A. PENDAHULUAN
Perjalanan Sejarah Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia seiring dengan masuknya Islam ke bumi Nusantara yang
ditransmisikan melalui jaringan ulama’ Timur Tengah dan Nusantara pada abad
ke-17 yang tercipta secara ekstensif melalui tradisi keilmuan.[1]
Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat
dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan pendidikan seperti madrasah, ribath bahkan rumah guru. Dilandasi hal
ini, maka lembaga pendidikan Islam di
Indonesia pada masa awal mensinergikan antara corak indigenous keindonesiaan (dengan tradisi Hindu dan Budha) dengan nuansa
Timur Tengah, seperti berdirinya surau, langgar, musholla, masjid dan pesantren[2]
yang kemudian mengalami modernisasi seperti madrasah dan perguruan Tinggi. Meskipun
sebagaian ahli dan sejarawan Islam berasumsi bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7
Masehi[3]
dan dapat tersebar serta berkembang pada
abad ke-15 yang kemudian secara resmi dianut oleh mayoritas rakyat dan penguasa
pada abad ke-16, bukan berarti lembaga pendidikan Islam sudah tersistem pada
masa-masa itu. Masih menguatnya sistem ajaran Hindu dan Budha yang menjadi
kendala tersendiri bagi perkembangan pendidikan agama Islam, menjadikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa awal masih banyak mengadopsi sistem
Hindu. Surau dan Pondok Pesantren awalnya meupakan tempat belajar dengan sistem
Hindu, namun dalam perkembangan selanjutnya diislamisasi sesuia dengan lembaga
pendidikan Islam. Hingga akhirnya pada awal
abad 19 oleh para sejarawan barulah disiyalir sebagai awal perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia. Abad ini dianggap demikian sebab saat itu merupakan babak
baru kondisi pendidikan Islam di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangannya
begitu pesat, serta pengelolaan juga terorganisir secara rapi. Kondisi ini
disebabkan masuknya pemikiran pembaruan dari Timur Tengah serta sudah adanya kompetisi dengan
pendidikan modern oleh pemerintah Belanda.[4]
Kedatangan Islam di
Nusantara memang hampir bersamaan dengan, atau segera disusul oleh kedatangan
kaum kolonialis Eropa.[5]
Penjajahan Belanda yang berlangsung kurang lebih tiga setengah abad tersebut,
kemudian menghalangi gerak dakwah para ulama’ dan kyai yang datang dari Timur
Tengah. Sebagai contoh dari bentuk penghalangan Belanda terhadap gerak dakwah
para ulama’ dan kyai Timur Tengah tersebut adalah adanya perlakuan
diskriminatif yang diwujudkan dalam
bentuk Kebijakan dengan mewajibkan para
kyai dan ulama yang akan melakukan pengajaran atau pengajian agar izin dahulu
terhadap Belanda, padahal tidak semua ulama atau kiyai juga diberi izin untuk
mengajar. Tindakan diskriminatif lainnya juga bahwa kolonial Belanda
mempersulit perjalanan ke luar negeri untuk melakukan ibadah haji. Perizinan
untuk melakukan perjalanan dari satu provinsi ke provinsi lain untuk pelaksanaan
penyebaran agama Islam juga sangat dibatasi. Atas keadaan inilah, maka keadaan
pendidikan Islam di Indonesia sangat terhambat dengan kualitas sangat
memprihatinkan. Transmisi keilmuan dan interaksi intelektualitas dengan
negeri-negeri Muslim juga terhenti, sampai ketika Belanda berusaha membuat
lembaga pendidikan yang bercorak Barat, umat Islam tidak mau ketinggalan dengan
memperkuat lagi peran pesantren yang lebih berupa padepokan dengan penekanan
aktifitas pada kegiatan tarekat. [6]
Dalam sistem
stratifikasi sosial kolonial yang paling tidak diuntungkan dalam sistem
pendidikan colonial adalah mereka yang diidentifikasi oleh Clifford Geertz
sebagai golongan santri. Di bawah pimpinan para ulama’, golongan santri yang juga disebut sebagai kelompok sosial
yang paling banyak melahirkan wirausahawan pribumi itu merupakan golongan yang
dalam hal pendidikan modern termasuk paling rendah.[7]
Ketika pemerintah Belanda ingin menyertakan rakyat Hindia Belanda dalam
peradaban modern dengan mengenalkan pendidikan modern (Belanda, Barat,
Sekuler), para ulama’ mengimbanginya dengan mengembangkan dan mendirikan lebih
banyak pesantren-pesantren. [8]
B. Lembaga
Pendidikan Islam Tradisional: Dari Nggon
Ngaji sampai Pesantren
Pada awal abad ke-19, sistem
pendidikan di Indonesia masih bersifat tradisional dan hanya dikenal satu jenis
pendidikan yang disebut dengan “lembaga pengajaran asli” atau sekolah agama
Islam yang berbentuk masjid, langgar, surau dan pesantren. Pendidikan dasar
disebut nggon ngaji, sementara
pendidikan lanjutannya adalah pondok pesantren yang keduanya tidak terdapat
keterkaitan secara formal.[9]
Sistem pendidikan ini menitikberatkan pada pembelajaran baca al-Qur’an,
pelaksanaan sholat dan pengetahuan-pengetahuan yang terkait degan pokok-pokok ajaran
agama. Nggon Ngaji ini tidak
terlembaga secara baik. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Indonesia
merdeka dan disusul dengan berdirinya Depaetemen Agama, lembaga-lembaga non
formal tersebut mulai disempurnakan kurikulumnya, sistem pendidikan sehingga
memunculkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah diniyah.[10]
Selain nggon ngaji yang mayoritas terdapat di
Jawa, di Sumatra juga dikenal lembaga pendidikan Islam yang disebut Surau.
Sebelum datangnya Islam, di Minangkabau telah ada surau yang fungsinya bukan
seperti sekarang yang telah mengalami Islamisasi, melainkan sebagai tempat menyembah arwah nenek moyang.
Menurut para ahli sejarah, Surau yang ada di Sumatra Barat ini pertama kali
berdiri pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan bukit
Gombak.Kerajaan Adityawarman adalah kerajaan yang memiliki latar belakang
Hindu-Budha.[11] Hal ini
menjadi jelas bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam pada awalnya adalah sebuah
lembaga dengan tradisi non Islam yang dalam perkembangannya mengalami
Islamisasi karena dirasa ada kemiripan dalam proses pembelajaran.
Bukan hanya Surau,
Istilah Pesantren yang dalam perkembangan merupakan lembaga pendidikan Islam,
adalah diambil dari kata santri, dengan imbuhan pe+an yang berarti tempat
tinggal santri. Oleh C.C Berg, kata santri ini
dianggap kata turunan dari istilah shastri
bahasa India yang berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu. Bahkan menurut
de Graff dan Pigeaud, pesantrem merupakan kelanjutan dari lembaga sejenis zaman
pra-Islam di Indonesia yang disebut dengan mandala dan ashrama. Kedua lembaga
ini adalah sebagai tempat pertapaan-pertapaan yang meskipun secara kelembagaan
telah mengalami transformasi ke dalam bentuk pesantren, namun raktek-praktek
pertapaan pra-Islam ini masih tetap dipertahankan.[12]
Proses belajar mengajar
yang diajarkan di surau adalah pengajan al-Qur’an, ibadah, keimanan dan akhlaq.
Pengajaran al-Qur’an diajarkan secara tradisional melaui metode bagdadiah yaitu dengan mengurutkan huruf-hijaiyah.
Ibadah diajarkan secara praktis. Materi tentang Iman diajarkan melalui
nyanyian, sementara akhlaq diajarkan melalui cerita.
Pada abad ke-20, Sistem
pendidikan Surau mengalami degradasi dan kemudian berkembang menjadi pesantren.
Pendidikan Pesantren adalah salah satu tradisi luhur dalam pendidikan dan
pengajaran di Indonesia yang oleh para sejarawan terdapat perbedaan pendapat
mengenai asal-usul pesantren. Sebagian beranggapan bahwa pesantren adalah
tradisi pendidikan pra-Islam, sedang yang lain berpandangan bahwa pesantren
adalah murni tradisi Islam.
Pola pendidikan di pesantren
adalah pola yang sangat unik. Terdapat relasi yang harmonis antara santri dan
kyai dengan masjid sebagai pusat aktifitas. Keunikan yang lain adalah sistem
pembelajaran dengan menggnakan metode sorogan
dan weton. Yang pertama adalah santri
menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan
dipelajarinya. Kyai membacakan kalimat demi kalimat, menerjemahkan dan
menjelaskan maksudnya kemudian santri menyimak. Adapun metode yang kedua adalah
metode kuliah, yang mana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di skeliling
kyai.
Sekalipun sebagai
tradisi yang berakar lama dalam budaya Islam Indonesia, pesantren telah ada
sejak beberapa abad sebelumnya dan dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi
mapan serupa di negeri-negeri Islam dari kalangan kaum Sufi seperti tradisi
zawiyah dan ribath di India dan Timur Tengah, namun suatu kenyataan yag sangat
menarik ialah bahwa sistem pendidikan tradisional Islam itu berkembang pesat
pada peralihan abad yang lalu. Pesantren-pesantren besar di kompleks Jombang-Kediri
seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Denayar, Jampes, Lirboyo dll yang kelak
pengaruhnya begitu besar pada kehidupan nasional, antara lain melalui
organisasi Nahdatul Ulama tumbuh dan berkembang kurang lebih sebagai saingan
sekolah-sekolah formal colonial. [13]
C. Lembaga Pendidikan Islam Formal: Madrasah dan
Perguruan Tinggi
Madrasah yang berkembang di Indonesia berbeda dengan perkembangan madrasah yang ada
di Timur Tengah. Madrasah di Indonesia merupakan perkembangan lebih lanjut atau
pembaruan dari pesantren dan surau[14],
sementara madrasah yang ada di timur tengah pada abad pertengahan serupa dengan
lembaga pesantren yang ada di Indonesia. Di samping terdapat unsur-unsur
seperti pesantren yaitu masjid, asrama dan ruang belajar, madrasah di Timur Tengah
memiliki syaikh atau professor
sebagai pemegang otoritas[15].
Dalam konteks Indonesia, ini seperti keberadaan seorang kyai di
pesantren. Meskipun sejarah pertumbuhan
madrasah di Indonesia dipandang memiliki latar belakang sejarah yang berbeda
dari madrasah yang ada di Timur Tengah, namun keberadaannya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh pembaruan pendidikan Islam di Timur Tengah.
Perkembangan Madrasah pada abad Modern ini terjadi pada
kurun awal abad ke-20 di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran
non keagamaan. Latar belakang pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari
gerakan pembaruan di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap
kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa Ulama yang telah berjasa menggagas tumbuhnya
madrasah di Indonesia, antara lain adalah Syekh Abdullah Ahmad, pendiri
Madrasah Adabiyah di Padang pada tahun 1909, disusul pada tahun Syekh M. Thaib
Umar mendirikan Madrasah School di Batusangkar, yang sempat tutup dan dibuka
kembali pada tahun 1918 oleh Mahmud Yunus. Tahun 1923 madrasah ini berganti
nama Diniyah School. Pada tahun yang sama, Madrasah Diniyah Putri didirikan
oleh Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah yang
sebelumnya, pada tahun 1915 Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah
Diniyah.[16]
Madrasah Diniyah ini kemudian berkembang di Indonesia, baik merupakan bagian
pesantren, surau atau yang lain, seperti beberapa organisasi Islam
kemasyarakatan yang banyak mengelola madrasah. Di antara organisasi-organisasi
tersebut adalah Muhammadiyah, al-Irsyad, Perhimpunan Umat Islam (PUI),
persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), al-Jami’atul Washliyah, al-ittihadiyah,
Nahdatul Ulama’ dan Persatuan Islam. [17]
Sejak lahirnya, madrasah memiliki sistem tersendiri yang
menjadi ciri khas dan membedakannya dengan pesantren dan sekolah umum, yaitu
adanya pemaduan pelajaran umum dan agama, meskipun pemaduan kurilkulum tidaklah
sama antara satu madrasah dengan madrasah lain. secara historis, dapat dilihat
bahwa madrasah telah mengelami perubahan-perubahan. Pada tahap awal madrasah
semata mengajarkan maata pelajaran agama, namun pada akhirnya, sesuai dengan
tuntutan zaman, madrasah memasukkan mata
pelajaran umum yang semula hanya sebagai pelengkap, Namun setelah keluarnya SKB
tiga menteri pada tahun 1975 yaitu SK berdasarkan kesepakatan yaitu Departemen
dalam Negeri, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang
menjembatani adanya dikotomi ilmu-ilmu umum dan agama. Dengan SKB ini tidak ada
lagi perbedaan mendasar antara lulusan madrasah dan sekolahn umum. Baik dalam
kesempatan melanjutkan studi maupun kesempatan memperoleh peluang kerja. Dengan
adanya SKB tiga mentri ini madrasah memasuki era baru, yang mana mata pelajaran
umum dominan 70% namun, bukan berarti menafikan kedudukan mata pelajaran agama.Mengkaji
sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam dapat dilacak keberadaannya sejak didirikannya
Sekolah Tinggi Islam oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang pada
tanggal 9 Desember 1940 dengan pimpinan Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi Islam ini
semula membuka fakultas Tarbiyah dan Syari’ah. Pada tahun 1941, STI ini sempat
tutup dengan terjdainya peristiwa Perang Dunia II.
Pada tahun 1945, gagasan
mendiirikan STI kembali digulirkan sebagai kebijakan politik masyumi. Disamping
berdirinya barisan Mujahidin yag bernama Hizbullah. Dalam rangka mendirikan
lembaga ini dibentuklah kepanitian yang diketua oleh Drs. Mohammad Hatta.
Kepanitiaan ini berhasil mendirikan STI pada 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27
Rajab 1364 dengan pimpinan Prof. Abdul Kahar Mudzakkir. Tidak jauh dengan konsentrasi yang diterapkan
pada awal berdirinya STI tahun 1940, pada pendirian selanjutnya ini STI juga
mngknsentrasikan materi pembelajaran pada ilmu agama dan kemasyarakatan.
Dalam perkembangannya,
STI dilakukan perbaikan dan pengembangan dengan membuka fakultas non agama
yaitu Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dengan dibukanya fakultas baru pada STI
ini, menjadikan STI juga berubah nama drai STI menjadi UII yang menjadikan
tujuan lembaga juga bergeser dari lembaga pendidikan bagi calon ulama menjadi
lebih umum dan bersifat sekuler.
D. Peranan
Ormas dalam pembentukan Lembaga Pendidikan: Kasus Muhammadiyah
Muhammadiyah oleh
Ricklefs dikategorikan sebagai
Organisasi Islam modernis yang paling penting di Indonesia. Didirikan oleh K.H
Ahmad Dahlan (1868-1923),yakni salah satu kaum elit agama ksultanan
Yogyakarta di Yogyakarta pada tahun
1912. Semula Kyai Dahlan masuk organisasi Budi Utomo dengan harapan dapat
berbicara mengenai pembharuan dikalanagn para anggotanya, maun para
pendukungnya justru mendesak agar Kyai Dahlan mendirikan organisasi sendiri.
Maka pada tahun 1912 resmilah Muhammdiyah berdiri di Yogyakarta. Organisasi ini
mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan serta
program dakwah guna melawan Kristen dan tahayyul local. Konsentrasi pada dunia
pendidikan ini tercermin pada tahun 1925, dua tahun sesduah wafatnya Dahlan,
bahwa ketika itu Muhammadiyah hanya beraggotakan 4000 orang, naun telah
berhasil mendirikan 55 sekolah dengan 4000 murid, dua balai pengobatan yakni di
Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan serta sebuah rumah miskin. [18]
Dengan pandangan yang
sama, para pemerhati gerakan Islam juga mengkategorikan sebagai gerakan
keagamaan bercorak modern yang mapan dan lebih banyak bergerak pada wilayah
aksi dari pada pemikiran. Mapannya organisasi ini adalah disebabkan oleh
pengorganisasian yang sistematis dan efektif. Adapun aktifitas Muhammadiyah
yang lebih banyak bergerak di bidang aksi tercermin dari banyaknya amal
usaha yang dimiliki yang secara garis besar
dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu agama, sosial serta pendidikan yang
dikelola secara modern, setidaknya dalam ukuran masanya. [19]
Demikian ungkapan yang
ditulis oleh Lapidus mengenai gambaran Muhammadiyah:
Muhammadiya,
primarly concerd with educational and missionary activities, was willing to
cooperate with government, and its members were forced by a party decision in
1929 to choose between the two movements. In the 1930s, the Muslim movement
remained divided among activist, reformist and conservative religious wings,
but the apolitical reformist Muslim position remained the most important. [20]
Another
factor in Islamic strength was the continuing vitality of the reformist and
modernist movements. Muhammadiya rmained important in providing a personal
ideal of rational, efficient, and puritanical behavior, a concept of community
and a model of ongoing Islamic society. Muhammadiya claimed an active
membership numbering millions.[21]
Sistem pendidikan yang
ditawarkan oleh Muhammadiyah berbeda dengan mainstream
pendidikan yang berkembang saat itu; yakni sistem pendidikan pesantren dan
sekolah colonial yang antara satu dan lainnya secara dikotomis. Mengkompromikan
dua sistem pendidikan inilah yang menjadi pilihan Ahmad Dahlan . Yaitu dengan
membuang jauh nilai sistem pendidikan colonial
yang dianggap sekuler, tidak sejalan dengan ajaran Islam dan memadukan
yang terbaik dengan sistem pendidikan santri . Dengan pandangan progresif Ahmad
Dahlan inilah lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi lembaga alternative di
zamannya, karena menawarkan pmbaharuan dalam pendidikan. Di antaranya adalah;
pertama, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah didirikan dengan mekanisme bottom up dan tidak birokratis. Kedua,
sistem pendidikan Muhammadiyah dilandasi motivasi teologis bahwa manusia akan
mencapai derajat keimanan dan ketakwaan yang sempurna jika memiliki kedalaman
ilmu pengetahuan. Sehingga tida ada dikotomisasi ilmu colonial Belanda yang
sekuler dengan pesantren yang sangat normative dan anti Barat. Pandangan ini yang membedakan output
pendidikan Muhammadiyah dengan output pendidikan konvensional Barat dan Pendidikan
tradisional pribumi saat itu. Ketiga,
Pendidikan Muhammadiyah diorientasikan untuk mempersiapkan lulusannya untuk
memasuki Indonesia baru yang modern dan keempat,
para pendidik di lingkugan lembaga Muhammadiyah sadar akan perjuangan yang
memerlukan pengorbanan pikiran, tenaga maupun harta.
E.KESIMPULAN
Pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia sebenarnya sudah dapat dilacak sejak masuknya
Islam ke bumi Nusantara, meskipun belum terlembaga secara sistematis. Lembaga
Pendidikan Islam bermula dari nggon ngaji, surau, langgar, musholla dan masjid
sebagai lembaga tradisional. Dalam perkembangannya sistem pendidikan Islam
terlembagakan dengan baik melalui madrasah yang dilembagakan secara formal
dengan urikulum terstruktur.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan, 1998.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999.
Huda, Nor Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam
di Indonesia Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi Malang: UMM
Press, 2006
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies United
Kingdom:Cambridge University ress, 2002.
Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan
Jakarta:paramadina, 2000.
Rahardjo, M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah Jakarta: P3M,
1985..
Ricklelfs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj.
Satrio Wahono, dkk Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Sumardi, Mulyanto Bunga
Rampai Pemikiran tentang Madrasah dan Pesantren Jakarta: Pustaka biru,
[1] Selama
ini terdapat anggapan bahwa hubungan antara Islam di Nusantara dengan Timur
Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan. Azyumardi menampik anggapan
ini dan membuktikan bahwa sejak abad ke-17
hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan
dan keilmuan, meski tidak dapat dinafikan adanya hubungan politik antara
beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya dengan Dinasti Utsmani. Setidaknya
dengan melihat banyaknya pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu di Haromain
yang kemudian mentransmisika keilmuannya ke bumi Nusantara. Untuk lebih lengkap mengenai hal ini, baca
lebih lanjut, Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung:
Mizan, 1998).
[2] Nurcholish Madjid,
“Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari
Bawah (Jakarta: P3M, 1985, h. 3. Lihat juga, Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 378
[3]Terdapat pandangan yang
berbeda di kalanganpara ahli mengenai kedatanganIslam di Nusantara. Perbedaan
pandangan itu setidaknya dipengaruhi oleh sudut pandang terhadap tempat asal
kedatangan yakni negara yang menjadi perantara, Para pembawa atau pelaku penyebar
dan waktu kedatangan. Perbedaan ini pula yang kemudian menghasilkan tiga
teori masuknya Islam ke Nusantara, yakni
Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Lebih lanjut mengenai ketiga teor
ini, lihat, Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (Malang: UMM
Press, 2006), h. 34-44. Bandingkan pula, Azra, Jaringan Ulama, h. 23-55.
[4] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999), h. 152.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan
(Jakarta:paramadina, 2000), h. xii.
[7] Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , h. xii.
[8] Ibid
[10] Ibid, h. 375.
[13] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:paramadina, 2000), h. xii.
[14] Ibid, hlm. 80
[15] Nor Huda, Islam Nusantara,
hlm. 391.
[16] Mulyanto Sumardi, Bunga Rampai
Pemikiran tentang Madrasah dan Pesantren (Jakarta: Pustaka biru, 1980),
hlm. 49.
[17] Penjelasan lebih rinci
mengenai lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh masing-masing organisasi
Islam tersebut, baca lebih lanjut, Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan,
hlm. 96-99
[18] M.C. Ricklelfs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj.
Satrio Wahono, dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007),h. 356.
[19] Khozin, Menggugat Pendidikan Muhammadiyah (Malang, UM M Press, 2005), h.
1-29.
[20] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (United Kingdom:Cambridge
University ress, 2002), h. 666.
[21] Ibid. 672