Kamis, 30 Mei 2013

HAKIKAT BELAJAR



A.  PENDAHULUAN
Salah satu kemampuan yang mesti dimiliki oleh para guru atau pendidik agar mampu melaksanakan tugas profesionalnya adalah memahami bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran. Dengan demikian para guru atau pendidik akan mampu mengembangkan dan membentuk watak peserta didik, serta memahami bagaimana para peserta didik tersebut melakukan aktivitas belajar. Untuk dapat memahami proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik, guru perlu manguasai hakikat dan konsep belajar. Dengan menguasai hakikat dan konsep belajar diharapkan guru mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran, karena fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya belajar pada diri peserta didik.
Belajar pada hakikatnya merupakan proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Disadari atau tidak, belajar merupakan proses yang dijalani oleh setiap manusia, sejak lahir hingga akhir hayat. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai keuntungan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi individu, kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Materi atau bahan ajar yang secara khusus membahas Hakikat Belajar ini merupakan bagian dari mata kuliah Teori Belajar. Secara konseptual, materi atau bahan ajar ini dirancang untuk memfasilitasi mahasiswa fakultas keguruan agar mampu menganalisis karakteristik konseptual belajar  yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman mereka tentang bagaimana proses belajar itu terjadi hingga nantinya berimplikasi terhadap kebijakan pendidikan yang terkait dengan proses pembelajaran. Secara umum, setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat dan mampu menganalisis karakteristik konseptual belajar secara komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan diungkap dalam pembahasan tentang hakikat belajar ini adalah: 
1.      Apakah belajar itu?
2.      Bagaimana ciri-ciri belajar? 
3.      Apa saja jenis-jenis belajar itu?  



B.  PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN JENIS-JENIS BELAJAR.
1.   Pengertian Belajar
Kalau kita bertanya kepada orang tentang apa yang dimaksud dengan belajar, maka akan kita peroleh jawaban yang bermacam-macam. Perbedaan pendapat mengenai arti belajar tersebut disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat pengertian belajar itu sendiri. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan dan menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian akan segera puas dan bangga jika ketika melihat anak-anaknya mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang didapatkannya dari teks atau yang diajarkan oleh guru.
Ada pula yang beranggapan bahwa belajar itu sama dengan latihan. Anggapan semacam ini akan menyebabkan orang merasa puas bila melihat anak-anaknya telah mampu memperlihatkan keterampilan tertentu seperti, membaca, menulis, atau menunjukkan gerakan-gerakan tertentu walaupun tanpa mengetahui arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Untuk menyempurnakan pemahaman mengenai arti belajar, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi belajar dari para ahli dengan sedikit komentar dan interpretasi.
Muhibin Syah (2009: 64-65) dalam bukunya Psikologi Belajar mengemukakan definisi belajar menurut pendapat beberapa ahli antara lain sebagai berikut :
1)   Pendapat Skinner yang dikutif oleh Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psyccology menyatakan: The teaching leaching process, yang artinya belajar adalah suatu proses adaptasi. Selanjutnya Skinner berpendapat bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).
2)   Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berarti; “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sabagai akibat latihan dan pengalaman.” Rumusan keduanya; “Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.                           
3)   Hintzman (1978) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa; “Belajar adalah suatu perubahan dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.” Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
4)   Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendifinisikan: “Belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. 
Terminologi lain menyebutkan: “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.” (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 128).
Belajar sering juga diartikan sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Secara konseptual fontana (1981) mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku ndividu sebagai hasil dari pengalaman. Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh Bell-Gredler (1986: 1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skills, and attitudes. Kemampuan (Competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi hingga masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun pendidikan informal. Kemampuan belajar inilah salah satu sifat yang dimiliki manusia yang membedakannya dari makhluk yang lain (Winataputra, dkk, 2007: 1.5).
Di kalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Pada akhirnya, secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan maknanya,yakni definisi manapun tentang konsep belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. (Makmun. 2007: 157). Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar, bersifat fungsional, bersifat positif dan aktif, tidak bersifat sementara, bertujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Ahmadi dan Supriyono. 2004: 129-130).
Secara kuantitatif belajar dapat berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta yang sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini keberhasilan belajar dilihat dari seberapa banyak materi yang dapat dikuasai peserta didik. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan peserta didik atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional bahwa peserta didik telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses pembelajaran. Semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan peserta didik yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai. Adapun belajar secara kualitatif ialah suatu proses untuk memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling peserta didik. Dalam pengertian ini belajar difokuskan pada peningkatan daya pikir dan tindakan berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. (Syah. 2009: 67-68).
Terkait dengan perkembangan teori belajar, pada awal abad 20, sejalan dengan berkembangnya disiplin psikologi, berkembang pula berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian empiris. Pada masa itu mulai berkembang dua kutub teori belajar, yakni teori behaviorisme dan teori gestalt. Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari penelitian Ivan Paplov pemenang hadiah Nobel tahun 1904. V.M. Bechtereve, dan J.B. Watson adalah proses relasi antara Stimulus dan Respons (S-R). Sedangkan kunci dari teori Gestalt adalah relasi antara bagian dengan totalitas pengalaman. Sejak itu berkembanglah berbagai teori belajar yang bertolak dari ontologi penelitian yang berbeda-beda tetapi semua bertujuan untuk menjelaskan bagaimana belajar sesunguhnya terjadi.
Beberapa teori belajar secara signifikan banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan jarak jauh. Teori Operant Conditioning atau Pengkondisian Operant dari B.F. Skinner yang menekankan pada konsep reinforcement atau penguatan (Bell Gladler, 1986: 77-91), dan teori Conditions of Learning dari Robert Gagne yang menekankan pada behavior development atau perkembangan perilaku sebagai produk dari commulative effects of learning atau efek komulatif dari belajar (Bell Gredler, 1986: 117-130) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana menata lingkungan belajar. Sementara itu, teori Information Processing yang menekankan pada proses pengolahan informasi dalam berfikir (Bell Gredler, 1986: 153-169), dan teori Cognitive Development atau Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget yang menekankan pada konsep ways of knowing atau jalan untuk tahu (Bell Gredler 1986: 193-209) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana mengembangkan proses intelektual peserta didik. Di lain pihak teori Social Learning atau teori Belajar Sosial dari Albert Bandura yang menekankan pada perolehan compelx skills and abilities atau kemampuan dan keterampilan kompleks melalui pengamatan modeled behavior atau perilaku yang diteladani beserta konsekuensinya terhadap perilaku individu (Bell Gredler, 1986: 235-253) dan teori Atribution atau teori Atribusi dari Bernard Werner yang menekankan pada relasi antara ability, effort, task difficulty, and luck dalam keberhasilan atau kegagalan belajar (Bell Gredler, 1986: 276-291) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana melibatkan individu dalam konteks sosial. Sedangkan teori Experiental Learning  atau Belajar melalui Pengalaman dari David A. Kolb (1984), yang menekankan pada konsep transformation of experiences  atau transformasi pengalaman dalam membangun knowledge atau pengetahuan, teori Social Development atau teori Perkembangan Sosial dari L. Vygosky yang menekankan pada konsep zon of proximal development atau arena perkembangan terdekat melalui proses dialogis dan kebersamaan (Cheyne dan Taruli, 2005), dan Web Based Learning Theory atau Teori Belajar Berbasis Jaringan yang menekankan pada interaksi individu dengan sumber informasi berbasis jaringan elektronik mempengaruhi pandangan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan belajar yang bersifat multipleks guna menghasilkan belajar yang lebih bermakna (Winataputra, 2007: 1.6-1.7). Semua konsep yang dibangun dalam masing-masing teori tersebut melukiskan bagaimana proses psikologis-internal-individual atau psikososial dan psiko kontekstual yang relatif bebas dari konteks pedagogik yang sengaja dibangun untuk menumbuhkembangkan potensi belajar individu.
Belajar merupakan suatu proses dasar dari perkembangan manusia, yang dengannya manusia dapat melakukan perubahan-perubahan sehingga tingkah laku dan hidupnya terus berkembang. Segala prestasi hidup yang telah dicapai manusia, tidak lain adalah hasil dari belajar. Manusia hidup dan bekerja (berbuat) menurut apa yang dipelajarinya. Belajar bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, belajar bukan suatu hasil. Oleh karenanya, belajar itu berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan nasional konsep belajar harus diletakkan secara substantif-psikologis terkait pada seluruh esensi tujuan pendidikan nasional mulai dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal demikian senada dengan rumusan pengertian pendidikan yang tersebut dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”  
Belajar yang secara konseptual bersifat content free atau bebas isi, secara operasional-kontekstual menjadi konsep yang bersifat content based atau bermuatan. Oleh karena itu, konsep belajar dalam konteks tujuan pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar untuk menjadi orang yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena pendidikan memiliki misi psiko pedagogik dan sosio pedagogik, maka pengembangan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan mengenai keberagamaan dalam konteks beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keberagamaan dalam konteks berakhlak mulia, ketahanan jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran dan kejujuran akademis dalam konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam konteks kreatif; ketekunan dan percaya diri dalam konteks mandiri; kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam konteks warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seyogianya dilakukan dalam rangka pengembangan kemampuan belajar peserta didik.



2.   Ciri-ciri Belajar
Belajar tidak hanya berkenaan dengan jumlah pengetahuan tetapi juga meliputi seluruh kemampuan individu. Dari uraian tentang pengertian belajar sebagaimana tersebut di atas, setidaknya dapat dikemukakan tiga hal yang merupakan ciri-ciri belajar.
Pertama, belajar haraus memungkinkan terjadinya suatu perubahan perilaku pada individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek nilai dan sikap (afektif) serta keterampilan (psikomotorrik).
Kedua, perubahan itu harus merupakan buah daari pengalaman. Perubahan perilaku pada diri individu karena adanya interaksi antara dirinya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa interaksi fisik seperti, seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas setelah ia menyentuh api pada lilin yang menyala. Di samping interaksi fisik, perubahan perilaku ataupun kemampuan dapat pula diperoleh melalui interaksi psikis, misalnya: seorang anak akan berhati-hati menyeberang jalan setelah ia melihat ada orang yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Mengerdipkan mata pada saat memandang cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur karena mencium bau masakan yang enak bukanlah merupakan hasil belajar. Selain itu, perubahan perilaku karena karena faktor kematangan juga tidak termasuk belajar. Seorang anak tidak dapat berbicara sebelum cukup umurnya, tetapi perkembangan kemampuan berbicaranya sangat dipengaruhi dan tergantung pada rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Begitu pula dengan kemampuan berjalannya (Winataputra, 2007: 1.8-1.9). . 

3.   Jenis-jenis Belajar
Berkenaan dengan proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik, Gagne (1985) mengemukakan delapan macam jenis belajar. Kedelapan jenis belajar tersebut adalah:
a.   Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya isyarat. Misalnya berhenti bicara ketika mendapat isyarat telunjuk yang menyilang di mulut sebagai tanda tidak boleh berisik atau ribut; berhenti menjalankan atau mengendarai sepeda motor ketika di perempatan jalan melihat isyarat lampu merah menyala.

b.   Belajar Stimulus-Respon (Stimulus Response Learning)
Belajar stimulus-respon terjadi pada individu karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya, menendang bola ketika ada bola yang menggelinding di depan kaki, berbaris rapi karena adanya komando, berlari karena adanya suara anjing yang menggonggong dan mengejarnya dari belakang, dan sebagainya.

c.   Belajar Rangkaian (Chaining Learning)  
Belajar rangkaian terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus-respon (S-R) yang telah dipelajari sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep merah-putih, panas –dingin, ibu-bapak, kaya-miskin, dan sebagainya.

d.   Belajar Asisiasi Verbal (Verbal Association Learning)
Belajar Asosiasi Verbal terjadi apabila individu telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta api itu seperti keluaang (kaki seribu) tu wajahnya seperti bulan kesiangan. 

e.   Belajar Membedakan (Discrimination Learning)  
Belajar diskriminasi terjadi apabila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya, membedakan jenis tumbuhan atas dasar urat daunnya, membedakan suku bangsa atas dasar tempat tinggalnya, membedakan negara menurut tingkat kemajuannya.

f.    Belajar Konsep (Concept Learning)  
Belajar Konsep terjadi apabila individu menghadapi berbagaai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke dalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya, binatang, tumbuhan, dan manusia termasuk makhluk hidup, negara-negara yang maju termasuk developed-countries, aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara termasuk hukum internasional.


g.   Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)
Belajar Aturan/Hukum terjadi apabila individu mengunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan. Misalnya, ditemukan bahwa benda memuai bila dipanaskan, iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh kedudukan geografis dan astronomis di muka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan, dan sebagainya.

h.   Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning)
Belajar Pemecahan Masalah terjadi apabila individu menggunakan berbagai konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan. Misalnya, mengapa bahan bakar minyak naik, mengapa minat masuk perguruan tinggi menurun. Pemecahan masalah selalu bersegi banyak dan satu sama lain saling berkaitan.
Urutan jenis-jenis belajar tersebut merupakan tahapan belajar yang bersifat hierarkis. Jenis belajar yang pertama merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang kedua, jenis belajar yang kedua merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang berikutnya, dan seterusnya. Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah jika individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan, dan seterusnya. 




C.  KESIMPULAN   
1.   Belajar mengacu pada perubahan perilaku individu sebagai akibat dari proses pengalaman baik yang dialami maupun yang sengaja dirancang.
2.   Ciri-ciri belajar adalah adanya perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat relatif menetap.
3.   Delapan jenis belajar menurut Gagne adalah: belajar isyarat, belajar stimulus respon, Belajar rangkaian, belajar asosiasi verbal, belajar membedakan, belajar konsep, belajar hukum/aturan, dan belejar pemecahan masalah.














DAFTAR PUSTAKA
1.   Syah, Muhibin, 2009, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2.   Ahmadi, Abu dan Supriyono Widodo, 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
3.   Bell Gredler,M.E., 1986, Learning and instruction, New York: Macmillan Publishing.
4.   Winataputra, Udin S. dkk, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka. 
5.   Makmun, Syamsudin Ibn., 2007, Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
6.   Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar