I. PENGERTIAN DAN
BENTUK-BENTUK HADITS
A. Pengertian Hadits
1. Pengertian Hadits Menurut
Bahasa
Perkataan hadits
menurut bahasa memiliki beberapa makna yaitu;
jadid yang berarti baru, qarib
berarti dekat, dan khabar yang berarti berita (warta).
2. Pengertian Hadits Menurut
Istilah
a. Menurut istilah ahli hadits ialah:
اقواله
صلّى الله عليه و سلّم
و افعاله و
احواله
“Segala ucapan,
segala perbuatan, dan segala keadaan Nabi
SAW.”
Termasuk ke dalam kedaan beliau SAW adalah
sejarahnya, kelahirannya, dan segala keadaannya baik sebelum maupun sesudah
diangkat menjadi Rasul.
b. Menurut istilah ahli ushul ialah:
اقواله
صلّى الله عليه و
سلّم و
افعاله و تقاريره
ممّا يتعلّق به
حكم بنا
“Segala
perkataan, segala perbuatan, dan segala taqrir Nabi SAW, yang bersangkut paut
dengan hukum.”
Sesuai
dengan pengertian tersebut, maka segala sesuatu, baik ucapan, perbuatan maupun
keadaan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan hukum, menurut ahli ushul
tidak termasuk hadits.
B. Bentuk-bentuk
Hadits
Sesuai
dengan pengertian hadits menurut muhadditsin dan ahli ushul sebagaimana tersebut, maka bentuk-bentuk hadits
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Hadits
Qauly
a. Menurut ahli
hadits ialah; Segala ucapan atau perkataan Nabi SAW, baik yang berkaitan
dengan hukum maupun yang tidak.
b. Menurut ahli ushul ialah; Segala
ucapan atau perkataan Nabi SAW, yang berkaitan dengan hukum.
Contoh:
عن عمر بن الخطّاب رضى الله عنه قال؛ سمعت
رسول الله صلّى الله عليه وسلّ يقول؛ لا يقبل الله صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول (رواه
مسلم)
Dari
Umar bin Khaththab ra. Berkata; Saya telah mendengar Rasulullah SAW berkata;
“Allah tidak menerima shalat dari orang yang tidak dalam keadaan suci dan tidak
menerima shadaqah dari tipu daya.” (HR. Muslim).
2. Hadits
Fi’ly
a. Menurut ahli hadits ialah; Segala perilaku
atau perbuatan Nabi SAW, baik yang berkaitan dengan hukum maupun yang tidak.
b. Menurut Ahli ushul ialah; Segala perilaku atau perbuatan Nabi SAW, yang
berkaitan dengan hukum.
Contoh:
عن عائشة رضي الله عنها قالت كان النّبىّ
صلّى الله عليه وسلّم يصبح جنبا ثمّ يغتسل تمّ يغدو الى الصّلاة فاسمع قرائته و
يصوم (رواه احمد)
Dari
Aisyah ra. Berkata: “Nabi SAW, pada waktu subuh masih dalam keadaan hadats
junub. Kemudian beliau mandi janabah dan pergi shalat shubuh. Saya mendengar
bacaan beliau dan beliau pada waktu itu dalam keadaan puasa. (HR. Ahmad).
3. Hadits
Taqriry
a. Menurut ahli hadits ialah; Segala taqrir Nabi SAW, baik yang
berkaitan dengan hukum maupun yang tidak.
b. Menurut Ahli ushul ialah; Segala taqrir
Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum.
Contoh:
Suatu ketika Nabi SAW. bersama Khalid
bin Walid berada dalam suatu jamuan makan yang dihidangkan daging biawak. Nabi
tidak menegur atau melarang atas adanya jamuan makan tersebut. Ketika Nabi SAW.
dipersilakan untuk makan, beliau
bersabda:
لا و لكن
لم يكن بأرض
قومى فأجدنى أعافه
“Maafkan,
berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku merasa jijik
padanya.”
قال خالد؛
فاجتززته فأكلته ورسول الله صلّى الله عليه وسلّم ينظر الىّ (رواه بخارى و مسلم)
Khalid
berkata;”Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah SAW. melihat
padaku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Hadits
Ahwaly
a.
Menurut ahli hadits ialah;
Segala keadaan, hal ihwal, atau sifat Nabi SAW.
b. Menurut ahli ushul segala keadaan, hal
ihwal, atau sifat Nabi SAW, tidak termasuk ke dalam pengertian hadits, karena
tidak berkaitan dengan hukum.
Contoh:
عن أنس بن
مالك رضى الله عنه قال؛ كان شعر رسول الله صلّى الله عليه و سلّم رجلا ليس بالسّبط
و لا الجعد بين أذنيه و عاتقه (رواه بخارى و مسلم)
Dari
Anas bin Malik ra. Berkata: “Rambut Rasulullah SAW. tidak terlalu keriting dan
tidak terlalu lurus. Panjangnya antara dua telinga dan bahu beliau.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
C. Perbedaan
antara Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Menurut sebahagian ulama, kata hadits,
sunnah, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu segala perkataan,
perbuatan, taqrir dan hal ihwal atau sifat-sifat Nabi SAW, para sahabatnya, dan
para tabi’in. Sebahagian ulama lagi membedakan pengertian
istilah-istilah tersebut. Perbedaan-perbedaan di antara keempat istilah
tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Hadits merupakan berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi SAW. Dengan demikian hadits lebih menunjuk pada pemberitaan atau
laporan tentang berbagai hal atau peristiwa yang disandarkan kepada beliau.
2.
Sunnah yang secara etimologis berarti jalan, menurut istilah adalah
suatu ‘amaliyah yang terus menerus dilaksanakan oleh Nabi SAW. dan para
sahabatnya, kemudian diamalkan oleh generasi berikutnya, dan seterusnya dari
generasi ke generasi. Dengan demikian sunnah lebih menunjuk kepada tata
cara, model atau perilaku beliau SAW. sebagai uswatun hasanah.
3. Khabar menurut sebahagian ulama
adalah yang berasal dari selain Nabi SAW, sedangkan hadits adalah yang
berasal dari beliau SAW. Sebahagian
pendapat lagi menyatakan bahwa Khabar bersifat lebih umum dari hadits,
karena khabar adalah yang berasal dari Nabi, sahabat, maupun tabi’in,
sedangkan hadits adalah khusus yang berasal dari beliau SAW.
4.
Atsar menurut fuqaha (ulama fiqih), adalah
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa, atsar adalah perkataan sahabat,
sedangkan khabar sama dengan hadits Nabi. Az-Zarkasyi, memakai
istilah atsar untuk hadits mauquf, tetapi membolehkan juga
memakai atsar untuk hadits marfu’.
II. PEMBAGIAN
HADITS MENURUT KUANTITAS DAN KUALITASNYA SERTA KEHUJAHAN HADITS DHO’IF DAN
HADITS AHAD
A. Pembagian
Hadits Menurut Kuantitasnya
Dilihat
dari segi jumlah rawi-nya (orang yang meriwayatkannya) atau
kuantitasnya, maka hadits Nabi SAW. dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Hadits
Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang,
berdasarkan panca indera, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk
membuat kebohongan atau dusta. Keadaan periwayatan itu terus-menerus demikian
dalam semua thabaqahnya, dari thabaqah yang pertama hingga thabaqah
yang terakhir.
Hadits
Mutawatir dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Hadits
Mutawatir Lafdzy, yaitu Hadits Mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz
dan makna yang sama, serta kandugan hukum yang sama pula.
Contoh:
قال رسول
الله صلّ الله عليه و سلّم؛ من كذب علىّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Rasulullah
SAW bersabda: “Barang siapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
siapkan tempat duduknya di neraka.”
Menurut
Al-Bazzar hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, sedangkan
menurut An-Nawawy diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
b. Hadits
Mutawatir Ma’nawy, ialah Hadits Mutawatir yang berasal dari berbagai
hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi
bila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama.
Contoh:
Hadits
tentang mengangkat tangan waktu berdo’a di luar shalat. Ada sekitar 100 hadits yang bila dikumpulkan,
maka dapat disimpulkan, bahwa Nabi SAW. bila berdo’a di luar shalat, beliau
selalu mengangkat tangan. Di antara hadits-hadits tersebut adalah
sebagai berikut:
1).Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim:
ما رفع صلّى
الله عليه وسلّم يديه حتّى رؤي بياض إبطيه فى شئ من دعائه إلاّ فى الاستسقاء (متفق
عليه)
Rasulullah
tidak pernah mengangkat tangan dalam berdo’a sampai kelihatan keputihan kedua
ketiaknya, kecuali pada saat berdo’a dalam shalat istisqa’.
2). Yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim:
كان يرفع يديه حدّو منكبيه (رواه احمد و ابو
داود والحاكم)
(pada
saat berdoa) Rasulullah mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua
bahunya.
c. Hadits
Mutawatir Amaly, yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, lalu diikuti oleh para tabi’in,
dan seterusnya diikuti generasi berkutnya, dari generasi ke generasi hingga
sampai kepada kita sekarang ini.
Contoh:
Hadits-hadits
Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah raka’at shalat, shalat
jenazah, dan sebagainya.
2. Hadits
Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang-seorang, atau dua orang
atau lebih, tetapi belum memenuhi syarat untuk dimasukkan sebagai hadits
mutawatir. Dengan kata lain Hadits Ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai kepada tingkat jumlah mutawatir.
Hadits
Ahad dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Hadits
Masyhur, menurut ulama
hadits adalah hadits yang pada thabaqah pertama (tingkat
sahabat) atau pada thabaqah kedua diriwayatkan oleh orang-seorang,
kemudian pada thabaqah berikutnya tersebar luas dan diriwayatkan oleh
banyak orang yang mustahil mereka bersepakat untuk melakuan kebohongan. Adapun
menurut ulama ushul adalah hadits yang pada thabaqah pertama
diriwayatkan oleh beberapa orang tetapi belum sampai ke tingkat mutawatir,
kemudian pada thabaqah-thabaqah berikutnya diriwayatkan oleh orang
banyak yang jumlahnya menyamai atau mencapai periwayatan mutawatir.
Contoh 1 :
انّ النّبى صلّى الله عليه وسلّم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل و ذكوان
(متفق عيه عن أنس بن مالك)
Sesungguhnya
Nabi SAW. melakukan qunut selama sebulan sesudah ruku’ untuk mendoakan keluarga
Ri’il dan Dzakwan. (Mutafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik).
Sanad hadits ini sebagai berikut:
1). Sanad
Bukhari: 1. Ahmad bin Yunus, 2. Zaidah,
3. Sulaiman Al-Taimy,
4. Abu Miljaz 5. Anas bin Malik
2). Sanad Muslim ada dua macam:
(a). Pertama: 1. Abu Kuraib, Abdullah,
Ishaq. 2. Mu’tamir bin Sulaiman
3. Sulaiman
Al-Taimy 4. Abu Miljaz 5. Anas bin Malik
(b). Kedua : 1. Amir
Al-Naqid 2. Aswad bin Amir 3. Syu’bah
4. Musa
bin Anas, Qatadah 5. Anas bin Malik.
Jumlah
perawi untuk masing-masing thabaqah adalah sebagai berikut:
Thabaqah I = 1 orang,Thabaqah II = 3 orang, Thabaqah
III = 2 orang
Thabaqah IV
= 3 orang Thabaqah V = 5 orang.
Dengan
demikian hadits tersebut adalah masyhur di kalangan ulama hadits,
tetapi tidak masyhur di kalangan ulama yang lain karena pada thabaqah
pertama hanya diriwayatkan oleh satu orang.
Contoh
2 :
قال رسول
الله صلّى الله عليه سلّم؛ المسلم من سلم المسلمون من لّسانه و يده و المهاجر من
هجر ما نهى الله عنه (متفق عليه)
Rasulullah
SAW bersabda: “Muslim itu adalah orang yang muslim lainnya selamat (tidak)
terganggu oleh lidah maupun tangannya, dan orang yang hijrah (muhajir) itu
adalah orang yang pindah dari dari apa yang dilarang oleh Allah.”
(Mutafaqun ‘alaih)
Hadits
ini selain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad yang
berbeda, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’iy, Turmudzi dan Darimy dengan sanad
yang berbeda-beda pula. Pada thabaqah pertama diriwayatkan lebih dari
dua orang. Sanad yang dipakai Muslim sendiri ada tiga macam, salah
satunya bertemu dengan sanad Bukhari. Oleh karena itu hadits ini
dianggap masyhur di kalangan ulama hadits maupun ulama
lainnya.
b. Hadits Ghairu Masyhur
Hadits
Ghairu Masyhur ada dua macam, yaitu Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
1). Hadits Aziz, menurut sebagian ulama
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang, yaitu
dari thabaqah yang pertama hingga thabaqah yang terakhir
masing-masing terdiri dari dua orang. Sebagian ulama yang lain berpendapat
bahwa Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang pada thabaqah
pertama atau kedua, dan pada thabaqah lainnya ada yang lebih dari dua
orang.
Contoh:
انّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال؛ لا يؤمن احدكم
حتّى اكون احبّ اليه من والده و ولده (متفق عليه)
Sesunguhnya
Rasulullah SAW. telah bersabda: “Tidaklah beriman seseorang diantara kamu
sehingga dia lebih mencintai Nabi melebihi cintanya kepada orang tua dan
anaknya.” (Mutafaqun ‘alaih).
Hadits
ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. Sanad yang
dipakai Bukhari ada dua macam, sedangkan sanad yang dipakai Muslim ada
empat macam. Sanad Bukhari selain melalui Anas bin Malik, juga melalui
Abu Hurairah.
2). Hadits Gharib, yaitu hadits yang
dalam thabaqah sanadnya ada yang menyendiri atau hanya terdiri
dari satu orang yang ada pada asal sanad (Tabi’i) atau pada Tabi’i
Al-Tabi’in, atau juga pada seluruh rawinya di setiap thabaqah,
namun ketentuan kesendirian ini tidak berlaku bagi sahabat Nabi, karena seluruh
sahabat dianggap adil. Jika hanya di tingkat sahabat yang sendirian, sementara
pada thabaqah-thabaqah yang lain tidak sendirian maka hadits tersebut
tidak disebut gharib.
Contoh:
قال النّبىّ صلّ الله عليه و سلّم؛ الإيمان بضع وسبعون شعبة و الحياء شعبة
من الإيمان (متفق عله)
Nabi
SAW bersabda: “Iman itu berbilang 73 cabang, dan malu adalah salah satu cabang
dari iman.” (Mutafaqun ‘alaih).
Sanad
yang dipakai Bukhari pada hadits ini sama dengan sanad yang
dipakai Muslim, kecuali pada sanad yang pertama, untuk Bukhari adalah Abdullah
bin Mahmud, sedangkan untuk muslim adalah Abdullah bin Humaid dan Ubaidillah
bin Said. Sanad-sanad yang lain, baik yang dipakai Bukhari maupun Muslim
sama orangnya, yaitu Abu Amir, Sulaiman bin Bilal, Abdullah bin Dinar, Abu
Shalih dan Abu Hurairah, dan masing-masing thabaqah menyendiri. Karena itu
hadits ini disebut hadits gharib.
B. Pembagian
Hadits Menurut Kualitasnya
Sesuai
dengan pendapat Imam Taqiyyudin Ibnu Taimyyah, sejak zaman Imam Turmudzi dan
sesudahnya, Pembagian kualitas Hadits secara garis besar dapat di
bedakan menjadi tiga macam, yaitu; Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits
Dha’if. Adapun pada masa sebelum Imam Turmudzi, hanya dibedakan menjadi dua
saja yaitu, Hadits Shahih dan Hadits Dha’if. Untuk lebih jelasnya
berikut ini, akan dijelaskan mengenai pembagian kualitas hadits menurut
kualitasnya tersebut.
1. Hadits
Shahih, ialah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang-orang yang adil dan dhabith, serta tidak terdapat di dalamnya
suatu kejanggalan dan cacat.
Berdasarkan
pengertian tersebut, suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila
memenuhi lima persyaratan sebagai berikut:
- Hadits itu harus musnad dan muttashil, yakni persambungan sanadnya sampai kepada Nabi (marfu’), dan tidak terputus (bersambung).
- Para rawi yang meriwayatkan hadits itu harus adil.
Yang
dimaksud dengan adil di sini ialah memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1). Istiqamah
dalam agamanya (Islam)
2). Baik
akhlaknya
3). Tidak fasiq
4). Memelihara muru’ah-nya
(memelihara kehormatan dirinya)
c. Para
rawi yang meriwayatkan hadits itu harus dhabith, yaitu memiliki
ingatan dan hafalan yang sempurna, memahami apa yang dihafal atau yang
diriwayatkan itu, serta mampu menyampaikannya kapan saja dikehendaki.
- Tidak ada syudzudz (kejanggalan-kejanggalan) berkenaan dengan periwayatan hadits itu. Yang dimaksud dengan syudzudz di sini adalah berlawanan dengan keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
- Tidak ada ‘illat (periwayatan hadits itu harus tidak ada cacatnya sama sekali).
Hadits
Shahih ada dua macam yaitu:
a.
Hadits Shahih li-Dzatihi, yaitu
hadits yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi syarat sebagai Hadits
Shahih.
Contoh:
قال رسول
الله صلّى الله عليه سلّم؛ المسلم من سلم المسلمون من لّسانه و يده و المهاجر من
هجر ما نهى الله عنه (متفق عليه)
Rasulullah
SAW bersabda: “Muslim itu adalah orang yang muslim lainnya selamat (tidak)
terganggu oleh lidah maupun tangannya, dan orang yang hijrah (muhajir) itu
adalah orang yang pindah dari dari apa yang dilarang oleh Allah.”
(Mutafaqun ‘alaih)
Sebagaimana
telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu, ditinjau dari jumlah rawi-nya,
hadits ini termasuk Hadits Masyhur. Salah satu di antara yang
meriwayatkan hadits ini ialah Imam Bukhari dengan sanad sebagai
berikut;
1.
Adam bin Ilyas, 2.
Syu’bah, 3. Ismail
dan Ibnu Safar,
4. Syu’bah,
5. Abdullah bin Amr bin Ash.
Para
rawi dan sanad Imam Bukhari ini semuanya memenuhi syarat-syarat Hadits
Shahih sebagaimana tersebut di atas, karenanya hadits ini termasuk Hadits
Shahih li-Dzatihi. Adapun kemasyhuran hadits ini tidak menjadi
ukuran bagi ke-shahih-annya.
c.
Hadits Shahih li-Ghairihi, yaitu hadits yang pada dirinya
sendiri tidak mencapai derajat shahih, namun karena ada petunjuk atau
dalil lain yang menguatkannya, maka derajat hadits tersebut meningkat
menjadi Hadits Shahih li-Ghairihi.
Contoh:
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم؛ لو لا ان ان أشقّ على أمّتى لأمرتهم
بالسّواك عند كلّ صلاة
Rasulullah
SAW bersabda: “Sekiranya tidak akan memberatkan ummatku, niscaya akan aku
perintahkan kepada mereka untuk bersiwak (menyikat gigi) setiap menjelang shalat.
Hadits
ini berkualitas hasan, karena pada sanadnya terdapat nama
Muhammad bin Amr bin Al-Qamah yang dianggap oleh sebagian ulama lemah
hafalannya, sedangkan rawi-rawi yang lain semuanya tsiqah.
Kemudian, karena ditemukan sanad lain yang memuat hadits tersebut
dengan kualitas shahih, maka derajat hadits tersebut meningkat
menjadi Hadits Shahih li-Ghairihi.
2. Hadits
Hasan, ialah hadits yang sanad-nya bersambung, diriwayatkan
oleh orang yang adil tetapi sedikit kurang dhabith, tidak terdapat kejanggalan,
tidak pula ditemukan cacat padanya.
Hadits
Hasan juga dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
- Hadits Hasan li-Dzatihi, ialah hadits yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi syarat sebagai Hadits Hasan. Contohnya hadits tentang bersiwak sebagaimana tersebut di atas, seandainya tidak ditemukan petunjuk atau dalil yang menguatkannya.
- Hadits Hasan li-Ghairihi, yaitu hadits yang pada dirinya sendiri tidak mencapai derajat hasan, namun karena ada petunjuk atau dalil yang menguatkannya, maka derajatnya meningkat menjadi Hadits Hasan li-Ghairihi. Dengan demikian, seandainya tidak ada petunjuk atau dalil lain yang menolongnya maka kualitas hadits tersebut sebenarnya adalah Hadits Dha’if. Contohnya hadits tentang seorang wanita dari Bani Farazah yang dikawini dengan mahar sepasang sandal. Rasulullah SAW bertanya: “Apakah kamu merelakan dirimu dikawini sementara engkau hanya mendapat mahar sepasang sandal?” Wanita itu menjawab: “Rela.” Maka Rasulullah membolehkannya. Hadits tersebut dipandang lemah oleh sebagian ulama karena pada sanadnya ada nama Ashim yang dinilai sebagai rawi yang dha’if, namun Imam Turmudzi menemukan hadits seperti tersebut melalui jalan lain dengan kualitas hasan. Oleh karenanya Hadits Dhaif itu kemudian terangkat derajatnya menjadi Hadits Hasan li-Ghairihi.
3. Hadits
Dha’if, ialah hadits yang tidak memiliki salah satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat Hadits Hasan dan Hadits Shahih.
Pembagian
Hadits Dha’if ini banyak sekali. Ulama hadits ada yang membagi Hadits
Dha’if menjadi 42 macam (misalnya Al-Iraqy), bahkan ada yang membaginya
menjadi 129 macam. Pembagian hadits dilihat dari segi adanya sanad
yang gugur; Hadits Mu’allaq, Hadits Munqathi’, Hadits Mu’dhal, Hadits
Mudallas, dan Hadits Mursal. Dilihat dari segi selain gugurnya sanad;
Hadits Mudha’af, Hadits Maqlub, Hadits Syadz, Hadits Munkar, Hadits Matruk,
dan sebagainya.
Contoh:
اذا حدّثتم عنّى بحيث يوفق الحقّ فخذوا به حدّت به ام لم
يحدّث
“Apabila
diriwayatkan kepadamu suatu hadits (dari aku) yang sesuai dengan kebenaran,
maka ambillah, baik aku menerangkannya atau tidak.”
Hadits
di atas menyalahi atau bertentangan dangan Hadits Mutawatir di bawah
ini:
من كذب عليّ متعمّدا فاليتبوّأ مقعده من النّار
“Barang
siapa dengan sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di neraka.”
Karena
hadits yang di atas diriwayatkan
oleh rawi yang dha’if dan juga menyalahi Hadits Mutawatir
(yang di bawah), maka hadits yang di atas disebut sebagai Hadits
Munkar.
C. Kehujjahan
Hadits dha’if
Terdapat dua pendapat di kalangan ulama hadits
tentang boleh atau tidaknya Hadits Dha’if dijadikan sebagai hujjah,
maupun sebagai landasan hukum dalam beramal.
1. Imam
Bukhari,Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu Al-Araby menyatakan bahwa Hadits
Dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah,
baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.
2. Imam
Ahmad Ibnu Hambal, Abdu Al-rahman Ibnu Mahdi, dan Ibnu Hajar Al-Atsqalani
menyatakan bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan)
hanya untuk dasar keutamaan amal (fadha’il Al-Amal) dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Para rawi yang meriwayatkan hadits
itu, tidak terlalu lemah
b. Masalah
yang dikemukakan hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an dan Hadits Shahih.
c. Tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Dengan
memperhatikan pendapat para ulama tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa,
sebenarnya Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah baik dalam
masalah hukum, keutamaan amal, apa lagi dalam urusan Aqidah. Kaitannya dengan
keutamaan amal, jika kita cermati syarat-syarat yang dikemukakan ulama yang
membolehkannya sebagaimana tersebut di atas, maka tampak jelas bahwa Hadits
Dhaa’if yang boleh diamalkan atau dijadikan hujjah itu adalah Hadits
Dha’if yang memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka dengan sedirinya, hadits tersebut telah meningkat
derajatnya menjadi Hadits Hasan li-Ghairihi.
D. Kehujjahan
Hadits Ahad dalam Aqidah
Untuk
Hadits Ahad yang berkualitas shahih, para ulama sepakat boleh
dijadikan hujjah dalam masalah hukum dan lain-lain, kecuali dalam urusan
aqidah. Dalam masalah aqidah, kehujjahan Hadits Ahad yang
berkualitas shahih ini, para ulama berselisih pendapat.
1. Pendapat
pertama, Hadits Ahad yang berkualitas shahih dapat digunakan sebagai
dalil untuk menetapkan masalah-masalah aqidah. Alasannya hadits Ahad
yang shahih, memfaidahkan ilmu, dan yang memfaidahkan ilmu wajib
diamalkan. Karena wajib diamalkan, maka antara persoalan aqidah dengan
persoalan yang bukan aqidah tidak dapat dibedakan.
2. Pendapat
kedua, Hadits Ahad walaupun shahih tidak dapat dijadikan dalil pokok
terhadap penetapan aqidah, karena hadits Ahad memfaidahkan zhanny.
Sementara itu soal aqidah adalah persoalan keyakinan, maka yang yakin
tak dapat didasarkan kepada petunjuk yang masih bersifat zhanny atau
dugaan.
3. Pendapat
ketiga, Hadits Ahad yang berkualitas shahih atau yang memenuhi
syarat boleh saja dijadikan dalil dalam urusan aqidah, selama hadits
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain yang
lebih kuat, serta tidak bertentangan dengan akal yang sejahtera.
III. SAHABAT
DAN THABAQATNYA
A. Pengertian Sahabat dan Sahabat yang
Banyak Meriwayatkan Hadits
Menurut
bahasa sahabat berasal dari kata shahib yang berarti teman atau kawan.
Dapat pula berarti yang empunya dan yang menyertai.
Menurut
Istilah sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. dengan
pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan Islam dan
beriman. Orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan Iman dan
Islam kemudian murtad, tidak dapat disebut sebagai sahabat Nabi SAW.
Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam dan beriman, baik ketika
beliau SAW. masih hidup maupun ketika beliau sudah wafat, maka orang tersebut
masih dapat dikategorikan sahabat.
Para
sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, digelari “Al-Muktsiru ma fi
Al-Hadits” atau “Bendaharawan Hadits”, yaitu para sahabat yang telah
meriwayatkan Hadits Nabi, lebih dari 1000 buah. Mereka itu adalah:
1. Abu
Hurairah (19 SH – 59 H), telah meriwayatkan sebanyak 5374 hadits
2. Abullah
Ibnu Umar Ibnu Khaththab (10 SH – 73 H), telah meriwayatkan sebanyak 2630 hadits
3. Anas
Ibnu Malik (10 SH – 93 H), telah meriwayatkan sebanyak 2286 hadits
4. Aisyah
binti Abu Bakar (9 SH – 58 H), telah meriwayatkan sebanyak 2210 hadits
5. Abdullah
Ibnu Abbas (3 SH – 68 H), telah meriwayatkan sebanyak 1660 hadits
6. Jabir
Ibnu Abdillah Al-Anshary (16 SH – 78 H), telah meriwayatkan sebanyak 1540 hadits
7. Abu
Sa’id Al-Khudry (12 SH – 74 H) telah meriwayatkan sebanyak 1120 hadits
B. Pembagian
Thabaqat Menurut Ibnu Sa’ad
Para
ahli hadits berbeda pendapat tentang thabaqat-thabaqat sahabat.
Berikut ini hanya akan dikemukakan pembagian thabaqat-thabaqat tersebut
menurut pendapat Ibnu Sa’ad. Ia membagi thabaqat-thabaqat sahabat
menjadi lima thabaqat, yaitu:
1. Ahlu
Al-Badri, yaitu sahabat yang turut dalam perang Badar.
2. Sahabat
yang lebih dulu masuk Islam, yang kebanyakan hijrah ke Habsyi dan
menyaksikan peperangan Uhud dan sesudahnya
3. Sahabat
yang dapat menyaksikan perang Khandaq
4. Sahabat
yang masuk Islam pada masa Fathul Al-Makkah dan sesudahnya
5. Anak-anak
dan budak-budak yang dapat melihat Nabi SAW. setelah Fathu Al-Makkah dan
Haji Wada’.
IV. ABU HURAIRAH DAN TANGGAPAN PARA
PERIWAYAT HADITS
A. Riwayat
Hidup Abu Huruirah
Nama
Aslinya adalah Abdu Al-Rahman Ibnu Sakhr Al-Dausy Al-Tamimy. Para ahli
sejarah berbeda pendapat mengenai namanya. Abu Hurairah sendiri menerangkan ,
bahwa, bahwa dimasa jahiliyyah ia biasa dipanggil Abu Syams. Setelah
memeluk Islam, ia diberi nama oleh Nabi SAW. dengan nama Abdu Al-Rahman
atau Abdullah. Ia lahir pada tahun 21sebelum Hijrah (602 M). Menurut
Baqy bin Makhlad, seperti dikutip Al-Dausy, ia meriwayatkan 5374 hadits,
sedangkan menurut Al-Kirmany ia meriwayatkan 5364 Hadits. Dari jumlah
tersebut, 325 hadits disepakati Bukhary dan Muslim.
Tersebut
dalam Ash-Shahih, bahwa Abu Hurairah pernah berkata: “ Ya Rasulullah,
aku mendengar banyak hadits dari tuan, tetapi aku bnyak lupa.” Nabi SAW.
bersabda: “Hamparkan selimutmu!” Kemudian Nabi mengambil selimut itu dengan
tangannya, kemudian bersabda: “Berselimutlah!” Selanjutnya Abu Hurairah
berkata: “Maka akupun berselimut, setelah itu aku tidak pernah lupa sesuatu
yang aku dengar dari Nabi.”
Abu
Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi SAW, dan dari para sahabat,
antara lain dari Abu Bkakar, ‘Umar, Al-Fadl Ibnu Abbas Ibnu Abu Al-Muthalib,
Ubay bin Ka’ab, Usamah Ibn Zaid dan ‘Aisyah. Pada masa pemerintahan Umar bin
Khaththab, Abu Hurairah pernah menjadi gubernur di Bahrain, tetapi tidak lama
kemudian, kurang lebih hanya dua tahun menjabat, ia diberhentikan. Ketika
terjadi perselisihan antara kelompok Ali bin Abu Thalib dan Kelompok Muawiyah
ia memilih sikap netral. Abu Hurairah meninggal pada tahun 59 H (679 M).
B. Tanggapan
terhadap Abu Hurairah
Ibnu
Qutaibah mengatakan bahwa Abu Hurairah tinggal bersama Nabi dan meriwayatkan hadits,
serta hidup 50 tahun setelah wafatnya Nabi SAW. Ia banyak meriwayatkan hadits
yang tidak pernah didengar dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabat terkemuka atau
generasi paling awal. Al-Syafi’i mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah orang
yang paling banyak menghafal hadits di masanya. Hadits-haditnya
banyak diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi’in. Para sahabat yang
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah antara lain; Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Anas bin Malik,Watsilah Ibnu Al-Asqa, Jabir Ibnu ‘Abdullah Al-Anshary.
Dari kalangan tabi’in antara lain; Marwan Ibnu Al-Hakam, Sa’id Ibnu Al-Musayyab,
‘Urwah Ibnu Al-Zubair, Muhammad Ibnu Sirrin, Sulaiman Ibnu Yasr, ‘Abdullah Ibnu
Syaqiq, dan lain-lain. Para rawi yang menerima hadits dari Abu
Hurairah tidak kurang dari 800 orang.
Ada
beberapa ulama, seperti Abu Rayyah dan Ahmad Amin memberikan penilaian negatif
tentang Abu Hurairah. Abu Hanifah dan para pegikutnya juga tidak memakai hadits-hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah. Sekalipun demikian, lebih banyak dari kalangan
ulama hadits yang membela ke-tsiqah-annya.
Pernyataan
Nabi SAW. bahwa semua sahabat adalah hadits, mengisyaratkan bahwa para
sahabat Nabi SAW. tidak mungkin akan akan mengadakan kebohongan atas nama
beliau. Hal ini menunjukkan ke-tsiqah-an para sahabat dalam periwayatan hadits.
Dengan memperhatikan kriteria sahabat sebagaimana telah dirumuskan para ulama,
dan dengan pernyaataan Rasulullah SAW. tersebut, maka dugaan dan anggapan
negatif beberapa ahli hadits terhadap Abu Hurairah menjadi gugur dengan
sendirinya. Hal demikian karena Nabi SAW. sendiri yang telah memberikan jaminan
atas ke-tsiqah-an para sahabatnya.
V. PENYELESAIAN
HADITS YANG TAMPAK BERTENTANGAN
A. Al-Jam’u
wa Al-Taufiq
Jika
terdapat hadits-hadits Nabi SAW yang tampak bertentangan, jalan pertama
yang ditempuh untuk menyelesaikannya adalah mengkompromikan hadits-hadits
yang tampak bertentangan tersebut. Jika hadits-hadits yang tampak
bertentangan tersebut dapat dikompromikan, maka kesemuanya dapat diamalkan.
Cara-cara
men-jama’ dan men-taufiq-kan hadits yang tampak
berlawanan:
1. Men-ta’wil-kan
salah satu hadits sehingga tidak berlawanan dengan yang lain.
Contoh:
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال؛ لا
عدوى و لا طيرة و لا هامة و لا صفر (متفق عليه)
Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada
penularan, ramalan jelek, penyusupan roh (reinkarnasi roh orang yang meninggal
kepada burung hantu), dan tidak ada bencana bulan Safar.”
(Mutafaqun ‘alaih)
Salah satu isi dari hadits tersebut adalah,
tidak ada penularan penyakit (لا عدوى ) dari seseorang kepada orang lain. Hal
tersebut tampak betrentangan dengan sabda Rasulullah SAW. berikut:
فرّ من المجذوم كما تفرّ منالأسد (متفق عليه)
“Larilah dari orang sakit lepra sebagaiman kamu lari
dari singa” (Mutafaqun ‘alaih)
Untuk men-jama’ dan
men-taufiq-kan
ditempuh dengan cara men-ta’wil-kan
لا عدوى
(tidak ada penularan) sebagai berikut: Penyakit itu tidak dapat menular dengan
sendirinya, secara hakiki yang menularkan adalah Allah dengan sebab percampuran
antara orang yang berpenyakit menular dengan orang yang sehat melalui media
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
2. Salah
satu hadits dijadikan takhshish terhadap hadits yang lain.
Contoh:
Dari
Ibnu Umar ra., ia menceritakan:
سئل رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن الماء فى الفلاة و ما ينوبه من
الدّواب و السّباع، فقال رسول الله صلّى الله عليه سلّم؛ إذا كان الماء قلّتين لم
يحمل الخبث (رواه اصحاب السّنن)
Nabi
SAW. ditanya tentang air yang berada di tanah lapang dan yang silih silih
berganti dimanfaatkan oleh binatang ternak dan binatang buas. Maka Rasulullah
SAW. menjawab: “ Bila air telah mencapai dua kullah, maka tidak mengandung
najis.” (HR. Ash-habu Al-Sunan).
Dalalah
hadits Ibnu Umar ra. tersebut di atas menunjukkan kesucian air yang
sebanyak dua kullah secara mutlak, baik berubah bau, warna, dan rasanya atau
tidak.
Hadits
Ibnu Umar tersebut nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas’ud ra.
yang mengatakan:
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم؛ خلق الله الماء طهورا لا ينجّسه شيء
إلّا ما غيّر طعمه أو لونه أو ريحه (اخرجه الثّلاثة)
Rasulullah SAW. bersabda: “Allah telah
menjadikan air itu suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya, kecuali najis
telah merubah rasanya, atau warnanya, atau baunya. (HR. Tiga ahli hadits)
Cara
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua hadits tersebut ialah dengan men-takhshish-kan
hadits yang pertama dengan hadits yang kedua sebagai berikut:
Keumuman hadits pertama yang
menyatakan bahwa setiap air yang mencapai jumlah dua kullah adalah suci dan
mensucikan di-takhshish oleh hadits yang kedua. Hasilnya ialah, sekalipun jumlah air telah
mencapai dua kullah, ia dapat menjadi najis dan tidak mensucikan jika berubah
rasa, warna, atau baunya karena najis.
B. Al-Tarjih.
Jika
hadits-hadits Nabi SAW. yang tampak bertentangan tidak dapat
dikompromikan, maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah mencari segi-segi
kelemahan hadits, baik dari jalan rawi (sanad) ataupun matan-nya,
kemudian meninggalkan hadits yang dianggap lemah dan berpegang kepada hadits
yang shahih atau hadits yang kualitasnya lebih tinggi.
Syarat-syarat
mentarjih ada dua macam, yaitu:
1. Adanya
persamaan hadits-hadits tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan
dalilnya).
2. Adanya
kesamaan dalam kekuatannya.
Jalan
yang ditempuh untuk men-tarjih ada dua macam, yaitu:
1. Dengan
meneliti keadaan sanadnya (i’tibaru al-sanad) dapat berupa:
a. Mendahulukan
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah dari
pada rawi yang kurang tsiqah.
b.
Mendahulukan periwayatan orang yang
menerima hadits secara langsung daripada orang yang menerimanya secara
tidak langsung.
c. Mendahulukan periwayatan orang yang lebih
banyak bergaul dengan Nabi SAW. daripada yang kurang bergaul dengan beliau.
d. Mendahulukan periwayatan orang yang masih
kuat hafalannya daripada orang yang sudah rusak hafalannya lantaran lanjut
usia.
e. Mendahulukan periwayatan sahabat besar
daripada sahabat kecil.
f. Mendahulukan hadits yang di-takhrij-kan
Bukhari dan Muslim daripada yang selainnya.
g. Mendahulukan hadits yang lebih banyak
diriwayatkan orang.
Contoh
1:
Dari
Abdullah bin Mughaffal, ia mengatakan:
سمعني أبى وأنا أقول بسم الله الرّحمن الرّحيم فقال؛ يا بنيّ إيّاك
والحدث، ولم أر من أصحاب رسول الله صلّى
الله عليه وسلّم رجلا كان أبغض إليه حدثا فى الإسلام منه، فإنّى صلّيت مع رسول
الله صلّى الله عليه وسلّم و مع أبى بكر و مع عمر و مع عثمان فلم أسمع أحدا منهم
يقولها، فلا تقلها إذا أنت قرأت فقل الحمد لله ربّ العالمين (رواه الخمسة إلّا أبا
داود)
“Ayahku
mendengar waktu aku membaca bismillaahirrahmaanirrahiim, maka ia menegur; “Hai
anakku, hati-hatilah terhadap hal yang baru (diada-adakan), Aku tidak
mengetahui salah seorangpun dari para sahabat Rasulullah SAW. yang sangat benci
kepada hal yang baru (bid’ah) dalam Islam daripada ini. Bahwasanya aku shalat
bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra, aku tidak mendengar
seorangpun dari mereka membacanya (membaca basmalah). Oleh karena itu janganlah
engkau membacanya, jika engkau membaca
(Al-Fatihah) bacalah Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.” (HR. Lima ahli hadits
kecuali Abu Dawud)
Hadits
tersebut berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Nu’aim
Al-Mujammir (Abu Abdillah), budak Umar bin Khaththab ra. Katanya:
صلّيت خلف أبى هريرة قرأ بسم الله الرّحمن الرّحيم قبل أمّ القرآن وقبل
السّورة و كبّر فى الخفض و الرّفعو قال؛ أنا أشبهكم بصلاة رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم (رواه النسائى وابن ماجه)
“Aku
shalat di belakang Abu Hurairah ra. Kemudian ia membaca
bismillahirrahmaanirrahiim sebelum memba Al-Fatihah dan surat Al-Qur’an yang
lain. Ia membaca takbir sewaktu membungkuk (hendak ruku’ dan sujud) dan sewaktu
bediri tegak (dari ruku’ dan sujud). Dan ia berkata: “Aku adalah orang yang
paling mirip shalatku dengan shalatnya Rasulullah SAW. di antara kamu
sekalian.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Muhadditsin
mengkritik Abullah bin Mughafal sebagai rawi yang tidak dikenal
identitasnya (jahalatu al-hal). Sedang hadits yang di-takhrij-kan
oleh An-Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang tsiqah, dan banyak mempunyai syahid. Oleh karena itu yang di-rajih-kan
adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini.
Contoh
2:
Tentang
perkawinan Rasulullah SAW. dengan Maimunah, Ibnu Abbas mengatakan:
إنّه صلّى الله عليه وسلّم تزوّج ميمونة بنت الحارث وهو محرم
“Bahwasanya
Rasulullah SAW. mengawini Maimunah binti Al-Harits sewaktu beliau sedang
menjalankan ihram.”
Isi
hadits tersebut di atas bertentangan dengan hadits Abu Rafi’ yang
mengabarkan:
إنّه صلّ الله عليه وسلّم تزوّجها وهو حلال
“Bahwasanya
Rasulullah SAW. mengawininya (Maimunah binti Al-Harits) pada waktu beliau sudah
bertahallul.”
Pada
waktu terjadinya peristiwa tersebut, Abu Rafi’ ikut Bersama-sama Rasulullah
SAW, sedangkan Ibnu Abbas tidak ikut
bersama beliau. Dengan demikian hadits yang di-rajih-kan adalah hadits
Abu Rafi’.
Contoh 3:
Dari
‘Aisyah ra. ia berkata:
إذا جاوز الختان الختان فقد وجب الغسل، فعلته أنا و رسول الله صلّ الله
عليه وسلّم فاغتسلنا (رواه التّرمذى)
“Jika
alat kelamin melampaui kelamin ang lain, maka wajib mandi (bagi yang
bersangkutan). Aku dan Rasulullah SAW. melakukan hal itu dan terus mandi.” (HR. At-Turmudzi).
Hadits
tersebut di atas berlawanan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, ia
mengatakan:
إنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال؛ الماء من الماء وكان أبو سلمة
يفعل ذلك (رواه أبو داود)
“Mandi
itu wajib lantaran mengeluarkan air (mani) dan konon Abu salamah mengerjakan
hal itu.” (HR. Abu Dawud).
‘Aisyah
ra. tentu lebih banyak bergaul dengan Rasulullah SAW, daripada Abu Sa’id
Al-Khudri karena ‘Aisyah ra. adalah isteri beliau SAW. Lebih dari itu, masalah
yang dikemukakan adalah masalah yang berhubungan langsung dengan dirinya
(‘Aisyah ra). Oleh karena itu hadits
yang di-rajih-kan adalah hadits ‘Aisyah ra.
Contoh:
4
عن عائشة رضى الله عنها قالت، انّ النّبي صلّى الله عليه وسلّم كان يصبح
جنبا من جماع ثمّ يغتسل و يصوم (متفق عليه)
“Dari
‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi SAW. pada suatu pagi junub karena bersetubuh,
kemudian beliau mandi terus berpuasa.” (Mutafaqun ‘alaih).
Hadits
tersebut tampak bertentangan dengan hadits berikut ini:
عن أبى هريرة
رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم؛ إذا ندى لالصّلاة صلاة صبح
واحدكم جنب فلا يصمّ يومه (رواه أحمد و إبن حبّان)
Dari
Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila diserukan pangilan untuk
shalat shubuh dan salah seorang dari kamu junub, maka ia jangan berpuasa pada siang
harinya.” (HR. Amad dan Ibnu Hibban).
Karena
hadits yang dari ‘Aisyah di-takhrij Imam Bukhari dan Muslim,
sedang hadits dari Abu Hurairah di-takhrij oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Hibban, maka sesuai dengan ketentuan, yang dianggap rajih adalah Hadits Mutafaqun
‘Alaih itu.
2. Dengan
meneliti keadaan matannya.
Tarjih
dari segi matan itu antara lain, men-tarjih hadits yang lebih jelas atau
kuat dalalah-nya daripada yang kurang kuat. Dari segi jelasnya dalalah,
misalnya mendahulukan lafadz haqiqat daripada lafadz majaz, lafadz
sharih dari pada lafadz kinayah, lafadz muhkam daripada lafadz
mufassar, lafadz mufassar daripada lafadz nash, lafadz nash daripada lafadz zhahir, lafadz zhahir
daripada lafadz khafi, dan lafadz khafi daripada lafadz
musykil. Adapun dari segi kuatnya dalalah ialah, mendahulukan dalalah
‘ibarat daripada dalalah isyarat, dalalah isyarat daripada dalalatu
al-dalalah, dan dalalatu al-dalalah daripada dalalatu al-iqtidha.
C. Al-Naskhu.
Jika
hadits-hadits Nabi SAW. yang tampak bertentangan tidak dapat
diselesaikan dengan cara Al-Jam’u wa al-taufiq, dan tidak dapat pula
diselesaikan dengan cara Al-Tarjih, maka langkah selanjutnya adalah
mencari tahu mana yang di-wurudkan lebih dulu dan mana yang di-wurudkan
kemudian. Setelah diketahui mana yang di-wurudkan kemudian, maka hadits
itulah yang selanjutnya dijadikan pegangan (diamalkan), sedangkan hadits
yang di-wurudkan lebih dulu ditinggalkan atau tidak diamalkan. Hadits
yang lebih dulu di-wurudkan disebut mansukh, dan yang di-wurudkan
kemudian (terkhir) disebut Nasikh.
Cara-cara
mengetahui nasikh dan mansukh adalah;
1. Ada
hadits yang menunjukkan bahwa salah satunya menjdi nasikh bagi
yang lain.
2. Adanya
lafadz yang menunjukkan sebagai nasikh terhadap yang terdahulu.
3. Adanya
hadits-hadits yang tampak bertentangan dan tidak dapat dikompromikan,
dan tidak dapat pula ditarjih karaena sama-sama kuat.
4. Adanya
hadits-hadits yang tampak bertentangan,
tetapi dapat diketahui hadits mana yang di-wurudkan
terdahulu dan yang terkemudian.
Contoh:
عن أبي هرية رضى الله عنه قال؛ إنّ النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم قال؛ من
أفضى بيده إلى ذكره ليس دونه ستر فقد وجب عليه الوضوء (رواه أحمد)
Dari Abu
Hurairah ra berkata, Bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “Barang siapa mempertemukan
tangannya ke dzakarnya dengan tanpa penutup, maka ia wajib berwudhu.” (HR.
Ahmad).
Hadits
Abu Hurairah tersebut menjadi nasikh bagi hadits Thalq bin ‘Ali,
dia bertanya kepada Rasulullah SAW:
الرّجل يمسّ ذكره أعليه وضوء؟ فقال صلّى الله عليه و سلّم؛ إنّما هو بضعة
منك (رواه اصحاب السّنن)
“Seorang
laki-laki menyentuh dzakarnya, apakah ia wajib berwudhu?” Nabi SAW menjawab:
“Dzakar itu adalah sepotong daging dari kamu.” (HR. Ashabu Al-Sunan).
Hadits Thalq bin ‘Ali diterima dari
Nabi pada awal Hijrah, ketika beliau sedang membangun masjid, sedang hadits
Abu Hurairah diterima sesudah itu lantaran lebih akhir masuknya Islam. Karena
itu hadits Abu Hurairah menjadi nasikh bagi hadits Thalq bin ‘Ali.
Dengan demikian hadits Thalq bin Ali menjadi mansukh.
VI. PERIWAYATAN BI AL-LAFDZI DAN PERIWYATAN
BI AL-MA’NA
A. Cara-cara
Sahabat Meriwayatkan Hadits
Para
sahabat menyampaikan atau meriwayatkan hadits Nabi SAW. kepada sahabat yang
lain atau kepada tabi’in melalui dua cara, yaitu:
1. Periwayatan
bi al-lafdzy, yaitu periwayatan atau penyampaian hadits yang isi
maupun redaksinya sama persis dengan apa yang dituturkan (disabdakan) oleh Nabi
SAW. Sudah barang tentu hal ini hanya berlaku untuk hadits-hadits qauly,
sedangkan hadits-hadits fi’ly maupun taqriry, karena sifatnya
tidak dapat disampaikan secara lafdzy.
2. Periwayatan
bi al-ma’na, yaitu periwayatan atau penyampaian hadits dengan
mengemukakan maknanya saja, sedangkan lafadz-lafadz atau redaksinya,
disusun sendiri oleh para sahabat. Dengan kata lain, isi atau makna hadits
dari Nabi SAW, sedangkan redaksi dari para sahabat.
B. Pendapat
Para sahabat dan Tabi’in.
Di
kalangan para sahabat Nabi SAW. terdapat dua pendapat tentang boleh atau
tidaknya periwayatan bi al-ma’na. Golongan yang membolehkan periwayatan bi
al-ma’na antara lain; Ali bin Abu Thalib, Abdullah din Abbas, Abdullah bin
Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah binti Abu Bakar. Adapun para
sahabat yang tidak membolehkan periwayatan bi al-ma’na (berpegang pada
periwayatan bi al-lafdzy saja) antara lain; Umar bin Khaththab, Abdullah
bin Umar, dan Zaid bin Arqam. Walaupun demikian, mereka yang berpegang kepada
periwayatan bi al-lafdzy tidak memberikan penolakan secara tegas
terhadap periwayatan bi al-ma’na.
Sebagian
ulama dan tabi’in berpendapat, tidak boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na kecuali para sahabat. Mereka
yang menolak periwayatan bi al-ma’na antara lain; Abu bakar Ibnu
Al-Arabi, Muhammad Ibnu Sirin, Raja’ bin Haiwah, Qasim bin Muhammad, Sa’lab bin
Nahwy, dan Abu Bkar Al-Razy. Kebanyakan dari tabi’in dan ulama hadits
membolehkan periwayatan bi al-ma’na dengan syarat-syarat tertentu. Di
antara syarat-syarat yang telah di sepakati adalah:
1. Yang
boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na hanyalah mereka yang benar-benar
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian periwayatan hadits
akan terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.
2. Periwayatan
hadits bi al-ma’na boleh dilakukan bila dalam keadaan benar-benar
terpaksa, misalnya karena lupa susunan kata-katanya tetapi ingat betul
maknanya.
3. Hadits
yang diriwayatkan bukanlah hadits dalam bentuk bacaan yang bersifat ta’abbudy,
misalnya dzikir, adzan, do’a, dan sebagainya.
4. Periwayat
agar menambahkan kata-kata “aw kama qaala” atau “aw kama haadza”,
atau kata lain yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadits
yang diriwayatkan.
VII. PROSES TERJADINYA HADITS DAN
PENYAMPAIANNYA
A. Proses
Terjadinya Hadits
Hadits ada yang berbentuk sabda, perbuatan, taqrir,dan
hal ihwal Rasulullah SAW. Hadits-hadits
tersebut disampaikan dengan berbagai cara dalam berbagai peristiwa, yakni:
1.
Pada majelis-majelis Rasulullah
Rasulullah
SAW. secara khusus dan teratur mengadakan mengadakan majelis-majelis untuk
kegiatan pengajaran Islam. Pada majelis-majelis itu para sahabat menerima hadits
yang disampaikan oleh beliau, kemudian setelah selesai pengajian, para sahabat
terus mengulangi, mempelajari dan menghafalnya.
2. Pada
peristiwa yang dialami, kemudian beliau SAW. menerangkan hukumnya.
Adakalanya
Rasulullah SAW. menyaksikan atau mengalami suatu peristiwa, kemudian beliau
menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa tersebut.
3. Pada
peristiwa yang dialami kaum muslimin, kemudian sahabat menanyakan.
Adakalanya
para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dirinya, atau
menyaksikan suatu peristiwa yang dialami orang lain. Selanjutnya sahabat
menanyakan peristiwa tersebut kepada beliau SAW. Kemudian beliau menjelaskan
dan memberi fatwa berkenaan dengan peristiwa tersebut.
4. Pada
peristiwa yang dialami Nabi SAW. dan sahabat menyaksikannya.
Banyak
sekali peristiwa yang dilakukan atau yang berhubungan langsung dengan
Rasulullah SAW, yang disaksikan secara langsung oleh para sahabat. Misalnya
hal-hal yang berhubungan dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Ini semua merupakan hadits Rasulullah yang sangat berharga, yang
kemudian oleh para sahabat disampaikan kepada yang lain, yang tidak turut
menyaksikan peristiwa tersebut, baik kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in.
B. Penyampaian
Hadits dari Masa ke Masa
Periwayatan hadis adalah proses penerimaan (naql wa tahammul) hadits oleh
seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati,
diamalkan (dhabith), ditulis, di-tadwin
(tahrir) dan disampaikan kepada orang
lain sebagai murid (ada’) dengan
menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Hadits
yang bersumber dari Nabi saw yang disebut Shahih al-Riwayat, diwurudkan
kepada sahabat sebagai rawi pertama (thabaqat
pertama), kemudian kepada thabaqat tabi’in, tabi’u al-tabi’in dan
seterusnya, akhirnya ditadwinkan oleh mudawwin
sebagai rawi terakhir pada diwan/kitab hadits.
Kemudian
hadits terhimpun pada kitab mushannaf hasil tadwin pada
masa pertama di awal abad I Hijriyah, pada kitab musnad hasil tadwin
kualifikasi di akhir abad II Hijriyah, pada kitab sunan dan shahih
hasil tadwin diseleksi pada akhir abad III Hijriyah. Esensi periwayatan
adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir dan ada’ al-hadis, atau
disingkat tahammul wa al-ada’. Sistem
periwayatan sering disebut kaifiyah
tahammul wa al-ada’, suatu thariqah
atau cara penerimaan dan penyampaian hadis.
Terdapat
delapan macam kaifiyah tahammul wa
al-ada’ sebagai berikut:
1. Al-Sima’, yakni periwayat mendengar
sendiri hadits dari perkataan gurunya baik secara dekte atau bukan, baik
dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab,
asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia
sampaikan kepada orang lain. Ini adalah cara yang paling meyakinkan tentang
terjadinya pengungkapan riwayat hadits. Lafadz yang digunakan
dalam menyampaikan hadits atas dasar sama’ adalah: “haddatsana” atau “sami’na.”
2. Al-Qira’ah, yakni murid membaca hadits
dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang
meriwayatkannya. Lafadz yang digunakan adalah: “qara’tu ‘alaihi” (saya telah membacakan dihadapannya), atau “haddatsana qira’atan ‘alaihi” (telah
menceritakan kepadaku secara pembacaan dihadapannya).
3.
Al-Ijazah, yaitu pemberian izin dari
seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari
kitab-kitabnya. Lafadz-nya misalnya adalah:”Jaztu laka riwayatah al-kitab al-fulan ‘anniy”(aku meng-ijazah-kan
kepadamu untuk meriwayatkan si fulan dariku). Adapun proses ijazah
dilakukan melalui cara-cara saebagai berikut:
a. Khusus untuk khusus
b. Umum untuk khusus
c.
Khusus untuk umum
d.
Umum untuk umum
e. Yang
belum ada mengikuti yang ada
4.
Al-Munawalah, yaitu seorang guru
memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksinya untuk diriwayatkan. Lafadz-nya misalnya:” Hadza sima’iy au min riwayatiy ‘an fulan farwihi”(ini adalah
pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah).
5.
Al-Mukatabah, yaitu seorang guru yang
menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits
kepada orang ditempat lain yang ada dihadapannya. Lafadz-nya misalnya:”haddatsaniy fulan kitabah”(seseorang
telah bercerita kepadaku melalui tulisan).
6.
Al-I’lam, yaitu pemberitahuan guru
kepada muridnya bahwa yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang
diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid
meriwayatkannya. Lafadz-nya:”I’lamaniy
fulan qaala haddatsana”(seseorang telah memberitahukan kepadaku, ia
berkata:telah berkata kepadaku).
7.
Al-Wasyiyah, yaitu pesan seseorang
dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisan supaya
diriwayatkan. Lafadz-nya:”Ausha
ilayya fulan bikitaabin qaala fiihi haddatsana ilaa akhirihi”(seseorang
telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu;
fulan telah bercerita kepadaku hingga akhirnya).
8. Al-Wijadah, yaitu
memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,
qara’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits atau pemilik tulisan
tersebut. Lafadz-nya misalnya:”qara’tu
bi khath fulan”(saya telah membaca khat seseorang).
Sesuai dengan penjelasan para ulama untuk
tiga cara yang disebutkan terakhir haruslah disertai dengan ijazah.
Malalui
cara-cara sebagaimana tersebut di atas, hadits Rasulullah SAW.
diriwayatkan atau disampaikan dari masa ke masa, dari generasi ke generasi,
hingga akhirnya sampai kepada kita.
VIII. ORIENTALIS
DAN OKSIDENTALIS
Orientalis
adalah orang-orang Barat atau orang-orang selain muslim yang mempelajarai Islam
dalam segala aspeknya dengan tujuan
melumpuhkan atau menghancurkan Islam, dalam rangka melancarkan kepentingan
kolonialisme dan hegemoni mereka terhadap masyarakat Islam dalam berbagai aspek
kehidupan, atau untuk kepentingan ilmiah semata-mata. Dengan demikiian, dilihat
dari tujuannya orientalisme dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu;
1 Orientalisme
dengan tujuan menghancurkan umat Islam. Dari mereka ini, lahirlah karya-karya
ilmiah tentang Islam dan seluk-beluknya, namun di dalamnya diwarnai dengan
kecurangan-kecurangan dan ketidakjujuran (tidak obyektif) dalam mengungkapkan
fakta-fakta, sesuai dengan tujuan yang hendak mereka capai.
2. Orientalisme
dengan tujuan ilmiah semata-mata. Golongan ini, melahirkan karya-karya ilmiah
yang dapat dikatakan obyektif, jujur, bebas dari kecurangan-kecurangan, dan
mengungkapkan fakta apa adanya, semata-mata untuk kepentingan ilmiah.
Gerakan
para orientalis ini dilancarkan dalam berbagai aspek ajaran dan
kehidupan ummat Islam, untuk selanjutnya di wujudkan dalam bentuk karya-karya
ilmiah di bidang kajian dan pemikiran Islam. Misalnya saja, mereka mengkaji dan
mempermasalahkan tentang keotentikan Al-Qur’an, mengkaji hadits Nabi
SAW. dalam berbagai aspeknya, teologi Islam, fiqih atau hukum-hukum Islam,
sufisme, dan sebagainya.
Para
orientalis yang yang telah menghasilkan karya-karya ilmiah yang
berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, antara lain:
1. Juynboll.
Dalam karyanya Muslim Tradition, ia mengkritisi metode kritik sanad
yang telah dipergunakan para ulama dalam meneliti keaslian hadits Nabi.
Juynboll beranggapan bahwa metode kritik sanad yang dipergunakan para
ulama untuk meneliti keaslian hadits Rasulullah SAW. tersebut mengandung
banyak kelemahan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa klaim ke-shahih-an hadits
tidak dapat diterima dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Joseph
Schacht. Dengan karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph
Schacat menganggap semua hadits adalah palsu. Dia mengemukakan alasan
ketiadaan bukti yang dapat menguatkan bahwa hadits tersebut berasal dari
Nabi, misalnya catatan, tulisan, atau
pernyataan tertulis dari beliau SAW.
3. Harold
Motzki. Karyanya, The Musannaf of Abd Razaq. Motzki membantah pendapat
Joseph Schacht yang menyatakan bahwa semua hadits adalah palsu. Ia
membalik tesis Joseph Schacht melalui pembuktian bahwa semua hadits adalah
shahih kecuali telah dapat dibuktikan bahwa hadits tersebut adalah
palsu.
4. Noel
J. Coulson. Menurutnya ada hadits yang betul-betul berasal dari Nabi. Hadits
menggambarkan situasi kultural pada masa Nabi SAW. dan ia beranggapan bahwa
keontentikan hadits Nabi dapat dipercaya. Coulson juga membuktikan
kesalahan tesis Schacht yang mengatakan bahwa hukum Islam itu baru muncul pada
awal abad kedua hijriyah. Ia mengatakan bahwa adanya ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an merupakan bukti yang paling kongrit akan hal itu. Karya-karyanya
sangat banyak, antara lain; The Islamic Legal Tradition, Conflicts and
Tentions in Islamic Jurisprodence, Doctrine and Practce in Islamic Law, A
History of Islamic Law, The Encyclopedia
of Islam, One Aspect of the Problem, dan lain-lain.
Kecuali
yang telah disebutkan, masih banyak lagi deretan nama-nama orientalis, seperti;
J.N.D. Anderson, Ignaz Goldziher, Michael Cook, Patricia Crone, J. Koren, Y.D.
Nevo dan lain-lain. Mereka itu telah meneliti Islam dalam berbagai aspeknya dan
menghasilkan karya-karya yang telah tersebar ke berbagai negera di dunia.
Adapun
oksidentalisme, adalah sebaliknya dari orientalisme, yaitu
pengkajian tradisi Barat, yang dilakukan oleh peneliti non Barat atau para
ilmuwan muslim, dengan tujuan untuk membebaskan revolusi modern dari
kesalahan-kesalahan, menyempurnakan kemerdekaan, serta beralih dari kemerdekaan
militer menuju kemerdekaan ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemerdekaan
peradaban bagi umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar