A. PENDAHULUAN
Salah satu kemampuan yang
mesti dimiliki oleh para guru atau pendidik agar mampu melaksanakan tugas
profesionalnya adalah memahami bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana
mengorganisasikan proses pembelajaran. Dengan demikian para guru atau pendidik
akan mampu mengembangkan dan membentuk watak peserta didik, serta memahami
bagaimana para peserta didik tersebut melakukan aktivitas belajar. Untuk dapat
memahami proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik, guru perlu
manguasai hakikat dan konsep belajar. Dengan menguasai hakikat dan konsep
belajar diharapkan guru mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran, karena
fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya belajar
pada diri peserta didik.
Belajar pada hakikatnya
merupakan proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai berbagai macam
kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Disadari atau tidak, belajar merupakan
proses yang dijalani oleh setiap manusia, sejak lahir hingga akhir hayat. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan
karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Belajar mempunyai keuntungan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi
individu, kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat,
belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan
pengetahuan dari generasi ke generasi.
Materi atau bahan ajar yang
secara khusus membahas Hakikat Belajar ini merupakan bagian dari mata
kuliah Teori Belajar. Secara konseptual, materi atau bahan ajar ini
dirancang untuk memfasilitasi mahasiswa fakultas keguruan agar mampu menganalisis
karakteristik konseptual belajar yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman
mereka tentang bagaimana proses belajar itu terjadi hingga nantinya
berimplikasi terhadap kebijakan pendidikan yang terkait dengan proses
pembelajaran. Secara umum, setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mahasiswa
dapat dan mampu menganalisis karakteristik konseptual belajar secara
komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan diungkap
dalam pembahasan tentang hakikat belajar ini adalah:
1. Apakah belajar itu?
2. Bagaimana ciri-ciri
belajar?
3. Apa saja jenis-jenis belajar
itu?
B. PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN JENIS-JENIS
BELAJAR.
1. Pengertian Belajar
Kalau kita bertanya kepada orang tentang
apa yang dimaksud dengan belajar, maka akan kita peroleh jawaban yang
bermacam-macam. Perbedaan pendapat mengenai arti belajar tersebut disebabkan
adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat pengertian belajar itu sendiri.
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan dan
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi
pelajaran. Orang yang beranggapan demikian akan segera puas dan bangga jika
ketika melihat anak-anaknya mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal)
sebagian besar informasi yang didapatkannya dari teks atau yang diajarkan oleh
guru.
Ada pula yang beranggapan bahwa belajar
itu sama dengan latihan. Anggapan semacam ini akan menyebabkan orang merasa
puas bila melihat anak-anaknya telah mampu memperlihatkan keterampilan tertentu
seperti, membaca, menulis, atau menunjukkan gerakan-gerakan tertentu walaupun
tanpa mengetahui arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Untuk
menyempurnakan pemahaman mengenai arti belajar, berikut ini akan dikemukakan
beberapa definisi belajar dari para ahli dengan sedikit komentar dan
interpretasi.
Muhibin Syah (2009: 64-65) dalam bukunya Psikologi
Belajar mengemukakan definisi belajar menurut pendapat beberapa ahli antara
lain sebagai berikut :
1) Pendapat
Skinner yang dikutif oleh Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psyccology
menyatakan: The teaching leaching process, yang artinya belajar adalah
suatu proses adaptasi. Selanjutnya Skinner berpendapat bahwa proses adaptasi
tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat
(reinforcer).
2) Chaplin
(1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam
rumusan. Rumusan pertama berarti; “Belajar adalah perolehan perubahan
tingkah laku yang relatif menetap sabagai akibat latihan dan pengalaman.”
Rumusan keduanya; “Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat
adanya latihan khusus.”
3) Hintzman
(1978) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat
bahwa; “Belajar adalah suatu perubahan dalam diri organisme, manusia atau
hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
organisme tersebut.” Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang
ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila
mempengaruhi organisme.
4) Wittig
(1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendifinisikan: “Belajar
adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala
macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.”
Terminologi lain menyebutkan: “Belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.” (Ahmadi dan Supriyono.
2004: 128).
Belajar sering juga diartikan sebagai
penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap, serta
keterampilan. Secara konseptual fontana (1981) mengartikan belajar adalah suatu
proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku ndividu sebagai hasil dari
pengalaman. Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh
Bell-Gredler (1986: 1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang
dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skills,
and attitudes. Kemampuan (Competencies), keterampilan (skills),
dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara bertahap dan
berkelanjutan mulai dari masa bayi hingga masa tua melalui rangkaian proses
belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan dalam bentuk
keterlibatannya dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun
pendidikan informal. Kemampuan belajar inilah salah satu sifat yang dimiliki
manusia yang membedakannya dari makhluk yang lain (Winataputra, dkk, 2007:
1.5).
Di kalangan ahli psikologi terdapat
keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning).
Pada akhirnya, secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan
maknanya,yakni definisi manapun tentang konsep belajar selalu menunjukkan
kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan
praktek atau pengalaman tertentu. (Makmun. 2007: 157). Ciri-ciri perubahan
tingkah laku dalam pengertian belajar adalah perubahan yang terjadi secara
sadar, bersifat fungsional, bersifat positif dan aktif, tidak bersifat
sementara, bertujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
(Ahmadi dan Supriyono. 2004: 129-130).
Secara kuantitatif belajar dapat
berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta
yang sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini keberhasilan belajar dilihat dari seberapa
banyak materi yang dapat dikuasai peserta didik. Secara institusional
(tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan)
terhadap penguasaan peserta didik atas materi-materi yang telah ia pelajari.
Bukti institusional bahwa peserta didik telah belajar dapat diketahui dalam
hubungannya dengan proses pembelajaran. Semakin baik mutu mengajar yang
dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan peserta didik yang
kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai. Adapun belajar secara kualitatif
ialah suatu proses untuk memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta
cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling peserta didik. Dalam pengertian ini
belajar difokuskan pada peningkatan daya pikir dan tindakan berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. (Syah. 2009:
67-68).
Terkait dengan perkembangan teori belajar,
pada awal abad 20, sejalan dengan berkembangnya disiplin psikologi, berkembang
pula berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian
empiris. Pada masa itu mulai berkembang dua kutub teori belajar, yakni teori
behaviorisme dan teori gestalt. Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari
penelitian Ivan Paplov pemenang hadiah Nobel tahun 1904. V.M. Bechtereve, dan
J.B. Watson adalah proses relasi antara Stimulus dan Respons (S-R). Sedangkan
kunci dari teori Gestalt adalah relasi antara bagian dengan totalitas
pengalaman. Sejak itu berkembanglah berbagai teori belajar yang bertolak dari
ontologi penelitian yang berbeda-beda tetapi semua bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana belajar sesunguhnya terjadi.
Beberapa teori belajar secara signifikan
banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan
jarak jauh. Teori Operant Conditioning atau Pengkondisian Operant dari
B.F. Skinner yang menekankan pada konsep reinforcement atau penguatan
(Bell Gladler, 1986: 77-91), dan teori Conditions of Learning dari
Robert Gagne yang menekankan pada behavior development atau perkembangan
perilaku sebagai produk dari commulative effects of learning atau efek
komulatif dari belajar (Bell Gredler, 1986: 117-130) mempengaruhi pandangan
tentang bagaimana menata lingkungan belajar. Sementara itu, teori Information
Processing yang menekankan pada proses pengolahan informasi dalam berfikir
(Bell Gredler, 1986: 153-169), dan teori Cognitive Development atau
Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget yang menekankan pada konsep ways of
knowing atau jalan untuk tahu (Bell Gredler 1986: 193-209) mempengaruhi
pandangan tentang bagaimana mengembangkan proses intelektual peserta didik. Di
lain pihak teori Social Learning atau teori Belajar Sosial dari Albert
Bandura yang menekankan pada perolehan compelx skills and abilities atau
kemampuan dan keterampilan kompleks melalui pengamatan modeled behavior
atau perilaku yang diteladani beserta konsekuensinya terhadap perilaku individu
(Bell Gredler, 1986: 235-253) dan teori Atribution atau teori Atribusi
dari Bernard Werner yang menekankan pada relasi antara ability, effort, task
difficulty, and luck dalam keberhasilan atau kegagalan belajar (Bell
Gredler, 1986: 276-291) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana melibatkan
individu dalam konteks sosial. Sedangkan teori Experiental Learning atau Belajar melalui Pengalaman dari David A.
Kolb (1984), yang menekankan pada konsep transformation of experiences atau transformasi pengalaman dalam membangun
knowledge atau pengetahuan, teori Social Development atau teori
Perkembangan Sosial dari L. Vygosky yang menekankan pada konsep zon of
proximal development atau arena perkembangan terdekat melalui proses
dialogis dan kebersamaan (Cheyne dan Taruli, 2005), dan Web Based Learning
Theory atau Teori Belajar Berbasis Jaringan yang menekankan pada interaksi
individu dengan sumber informasi berbasis jaringan elektronik mempengaruhi
pandangan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan belajar yang bersifat
multipleks guna menghasilkan belajar yang lebih bermakna (Winataputra, 2007:
1.6-1.7). Semua konsep yang dibangun dalam masing-masing teori tersebut
melukiskan bagaimana proses psikologis-internal-individual atau psikososial dan
psiko kontekstual yang relatif bebas dari konteks pedagogik yang sengaja
dibangun untuk menumbuhkembangkan potensi belajar individu.
Belajar merupakan suatu proses dasar dari
perkembangan manusia, yang dengannya manusia dapat melakukan
perubahan-perubahan sehingga tingkah laku dan hidupnya terus berkembang. Segala
prestasi hidup yang telah dicapai manusia, tidak lain adalah hasil dari
belajar. Manusia hidup dan bekerja (berbuat) menurut apa yang dipelajarinya.
Belajar bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, belajar bukan
suatu hasil. Oleh karenanya, belajar itu berlangsung secara aktif dan
integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu
tujuan.
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan
nasional konsep belajar harus diletakkan secara substantif-psikologis terkait
pada seluruh esensi tujuan pendidikan nasional mulai dari iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal demikian senada
dengan rumusan pengertian pendidikan yang tersebut dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Belajar yang secara konseptual bersifat content
free atau bebas isi, secara operasional-kontekstual menjadi konsep yang
bersifat content based atau bermuatan. Oleh karena itu, konsep belajar
dalam konteks tujuan pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar untuk
menjadi orang yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena pendidikan memiliki misi psiko
pedagogik dan sosio pedagogik, maka pengembangan pengetahuan, nilai-nilai dan
sikap, serta keterampilan mengenai keberagamaan dalam konteks beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keberagamaan dalam konteks berakhlak
mulia, ketahanan jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran dan
kejujuran akademis dalam konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam
konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam konteks kreatif; ketekunan dan
percaya diri dalam konteks mandiri; kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam
konteks warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seyogianya dilakukan
dalam rangka pengembangan kemampuan belajar peserta didik.
2. Ciri-ciri Belajar
Belajar tidak hanya berkenaan
dengan jumlah pengetahuan tetapi juga meliputi seluruh kemampuan individu. Dari
uraian tentang pengertian belajar sebagaimana tersebut di atas, setidaknya
dapat dikemukakan tiga hal yang merupakan ciri-ciri belajar.
Pertama, belajar haraus memungkinkan terjadinya
suatu perubahan perilaku pada individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada
aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek nilai dan sikap
(afektif) serta keterampilan (psikomotorrik).
Kedua, perubahan itu harus
merupakan buah daari pengalaman. Perubahan perilaku pada diri individu karena
adanya interaksi antara dirinya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa
interaksi fisik seperti, seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas
setelah ia menyentuh api pada lilin yang menyala. Di samping interaksi fisik,
perubahan perilaku ataupun kemampuan dapat pula diperoleh melalui interaksi
psikis, misalnya: seorang anak akan berhati-hati menyeberang jalan setelah ia
melihat ada orang yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut
terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Mengerdipkan
mata pada saat memandang cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur karena
mencium bau masakan yang enak bukanlah merupakan hasil belajar. Selain itu,
perubahan perilaku karena karena faktor kematangan juga tidak termasuk belajar.
Seorang anak tidak dapat berbicara sebelum cukup umurnya, tetapi perkembangan
kemampuan berbicaranya sangat dipengaruhi dan tergantung pada rangsangan dari
lingkungan sekitarnya. Begitu pula dengan kemampuan berjalannya (Winataputra,
2007: 1.8-1.9). .
3. Jenis-jenis Belajar
Berkenaan dengan proses
belajar yang terjadi pada diri peserta didik, Gagne (1985) mengemukakan delapan
macam jenis belajar. Kedelapan jenis belajar tersebut adalah:
a. Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar melalui isyarat adalah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya isyarat. Misalnya berhenti
bicara ketika mendapat isyarat telunjuk yang menyilang di mulut sebagai tanda
tidak boleh berisik atau ribut; berhenti menjalankan atau mengendarai sepeda
motor ketika di perempatan jalan melihat isyarat lampu merah menyala.
b. Belajar
Stimulus-Respon (Stimulus Response Learning)
Belajar stimulus-respon
terjadi pada individu karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya, menendang
bola ketika ada bola yang menggelinding di depan kaki, berbaris rapi karena
adanya komando, berlari karena adanya suara anjing yang menggonggong dan
mengejarnya dari belakang, dan sebagainya.
c. Belajar Rangkaian (Chaining Learning)
Belajar rangkaian terjadi
melalui perpaduan berbagai proses stimulus-respon (S-R) yang telah dipelajari
sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep
merah-putih, panas –dingin, ibu-bapak, kaya-miskin, dan sebagainya.
d. Belajar Asisiasi Verbal (Verbal Association
Learning)
Belajar Asosiasi Verbal
terjadi apabila individu telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat menangkap
makna yang bersifat verbal. Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta
api itu seperti keluaang (kaki seribu) tu wajahnya seperti bulan
kesiangan.
e. Belajar Membedakan (Discrimination Learning)
Belajar diskriminasi terjadi
apabila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas
dan mencoba membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya, membedakan
jenis tumbuhan atas dasar urat daunnya, membedakan suku bangsa atas dasar
tempat tinggalnya, membedakan negara menurut tingkat kemajuannya.
f. Belajar Konsep (Concept Learning)
Belajar Konsep terjadi apabila
individu menghadapi berbagaai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke
dalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya, binatang, tumbuhan,
dan manusia termasuk makhluk hidup, negara-negara yang maju termasuk
developed-countries, aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara termasuk
hukum internasional.
g. Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)
Belajar Aturan/Hukum terjadi
apabila individu mengunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data
yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik
kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan. Misalnya, ditemukan bahwa
benda memuai bila dipanaskan, iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh kedudukan
geografis dan astronomis di muka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaan, dan sebagainya.
h. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving
Learning)
Belajar Pemecahan Masalah
terjadi apabila individu menggunakan berbagai konsep atau prinsip untuk
menjawab suatu pertanyaan. Misalnya, mengapa bahan bakar minyak naik, mengapa
minat masuk perguruan tinggi menurun. Pemecahan masalah selalu bersegi banyak
dan satu sama lain saling berkaitan.
Urutan jenis-jenis belajar
tersebut merupakan tahapan belajar yang bersifat hierarkis. Jenis belajar yang
pertama merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang kedua, jenis belajar yang
kedua merupakan prasyarat bagi jenis belajar yang berikutnya, dan seterusnya.
Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah jika
individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan, dan
seterusnya.
C. KESIMPULAN
1. Belajar mengacu pada perubahan perilaku
individu sebagai akibat dari proses pengalaman baik yang dialami maupun yang
sengaja dirancang.
2. Ciri-ciri belajar adalah adanya perubahan
perilaku. Perubahan perilaku tersebut merupakan hasil interaksi individu dengan
lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat relatif menetap.
3. Delapan jenis belajar menurut Gagne adalah:
belajar isyarat, belajar stimulus respon, Belajar rangkaian, belajar asosiasi verbal,
belajar membedakan, belajar konsep, belajar hukum/aturan, dan belejar pemecahan
masalah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syah, Muhibin, 2009, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
2. Ahmadi, Abu
dan Supriyono Widodo, 2004. Psikologi
Belajar, Jakarta: Rineka
Cipta.
3. Bell
Gredler,M.E., 1986, Learning and instruction, New York: Macmillan Publishing.
4. Winataputra, Udin S. dkk, 2007, Teori Belajar
dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka.
5. Makmun, Syamsudin Ibn., 2007, Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem
Pengajaran Modul, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
6. Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar