madrasah Arghun Shah al-Nasiri (1320-1321 M), Madrasah Malik Al-Mujahid (1338-1339 M), Madrasah Gulbargiyya (1427-1428 M), Madrasah Utaifiyyah (1456-1457 M), Madrasah Sultan Cambay (1461-1462 M), Madrasah Sultan Qa’itbay (1480 M), dan masih banyak lagi yang lainnya.

4.   Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
Secara Historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia terkait erat dengan kegiatan da’wah Islamiyah. Dengan kata lain, tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di indonesia, seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Bermula dari pendidikan rumahan, surau, langgar, masjid di bawah asuhan para syaikh, ustadz, kiai, kemudian berkembang menjadi pesantren dan madrasah. Melalui pendidikan seperti inilah masyarakat Indonesia memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam harus bersaing dengan pendidikan sokolah model Eropa yang diterapkan oleh pemerintah penjajahan Belanda yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama. Hal ini pula yang melatarbelakangi timbulnya gerakan pembaharuan di Indonesia sekaligus melatarbelakangi timbulnya madrasah-madrasah modern. Intimidasi dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak menyurutkan langkah maju pendidikan Islam di Indonesia. Seiring dengan dinamika dan perkembangan zaman Madrasah dan Pesantren sebagai wujud nyata dari pendidikan Islam di Indonesia terus melakukan penyesuaian-penyesuaian hingga mencapai keadaan seperti sekarang ini.

5.   Perguruan Sumatera Thawalib dan Pengaruhnya terhadap Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia sebenarnya telah dimulai menjelang pecahnya Perang Padri terkait dengan kepulangan tiga orang tokoh dari menunaikan ibadah haji di Makkah. Tiga orang tokoh dari Sumatera Barat tersebut adalah, Hajik Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang. Gerakan Pembaharuan pada masa ini bersifat sangat radikal, yang mirip dengan model gerakan pembaharuan kaum wahabi di Makkah. Sebagai akibatnya gerakan ini akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang bekerja sama dengan kaum adat.
Setelah melampaui kurun waktu lebih kurang tujuh puluh tahun, gelombang gerakan pembaharuan ini muncul kembali. Muncul kembalinya gerakan pembaharuan ini tidak terlepas dari peran Syekh Ahmd Khatib al-Minangkabauwi (1852-1915), seorang ulama besar asal Sumatra Barat yang sangat anti adat, yang menjadi imam madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram, Mekah. Selain yang berasal dari Sumatra Barat, banyak pula murid-murid beliau yang setelah kepulangannya ke tanah air (Indonesia) tampil sebagai ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam, di antaranya K.H. Hasyim As’ari dan K.H. Ahmad Dahlan di Jawa.  
Dalam perjalanannya, Sumatra Thawalib pernah berjaya sebagai organisasi keagamaan (Islam) besar yang sangat berpengaruh dan dapat mewarnai berbagai bidang kehidupan, seperti  politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kepemudaan, dan sebagainya. Sekolah-sekolah Thawalib tampil sebagai lembaga pendidikan yang paling berpengaruh di Sumatra Barat. Sumatra Thawalib berhasil merubah pengajian al-Qur’an dengan metode halaqah di surau-surau menjadi sekolah agama (madrasah) yang modern, berkelas, menerapkan metode pembelajaran yang modern, menambahkan mata pelajaran umum di samping mata pelajaran keagamaan (ke-Islaman). Sekolah-sekolah Thawalib tidak hanya tersebar merata di sluruh Sumatra Barat, tetapi juga keluar sampai ke Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sumbangan Sumatra Thawalib sebagai perguruan maupun organisasi sangat besar terhadap pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia terutama pembaharuan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari peran yang pernah dimainkannya dalam berbagai bidang kehidupan. Namun demikian keterlibatan dalam dunia politik berujung pada pembubaran Sumatra Thawalib sebagai organisasi. Sekalipun tidak sampai membubarkan Sumatra Thawalib sebagai perguruan, hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sekolah-sekolah Thawalib yang berangsur-angsur mengalami kemunduran bahkan pada akhirnya banyak sekolah-sekolah Thawalib yang terpaksa harus ditutup dan sangat sedikit sekolah Thawalib yang dapat bertahan hidup.

6.   Pesantren dan Madrasah di Tengah Modernisasi di Indonesia
Ketangguhan pesantren dan Madrasah sebagai pengawal moral bangsa telah teruji semenjak kelahirannya hingga sekarang. Pesantren yang terlahir sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam terus bergerak maju dan berkembang seiring dengan dinamika dan perubahan serta perkembangan zaman. Kelahiran madrasah di masa lampau, sebagai respons terhadap kehadiran sekolah sekuler yang dihadirkan oleh pemerintah Hindia Belanda merupakan salah satu bukti kedinamisan lembaga pendidikan Islam tersebut. Sungguh amat disayangkan bahwa setelah Indonesia merdeka pesantren dan madrasah tidak menjadi pilihan penyelenggara negara pada waktu itu, tetapi justru Pendidikan sekular warisan pemerintah Hindia Belanda yang menjadi pilihan.
Segala bentuk diskriminasi bahkan intimidasi di masa lampau tidak menyurutkan semangat dan tidak dapat menghalangi gerak maju madrasah dan pesantren sebagai wahana pendidikan Islam di Indonesia. Di tengah-tengah kehidupan modern seperti sekarang ini, pesantren dan madrasah tidak hanya melaksanakan fungsinya dalam transformasi nilai-nilai dan moral keagamaan (Islam), tetapi dengan segala kelenturannya telah pula mampu melaksanakan fungsinya sebagai agen perubahan.
Tanpa meninggalkan fungsi tradisionalnya sebagai pengawal moral bangsa, pesantren dan madrasah kini tengah berusaha untuk menjawab tantangan modernitas dengan menampilkan model pendidikan integralistik yang antara lain bercirikan sebagai berikut:
a.   Pendidikan yang berorientasi rabbaniyyah (ke-Tuhan-an), insaniyyah (kemanusiaan), dan ‘alamiyyah (kealaman).
b.   Pendidikan humanistik, yang berorientasi pada manusia sebagai makhluk Allah yang harus berkembang sesuai dengan fitrahnya
c.   Pendidikan pragmatik, yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang harus peka terhadap masalah-masalah kehidupan sosial dan alam sekitarnya
d.   Pendidikan yang berakar pada budaya, yang tidak melupakan akar-akar sejarah maupun budaya etnisnya

7.   Pesantren Kelompok Tradisionalis dan Islamis di Indonesia
Yang dimaksud dengan pesantren kelompok tradisionalis dan kelompok Islamis di sini bukanlah tipologi pesantren tradisional (salaf) dan pesantren modern (khalaf). Ungkapan yang lebih mendekati kedua istilah tersebut ialah, kelompok tradisionalis identik dengan kelompok Islam moderat, sedangkan kelompok Islamis yang dimaksudkan adalah kelompok Islam garis keras (radikal).
Mengemukanya pesantren kelompok Islamis (radikal) ini tidak terlepas dari bangkitnya gerakan salafi di Indonesia. Komunitas ini merupakan bagian dari mereka yang menginginkan ditegakkannya syari’at Islam di Indonesia bahkan menginginkan berdirinya negara Islam. Mereka meyakini bahwa dengan ditegakkannya syari’at Islam, maka seluruh persoalan bangsa akan dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam aktivitas kependidikannya pesantren kelompok Islamis ini menerapkan indoktrinasi ideologis kepada para santrinya. Adapun doktrin ideologis yang ditanamkan kepada para santri tersebut ialah:
a.   Segala aktivitas harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah
b.   Tauhid murni, bersih dari bid’ah, takhayyul, dan khurafat 
c.   Berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
d.   Anti Hizbiyyah (kepartaian)
e.   Anti Barat

8.   Madrasah/Pesantren dalam Gerakan Salafi di Indonesia
Fenomena kebangkitan gerakan salafi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya beberapa peristiwa sosial politik yang terjadi setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Tragedi pembantaian terhadap ummat Islam yang terjadi di Poso dan Ambon merupakan bagian dari pemicu kemunculan gerakan salafi tersebut, terutama bagi gerakan radikalisme Islam di Indonesia. Di samping berbagai persoalan domestik, kemunculan gerakan ini juga dipicu adanya konstelasi politik internasional yang dinilai sangat memojokkan kehidupan sosial politik ummat Islam.
Pasca keruntuhan Orde Baru, terbukanya keran demokrasi pada Era Reformasi yang memberikan ruang gerak dan kebebasan, berpengaruh besar terhadap perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk perkembangan Islam. Pada situasi sosial politik yang sedemikian itulah gerakan salafi muncul, bangkit, dan berkembang di Indonesia untuk memperjuangkan tegaknya Syai’at Islam. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan salafi ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori sebagai berikut:
a.   Salafi Jihad, yakni jenis gerakan salafi yang paling radikal, yang memfokuskan perjuangannya pada gerakan jihad secara fisik (qital) dan bertujuan menegakkan Khilafah al-Islamiyyah
b.   Salafi Politik (Gerakan), yakni gerakan salafi yang ingin memperjuangkan tegaknya syari’at Islam melalui jalur pergerakan/politik
c.   Salafi Da’wah, yakni gerakan salafi anti politik yang mengkhususkan diri pada aktivitas dakwah Islam dengan metode-metode khusus yang mereka yakini.
Masing-masing kelompok gerakan salafi tersebut berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Kecuali itu, kelompok-kelompok tersebut juga membina dan membangun pesantren-pesantren yang tentu saja dengan ciri khas yang sesuai dengan faham mereka masing-masing. Institusi pendidikan yang mereka bangun pada umumnya bersifat non formal dengan kurikulum tersendiri, berciri khusus, dan tidak mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

9.   Pesantren dan Politik di Malaysia
Semasa penjajahan Inggris, pemerintah kerajaan Inggris menerapkan kebijakan laissezfaire di Malaysia, yakni membiarkan tiap-tiap sistem pendidikan berkembang menurut haluannya masing-masing. Kala itu, terdapat empat macam model pendidikan yang berkembang, Sekolah Tamil (India), sekolah cina, sekolah Inggris, dan sekolah Melayu. Sekolah Melayu inilah yang mirip dengan model pesantren di Indonesia, dibiayai dan diusahakan secara perorangan (swasta).
Sekolah Melayu/pesantren selain melakukan aktivitas pendidikan Islam juga melakukan aktivitas dakwah Islam (Islamisasi) di Malaysia. Gerakan-gerakan tarekat juga ikut menyuburkan revitalisasi Islam di Malaysia. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan Islam yang dilembagakan seperti halnya al-Arqam telah berhasil mengangkat simbul-simbul kehadiran Islam di Malaysia.
Sekolah-sekolah Melayu (pesantren) memainkan peran yang sangat besar dalam proses Islamisasi di Malaysia. Kegiatan Islamisasi (dakwah Islam) di Malaysia ini lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat substantif dari pada menonjolkan simbul, sehingga prinsip-prinsip Islam itu dapat diterima dengan mudah tidak hanya oleh kalangan muslim tetapi juga yang bukan muslim sekalipun. Unsur-unsur Islam dalam budaya Melayu menjadi dominan dalam segala bidang kehidupan. Secara konstitusional Islam telah menjadi agama resmi di Malaysia, sekalipun demikian praktek agama-agama lain juga di jamin oleh undang-undang. Memang Islam sebagai agama resmi dalam negara-negara Melayu tradisional telah menjadi hak paten yang tak dapat diganggu gugat, dan hal ini terus berlangsung hingga Malaysia menjadi negara Modern.
Secara politis peranan Islam menjadi semakin penting ketika pada tahun 1982 Mahatir Muhammad menjalankan penanaman nilai-nilai Islam dalam tubuh pemerintahan dan birokrasi. Proses Islamisasi Malaysia juga semakin kokoh dengan dilantiknya Datuk Seri Abdullah Badawi sebagai perdana menteri ke lima negeri jiran ini. Badawi yang membawa image ulama dengan mudah meneruskan proses Islamisasi yang telah dijalankan sebelumnya.

C. KESIMPULAN  
Ditinjau dari perspektif sosio historis, pendidikan Islam merupakan model pendidikan yang fleksibel dan memiliki kelenturan serta keluasan pandangan. Harus diakui bahwa pada awalnya pendidikan Islam telah mencapai kemajuan lebih dulu dari dunia Barat, namun keadaan kini telah berubah (terbalik). Dunia pendidikan Islam kini telah jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang telah dicapai dunia pendidikan Barat yang secara duniawi tampak lebih mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan perubahan. Mengapa demikian? Inilah persoalan yang harus dijawab. Umat Islam kini harus berusaha mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat, dan untuk itu dapat dimulai dari membenahi dunia pendidikannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar