A.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah
yang mempunyai pengertian yang berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan
yang sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan antara yang satu degan lainnya. Pertumbuhan merupakan proses kuantitatif yang
menunjukkan perubahan yang dapat diamati secara fisik. Pertumbuhan dapat
diamati melalui penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, lingkar
kepala dan sebagainya. Sementara itu, perkembangan merupakan proses kualitatif
yang menunjukkan bertambahnya kemampuan (ketrampilan) dalam struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang beraturan dan dapat diramalkan
sebagai hasil dari proses pematangan.
Perkembangan berkenaan dengan keseluruhan kepribadian
individu, karena kepribadian individu membentuk suatu kesatuan yang
terintegrasi. Secara sederhana aspek utama kepribadian dapat dibedakan sebagai
berikut: aspek fisik motorik, aspek intelektual, aspek sosial, aspek bahasa,
aspek emosi, aspek moral, dan aspek keagamaan (Sukmadinata, 2009: 114).
Tahap
perkembangan manusia memiliki fase-fase yang cukup panjang. Untuk tujuan
pengorganisasian dan pemahaman, pada umumnya perkembangan digambarkan dalam periode-periode
atau fase-fase tertentu. Klasifikasi periode perkembangan yang paling luas
digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (1993) meliputi
urutan sebagai berikut: Periode pra
kelahiran (prenatal period), periode bayi (infacy period),
periode awal anak-anak (early
childhood period), periode pertengahan dan akhir anak anak (middle and
late childhood period), periode remaja
(adolescence
period), periode awal dewasa (early adulthood period), periode
pertengahan dewasa (middle adulthood period), dan periode akhir dewasa (late
adulthood period).
Periode masa
bayi dan kanak-kanak awal (usia dini) merupakan masa awal yanag sangat
menentukan bagi perkembangan individu pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya.
Periode kanak-kanak awal dikatakan sebagai periode keemasan (the
golden years) dimana individu
mulai memasuki masa peka. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring
dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Laju
perkembangan dan pertumbuhan individu mempengaruhi masa keemasan dari masing-masing
individu itu sendiri. Sangatlah tidak dapat dipisahkan antara perkembangan dan
pertumbuhan terutama pada anak usia dini. Perkembangan motorik dan fisik individu
sangatlah berhubungan dengan pertumbuhan psikisnya. Oleh karena itu psikologi
perkembangan anak usia dini berkaitan sangat erat dengan pertumbuhan dan
perkembangan secara menyeluruh. Masa ini sering disebut
sebagai masa peka, yaitu masa terjadinya kematangan fungsi fisik
dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan.
Perhatian serius dari para pendidik (orang tua maupun guru) sangat diperlukan
pada masa ini karena periode ini merupakan masa peletak dasar untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, motorik,
bahasa, sosio emosional, moral, dan agama yang tentunya akan
sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang.
Berikut ini akan dikemukakan pembahasan tentang perkembangan anak
usia dini. Permasalahan yang akan dibahas adalah perkembangan anak pada masa
bayi (usia 0-2 tahun) dan perkembangan masa kanak-kanak awal (usia 2 – 6
tahun).
B.
PERKEMBANGAN ANAK USIA 0 – 2 TAHUN
Periode
perkembangan yang merentang dari kelahiran hingga usia 24 bulan (0 -2 tahun) disebut
sebagai periode atau masa bayi (infacy period). Masa ini merupakan
masa yang sangat bergantung kepada orang dewasa. Banyak kegiatan psikologis
yang terjadi seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan
belajar sosial hanya sebagai permulaan.
Banyak ahli yang menyebut masa bayi sebagai masa fital, karena
kondisi masa bayi merupakan pondasi pada pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya. Masa bayi dimulai dengan kelahiran yang diikuti dengan tangis
pertama. Bayi lahir tanpa diikuti tangis pertama, harus diupayakan supaya
menangis, misalnya pantatnya dipukul-pukul secara perlahan-lahan, dikipasi,
atau dimasukan udara kedalam paru-parunya. Tangis pertama merupakan tanda
masuknya udara keparu-paru, sehingga paru-paru berkembang dan mulai berfungsi.
Jika udara tidak masuk ke paru-paru maka dapat menyebabkan kematian.
Secara umum tumbuh kembang bayi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1.
Perkembangan fisik-motorik
Pertumbuhan yang pesat selama rentang kehidupan terjadi pada masa
bayi. Meskipun pola umum dari pertumbuhan dan perkembangan adalah sama bagi
semua bayi, tetapi tetap ada perbedaan dalam hal tinggi badan, berat badan,
kecepatan, kemampuan sensomotorik dan bidang perkembangan fisik lainnya. Beberapa
bayi memulai kehidupan dengan badan yang lebih kecil dan perkembangan yang
kurang normal. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kelahiran sebelum waktunya
(premateur), ibu yang belum cukup umur atau
kondisi fisik yang buruk pada saat mengandung seperti kekurangan gizi
dan mengalami tekanan, kondisi kurang baik lainnya selama periode pranatal, atau
mungkin juga karena adanya sebab-sebab yang lain. Perlu diingat bahwa selain
masing-masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda-beda,
perkembangan individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor hereditas dan faktor
lingkungan (Soemanto, 2006: 60-61).
Pada masa ini, umumnya bayi mengalami pertumbuhan fisik yang sangat
pesat. Berat badan bertambah dengan cepat, begitu pula dengan tinggi atau
panjang badan, besar atau lingkar kepala. Pertambahan volume serta pengerasan tulang
telah dimulai pada tahun pertama, ubun-ubun anak yang ketika pertama lahir
terbuka atau belum terbentuk tulang tempurung akan tertutup pada usia delapan belas
bulan. Jaringan lemak bertambah pesat karena tingginya kadar lemak di dalam air
susu yang menjadi makanan pokok bagi bayi.
Rata-rata anak mempunyai empat hingga enam gigi susu pada usia satu tahun dan enambelas buah gigi susu pada usia dua tahun. Gigi yang pertama kali muncul adalah gigi seri atau gigi depan, sedangkan yang terakhir adalah gigi geraham.
Rata-rata anak mempunyai empat hingga enam gigi susu pada usia satu tahun dan enambelas buah gigi susu pada usia dua tahun. Gigi yang pertama kali muncul adalah gigi seri atau gigi depan, sedangkan yang terakhir adalah gigi geraham.
Secara umum pada masa bayi (usia 0-2 tahun), individu mengalami
perubahan yang pesat bila dibandingkan dengan yang akan dialami pada fase-fase
berikutnya. Anak sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar yang berupa:
keterampilan lokomotor (berguling, duduk, berdiri, merangkak dan berjalan),
keterampilan memegang benda, penginderaan (melihat, mencium, mendengar dan
merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk bereaksi secara emosional dan
sosial terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Individu dianggap sehat secara fisik apabila menampakkan pola
urutan kematangan yang umum pada peristiwa biologis dari
susunan saraf pusat yang menyebabkan timbulnya fungsi psikologis. Timbul
kemampuan bicara antara usia satu sampai dengan tiga tahun pada hampir semua
anak merupakan gambaran dari kematangan fungsi psikologis pada usia tersebut.
Seorang bayi yang baru berusia tiga bulan barang kali dapat mengeluarkan bunyi
atau suara (berceloteh), namun otak seorang bayi yang baru berumur tiga bulan
belum cukup matang untuk dapat mengerti pembicaraan ataupun berbicara.
Sementara itu, anak berusia 2 tahun yang otaknya sudah cukup matang, tidak akan
berbicara bila tidak berhubungan terlebih dahulu dengan orang lain. Kematangan bukanlah
penyebab timbulnya suatu fungsi
psikologis, ia hanya merupakan batas waktu yang paling dini dari penampakannya
(Mussen dkk, 1988: 75).
Setiap bayi terlahir
dengan sejumlah refleks. Refleks-refleks tersebut merupakan modal dasar bagi
bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang bersifat aktif. Beberapa dari
refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak
menusu atau refleks bayi. Sedangkan sebagian refleks yang tidak hilang disebut
refleks permanen. Beberapa refleks anak menusu atau refleks-refleks sementara yang dimiliki bayi yang baru lahir antara
lain:
a.
Refleks moro; Refleks ini tampak pada
gerakan bayi mengembangkan tangannya melebar ke samping, melebarkan jari-jarinya
lalu mengembalikan tangannya dengan tarikan cepat seakan-akan ingin memeluk seseorang.
Refleks ini disebut juga refleks peluk.
b.
Refleks mencium-cium atau “rooting-reflex”; Refleks ini ditimbulkan oleh stimulasi taktil pada pipi atau daerah mulut.
Bayi memutar-mutar kepalanya seakan-akan mencari punting susu.
c.
Refleks hisap; Refleks hisap
biasanya timbul bersama-sama dengan rangsang pipi. Refleks ini mempunyai fungsi
eksploratif yang menenangkan.
d.
Refleks genggam atau refleks Darwin,; Refleks ini dapat
dibuktikan dengan membuat rangsang melalui goresan jari melalui bagian dalam
lengan anak ke arah telapak tangannya. Bila rangsang hampir sampai pada telapak
tangan maka telapak tangan akan terbuka. Selanjutnya bila jari diletakkan pada
telapak tangan, maka anak akan menutup telapak tangannya tadi.
e.
Refleks Babinski (refleks genggam kaki).
Bila ada rangsang pada telapak kaki, ibu jari kaki akan bergerak ke atas dan
jari-jari lain membuka. Kedua refleks genggam ini akan menghilang pada sekitar
6 bulan (Monks dkk, 1992: 75).
Adapun kondisi atau keadaan panca indera bayi yang baru lahir
antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Indera Penciuman/Pembau; Bayi yang baru lahir tidak menampakkan tanda-tanda bahwa indera penciumannya
telah berkembang meskipun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Bayi hanya
nampak memalingkan kepalanya bila ada bau yang tidak enak.
b.
Indera Perasa/Pengecap; Bayi yang baru lahir sudah bisa
bereaksi dengan menyengirkan mukanya bila mengecap sesuatu yang tidak enak.
c.
Indera Peraba; Pada bulan terakhir periode fetal bayi sudah mulai merasakan rasa tekan
dan sakit, meskipun masih global dan belum jelas. Bayi juga mempunyai jenjang
rasa suhu yang lebar, dari jauh diatas sampai jauh di bawah suhu badan normal.
d.
Indera Penglihatan; Bayi mengadakan reaksi terhadap perbedaan intensitas
stimulus-stimulus visual melalui refleks biji mata.
e.
Indera Pendengaran; Bayi yang baru dilahirkan sudah dapat mendengar, ia mengadakan reaksi
terhadap stimulus-stimulus auditif (Monks dkk, 1992: 76).
Sebagaimana telah dikemukakan, bayi yang baru lahir dapat menunjukkan beberapa variasi refleks motorik
yang kompleks. Beberapa diantaranya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Bayi
akan mengikuti cahaya yang bergerak dengan mata mereka, mengisap putting susu
yang dimasukkan ke dalam mulut, menengok pada sentuhan di ujung mulut, dan
menggeram sesuatu yang diletakkan di telapak tangannya.
Beberapa pola dan
tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta
terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Hal ini, antara lain tampak pada
tingkah bayi berikut ini:
a. Kinestesi ; Bayi yang baru
dilahirkan sudah mempunyai aktivitas kinestetik, yaitu sudah mempunyai gerakan
penghayatan, gerakan aktif, dan sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya. Termasuk juga dalam golongan ini pengamatan tingkah
laku sendiri. Sebelum
dilahirkan, fetus juga dapat melakukan aktivitas kinestesi meskipun masih sangat terbatas.
b.
Duduk ; Rata-rata, pada usia dua
sampai tiga bulan bayi dapat duduk dengan bantuan orang dewasa dan pada usia tujuh
bulan bayi dapat duduk sendiri tanpa bantuan orang lain.
c.
Merangkak dan merayap ; Walaupun ada perbedaan
individual antara masa bayi ketika merangkak dan merayap, semua bayi yang
dibolehkan bergerak di tanah cenderung mengikuti urutan yang sama. Usia
rata-rata untuk dapat merangkak (bergerak dengan perut terletak pada lantai)
kurang lebih lebih sembilan bulan. Merayap dengan tangan dan lutut terlihat
pada usia 10 bulan. Seorang bayi dapat melampaui satu atau lebih tahap-tahap
dalam perkembangan, namun kebanyakan bayi melalui sebagian besar tahap-tahap
tersebut.
d.
Berdiri dan Berjalan ; Kebanyakan bayi sudah
dapat berdiri beberapa minggu sebelum mereka dapat berjalan. Biasanya bayi
dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun meskipun ada banyak variasinya
antara 9-15 bulan.
e.
Memegang/Menggenggam : Antara minggu
ke-16 dan ke-52 bayi dapat memegang
sesuatu dengan baik. Sekitar usia lima bulan anak dapat memegang sesuatu yang
dilihatnya. Bayi usia satu bulan akan memandang benda sesuatu tetapi ia tidak
akan memegangnya. Anak usia dua setengah bulan akan memukulnya dan sekitar usia
empat bulan ia mencoba untuk menyentuhnya. Baru pada usia lima bulan ia mencoba
untuk memegang/ meraihnya. Kemampuan ini tergantung pada pematangan
fungsi-fungsi organ pada anak (faktor internal) maupun pengaruh lingkungan
(faktor eksternal).
Kemampuan anak untuk
dapat duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan
system saraf dan otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik.
Walaupun kemampuan kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun
pembatasan kesemptan untuk mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya.
Selain itu latihan khusus dapat memfasilitasi perkembangan motorik.
2.
Perkembangan
Kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah
satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan),
yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2010: 103).
Syah (2008: 67) menyatakan bahwa
hasil-hasil riset kognitif menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah
berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan,
pendengaran, dan informasi-informasi yang diserap melalui indera lainnya. Selain
itu, bayi juga berkemampuan merespons
informasi-informasi tersebut secara sistematis. Hasil riset para ahli psikologi
kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya
sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun.
Jean Piaget sebagaimana dikutip oleh
Daehler & Bukatko (1985) mengklasifikasi perkembangan kognitif anak menjadi
empat tahapan yaitu:
a.
Tahap Sensory-Motor;
perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun
b.
Tahap Pre-Operational;
perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun
c.
Tahap Concrete-Operational;
perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
d.
Tahap Formal-Operational;
perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
Sebagian besar psikolog terutama
para kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses
perkembangan kognitif manusia telah berlangsung sejak dilahirkan (Syah, 2008:
66). Selama perkembangan dalam periode sensori motor yakni sejak lahir sampai
dengan usia dua tahun, intelegensi yang dimiliki individu masih bersifat
primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Sekalipun primitif
dan terkesan tidak penting, namun intelegensi sensori motor merupakan
intelegensi dasar yang sangat berarti sebagai fondasi bagi intelegensi
tipe-tipe tertentu yang akan dimiliki individu di kemudian hari.
Intelegensi sensori-motor dipandang
sebagai intelegensi praktis (practical intelligence) yang bermanfaat
bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya
sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Individu pada
periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan
belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat
kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas.
Ketika seorang bayi berinteraksi
dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian
rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai
ekuilibrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi dan akomodasi dalam
memncapai ekuilibrium sebagaimana tersebut selalu dilakukan bayi, baik ketika
ia hendak memenuhi dorongan lapar dan hausnya maupun ketika bermain dengan
benda-benda mainan yang ada disekitarnya.
Setelah Piaget melakukan serangkaian
eksperimen dan observasi terhadap sejumlah subjek bayi termasuk anaknya sendiri
Jacquiline yang baru berusia tujuh bulan, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah
usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan terhadap object
permanence (anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah
ditinggalkan atau tidak dilihat lagi). Artinya, benda apapun yang tidak dilihat
oleh bayi, tidak dia dengar, tidak dia sentuh selalu dianggapnya tidak ada, sekalipun
benda itu sesungghnya ada di tempat lain ((Syah, 2008: 69).
Bagaimana mengenal puting-puting
susu ibu yang setiap saat diperlukan, pada dasarnya bayi sudah mengenal bahkan
memahami objek-objek di sekitarnya termasuk susu ibu walaupun hanya dengan sensori-motor
schema (skema sensori-motor adalah sebuah atau serangkaian perilaku
terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan yang berupa
barang, orang, keadaan, atau kejadian). Dengan skema sensori-motor ini bayi
mengenali benda-benda sebagai konfigurasi-konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu)
sensori yang stabil. Konfigurasi itu oleh Piaget disebut “tableaux” atau
“tableau” (baca: teblow) yakni pemandangan tetap atau pertunjukan bisu.
Setiap bayi sejak usia dua minggu
sudah mampu menemukan puting-puting susu ibunya dan selanjutnya ia belajar
mengenal sifat, keadaan, dan cara yang efektif untuk mengisap sumber makanan
dan meminumnya. Kemampuan mengenal melalui upaya belajar tersebut tidak berarti
si bayi mengerti bahwa susu ibunya tersebut merupakan organ atau bagian dari
tubuh ibunya. Yang ia pahami adalah apabila benda tableau itu didekatkan
maka ia akan mengasimilasi dan mengakomodasikan skema sensori-motornya untuk
mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan atau emenuhi kebutuhannya.
Dalam rntang usia 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object
permanence individu tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
Benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitarnya akan dicari
dengan sungguh-sungguh jika ia memerlukannya.
Dasar tingkah laku bahasa pada periode bayi telah ada sejak tahun pertama. Pada
usia kurang lebih enam minggu bayi mulai meraban (bercdeloteh). Meraban ini
dapat dipandang sebagai permulaan bahasa dan pada sekitar tahun pertama anak
mulai mengucapkan kata-kata pertama. Pada bagian kedua tahun pertama anak sudah
bisa mengadakan semacam dialog dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini kehadiran
orang-orang di sekelilingnya yang memberikan reaksi terhadap
pernyataan-pernyataan anak memiliki arti penting dan sangat membantu. Hal ini
sangat penting bagi perkembangan vokal dan sosialisasinya (Monks dkk, 1992: 81).
3.
Perkembangan
Psiko-Sosial
Perkembangan psikososial berhubungan
dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian, serta perubahan
dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Meskipun dalam
pemenuhan kebutuhannya bayi masih sangat tergantung kepada pengasuhnya, namun
bukan berarti mereka sama sekali pasif. Sejak lahir, pengalaman bayi semakin
bertambah dan ia berpartisipasi aktif dalam perkembangan psikososialnya
sendiri, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Bayi yang sedang tumbuh menjadi
lebih dewasa memiliki kedekatan dan keterikatan emosional dengan orang-orang
penting dalam hidupnya. Hal ini terlihat misalnya, bayi menangis ketika
didekati oleh orang yang tidak dikenalnya, dan dia menyambut hangat ketika didatangi
oleh ibu atau bapaknya. Bayi juga berpartisipasi dalam menjalin hubungan dengan
cara-cara yang lebih halus, seperti ikut bermain bersama saudaranya yang lebih tua. Lebih dari
itu, bayi juga menyatakan perasaan atau kebutuhanya dengan caranya sendiri. Misalnya,
ketika orang tuanya memberikan makanan tertentu, ia menolak, tetapi ketika yang
memberikan makanan tersebut adalah baby sister yang mengasuhnya, ia menerimanya
dengan perasaan senang.
Perilaku sebagaimana tersebut di
atas menunjukan adanya dua tema utama
dalam perkembangan psikososial selama masa bayi, yaitu kepercayaan dan otonomi.
Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam
hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi
atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai.
Berikut ini dikemukakan beberapa hal
penting yang berkaitan dengan perkembangan psikososial pada masa bayi.
a.
Perkembangan Emosi
Emosi adalah sebuah istilah yang
sudah cukup popular, namun maknanya yang tepat masih membingungkan, baik
dikalangan ahli psikologi maupun ahli
filsafat. Emosi adalah sebuah kata atau istilah yang sangat identik dengan
perasaan. Emosi dan perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang
dihayati seseorang pada suatu saat. Emosi dan perasaan adalah dua hal yang
berbeda, namun perbedaan di antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan jelas
(Sunarto & Hartono, 2008: 149). Perasaan menunjukkan suasana batin yang
lebih tenang dan tertutup, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang
lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka (Sukmadinata, 2008: 77). Secara
sederhana emosi dapat dikatakan sebagai perasaan atau afeksi yang melibatkan
kombinasi antara gejolak fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat) dan
perilaku yang tampak (seperti senyuman, teriakan, tubuh gemetar, dansebaginya).
Memahami secara pasti kondisi emosi
bayi merupakan hal yang sangat sulit karena sifat emosi yang sangat subyektif,
sehingga informasi mengenai emosi tersebut hanya dapat diperoleh dari individu
yang bersangkutan dengan cara introspeksi yang dilakukannya. Sementara itu, bayi
sesuai dengan usianya yang masih sangat muda tidak dapat menggunakan cara
tersebut dengan baik. Beberapa ahli mencoba memahami kondisi emosi bayi melalui
ekspresi tubuh dan wajah, namun para ahli psikologi yang lain mempertanyakan
seberapa penting kedua ekspresi tubuh dan wajah itu dapat memberikan informasi
yang akurat dan menentukan apakah seorang bayi berada dalam suatu kondisi
emosianal tertentu.
Sukmadinata (2009: 83) menyatakan
bahwa pada mulanya seorang bayi hanya memiliki satu pola rangsangan emosi yang
bersifat umum. Perangsang yang kuat, suara yang keras, diabaikan oleh orang
tua, dan segala perangsang yang tidak diinginkan bayi akan ditolak dengan
respos berupa tangisan. Sementara itu belaian, pujian, rawatan yang
menyenangkan, dan segala perangsang yang bersesuaian dengan keinginan bayi akan
diterima dengan respons yang menunjukkan kegembiraan. Pola rangsangan emosi ini
akan berkembang dan berdeferensiasi sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
individu. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan senang atau
tidak senang pada bayi mulai berkembang ketika bayi telah berusia enam minggu,
marah pada minggu ke delapan, dan takut pada minggu ke sebelas.
Para ahli telah lama meyakini bahwa
kemampuan untuk berinteraksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru
lahir seperti menangis, tersenyum, dan frustasi. Bahkan beberapa para peneliti percaya bahwa beberapa
minggu setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari
semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan,
kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya. Sejumlah emosi memang yang sudah berkembang
sejak lahir, namun ada pula sejumlah emosi yang perkembangannya bergantung pada
factor pematangan (naturation) dan pengalaman (belajar).
Eksperesi berbagai emosi pada bayi mempunyai
peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Tiga fungsi utama eksperesi
emosi pada bayi tersebut adalah; fungsi adaptasi dan kelangsungan hidup, fungsi
regulasi, dan fungsi komunikasi. Sehubungan dengan fungsi penyesuaian diri dan
kelangsungan hidup, berbagai ketakutan adalah bersifat adaptif karena ada
kaitan yang jelas antara gejolak
perasaan dengan kemungkinan bahaya. Berkaitan dengan fungsi pengaturan,
emosi mempengaruhi informasi yang diseleksi anak-anak dari dunia persepsi dan
perilaku yang mereka perhatikan. Anak-anak yang sedang bergembira misalnya,
cenderung mengikuti apa yang sedang mereka pelajari di banding dengan anak-anak
yang sedang sedih. Kemudian, berkaitan dengan fungsi komunikasi, anak-anak
menggunakan emosi untuk menginformsikan pada orang lain tentang perasaan-perasaan
dan kebutuhan-kebutuhannya (Desmita, 2010:117).
b.
Perkembangan Temperamen
Temperamen (tabiat, perangai)
merupakan salah suatu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas
fisik dan emosional serta merespons. Menurut Purwanto (2007: 143) Temperamen
adalah sifat-sifat jiwa yang sangat erat hubungannya dengan konstitusi tubuh.
Santrock (2010: 160) menyatakan bahwa temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan.
Sejak lahir bayi memperlihatkan
berbagai aktivitas individual yang berbeda-beda. Beberapa bayi yang sangat
aktif menggerakan tangan, kaki, dan mulutnya tanpa henti-hentinya, tetapi bayi
yang lain terlihat lebih tenang. Sebagian bayi merespon dengan hangat kepada
orang lain, sementara yang lain cerewet, rewel, dan susuah diatur. Semua gaya
perilaku ini merupakan temperamen seorang bayi.
Kebanyakan peniliti mengakui adanya
perbedaan dalam kecenderungan reaksi utama, seperti kepekaan terhadap
rangsangan visual atau verbal, respons emosional, dan keramahan dari bayi yang
baru lahir. Peneliti Alexander Thomas dan Stella Chess (1977) misalnya,
memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkatan aktivitas bayi, keteraturan
dalam fungsi jasmani, pendekatan terhadap stimuli dan situasi baru, kemampuan
beradaptasi denga situasi dan orang-orang baru, reaksi emosional, kepekaan
terhadap rangsangan, kualitas suasana hati dan jangkuan perhatian.
Dari hasil penelitian ini, Alexander
Thomas dan Stella Chess mengklasifikasikan temperamen atas tiga pola dasar.
Pertama, bayi yang bertemperamen sedang,
menunjukan suasana hai yang lebih positif, keteraturan fungsi tubuh dan mudah
beradaptasi dengan situasi baru. Kedua, bayi yang bertemperamen tinggi,
memperlihatkan suasana hati yang negative, fungsi-fungsi tubuh tidak teratur,
dan stress dalam menghadapi situasi baru. Ketiga, anak yang bertemperamen
rendah, memiliki tingkat aktifitas yang rendah dan secara relative tidak dapat
menyesuaikan diri dengan pengalaman baru, suka murung serta memperlihatkan
intensitas suasana hatiyang rendah.
Pola-pola temperamen tersebut
merupakan suatu karaktersitik tetap sepanjang masa bayi dan anak-anak yang akan
dibentuk dan di perbaharui oleh pengalaman anak dikemudian hari, misalnya anak
usia 2 tahun yang digolongkan secara ekstrim sebagai pemalu dan penakut, akan
tetap menjadi anak pemalu dan penakut
pada usia 8 tahun. Hal ini menunjukan adanya konsistensi perkembangan
temperamen sejak lahir. Konsistensi temperamen ini di tentukan oleh factor
keturunan, kematangan, dan pengalaman, terutama pola pengasuhan orang tua
(Desmita, 2010: 118).
c.
Perkembangan Attachement
Attachement adalah sebuah istilah
yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bowly tahun 1958 untuk menggambarkan
pertalian atau ikatan antara ibu dan anak (Jhonson dan Medinnus,1974). Menurut
Martin Herbert dalam the social sciences
encyclopedia, “attachemen mengacu pada ikatan anatara dua orang individu
atau lebih, sifatnya adalah hubungan psikologis yang diskriminatif dan
spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan
ruang tertentu” (Kuper dan Kuper, 2000).
Bayi yang baru lahir telah memiliki
perasaan sosial, yakni kecenderungan alami untuk berinteraksi dan melakukan
penyesuaian social terhadap orang lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi
yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga ia sangat membutuhkan pengasuhan
dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya. Oleh sebab itu, tidak heran
kalau bayi dalam semua kebudayaan mengembangkan kontak dan ikatan social yang
sangat kuat dengan orang yang mengasuhnya, terutama ibunya.
Kontak sosial pertama bayi dengan
pengasuhnya ini diperkirakan mulai terjadi
pada usia dua bulan, yaitu pada saat bayi mulai tersenyum ketika
memandang wajah ibunya. Kemampuan bayi untuk tersenyum di usia dini tersebut
berperan dalam memperkukuh hubungan ibu dan anak. Sebab dengan senyuman itu
bayi ingin menyatakan pada ibunya bahwa ia mengenal atau mencintainya, dan
karena itu akan mendorong ibu untuk membalas senyumanya, sehingga pada
gilirannya masing-masing saling memperkuat respon social. Perkembangan awal
kontak sosial pada bayi ini merupakan dasar bagi pembentukan hubungan social
dikemudian hari (Einsenberg, 1994).
Kemudian saat bayi memasuki usia 3
atau 4 bulan mereka semakin memperlihatkan bahwa mereka mengenal dan menyenangi
anggota keluarga yang dikenalnya dengan senyuman, serta dapat menerima
kehadirian orang asing. Tetapi pada usia kira-kira 8 bulan muncul “objek
permanen” bersamaan dengan kekawatiran terhadap
orang tidak dikenal, yang disebut dengan stranger anxety (perasaan malu
terhadap orang yang tak dikenal). Pada masa ini bayi mulai memperlihatkan
reaksi ketika didekati oleh orang yang tidak dikenalinya ( Mayers, 1996).
Setelah usia 8 bulan, seorang bayi
dapat membentuk gambaran mental tentang orang-orang atau keadaan. Gambaran ini
disebut skema, yang disimpan dalam memori dan kemudian diingatnya kembali untuk
dibandingkan dengan situasi sekarang. Diantara skema yang penting yang dimiliki bayi usia 8 bulan
adalah skema tentang wajah orang yang dikenali, ketika mereka tidak dapat
menerima wajah baru dalam skema ingatan ini, mereka akan menjadi sedih
(Kagan,1984).
Pada usia 12 bulan umumnya bayi
melekat erat pada orang tuanya ketika ketakutan atau mengira akan ditinggalkan.
Ketika mereka bersama kembali, mereka akan mengumbar senyuman dan memeluk orang
tuanya. Tidak ada tingkah laku social yang lebih mencolok dibanding dengan
kekuatan ini, dan perasaan saling cinta antara bayi dan ibu ini disebut dengan
attachement (keterkaitan) (Myers, 1996).
Para ahli riset dan klinis lebih
menaruh perhatian pada dua jenis ikatan, yaitu keterkaitan dengan orang tua dan
keterkaitan dengan anak-anak. Sudah diakui secara luas bahwa anak-anak secara
psikologis terikat pada orang tua mereka.
Bayi-bayi manusia mula-mula mengalami keterkaitan denga ibunya dan tidak
lama kemudian dengan orang dekat selain ibu dalam pertengahan kedua usia mereka
yang pertama. Kebanyakan ahli psikologi perkembangan mempercayai bahwa
attachemen pada bayi merupakan dasar utama bagi pembentukan kehidupan social
anak dikemudian hari.
Keterkaitan tidak aman pada bayi
berkaitan erat dengan pola pengasuhan dari ibunya yang kurang peka dan tidak
responsive selama tahun pertama kehidupanya. Ibu pada bayi yang memperlihatkan
keterkaitan tidak aman, cenderung lebih bereaksi berdasarkan keinginan atau
perasaan mereka dari pada sinyal yang datang dari bayinya (Desmita, 2010: 119).
d. Perkembangan
rasa percaya (trust)
Sesuai
tahap perkembangan psikososial, tahun tahun pertama kehidupan ditandai oleh
perkembangan rasa percaya dan rasa tidak percaya. Keadaan percaya pada umumnya
mengandung tiga aspek yaitu :
1) Bahwa bayi
belajar percaya pada kesamaan dan kesinambungan dari pengasuh di luar dirinya
2) Bahwa bayi
belajar percaya diri dan dapat percaya pada kemampuan organg-orangnya sendiri
untuk mengulangi dorongan-dorongan
3) Bahwa bayi
menganggap dirinya cukup dapat dipercaya sehingga pengasuh tak perlu waspada
dirugikan
Dengan demikian, bayi yang memiliki
rasa percaya dalam dirinya cenderung untuk memilih rasa aman dan percaya diri
untuk mengeksplorasi lingkungan baru. Sebaliknya, bayi yang memiliki rasa tidak
percaya cenderung tidak memiliki harapan-harapan positif.
e.
Perkembangan
otonomi
Menurut Chaplin (2002) otonomi
adalah kebebasan individu memilih untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah,
menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Otonomi atau kemandirian merupakan
tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada masa bayi dan masa baru pandai berjalan.
Otonomi dibangun diatas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motorik. Otonomi
versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi yang penting bagi
perkembangan kemandiriran dan identitas selama masa remaja. Perkembangan
otonomi selama tahun-tahun balita memberi remaja dorongan untuk menjadi
individu yang mandiri, yang dapat memiliki dan menentukan masa depan mereka
sendiri. Meskipun demikian, terlalu banyak otonomi sama bahayanya dennga
terlalu sedikit otonomi (Desmita, 2010: 125).
C. PERKEMBANGAN ANAK USIA 2-6 TAHUN
Periode kanak-kanak awal atau early
childhood period (usia 2-6 tahun) merupakan usia prasekolah. Pada masa ini,
pada umumnya anak-anak mulai menjalani masa pendidikan pada jenjang Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur
pendidikan non formal. Pada jenjang ini,
anak-anak diberikan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani maupun rohani dalam rangka mempersiapkan mereka agar
memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut, yaitu pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Selama masa kanak-kanak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy
period). Pertumbuhan fisik yang lambat ini
berlangsung sampai mulai munculnya tanda-tanda pubertas, yakni kira-kira dua
tahun menjelang anak matang secara seksual, di mana pertumbuhan fisik pada waktu itu kembali
berkembang dengan pesat. Meskipun selama masa
kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami
perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan motorik kasar dan motorik halus
justru berkembang pesat.
1.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Fisik
a.
Pertumbuhan dan perubahan bentuk
tubuh
Prosentase kenaikan tinggi dan berat badan pada usia ini mulai menurun dibandingkan dengan masa sebelumnya
(periode bayi). Perubahan atau prosentase tinggi dan berat badan badan tersebut terus
berlangsung setiap tahun. Otot-otot perut menjadi lebih ramping karena
mengalami pengetatan. Anak laki-laki cenderung memiliki kelebihan massa otot
dibandingkan dengan anak perempuan. Seiring dengan bertambahnya tinggi badan,
baik anak laki-laki maupun anak perempuan mengalami perampingan dan bentuk
tubuh menjadi lebih atletis. (Danim, 2011: 46). Dalam kasus ini perlu untuk diketahui bahwa
pertumbuhan fisik pada anak selalu bervariasi dan tidak sama. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
fisik yaitu faktor hereditas (keturunan atau asal usul etnis) dan asupan
gizi.
b.
Perkembangan otak
Diantara
perkembangan fisik yang sangat penting selama masa anak-anak awal ialah
perkembangan otak dan sistem saraf yang berkelanjutan. Meskipun otak terus
bertumbuh pada masa awal anak-anak, namun pertumbuhannya tidak sepesat pada
masa bayi. Pada saat bayi mencapai usia 2 tahun, ukuran otaknya rata-rata 75%
dari otak orang dewasa, dana pada usia 5 tahun, ukuran otaknya telah mencapai
sekitar 90% otak orang dewasa. Pertumbuhan otak selama awal masa anak-anak
disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat saraf yang berujung didalam
dan diantara daerah-daerah otak. Ujung-ujung urat saraf itu terus bertumbuh
setidak-tidaknya hingga masa remaja. Beberapa pertambahan ukuran otak juga
disebabkan oleh pertambahan myelination, yaitu suatu proses dimana
sel-sel urat saraf ditutup dan disekat dengan lapisan sel-sel lemak. Proses ini
berdampak terhadap peningkatan kecepatan informasi yang berjalan melalui sistem
urat saraf. Beberapa ahli psikologi perkembangan percaya bahwa myelination
adalah penting pada perkembangan sejumlah kemampuan anak-anak (Desmita,
2010: 127-128).
Perkembangan
otak dan sistem saraf pada anak usia dini juga terus berlangsung dramatis. Otak
dan sistem syaraf anak-anak berkembang lebih baik, disertai dengan perkembangan
perilaku dan kognitif yang lebih kompleks. Otak manusia terdiri dari dua
bagian, yaitu belahan otak kanan dan otaak kiri yangbersifat literal.
Literalisasi mengacu pada lokasi berbagai macam fungsi, kompetensi, dan
keterampilan dalam salah satu bagian atau kedua belahan otak. Secara khusus
bahasa, menulis, logika, dan matematika terletak di belahan otak kiri,
sedangkan kreativitas, fantasi, artistik, dan musik terletak di belahan otak
kanan (Danim, 2011: 46). Secara lebih
sederhana dapat dikatakan bahwa kelompok logika pada belahan otak kiri,
sedangkan kelompok fantasi dan seni berada pada belahan otak kanan. Meskipun kedua
belahan otak mungkin memiliki fungsi masing-masing, namun massa otak hampir
selalu mengkoordinasikan fungsi dan bekerja sama. Kedua belahan otak juga
berkembang dengan kecepatan yang tidak sama. Belahan otak kiri berkembang penuh
pada masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), adapun belahan otak kanan lebih lengkap
pada masa kanak-kanak tengah (7-11 tahun).
c. Perkembangan motorik
Perkembangan motorik (motor
skills) sangat berkaitan erat dengan
perkembangan fisik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan
tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan
spinal cord. Perkembangan keterampilan motorik meliputi keterampilan motorik
kasar (gross motor skills) dan keterampilan motorik
halus (fine motor skills). Motorik kasar adalah gerakan tubuh
yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh
yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk,
menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus
adalah gerakan yang menggunakan menggunakan otot-otot halus atau sebagian
anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan
berlatih. Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,
menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan tersebut
sangat penting untuk dikembangkan agar anak-anak bisa berkembang dengan
optimal.
Perkembangan
fisik masa anak-anak ditandai dengan berkembangnya ketrampilan motorik tersebut, baik keterampilan motorik kasar maupun
keterampilan motorik halus (Monks dkk,
1992: 100). Perkembangan motorik ini antara lain dapat dilihat
dari perubahan kemampuan atau fungsi fisik untuk melakukan gerakan-gerakan
tertentu. Misalnya saja, seorang anak yang berusia sekitar tiga tahun sudah dapat berjalan dengan baik, dan sekitar usia empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Ketika
kurang lebih telah berusia lima tahun anak
sudah terampil menggunakan kakinya untuk berjalan dengan berbagai cara, seperti
maju mundur, jalan cepat, dan pelan-pelan, melompat, berjingkrak, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan lebih baik, halus, dan bervariasi. Pada usia
sekitar lima tahun anak sudah dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu
secara akurat, seperti menangkap bola dengan baik, melukis, menulis, menggunting, melipat kertas, dan
sebagainya.
Danim (2011: 47-48) menyatakan bahwa
teori belajar observasional (Observational Learning Theory) yang
dikembangkan oleh Albert Bandura dapat diterapkan pada pembelajaran motorik
kasar dan halus bagi anak-anak prasekolah (masa kanak-kanak awal). Setelah
anak-anak secara biologis mampu belajar perilaku tertentu, mereka harus
melakiukan hal-hal berikut dalam rangka untuk mengembangkan keterampilan barunya:
1)
Mengamati perilaku orang lain
2)
Membentuk citra mental dari perilaku
itu
3)
Meniru perilaku tersebut
4)
Praktik perilaku
5)
Termotivasi untuk mengulangi
perilaku tersebut.
Dengan kata lain anak-anak harus
siap, memiliki keterampilan yang memadai, dan tertarik untuk mengembangkan
keterampilan motorik. Dengan cara ini anak akan menjadi kompeten pada
keterampilan-keterampilan yang ingin atau akan dikuasai.
2.
Perkembangan
Kognitif
Piaget dalam Desmita (2010: 101)
membagi skema perkembangan kognitif yang digunakan anak untuk memahami dunianya
melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring
pertambahan usia:
a.
Periode sensorimotor (usia 0–2
tahun)
b.
Periode praoperasional (usia 2–7
tahun)
c.
Periode operasional konkrit (usia
7–11 tahun)
d.
Periode operasional formal (usia 11
tahun sampai dewasa)
Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada periode praoperasional (2-7 tahun) merupakan tahapan dimana anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang
dimaksud operasi
mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara
mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional
atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan
menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat
juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau
peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau
peristiwa-peristiwa (Yusuf Ln., 2000: 169).
Meskipun anak-anak mengalami
kemajuan tersendiri dalam berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas,
namun perlu diketahui bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini
masih mempunyai dua batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan
untuk membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Misalnya,
seorang anak yang berusia empat tahun sedang berkomunikasi dengan ayahnya yang
berada di tempat lain melalui telepon.
Ia (si anak) menunjukkan respons dengan mengangguk-anggukkan kepala untuk
menyatakan setuju terhadap permintaan atau instruksi sang ayah, si anak tidak
menyadari bahwa sang ayah tidak melihat anggukannya. Dalam hal ini si anak
hanya menggunakan perspektif dirinya sendiri dan tidak mampu mempertimbangkan
perspektif orang lain (sang ayah). Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada
anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati
mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan
sesuatu. Misalnya saja, seorang anak yang sedang berjalan tiba-tiba jatuh
tersandung kursi, maka si anak bangkit dan memukuli kursi dengan mengatakan
kursi jahat atau kursi nakal.
Anak-anak periode praoperasional merpakan
anak-anak yang berpikir secara intuitif. Pemikiran intuitif pada periode
praoperasional dimaksud adalah pemikiran primitiv, yakni anak-anak tampak
mengerti atau mengetahui tentang sesuatu, namun mereka tidak sadar bagaimana
mereka mengetahui apa yang mereka ketahui (mengetahui tanpa menggunakan
pemikiran rasional). Dengan kata lain anak-anak periode praoperasional belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara
kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.
Perkembangan kemampuan
berbahasa pada anak-anak praoperasional juga terus mengalami perbaikan. Bahasa
merupakan hasil dari kemampuan seorang anak untuk menggunakan dan memakai
simbol-simbol sesuai dengan tingkat penalaran mereka. Sebagaimana otak manusia
mengembangkan dan memperoleh kapasitas untuk berpikir representasional,
anak-anak juga memperoleh dan memperbaiki kemampuan bahasanya. Beberapa
peneliti telah mengukur kemampuan berbahasa dengan jumlah rata-rata kata dalam
kalimat yang dikuasai oleh anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
banyak anak menggunakan kata-kata dalam kalimat, maka akan semakin canggih
perkembangan kemampuan bahasanya. Pada masa pra operasional ini anak-anak
banyak belajar kata-keta baru. Orang tua, guru, saudara, temansebaya, dan media
banyak memberikan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan penguasaan kosa
kata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perolehan bahasa banyak terjadi
dalam konteks sosial dan budaya. Orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya
mesti mengajari anak-anak bagaimana berpikir dan bagaimana bertindak yang dapat
diterima secara sosial. Dengan demikian anak-anak belajar bahasa sekaligus
belajar tentang masyarakat dan sebaliknya. Nilai-nilai, norma, adat istiadat
yang disampaikan orang tua dan orang lain menunukkan bagaimana penggunaan
bahasa (Danim, 2011: 52-53).
Pada
semua usia, mengenal dapat dilakukan lebih baik dari mengingat, akan tetapi
kedua kemampuan tersebut meningkat pada masa anak-anak awal. Pembentukan memori
tentang pengalaman pada masa anak-anak awal jarang sekali yang terjadi secara
disengaja. Anak kecil
biasanya hanya
mengingat suatu
peristiwa yang memiliki kesan sangat kuat dan sebagian besar dari memori
ini bersifat
jangka pendek. Cara seorang anak membentuk memori permanen ada tiga tipe yaitu:
a. Memori generik: memori yang menghasilkan script bagi rutinitas yang akrab untuk memandu perilaku. Script adalah catatan umum yang akrab
dan berulang, dipergunakan untuk memandu perilaku. Misalnya: seorang anak bisa
saja memiliki script untuk menaiki
bus ke sekolah atau makan siang di rumah nenek.
b. Memori episodis: memori jangka panjang tentang
peristiwa yang kerap terjadi dan akrab, dihubungkan dengan tempat dan waktu.
c. Memori autobiografis: memori tentang peristiwa
tertentu dalam kehidupan seseorang. Misalnya: seorang anak mengingat saat dia
pergi ke kebun binatang. Karena ke kebun binatang itu dia mengingat peristiwa
baru dan unik, dia juga mengingat detail dari perjalanan tersebut hingga
beberapa tahun.
3. Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial
adalah perkembangan yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis seperti emosi,
motivasi, dan perkembangan pribadi, serta perubahan dalam bagaimana individu
berhubungan dengan orang lain. Terkait dengan perkembangan psikososial ini, anak-anak
praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam dirinya, yakni krisis antara
timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai
belajar bertanggungjawab dan mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga
masih perlu menikmati kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi
perkembangan inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa
ragu-ragu (peragu). Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang
kondusif sangat dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan
yang positif dan optimal.
Pada masa kanak-kanak
awal, terutama masa prasekolah (mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas,
karena mereka sudah mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya.
Ciri-ciri perkembangan pada tahap
ini adalah :
a.
Anak sudah mulai tahu
aturan-aturan, baik dilingkungan keluarganya maupun dalam lingkungan bermain
b.
Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
c.
Anak sudah mengetahui hak atau kepentingan orang lain
d.
Anak sudah mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya
(peer group)
Pada masa ini kualitas hubungan sosial lebih penting daripada kuantitasnya. Kalau anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun kadang-kadang
saja, maka transformasi sikap yang diperoleh dari kontak sosial akan lebih baik
daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak
yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih
mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka akan lebih populer dari pada anak yang interaksinya dengan
manusia terbatas.
Aspek-aspek penting yang
berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga, hubungan dengan teman
sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan moral (Jahja, 2011: 191). Berikut ini
akan dikemukakan pembahasan beberapa aspek tersebut yang berkaitan erat dan
dapat mempengaruhi perkembangan psikososial individu pada masa kanak-kanak
awal.
a. Hubungan keluarga
Hubungan keluarga sangat penting untuk
perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial terhadap anak-anak periode
praoperasional yang sekaligus sebagai anak-anak prasekolah. Banyak aspek dan
dimensi teknis yang memberi kontribusi bagi perkembangan psikososial anak-anak
(Danim, 2011: 55). Perkembangan sosial anak sangat
dipengaruhi oleh iklim sosio psikilogis keluarganya. Anak yang
tumbuh di lingkungan keluarga yang saling memperhatikan dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin
komunikasi yang harmonis di antara anggota keluarga serta konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan
atau penyesuaian sosial yang baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Yusuf Ln., 2000: 170-171).
Fungsi keluarga terutama kedua orang
tua antara lain adalah memberikan pengasuhan dengan baik kepada anak-anak.
Tiap-tiap keluarga memiliki tipe dan gaya pengasuhan masing-masing terhadap
anak-anak, di mana keluarga yang satu tentu berbeda dengan keluarga yang lain. Tipe
pengasuhan keluarga (orang tua) sangat tergantung kepada standar budaya dan
masyarakat, situasi, serta perilaku anak-anak pada waktu itu. Tipe pengasuhan
ini merupakan aspek penting dalam hubungan keluarga dan memiliki dampak yang
sangat luas terhadap perkembangan psikososial anak-anak terutama anak-anak
periode praoperasional.
Hubungan keluarga (orang tua) dengan
anak-anak dicirikan oleh derajat kontrol dan kehangatan. Berdasarkan derajat
kontrol dan kehangatan tersebut, secara garis besar hubungan keluarga dapat
dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1) Tipe
pengasuhan otoriter, yaitu tipe pengasuhan yang menunjukkan derajat
kontrol yang tinggi dengan kehangatan yang rendah
2) Tipe
pengasuhan permisif, yaitu tipe pengasuhan yang cenderung menunjukkan
derajat kontrol yang rendah dengan kehangatan yang tinggi
3) Tipe
pengasuhan demokratis, yaitu tipe pengasuhan yang menggunakan derajat
kontrol yang relatif dengan kehangatan yang tinggi.
Masing-masing tipe pengasuhan
tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya saja,
tipe pengasuhan otoriter akan cenderung menjadikan anak kurang percaya diri
tetapi taat terhadap aturan dan tipe permisif dapat mendorong anak untuk tampil
percaya diri tetapi cenderung tidak taat aturan serta suka berbuat seenaknya
(semau gue). Adapun tipe pengasuhan demokratis, sampai saat ini masih dianggap
sebagai tipe pengasuhan terbaik yang dapat meminimalisir kekurangan dan
mengakomodir kelebihan dari dua tipe pengasuhan yang lain (otoriter dan
permisif). Hal lain yang tidak kalah pentingnya, yang perlu disadari oleh para
pendidik terutama orang tua adalah, bahwa pada fase
Inisiatif vs merasa bersalah ini anak-anak membutuhkan tipe pengasuhan yang
dapat membantunya tampil percaya diri, memiliki prestasi belajar yang baik,
memiliki pengendalian dan pengawan diri sendiri, dapat bergaul dengan baik,
serta mampu membedakan yang benar dan yang salah.
b.
Hubungan teman sebaya
Istilah teman sebaya
lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis. Kontak awal yang
baik dalam keluarga dapat menentukan anak-anak untuk membangun persahabatan dan
hubungan dengan anak-anak yang lain. Anak-anak yang menerima pengasuhan yang
baik dan penuh kasih sayang penya kecenderungan untuk dapat membangun hubungan
yang baik dengan teman-teman sebayanya. Persahabatan memberikan kesempatan
kepada anak-anak untuk belajar menangani situasi, belajar nilai-nilai, berbagi,
dan mempraktikkan perilaku yang lebih matang. Anak-anak yang unggul dalam hal
sebagaimana tersebut akan lebih populer di lingkungan teman-temannya. Mereka
tidak hanya tahu memiliki teman tetapi juga tahu bagaimana menjadi seorang
teman. Sementara itu anak-anak yang kurang bersahabat atau suka menciptakan
permusuhan cenderung kurang populer di kalangan teman-temannya. Anak-anak yang
egois disertai ketidakunggulan pada hampir semua kegiatan akan terasing dari
teman-temannya atau mungkin saja bukan diasingkan, melainkan mengasingkan diri
(Danim, 2011: 58).
Sejumlah penelitian
telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti
yang sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok
teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia luar diluar
keluarga. Anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari
kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih
baik, sama, atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka
menggunakan orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses
pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan
gambaran diri anak (Desmita, 2010: 145). Relasi yang buruk diantara teman-teman sebaya pada masa anak-anak ini
sering diasosiasikan dengan suatu kecenderungan perilaku nakal pada masa remaja.
Isolasi sosial atau
ketidakmampuan untuk melebur ke dalam suatu jaringan sosial pada usia tengah
baya, diasosiasikan dengan kenakalan atau kelainan pada masa remaja, sebaliknya
relasi yang harmonis diantara teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan
dengan kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya.
c. Permainan
Permainan
adalah salah satu bentuk aktifitas sosial yang dominan pada masa anak-anak awal, sebab anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk
bermain dibanding dengan terlibat
aktifitas lain. Kebanyakan hubungan sosial dengan teman sebaya yang terjadi pada masa ini juga terjalin dalam bentuk permainan. Desmita
(200:141-142) mengemukakan tiga fungsi utama
permainan sebagai berikut:
1) Fungsi kognitif; melalui permainan anak-anak dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek disekitarnya, dan belajar
memacahkan masalah yang dihadapinya
2) Fungsi sosial; permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak
3) Fungsi emosi; permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah
emosialnya, belajar mengatasi konflik batin dan kegelisahan
Berdasarkan observarsi terhadap
anak-anak usia 2 hingga 5 tahun Patern menemukan 3 kategori permainan anak-anak
sebagai berikut:
1) Permainan unoccopied, anak
memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan
melakukan gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol
2) Permainan onlooker, anak
melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain
3) Permainan pararel , anak
bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak
antara satu dengan yang lain atau tukar menukat alat permainan.
Anak-anak yang sedang
bermain barada dalam suasana yang bebas. Suasana demikian memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya, baik kepribadian
sebagai individu maupun kepribadiannya sebagai anggota masyarakat. Permainan juga
dapat menjadi sarana bersosialisasi bagi anak, yaitu sarana untuk
mengintrodusir anak menjadi anggota masyarakat, agar anak bisa mengenal dan
menghargai masyarakat. Dalam suasana permainan itu akan timbul rasa kerukunan yang sangat besar manfaatnya
bagi pembentukan sikap sosial sebagai manusia budaya.
Permainan dan situasi
bermain memberi kesempatan kepada anak untuk mengukur kemampuan serta potensi
sendiri. Ia belajar menguasai macam-macam benda, juga belajar memahami
sifat-sifat benda dan peristiwa yang berlangsung dalam lingkungannya. Mereka dapat menampilkan fantasi, bakat-bakat, dan kecenderungannya. Anak
laki-laki bermain dengan mobil-mobilan, anak perempuan dengan
boneka-bonekanya. Jika diberikan kertas dan gunting kepada sekelomok anak-anak
kecil, maka masing-masing anak akan menghasilkan “karya” yang berbeda, sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. Di tengah permainan itu
setiap anak menghayati macam-macam emosi. Mereka merasakan kegairahan dan
kegembiraan dan tidak secara khusus mengharapkan prestasi-prestasi. Permainan
mempunyai nilai yang sama besarnya dengan nilai seni bagi orang dewasa.
Permainan juga dapat menjadi
alat pendidikan, karena selain d apat memberikan rasa kepuasaan,
kegembiraan, dan kebahagian kepada anak, permainan juga
memberikan kesempatan pralatihan untuk mengenal aturan-aturan permainan,
mematuhi norma-norma dan larangan, dan bertindak secara jujur serta loyal.
Semua ini diperlukan oleh anak sebagai persiapan bagi penghayatan “fair play”
dalam pertarungan hidup di kemudian harinya.Dalam bermain anak belajar
menggunakan semua fungsi kejiwaan dan fungsi jasmaniah dengan sepenuh hati. Hal
ini sangat berguna untuk memupuk sikap serius dan bersunguh-sungguh pada usia
dewasa dalam mengatasi setiap kesulitan hidup yang dihadapi sehari-harinya
(Kartono, 1999: 122). Jelaslah bahwa permainan memiliki arti penting
dalam membetuk karakteristik dan sebagai alat untuk
menuangkan kreatifitas anak.
d.
Perkembangan gender
Kebanyakan anak
mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender. Pertama,
anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki
atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap
tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka
memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang
ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah. Pengetahuan tentang
ketiga aspek gender tersebut dinamakan sebagai peran jenis kelamin, atau
stereotip gender. Pada umumnya, secara psikologis anak mencapai ketetapan
gender pada usia tujuh sampai dengan sembilan tahun (Desmita, 2010: 146-147).
Jadi, dalam perkembangan psikososial ini anak akan belajar untuk mengembangkan
kepercayaan identitas gender sesuai
dengan tugas dari perkembangan itu sendiri, yakni menbedakan jenis kelamin. Pada
tahap ini anak akan bisa mengarahkan dirinya pada sikap jenis kelamin mana yang
mereka kehendaki, yang pada akhirnya mereka akan memperoleh ketetapan gender.
e.
Perkembungan kepribadian dan moral
Masa ini
disebut masa perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam diri
anak-anak, yaitu dia mulai sadar akan akunya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan
atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang
lain. Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan
untuk memenuhi tuntunan dan tanggung jawab. Oleh karena itu agar tidak
berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orang tua perlu
menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras.
Pada masa ini,
anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosial
(orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak akan belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik, diterima, dan disetujui atau perilaku
mana yang buruk, yang tidak boleh, yang ditolak, dan tidak disetujui. Berdasarkan pemahaman itu, maka pada masa itu anak harus dilatih
atau dibiasakan mengenal bagaimana dia harus bertingkah laku yang baik, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur, berdoa sebelum makan, dan sebagainya (Yusuf Ln, 2000: 175).
D. KESIMPULAN
Periode perkembangan yang
merentang pada usia 0-6 tahun dapat
dikatakan sebagai periode perkembangan anak usia dini. Periode ini dimulai
setelah melewati periode prenatal, yaitu periode prakelahiran (prenatal period)
yakni sejak dari pembuahan hingga kelahiran. Sesuai dengan klasifikasi
periode perkembangan yang paling luas digunakan sebagaimana dikemukakan oleh
Santrock (1993), periode ini (0-6 tahun) termasuk
dalam klasifikasi periode bayi (infacy period) yaitu periode yang
merentang antara usia 0-2 tahun dan periode
kanak-kanak awal (early
childhood period) yang merentang antara usia 2-7 tahun.
Setidaknya ada tiga aspek penting
yang dapat dilihat pada pertumbuhan dan perkembangan pada periode bayi, yaitu
aspek fisik-motorik, aspek kognitif, dan aspek psikososial. Pada aspek fisik
motorik, pertumbuhan dan perkembangan masa bayi tandai dengan pertumbuhan fisik
yang sangat cepat, bahkan perubahan fisik yang paling cepat dibandingkan dengan
periode-periode sesudahnya. Perkembangan bayi pada aspek ini juga ditandai
dengan mulai berkembangnya beberapa refleks. Refleks-refleks
tersebut merupakan modal dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan
yang bersifat aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu
tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Sedangkan
sebagian refleks yang tidak hilang disebut refleks permanen. Beberapa
pola dan tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta
terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Kemampuan anak untuk dapat duduk,
berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan system saraf dan
otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik. Walaupun kemampuan
kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun pembatasan kesemptan untuk
mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya. Selain itu latihan khusus dapat
memfasilitasi perkembangan motorik.
Hasil riset para ahli psikologi
kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya
sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun. Intelegensi
sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis (practical intelligence)
yang bermanfaat bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap
lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat.
Individu pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara
praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia
perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan. Aspek psikososial juga
mulai berkembang sejak masa bayi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari
orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan
mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan
apa yang disukai dan yang tidak disukai. Beberapa sub aspek psikososial yang
tampak mulai berkembang pada periode ini antara lain emosi, temperamen, attachement,
rasa percaya (trust), dan perkembangan otonomi.
Periode atau masa kanak-kanak awal
(2-6 tahun) termasuk dalam kategori praoperasional yang sekaligus merupakan
periode prasekolah. Selama masa anak-anak awal,
pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy
period). Meskipun selama masa kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan
motorik kasar dan motorik halus justru berkembang dengan pesat.
Perkembangan kognitif pada periode kanak-kanak awal (praoperasional) merupakan tahapan dimana
anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang dimaksud operasi
mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara
mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional
atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan
menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat
juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau
peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau
peristiwa-peristiwa Meskipun anak-anak mengalami kemajuan tersendiri dalam
berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas, namun perlu diketahui
bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini masih mempunyai dua
batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif
sendiri dan perspektif orang lain. Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada
anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati
mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan
sesuatu.
Terkait dengan
perkembangan psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi
krisis dalam dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan
rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai belajar bertanggungjawab dan
mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati
kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan
inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu). Pada
situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat dibutuhkan guna
mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan optimal. Pada masa ini, terutama masa
prasekolah (mulai usia 4
tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah
mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya. Aspek-aspek penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah
hubungan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan
gender, dan perkembangan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan, 2011, Perkembangan Peserta Didik, Bandung:
Alfabeta.
Desmita., 2010, Psikilogi Perkembangan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Jahja, Yudrik., 2011, Psikologi Perkembanga, Jakarta:
Kencana.
Kartono,Kartini., 1999, Psikologi Anak, Bandung: Bandar Maju.
Mussen, Paul
Henry., 1988, John Janeway Conger, Jerome Kagan, Aletha Carol Huston, Perkembangan
dan Kebribadian Anak, Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J. dkk,
1992, Psikologi Perkembangan: Pengantar dengan Berbagai Bagiannya,
Yogyakarta: Gajah Mada Unisersity Press.
Purwanto,
Ngalim., 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W., 2010, Psikologi Pendidikan , Jakarta: Kencana.
Soemanto,
Wasty., 2006, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukmadinata,
Nana Syaodah, 2009, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sunarto &
B. Agung Hartono., 2008, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka
Cipta.
Syah, Muhibbin.,
2008, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Yusuf Ln, Syamsul., 2000, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya.
apasih mental yang sebenarnya ? klik di http://mihape.blogspot.com/2012/10/mental-itu-apa.html
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusplease
BalasHapusPlay The Real Money Slot Machines - Trick-Taking Game - Trick-Taking
BalasHapusHow 메이피로출장마사지 to Play. Play herzamanindir.com/ The Real Money Slot Machine. If you are searching for wooricasinos.info a fun, https://tricktactoe.com/ exciting game to play online, we have sol.edu.kg you covered.